Follow Us @soratemplates

Thursday, 9 February 2012

Jalan Panjang untuk Mengarang




Sesuai dengan judulnya, buku Proses Kreatif dengan editor Pamusuk Eneste memang memaparkan sebuah proses kreatif. Proses kreatif dari siapa? Dari mereka orang-orang yang dianggap sudah melanglang buana di jagad kesusastraan. Pada buku Proses Kreatif Jilid 2, ada 11 sastrawan yang menuturkan kisahnya mengenai mengapa dan bagaimana mereka mengarang. Di sini saya hanya menyarikan empat orang saja yaitu S. Takdir Alisjahbana, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, dan Trisnoyuwono.

Pada dasarnya dari keempat tokoh tersebut, saya mendapatkan sebuah garis besar yang panjang yaitu proses mengarang adalah sebuah jalan yang panjang, yang tidak serta merta dikuasai dalam tempo singkat dan tanpa perjuangan. Setiap tokoh memiliki proses pencarian jati diri untuk mendapatkan cirri khasnya, termasuk proses untuk menemukan jalur mana bagi mereka untuk berseni. Intinya, mereka adalah orang seni yang akan terus mencari jalan untuk menyalurkan kebutuhan seni. Mulai dari membuat roman picisan, hingga membuat tema yang berbeda. Mulai dari menjajal menjadi pemusik, pelukis, dan akhirnya penyair. Atau mulai dari peyair yang tak puas dan beralih ke cerpenis. Intinya, semua mencari jalan untuk berkarya. Dan jalan itu ditempuh melalui proses panjang yang tak boleh cepat berakhir hanya karena kemalasan.

Bagi yang berminat sajak, mereka beranggapan bahwa sajak merupakan pencitraan dari alam bawah sadar yang murni tanpa ada manipulasi. Sedangkan prosa berusaha memberikan makna dengan penceritaan yang harus disesuaikan tema, tokoh, dan setting pula sehingga barangkali tak murni menggambarkan keadaan jiwa yang sebenarnya. Namun bagi yang berminat pada prosa justru berpikir berbeda. Seorang penyair haruslah memiliki sebuah gaya dan mereka merasa tak mampu menemukan gaya itu. Maka, beralihlah mereka ke jalur prosa.

Bagaimana mereka bisa bertahan hingga sedemiakan lama menjalani proses ini? Jawabnya karena mereka mempunyai kebutuhan. Salah satunya kebutuhan berbagi untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Atau karena memang suka mengarang hingga tak peduli apapun yang terjadi akan tetap mengarang. Tetapi rata-rata karena didesak ekonomi yang berarti mereka butuh uang. Dan uang tercipta ketika mereka makin produktif berkarya. Mereka yakin sebuah karya akan menemukan jalannya. Ditolak di satu redaksi, bukan berarti ditolak di redaksi lain pula. Karena sebuah karya sastra itu bersifat subjektif dan tidak teoritis sehingga setiap kemungkinan bisa terjadi. Itulah yang membuat mereka kuat dan terus mau mencoba meniti puncak kejayaannya.

Karena kesubjektifan itu pula, sebaiknya seorang pengarang percaya terhadap dirinya. Sebuah ciri khas akan muncul ketika percaya pada diri sendiri sehingga lahirlah gaya yang kita percayai itu. Sebuah tulisan yang baik tak perlu pula dicarikan pendapat semua orang karena orang satu belum tentu sama dengan orang lain. Itulah mengapa mereka berkata bahwa dunia tulis adalah dunia individualis, bukan dunia komunitas sehingga saling bergantung dan mendewakan seseorang.

Lalu bagaimana cara mereka bisa mengarang?

Karena puisi adalah suara alam bawah sadar, maka menantikan saat-saat puitis itu datang sendiri merupakan cara terbaik. Tetapi bukankah berarti ini sekedar moody? Bukan begitu, melainkan mereka terjun dengan sepenuh hati pada kehidupan mereka dan membiarkan hati dan pikiran terlibat di dalamnya sehingga memaksa hati untuk bicara. Mereka melatih jiwa mereka untuk mendapatkan kecerahan dan keheningan sehingga ilham itu timbul dan terwujud dalam sebuah sajak yang memancarkan keutuhan rasa.

Inspirasi itu bisa muncul dari mana saja. Dari cerpen orang, film, cerita orang, atau tingkah laku orang lain. Dan seorang pengarang harusnya bukan seseorang yang mudah puas dan tergesa-gesa untuk menerbitkan karyanya. Sebuah karya tetap harus diendapkan dan dibaca lagi dari sudut pandang pembaca. Bukan tak mungkin dalam proses pengeditan itu akan muncul sebuah jalan cerita baru yang dirasa lebih baik.

Yang terpenting dari proses panjang mengarang adalah tahan banting. Tahan banting melawan mood yang hilang timbu dan tahan banting menghadapi kritik yang bermunculan. Tokoh semahir mereka terkadang diterjang mood pula. Tetapi bukan berarti karya yang setengah jadi akan mati selamanya. Mereka tetap menyimpan dan bisa jadi satu bulan, satu tahun, bahkan beberapa tahun kemudian karya tersebut bisa dilanjutkan dan menjadi karya yang fenomenal.

Demikian juga dalam mengahdapi kritik. Seorang pengarang tak seharusnya lemah karena kritikan. Kembali lagi pada teori bahwa penilaian sebuah karya sangat subjektif, maka jadikan ini sebagai patokan dan justru mengubur kesempatan berkarya.

Seperti kata A.A. Navis, “Kalau kamu mau jadi pengarang yang berarti, lemparkan dulu rasa rendah diri.”

Selamat berproses kreatif!


No comments:

Post a Comment