Dalam beberapa hari terakhir ini, beberapa teman saya mengingatkan saya tentang mati. Di luar kejadian wafatnya delegasi FULDFK di sebuah acara, secara khusus mereka membuat saya teringat akan hal ini. Perkara apa? Mimpi mati.
Kita tahu, mimpi buruk seharusnya tidak boleh dicerita-ceritakan. Sayangnya, mereka terlanjur bercerita pada saya, di tengah malam buta, di pagi-pagi dini hari.
Kisah bermula ketika di suatu hari saya terbangun dan tersadar bahwa pagi itu saya masih hidup. Jujur, jarang-jarang saya berpikir begitu. Saya tetap berbaring di tempat tidur dan berpikir, "Bagaimana jadinya seandainya pagi itu saya tidak bisa bangun?"
Saat itu saya sedang tidak kumat jahil dan usilnya. Bukan berpikiran betapa enaknya tidak usah memikirkan kerjaan, tugas, kuliah, dan lain-lain karena saya tidak bisa bangun, saya benar-benar memikirkan mati, plus memikirkan orang-orang terdekat saya jika saya mati. Tapi tetap saja karena saya tukang iseng, saya pun iseng bertanya pada teman dekat saya, "Kalau dalam waktu dekat ini aku mati bagaimana?"
Beberapa hari setelahnya, pagi-pagi sekali seorang teman menghubungi saya, "Kamu ga apa-apa?". Saya bingung karena jelas saya tidak apa-apa pagi itu. Lantas ia bercerita, dia mimpi buruk tentang saya dan takut saya ada apa-apa. Saya? Menenangkan dirinya, meski dalam hati teringat pula bahwa lagi-lagi pagi itu saya masih dibiarkan oleh-Nya untuk bernyawa.
Entah berapa hari setelah hari itu, seorang teman mengirimi saya SMS di tengah malam buta. Kenapa? Ia tak bisa tidur lagi dan takut karena dia bermimpi ibunya meninggal dunia. Saya? Lagi-lagi menenangkan. Dan lagi-lagi dalam hati saya berpikir, saya masih saja tetap hidup pagi itu.
Dan tadi pagi. HP yang hening tiba-tiba berdering. Seorang teman mengirimkan SMS khawatir dan 'menangis' karena juga bermimpi ibunya meninggal dunia. Saya? Lagi-lagi mencoba menenangkan dengan mengingatkan bahwa itu ulah syaithon yang nakal. Tak perlu diceritakan, tak perlu dikhawatirkan. Tapi, (dalam hati berkata) perlu untuk dijadikan pengingat.
Ya, kematian. Seringkali kita takut dengan kematian itu. Padahal sudah jelas, bukan kematian itu yang ditakutkan, tetapi bagaimana kehidupan setelah kematian. Dalam kasus-kasus mimpi teman-teman saya di atas, yang takut justru bukan orang yang akan mati, tapi orang lain yang khawatir menghadapi kenyataan bahwa akan ditinggal mati.
Kenapa begitu? Karena manusia adalah makhluk egois. Sekalipun ini perkara mati, manusia tetap saja berpikir egois. Coba bayangkan jika ada kejadian kematian lantas pihak keluarga menangis meraung-raung. Apa yang dikatakan? Ambillah contoh, ada yang berkata begini, "Bapak kenapa pergi.. Trus aku gimana?" atau "Gimana masa depanku tanpamu.." dan lain-lain. Bayangkan saja, betapa kekhawatiran dan kesedihan itu terkadang muncul karena keegoisan diri kita sendiri.
Tapi, keegoisan ini pun tak ada salahnya. Tentunya egois yang benar. Misalkan dengan mengetahui seseorang meninggal lalu kita egois berpikir, "Dia sudah tiada, bagaimana dengan diriku jika tiada nanti? Sudah cukupkah bekalku?"
Tetap saja pernyataan di atas adalah sebuah keegoisan, tapi setidaknya keegoisan yang ini adalah egois yang baik dan bisa berbuah sebuah perubahan. Akan lebih bagus lagi jika rasa khawatir itu berbuah dengan sebuah doa untuk yang meninggal juga. Bukankah setiap doa yang kita berikan untuk orang lain akan berbalik pada diri kita sendiri? Doakan saja bahwa yang meninggal saat itu memang orang yang sudah memiliki bekal cukup, hingga kita berharap pula bahwa kelak ketika kita meninggal pun sudah dalam keadaan memiliki bekal cukup. Insya Allah. Aamiin..
Curahan hati teman-teman saya di atas memang hanya pengingat sederhana, tapi masih lebih baik daripada tidak mengingat mati sedikit pun juga. Mari mengingat mati entah dengan cara apapun. Karena sebaik-baik pesan adalah pesan kematian.
Selamat mempersiapkan kematian, kawan..
Sebuah pengingat yang indah.
ReplyDelete