Follow Us @soratemplates

Tuesday 26 February 2019

Harga Berapa?

Memangnya kamu akan lebih bahagia kalau pakai baju bermerk?

Sebuah pertanyaan kontemplasi yang kadang muncul buat orang-orang sempit hati. Iya, saya bilang sempit hati karena kalau hatinya lapang-lapang saja maka tidak akan ada pengaruhnya mau pakai merk apapun di badannya.

Mungkin semula ia sangat ceria memakai baju warna cerah secerah mentari pagi itu. Lalu segerombolan orang menelusuri timeline instagram dan menjerit "Wah ada diskon gamis ini lho, murah banget jadi 300 ribu." Dan barangkali ada yang menimpali, "Ah, merk itu kurang pas potongannya kalau di aku. Mending mahal sedikit, bisa jatuhnya pas di badan. Ga jauh beda kok, sekitar 400 ribulah." Lalu hanya gara-gara mendengar celoteh teman-temannya lantas dunianya yang cerah mendadak mendung sambil melirik bajunya, ini hanya 50 ribu, belinya juga di Pasar Baru.

Waktu berselang, banding-membandingkan harga masih berkelanjutan. Di suatu senja sesama rekan bercengkrama sambil membawa bocah-bocah kecilnya. "Anakmu sekolah di mana?"
Sebuah pertanyaan yang mungkin wajar, namun ternyata bisa muncul efek berbeda. 
"Anakku aku masukkan TKIT yang full day. Lumayanlah sampai rumah tinggal istirahat dia." Lalu ada yang menimpali, "Anakku di sekolah alam. Lebih terjangkau sih SPP-nya, tapi lebih bebas bisa main-main di alam." Dan ada yang mengeluh, "Iya, sekolah sekarang mahal banget ya. TK aja SPP sampai 500 ribu. Gimana kuliahnya ntar." Sedangkan sesosok yang tadi terdiam hanya menggumam, anakku di TK pertiwi yang SPP-nya cuma 30 ribu. Suatu fakta yang entah kenapa membuatnya malu.

Begitu saja berlangsung terus. Fase membandingkan ini tak akan ada habisnya. Bermula dari yang single seperti fashion yang berbeda misalnya. Lalu saat menikah saling membandingkan wah kamu pake MUA A, aku cuma pakai salon samping rumah. Wah, kamu lahiran di RS Internasional, aku cuma di tempat praktik bidan. Wah, anakmu punya seri buku bacaan jutaan rupiah, anakku cuma buku diskon 10 ribuan. Sampai mungkin nanti, wah mobilmu 1 milyar, mobilku 100 jutaan second pula.

Padahal, saat beli baju di Pasar Baru itu dia bahagia. Saat menikah dengan MUA samping rumah itu dia cantik mempesona. Saat melahirkan di bu bidan dia bersyukur luar biasa. Saat bisa membacakan cerita dengan buku diskonan dia menikmatinya. 

Namun tiba-tiba itu semua sirna dan merasa bahwa dirinya paling melarat sedunia hanya gara-gara tahu harga barang milik orang lain. Kalau seperti itu, tidakkah artinya dia berhati sempit? Semua kebahagiaanya lantas sirna hanya gara-gara harga. 

Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. Orang yang berlomba-lomba sekedar menambah rincian harga di notanya. Atau orang yang menunduk lesu sambil menyimpan rapat-rapat slipnya karena malu. Semoga syukur itu tetap ada dalam hati. Dan semoga dengan syukur itu hati tetap selalu lapang untuk bangga menjadi diri sendiri. Aamiin ....

No comments:

Post a Comment