Follow Us @soratemplates

Friday, 30 November 2012

Kekuatan Itu Bernama Wangsit

09:52 2 Comments
Suatu barang atau karya akan menjadi biasa-biasa saja atau sangat berharga tergantung dari idenya.

Saya mempercayai statement di atas dengan sepenuh hati. Semua barang yang ada di dunia ini akan terlihat mahal hanya karena keunikan idenya. Sebagai contoh, sama-sama membuat keripik singkong, tetapi ketika dibubuhi ide pengemasan yang menarik dan ide pemasaran yang spektakuler, maka akan menjadi mahal lah keripik singkong itu. Bagi saya, teori ini berlaku untuk semua hal. Tak hanya untuk barang dan jasa, tetapi juga untuk sebuah karya, termasuk karya tulis.

Dalam sebuah training kepenulisan, seorang pembicara bernama Yusuf Maulana mengatakan, “Tangkaplah ide seakan-akan itu adalah percikan dari langit”. Ya, kata-kata beliau itu benar adanya.

Banyak orang ketika akan menulis terbentur pada ide. Sesuatu yang dikeluhkan biasanya adalah sulit mencari atau menemukan ide. Padahal, ide tak pernah pergi ke mana-mana. Ide selalu ada bertebaran di mana saja. Lagi-lagi seperti yang dikatakan Pak Yusuf Maulana, tangkaplah ide, bukan carilah ide.

Mungkin mekanisme penemuan ide dengan cari mencari atau menangkap sekiranya hampir sama saja. Tapi, sesungguhnya jauh berbeda. Ketika kita mencari ide, maka kita fokus pada ide. Lantas kita berjalan-jalan ke sana kemari sambil pikiran kita fokus bertanya-tanya, di manakah gerangan ide bersembunyi saat ini. Tapi, ketika kita memakai konsep menangkap ide, maka yang kita fokuskan adalah sarana yang kita miliki. Kita akan berjalan-jalan dengan santai, jika sewaktu-waktu ada sesuatu yang menghampiri lantas kita tangkap. Jika itu bisa jadi ide, ambil. Jika tidak, lepas.

Dalam konteks yang kedua, rasanya perjuangan untuk mendapatkan ide itu terasa lebih ringan dan tanpa beban. Kita hanya perlu membuka mata seluas-luasnya, melapangkan pikiran kita, dan menajamkan hati kita untuk memilah, benarkah ini ide yang sedang kita nanti-nanti. Kita tak perlu sepaneng alias terbebani untuk mencari-cari ide itu sendiri.

Uniknya, ide yang datang dengan sendirinya itu sering kali adalah ide yang ampuh. Justru karena ia datang dengan tiba-tiba, ide itu seringkali tak terpikirkan oleh orang lain. Maka, wajar kiranya jika Pak Yusuf Maulana menyebut sebagai kilatan dari langit, sedangkan saya sendiri lebih suka memakai istilah wangsit.

Ya, ide yang tiba-tiba datang itu ibarat wangsit. Ketika kita tak terforsir untuk mencari, tiba-tiba ide itu datang sendiri. Dan karena ide itu yang datang menemui kita, maka saya punya anggapan bahwa memang ide itulah yang terbaik buat saya. Percaya tidak percaya, ternyata ide wangsit itu pulalah yang seringkali manjur melahirkan sebuah piala.

Barangkali karena memang datangnya dari langit, maka itu adalah karunia Allah SWT. Barangkali karena ide itulah yang menemui kita, maka ia akan benar-benar barokah untuk diri kita.

Jadi, untuk Anda yang ingin menjadi tangguh dengan rentetan karya yang berharga dan tidak hanya dianggap sebelah mata, perkaya saja ide Anda. Tentu bukan ide yang biasa-biasa saja, melainkan ide yang jatuh dari langit bak wangsit yang membuat prestasi Anda akan melejit. Insya Allah.


Friday, 9 November 2012

Pengingat Kematian

07:18 1 Comments

Dalam beberapa hari terakhir ini, beberapa teman saya mengingatkan saya tentang mati. Di luar kejadian wafatnya delegasi FULDFK di sebuah acara, secara khusus mereka membuat saya teringat akan hal ini. Perkara apa? Mimpi mati.

Kita tahu, mimpi buruk seharusnya tidak boleh dicerita-ceritakan. Sayangnya, mereka terlanjur bercerita pada saya, di tengah malam buta, di pagi-pagi dini hari.

Kisah bermula ketika di suatu hari saya terbangun dan tersadar bahwa pagi itu saya masih hidup. Jujur, jarang-jarang saya berpikir begitu. Saya tetap berbaring di tempat tidur dan berpikir, "Bagaimana jadinya seandainya pagi itu saya tidak bisa bangun?"

Saat itu saya sedang tidak kumat jahil dan usilnya. Bukan berpikiran betapa enaknya tidak usah memikirkan kerjaan, tugas, kuliah, dan lain-lain karena saya tidak bisa bangun, saya benar-benar memikirkan mati, plus memikirkan orang-orang terdekat saya jika saya mati. Tapi tetap saja karena saya tukang iseng, saya pun iseng bertanya pada teman dekat saya, "Kalau dalam waktu dekat ini aku mati bagaimana?"

Beberapa hari setelahnya, pagi-pagi sekali seorang teman menghubungi saya, "Kamu ga apa-apa?". Saya bingung karena jelas saya tidak apa-apa pagi itu. Lantas ia bercerita, dia mimpi buruk tentang saya dan takut saya ada apa-apa. Saya? Menenangkan dirinya, meski dalam hati teringat pula bahwa lagi-lagi pagi itu saya masih dibiarkan oleh-Nya untuk bernyawa.

Entah berapa hari setelah hari itu, seorang teman mengirimi saya SMS di tengah malam buta. Kenapa? Ia tak bisa tidur lagi dan takut karena dia bermimpi ibunya meninggal dunia. Saya? Lagi-lagi menenangkan. Dan lagi-lagi dalam hati saya berpikir, saya masih saja tetap hidup pagi itu.

Dan tadi pagi. HP yang hening tiba-tiba berdering. Seorang teman mengirimkan SMS khawatir dan 'menangis' karena juga bermimpi ibunya meninggal dunia. Saya? Lagi-lagi mencoba menenangkan dengan mengingatkan bahwa itu ulah syaithon yang nakal. Tak perlu diceritakan, tak perlu dikhawatirkan. Tapi, (dalam hati berkata) perlu untuk dijadikan pengingat.

Ya, kematian. Seringkali kita takut dengan kematian itu. Padahal sudah jelas, bukan kematian itu yang ditakutkan, tetapi bagaimana kehidupan setelah kematian. Dalam kasus-kasus mimpi teman-teman saya di atas, yang takut justru bukan orang yang akan mati, tapi orang lain yang khawatir menghadapi kenyataan bahwa akan ditinggal mati.

Kenapa begitu? Karena manusia adalah makhluk egois. Sekalipun ini perkara mati, manusia tetap saja berpikir egois. Coba bayangkan jika ada kejadian kematian lantas pihak keluarga menangis meraung-raung. Apa yang dikatakan? Ambillah contoh, ada yang berkata begini, "Bapak kenapa pergi.. Trus aku gimana?" atau "Gimana masa depanku tanpamu.." dan lain-lain. Bayangkan saja, betapa kekhawatiran dan kesedihan itu terkadang muncul karena keegoisan diri kita sendiri.

Tapi, keegoisan ini pun tak ada salahnya. Tentunya egois yang benar. Misalkan dengan mengetahui seseorang meninggal lalu kita egois berpikir, "Dia sudah tiada, bagaimana dengan diriku jika tiada nanti? Sudah cukupkah bekalku?"


Tetap saja pernyataan di atas adalah sebuah keegoisan, tapi setidaknya keegoisan yang ini adalah egois yang baik dan bisa berbuah sebuah perubahan. Akan lebih bagus lagi jika rasa khawatir itu berbuah dengan sebuah doa untuk yang meninggal juga. Bukankah setiap doa yang kita berikan untuk orang lain akan berbalik pada diri kita sendiri? Doakan saja bahwa yang meninggal saat itu memang orang yang sudah memiliki bekal cukup, hingga kita berharap pula bahwa kelak ketika kita meninggal pun sudah dalam keadaan memiliki bekal cukup. Insya Allah. Aamiin..

Curahan hati teman-teman saya di atas memang hanya pengingat sederhana, tapi masih lebih baik daripada tidak mengingat mati sedikit pun juga. Mari mengingat mati entah dengan cara apapun. Karena sebaik-baik pesan adalah pesan kematian.

Selamat mempersiapkan kematian, kawan..



Tuesday, 6 November 2012

Serius, Ini Bercanda

23:02 7 Comments
Kemarin, saya iseng menengok statistik blog saya. Ada sesuatu yang menggelitik di sana. Dari berbagai kata kunci mesin pencarian google yang mengarah ke blog saya, ada satu kata kunci yang menarik yaitu 'arti candaan pada wanita'. Saya tersenyum. Bukan apa-apa, kalau sampai ada seseorang yang mengetikkan kata kunci itu di google, bukankah perkara arti candaan memang sedemikian pentingnya?

Diakui atau tidak, candaan memang seringkali memberikan multitafsir. Orang yang diajak bercanda bisa mengartikan candaan itu bermacam-macam. Kadang, multitafsir ini yang menyebabkan masalah. Kita hanya bercanda, orang lain menanggapi serius. Misal kita hanya menggoda, orang lain sudah terlanjur salah tingkah dan melting dibuatnya. Kita hanya bergurau, orang lain sudah terlanjur panas dan emosi karenanya. Bisa jadi terjadi sebaliknya. Kita sedang membicarakan hal serius, tetapi orang lain menanggapinya dengan bercanda. Kita sedang bersungguh-sungguh, tetapi orang lain menganggapnya bahwa itu gurauan semata. Hm..., terlalu kompleks.

Berhubung memang kompleks, pantas kiranya Rasulullah SAW memberikan aturan dalam bercanda. Terlepas dari melihat situasi dan kondisi, sebuah candaan haruslah tidak memiliki unsur kebohongan. Bagaimanapun kita memang tidak boleh berbohong. Terlebih jika kita justru menggunakan kebohongan itu untuk candaan. Salah-salah candaan kita yang hanya bohong belaka itu dianggap serius oleh teman kita. Bisa dipastikan akan timbul masalah setelahnya.

Tentang candaan dan keseriusan, ada seorang teman yang berkomentar demikian, "Selalu ada keseriusan di balik sebuah candaan". Mendengar itu, saya bergidik. Bayangkan jika candaan kita adalah sebuah kebohongan, jangan-jangan kita pun serius untuk berbohong pula. Sekalipun kita hanya bercanda, bukankah dosa bohong tetap dianggap serius dan bukan bercanda? 

Terlebih lagi candaan bohong kita itu akan menjadi menyakitkan jika lawan bercanda kita menanggapi dengan serius. Misal kita bercanda dengan berbohong akan datang ke rumahnya. Sekalipun itu bercanda, teman kita akan mengira bahwa setidaknya tebersit ada keinginan kita untuk main ke rumahnya. Balik lagi seperti yang teman saya katakan bahwa ada keseriusan di balik sebuah candaan, teman kita bisa menilai ada sedikit keseriusan dari candaan kita itu. Mungkin saja dia berharap bahwa kita akan datang. Atau jangan-jangan dia sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan kita. Padahal kita hanya berbohong. Bukankah ini akan menyakitkan karena membuat teman kita sedikit berharap sekalipun itu hanya 1% saja dari 99% kadar candaannya.

Pun sebaliknya. Untuk mereka yang terlalu bebal dan tak pandang bulu ketika bercanda, kata-kata ada keseriusan di balik sebuah candaan bisa juga menjadi skakmat untuknya. Barangkali kita bisa menelaah lagi, jangan-jangan kita pun terbersit 1% saja keseriusan ketika melontarkan sebuah candaan. Putar kembali memori tentang gurauan, godaan, ejekan, hardikan, dan semacamnya. Bagaimana jika itu tebersit sedikit saja keseriusan? Bukankah itu berbahaya juga? Karena bisa jadi dalam hati kita ada keseriusan untuk mencari perhatian teman dengan godaan kita. Atau jangan-jangan dalam hati kita memang serius ingin mencela teman kita. Naudzubillah..

Lebih-lebih kita pun tidak dianjurkan untuk terlalu banyak bercanda. Secara tak sengaja pula, saya menemukan sebuah tweet yang mengatakan, "Jangan terlalu banyak bercanda karena akan membuat hati menjadi mati dan membuat orang lain tidak percaya lagi".

Terlalu ekstrem mungkin. Tapi kalau dipikirkan memang benar adanya. Bukankah Rasulullah SAW telah berkata bahwa terlalu banyak tertawa adalah tanda hati yang mati? Padahal dalam sebuah candaan yang biasa timbul adalah derai tawa. Tentu saja jika terlalu banyak bercanda, akan semakin banyak juga tawa yang tercipta. Salah-salah tawa itu bisa membuat hati menjadi keras dan akhirnya mati.

Dampak lainnya, orang menjadi tak percaya dengan kita karena seringnya kita bercanda. Mungkin image candaan membuat sisi serius kita pun diragukan hingga kadang orang menganggap bahwa apa yang kita katakan dengan serius adalah candaan semata. Nah, ini akan semakin merepotkan ketika kita terbiasa bercanda dengan sebuah kebohongan. Suatu ketika kita berkata jujur, bisa jadi kita dianggap hanya membual saja. Salah-salah ini justru akan menyakiti diri kita sendiri karena tidak dipercaya dan dianggap sebagai pembohong.

Yah, jika memang tidak ingin terlalu ribet seperti ini memang lebih baik mengurangi bercanda. Daripada multitafsir dan membuat sakit hati, lebih baik tidak bercanda seenak hati. Bukan berarti tidak boleh bercanda sama sekali, karena bercanda pun menjadi sebuah kebutuhan dalam hidup ini. Bahkan Rasulullah SAW pun orang yang suka bercanda. Tapi tentu saja candaan beliau adalah candaan yang jujur dan tidak menyakitkan hati.

Maka, hati-hati menjaga hati, baik itu hati sendiri atau hati orang lain. Jangan sampai candaan kita justru menjadi boomerang yang membuat kita risau dan sakit hati sendiri. Pun jangan sampai candaan kita menyakiti hati orang lain karena ditafsirkan salah dengan sebuah keseriusan.

Yup, karena selalu ada keseriusan dalam setiap candaan. Sekalipun itu dalam taraf minimal bahwa kita serius untuk bercanda pada saat itu. Jadikan keseriusan itu adalah keseriusan yang baik, dan bukan keseriusan yang menyakitkan dan membuat salah paham.



Monday, 5 November 2012

Tulisan Terakhir

21:14 0 Comments

Ada sebuah kisah tentang tulisan terakhir dari sebuah blog. Seseorang menuliskan tentang kematian dalam blognya dan beberapa hari setelahnya dia meninggal dunia. Tak ada yang tahu bahwa itu akan menjadi salah satu tulisan di hari terakhirnya ngeblog. Bahkan sang penulis pun tak tahu bahwa ia telah dipersiapkan untuk menuliskan kematian saat itu.

Meskipun penulis maupun pembaca tidak sama-sama tahu, yang pasti tulisan itu menginspirasi dan memberikan rasa haru. Lantas, saya mengintrospeksi diri saya sendiri. Jikalau saya mati nanti, apakah tulisan saya (atau lebih spesifiknya tulisan terakhir saya) akan menginspirasi dan membuat haru juga?

Rasanya, ini tak ada bedanya dengan kondisi khusnul atau su'ul khotimah. Selama hidup manusia bergant-ganti melalukan perbuatan yang baik dan yang buruk. Namun ketika di akhir, siapapun akan berharap agar diakhirkan dengan sebuah perbuatan atau kondisi yang baik.

Demikian juga dalam menulis. Semua orang bisa saja bergantian menuliskan sesuatu yang baik serta buruk. Namun ketika di akhir, pasti ia juga berharap agar bisa memberikan tulisan yang baik.

Masalahnya, tidak ada orang yang tahu kapan masa akhir itu. Bisa jadi, tulisan saya inipun adalah tulisan terakhir saya. Berhubung sama-sama tidak tahu, lantas bagaimana?

Sama saja dengan perintah untuk selalu berbuat baik agar siapa tahu ketika malaikat Izroil bertugas kita memang sedang melakukan hal yang baik. Maka demikian dalam tulisan. Selalu saja menuliskan tulisan yang baik agar jika itu menjadi tulisan terakhir, maka memang tulisan baik lah tulisan terakhir kita.

Sebenarnya memang sesimpel itu. Tapi seperti juga manusia yang sering tergelincir untuk berbuat dosa, tak ada bedanya dengan penulis yang kadang kala tergelincir untuk membuat tulisan sederhana, tak bermakna, bahkan tak berguna. Kalau manusia diperintahkan untuk bertaubat, istigfar, dan tidak mengulangi lagi perbuatannya, bagaimana dengan penulis blog? Sepertinya sama saja. Berusaha untuk semakin berhati-hati agar tidak membuat tulisan yang sia-sia dan bertaubat dengan menyortir tulisan yang sekiranya dianggap tidak berguna.

Haruskah dengan begitu? Tidak juga, toh tidak ada pakemnya. Tak ada perintah taubat tulisan. Yang ada adalah perintah untuk bertaubat bila melakukan kesalahan. Jikalau kesalahan itu dalam bentuk tulisan, bukankah berarti kembali ke pakem sebelumnya.

Jadi, taubati saja aktivitas menulis kita layaknya mentaubati perbuatan lainnya. Bukan semata-mata dengan melihat tulisan itu sendiri, tapi bagaimana melihat tulisan sebagai bagian aktivitas dalam kehidupan. Semoga saja kita benar-benar berakhir dalam keadaan khusnul khotimah, apapun dalam kehidupan kita termasuk tulisan kita.

Aamiin..

Sunday, 4 November 2012

Dangkal

20:14 9 Comments
Beberapa waktu lalu, ada seorang teman yang memberikan kritikan pada blog saya ini. Bukan sekedar mengkritik, malah mungkin mencaci. Dia berkata, "Tulisan blogmu sampah. Dangkal semua".

Waktu itu saya hanya diam saja. Saya pikir, biarlah karena itu perkara selera. Persis seperti ketika saya sangat menyukai gaya penulisan seorang penulis novel, tapi baginya membosankan. Atau seperti ketika dia menyukai gaya penulisan Kahlil Gibran padahal menurut saya itu terlalu muluk dan sedikit merumitkan. Ya, perkara beda selera saja.

Tapi, kata-katanya saya renungkan pula dan baru saat ini saya menyadarinya. Di tengah 'kemalasan' yang menjadikan saya seolah-olah punya banyak waktu luang, saya mengambil secara random tulisan-tulisan yang ada di blog ini. Dan saya menyadari sesuatu. Tulisan saya berubah.

Ya, tulisan saya ketika di awal menulis blog berbeda dengan tulisan saya sekarang. Ada fase awal blog, ada fase ketika rajin update blog, ada fase program 100 hari, ada fase vakum dan dipaksakan menulis, fase 30 hari ramadhan, dan terakhir fase pasca itu semua. Masing-masing berbeda, dan saya sebagai penulisnya yang kini duduk sebagai pembaca bisa merasakannya.

Seorang teman penulis berkata, tulisan orang tak selamanya bagus, pun tak selamanya buruk. Dalam semua tulisannya, akan ada suatu masa dimana dia begitu di puncak dan tulisannya disukai banyak orang. Sebaliknya, bisa jadi suatu ketika tulisannya begitu sampah dan dicela banyak orang. Dalam kasus saya, rasanya demikian juga.

Kalau saya melihat postingan saya di fase ramadhan maupun pasca itu, jelas sangat berbeda dengan postingan program 100 hari. Unsur rasa lebih banyak menyentuh di program 100 hari, sedangkan unsur ambisi dan 'melecehkan' lebih banyak ditemui di fase ramadhan. Dangkal? Bisa jadi. Saya sendiri mengakuinya begitu baru sekarang membacanya.

Benar kata seorang teman, untuk menjadi penulis yang hebat, lupakan tulisanmu. Lalu sekali waktu baca ulang tulisan-tulisan itu. Kau akan tahu bagaimana rasanya pembaca ketika membaca tulisanmu. Jika itu baik dan sesuai dengan harapanmu, kau bisa menganggap bahwa itu memang baik. Tapi jika dirimu sendiri merasa bahwa tulisan itu buruk, bagaimana pembacamu yang bahkan tak tahu tujuanmu menulis tidak akan berpikiran bahwa itu memang tulisan yang buruk?

Sekalipun teman itu menguatkan bahwa dalam perjalanan jatuh bangun menulis justru di situlah kau akan menemukan gaya menulismu, tapi saya tak ingin gaya menulis yang jatuh dan dangkal itulah yang akhirnya saya pertahankan. Apakah artinya saya harus mengubah gaya sekarang juga? Bukan demikian caranya, melainkan dengan terus menulis tanpa jeda sehingga kau akan merasakan dimanakah alur dan arus yang akan kau bawa. Apakah berarus deras atau sedang, akankah ia dalam atau dangkal. Sekiranya kau nyaman melakukannya, maka itulah Anda. Lalu lupakan dan endapkan. Lain waktu silakan dibaca ulang. Masih belum nyaman juga? Ulang saja treatment yang sudah dilakukan. So? Tak kan pernah ada waktu luang untuk berhenti, tak ada waktu sisa untuk mengevaluasi.


*Happy writing, happy blogging... :)


Especially for you

12:09 0 Comments

Pernah memiliki orang spesial? Ups, pertanyaan saya salah. Sudahkan merasakan bagaimana rasanya memiliki orang yang spesial? Menyenangkan kah?

Hm, saya rasa memiliki orang spesial pasti akan terasa sangat menyenangkan. Pernah suatu ketika saya mengakhiri presentasi dengan berkata "cause you're amazing just the way you are", lantas seorang teman berkata "orang amazing-lah yang bisa membuat orang lain di ruangan ini merasa amazing". Jika perkataan itu dibalik dalam hal ini, maka mungkin pernyataannya akan menjadi seperti ini "kita adalah orang yang spesial karena memiliki seseorang yang spesial". Maka, berbahagiakah Anda karena menyadari bahwa diri Anda spesial?

Saya rasa, semua orang pun akan merasa bahagia jika menyadari bahwa dirinya spesial. Masalahnya adalah ketika kita tak sadar bahwa kita memang orang yang spesial. Hm..., menyedihkan. Mungkin orang-orang seperti inilah yang setiap hari hanya bisa mengeluh dan lupa untuk bersyukur.

Karena memang terasa sangat menyedihkan, barangkali memang lebih baik jika kita membuat diri kita tahu bahwa kita spesial. Untuk orang yang mudah bermuhasabah, perkara ini mudah saja. Tapi bagaimana dengan orang yang memang bebal hatinya? Kembali ke statement di atas: memiliki orang spesial agar kita menjadi spesial.

Agaknya benar kata Tere Liye dalam novelnya, "adakah yang berani menyampaikan kepada ibunya sebuah kalimat 'aku mencintai ibu karena Allah'?" Memang hanya kalimat sederhana. Tapi kalimat itu menunjukkan bahwa sang ibu memang spesial di mata anaknya. Lantas apa? Sang anak pun akan menjadi spesial di mata ibunya. Dan selanjutnya? Sang anak akan menyadari bahwa dirinya spesial.

Maka, benar kiranya bahwa spesial itu haruslah sebuah bentuk pengungkapan. Tak melulu dengan kata-kata, boleh jadi dengan bentuk perhatian atau ketaatan. Selalu meminta ijin kepada ibu, memberikan perhatian-perhatian kecil pada adik, mendengarkan petuah ayah, bisa jadi merupakan bentuk pengungkapan rasa spesial itu.

Berlebihankah? Tidak. Karena semua orang ingin menjadi spesial. Terlepas bahwa setiap orang memang telah dilahirkan dengan spesial. Tapi, orang sering lupa akan itu. Maka, ingatkan. Buatlah orang-orang di sekitarmu merasa spesial. Dan nikmatilah bahwa sesungguhnya dirimulah yang spesial karena telah membuat mereka merasa spesial.


*Happy silaturrahim, happy ukhuwah.. :)






Friday, 2 November 2012

Berdua Tidak Lebih Baik (Ini Teh Susu, dkk)

10:52 0 Comments
Orang sering berkata, "berdua itu lebih baik". Saya tak sependapat. Baik atau tidaknya, tergantung dengan situasinya. Mengerjakan ujian misalnya, berdua alias mecontek berarti lebih baik? Hm.. Saya rasa tidak.

Nah, begitu juga dalam kasus ini. Teh susu alias milk tea, atau entah sebutan dengan bahasa lainnya, yang intinya untuk mendefinisikan teh dengan penambahan susu. Sudah pernah mencoba? Saya sedang 'menggilainya' akhir-akhir ini.

Siapa yang tidak tahu teh? Siapa yang tidak tahu susu? Teh begitu kaya dengan antioksidan, begitu terkenal untuk pengobatan ini itu, pencegah penuaan dini, bahkan pelangsing badan. Susu lebih-lebih lagi, sampai-sampai pemerintah 'lebay' dengan menjadikan susu sebagai makanan penyempurna dalam slogan jadulnya 4 sehat 5 sempurna.

Jika teh itu baik dan susu juga baik, apakah persatuan dari kedua kebaikan itu akan berbuah baik pula? Ternyata, tidak.

Kebaikan teh luntur karena kebaikan susu. Susu yang tinggi protein justru akan mengikat antioksidan dari teh. Artinya, tak ada lagi manfaat antioksidan ketika kita mengonsumsi teh susu. So, apa menariknya? Mungkin memang sekedar tepat seperti apa yang dibilang diiklan tersebut: menyegarkan...

Banyak kasus lain yang senasib dengan teh susu. Misalnya, mengonsumsi teh setelah makan daging. Sering kita jumpai orang makan di warung sate dan memilih minum teh. Padahal kandungan tanin dalam teh akan mengikat zat besi yang banyak terkandung dalam daging. So, sia-sia lagi kita mengonsumi daging. Lagi-lagi sekedar memberi efek mengenyangkan...

Artinya, berdua memang belum tentu lebih baik. Sekalipun masing-masing bagian yang akan menyatu itu sudah sama-sama baik. Karena setiap hal memang memiliki pasangannya masing-masing dan setiap hal akan benar-benar bermanfaat ketika memiliki pasangan yang tepat dengan situasi dan kondisi yang tepat.


PS: Kode untuk sabilbil. Terima kasih sudah mengingatkanku untuk mencari minuman yang lebih menyegarkan plus menyehatkan. :)