Sesuai dengan judulnya, buku Proses Kreatif dengan editor Pamusuk Eneste memang memaparkan sebuah proses kreatif. Proses kreatif dari siapa? Dari mereka orang-orang yang dianggap sudah melanglang buana di jagad kesusastraan. Pada buku Proses Kreatif Jilid 2, ada 11 sastrawan yang menuturkan kisahnya mengenai mengapa dan bagaimana mereka mengarang. Di sini saya hanya menyarikan empat orang saja yaitu S. Takdir Alisjahbana, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, dan Trisnoyuwono.
Pada dasarnya dari keempat tokoh tersebut, saya mendapatkan
sebuah garis besar yang panjang yaitu proses mengarang adalah sebuah jalan yang
panjang, yang tidak serta merta dikuasai dalam tempo singkat dan tanpa
perjuangan. Setiap tokoh memiliki proses pencarian jati diri untuk mendapatkan cirri
khasnya, termasuk proses untuk menemukan jalur mana bagi mereka untuk berseni.
Intinya, mereka adalah orang seni yang akan terus mencari jalan untuk
menyalurkan kebutuhan seni. Mulai dari membuat roman picisan, hingga membuat
tema yang berbeda. Mulai dari menjajal menjadi pemusik, pelukis, dan akhirnya
penyair. Atau mulai dari peyair yang tak puas dan beralih ke cerpenis. Intinya,
semua mencari jalan untuk berkarya. Dan jalan itu ditempuh melalui proses
panjang yang tak boleh cepat berakhir hanya karena kemalasan.
Bagi yang berminat sajak, mereka beranggapan bahwa sajak
merupakan pencitraan dari alam bawah sadar yang murni tanpa ada manipulasi.
Sedangkan prosa berusaha memberikan makna dengan penceritaan yang harus
disesuaikan tema, tokoh, dan setting pula sehingga barangkali tak murni
menggambarkan keadaan jiwa yang sebenarnya. Namun bagi yang berminat pada prosa
justru berpikir berbeda. Seorang penyair haruslah memiliki sebuah gaya dan
mereka merasa tak mampu menemukan gaya itu. Maka, beralihlah mereka ke jalur
prosa.
Bagaimana mereka bisa bertahan hingga sedemiakan lama
menjalani proses ini? Jawabnya karena mereka mempunyai kebutuhan. Salah satunya
kebutuhan berbagi untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Atau karena memang
suka mengarang hingga tak peduli apapun yang terjadi akan tetap mengarang. Tetapi
rata-rata karena didesak ekonomi yang berarti mereka butuh uang. Dan uang
tercipta ketika mereka makin produktif berkarya. Mereka yakin sebuah karya akan
menemukan jalannya. Ditolak di satu redaksi, bukan berarti ditolak di redaksi
lain pula. Karena sebuah karya sastra itu bersifat subjektif dan tidak teoritis
sehingga setiap kemungkinan bisa terjadi. Itulah yang membuat mereka kuat dan
terus mau mencoba meniti puncak kejayaannya.
Karena kesubjektifan itu pula, sebaiknya seorang pengarang
percaya terhadap dirinya. Sebuah ciri khas akan muncul ketika percaya pada diri
sendiri sehingga lahirlah gaya yang kita percayai itu. Sebuah tulisan yang baik
tak perlu pula dicarikan pendapat semua orang karena orang satu belum tentu
sama dengan orang lain. Itulah mengapa mereka berkata bahwa dunia tulis adalah
dunia individualis, bukan dunia komunitas sehingga saling bergantung dan
mendewakan seseorang.
Lalu bagaimana cara mereka bisa mengarang?
Karena puisi adalah suara alam bawah sadar, maka menantikan
saat-saat puitis itu datang sendiri merupakan cara terbaik. Tetapi bukankah
berarti ini sekedar moody? Bukan begitu, melainkan mereka terjun dengan sepenuh
hati pada kehidupan mereka dan membiarkan hati dan pikiran terlibat di dalamnya
sehingga memaksa hati untuk bicara. Mereka melatih jiwa mereka untuk
mendapatkan kecerahan dan keheningan sehingga ilham itu timbul dan terwujud
dalam sebuah sajak yang memancarkan keutuhan rasa.
Inspirasi itu bisa muncul dari mana saja. Dari cerpen orang,
film, cerita orang, atau tingkah laku orang lain. Dan seorang pengarang harusnya bukan seseorang
yang mudah puas dan tergesa-gesa untuk menerbitkan karyanya. Sebuah karya tetap
harus diendapkan dan dibaca lagi dari sudut pandang pembaca. Bukan tak mungkin
dalam proses pengeditan itu akan muncul sebuah jalan cerita baru yang dirasa
lebih baik.
Yang terpenting dari proses panjang mengarang adalah tahan
banting. Tahan banting melawan mood yang hilang timbu dan tahan banting
menghadapi kritik yang bermunculan. Tokoh semahir mereka terkadang diterjang
mood pula. Tetapi bukan berarti karya yang setengah jadi akan mati selamanya.
Mereka tetap menyimpan dan bisa jadi satu bulan, satu tahun, bahkan beberapa
tahun kemudian karya tersebut bisa dilanjutkan dan menjadi karya yang
fenomenal.
Demikian juga dalam mengahdapi kritik. Seorang pengarang tak
seharusnya lemah karena kritikan. Kembali lagi pada teori bahwa penilaian
sebuah karya sangat subjektif, maka jadikan ini sebagai patokan dan justru
mengubur kesempatan berkarya.
Seperti kata A.A. Navis, “Kalau kamu mau jadi pengarang yang
berarti, lemparkan dulu rasa rendah diri.”
Selamat berproses kreatif!
No comments:
Post a Comment