Follow Us @soratemplates

Sunday 4 November 2012

Dangkal

Beberapa waktu lalu, ada seorang teman yang memberikan kritikan pada blog saya ini. Bukan sekedar mengkritik, malah mungkin mencaci. Dia berkata, "Tulisan blogmu sampah. Dangkal semua".

Waktu itu saya hanya diam saja. Saya pikir, biarlah karena itu perkara selera. Persis seperti ketika saya sangat menyukai gaya penulisan seorang penulis novel, tapi baginya membosankan. Atau seperti ketika dia menyukai gaya penulisan Kahlil Gibran padahal menurut saya itu terlalu muluk dan sedikit merumitkan. Ya, perkara beda selera saja.

Tapi, kata-katanya saya renungkan pula dan baru saat ini saya menyadarinya. Di tengah 'kemalasan' yang menjadikan saya seolah-olah punya banyak waktu luang, saya mengambil secara random tulisan-tulisan yang ada di blog ini. Dan saya menyadari sesuatu. Tulisan saya berubah.

Ya, tulisan saya ketika di awal menulis blog berbeda dengan tulisan saya sekarang. Ada fase awal blog, ada fase ketika rajin update blog, ada fase program 100 hari, ada fase vakum dan dipaksakan menulis, fase 30 hari ramadhan, dan terakhir fase pasca itu semua. Masing-masing berbeda, dan saya sebagai penulisnya yang kini duduk sebagai pembaca bisa merasakannya.

Seorang teman penulis berkata, tulisan orang tak selamanya bagus, pun tak selamanya buruk. Dalam semua tulisannya, akan ada suatu masa dimana dia begitu di puncak dan tulisannya disukai banyak orang. Sebaliknya, bisa jadi suatu ketika tulisannya begitu sampah dan dicela banyak orang. Dalam kasus saya, rasanya demikian juga.

Kalau saya melihat postingan saya di fase ramadhan maupun pasca itu, jelas sangat berbeda dengan postingan program 100 hari. Unsur rasa lebih banyak menyentuh di program 100 hari, sedangkan unsur ambisi dan 'melecehkan' lebih banyak ditemui di fase ramadhan. Dangkal? Bisa jadi. Saya sendiri mengakuinya begitu baru sekarang membacanya.

Benar kata seorang teman, untuk menjadi penulis yang hebat, lupakan tulisanmu. Lalu sekali waktu baca ulang tulisan-tulisan itu. Kau akan tahu bagaimana rasanya pembaca ketika membaca tulisanmu. Jika itu baik dan sesuai dengan harapanmu, kau bisa menganggap bahwa itu memang baik. Tapi jika dirimu sendiri merasa bahwa tulisan itu buruk, bagaimana pembacamu yang bahkan tak tahu tujuanmu menulis tidak akan berpikiran bahwa itu memang tulisan yang buruk?

Sekalipun teman itu menguatkan bahwa dalam perjalanan jatuh bangun menulis justru di situlah kau akan menemukan gaya menulismu, tapi saya tak ingin gaya menulis yang jatuh dan dangkal itulah yang akhirnya saya pertahankan. Apakah artinya saya harus mengubah gaya sekarang juga? Bukan demikian caranya, melainkan dengan terus menulis tanpa jeda sehingga kau akan merasakan dimanakah alur dan arus yang akan kau bawa. Apakah berarus deras atau sedang, akankah ia dalam atau dangkal. Sekiranya kau nyaman melakukannya, maka itulah Anda. Lalu lupakan dan endapkan. Lain waktu silakan dibaca ulang. Masih belum nyaman juga? Ulang saja treatment yang sudah dilakukan. So? Tak kan pernah ada waktu luang untuk berhenti, tak ada waktu sisa untuk mengevaluasi.


*Happy writing, happy blogging... :)


9 comments:

  1. Eh. kok bisa ya mbak?
    maksduku aku kayaknya ketinggalan 20 tahun dari pemikiranmu, mbak. Bahkan aku ngerasa itu masalah selera.

    masalah sadar, atau tidak.

    ReplyDelete
  2. Eh, aku malah jadi bingung juga zah. Pemikiran apakah? Kan aku juga nganggap ini semula hanya karena selera.

    ReplyDelete
  3. hihihi aku tersindir juga avi :-D

    ReplyDelete
  4. Maaf erma, tidak bermaksud menyindir siapapun... :)

    ReplyDelete
  5. hihihi maksudnya tersindir tulisannya suka dibaca sendiri kog jadi aneh gitu ya :-D

    ReplyDelete
  6. Tulisan mbak bagus kok.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillahirabbil'alamin
    Terima kasih sudah membaca tulisan saya.

    ReplyDelete
  8. Bahkan Gibran pun juga nyampah dalam tiap-tiap prosanya.. Juga Iqbal, Rendra ataupun Rumi.

    Tapi bahkan dari sampahlah, para seniman membuat karya yang luar biasa indah.

    Namun,

    ReplyDelete
  9. Namun?
    Ya, karena sampah atau tidak tergantung orang yang memandangnya. Bagi pemulung, sampah adalah harta berharga, tapi bagi orang lain mungkin saja benar-benar sampah yang tidak ada artinya.

    ReplyDelete