Follow Us @soratemplates

Thursday, 17 June 2021

Teman Plus Plus

21:03 0 Comments

 



"Mas B survey sama tim nih?" tanya teman bisnis suami di sebuah acara zoom di malam hari. Waktu itu kami sedang melakukan perjalanan karena ada keperluan untuk eksekusi project baru. Padahal ada jadwal zoom rutin yang diikuti suami. Jadilah suami nyimak dan komen zoom sambil menyetir.


Dengan santai suami menjawab pertanyaan host zoom saat itu, "Iya ini sama tim mengarungi hidup." Saya pun menahan tawa.


Berhubung masih menunggu acara zoom dimulai, host pun melanjutkan pertanyaannya, "Gimana itu tim hidup bisa jadi tim bisnis?" Wah, pertanyaannya kok jadi serius begini, batin saya dalam hati. Suami pun menjawab, "Ya ada coaching khusus lah..." Kali ini saya beneran tertawa.


Saya teringat kejadian di hari pertama menikah dulu. Bada subuh, suami sudah berdiri memegang spidol dan menghadap papan tulis yang memang saya pasang di dinding kamar. Buat apa?  Di hari itu juga suami langsung mem-brain wash saya dan menyampaikan rencana-rencana bisnisnya. Saya hanya manggut-manggut menatapnya, menyimak dari atas tempat tidur. 


Apa yang disampaikan suami sedikit banyak mempengaruhi saya. Ya mau gimana, dia imam saya. Otomatis makmum harus mengikuti imamnya kan. 


Kadang kalau orang melihat kami, seperti sepasang suami istri yang seiring berjalan bersama. Sampai ada seorang teman yang berkomentar, "Kapan ya suamiku mau diajak ngembangin bisnis bareng, mau ikut kuliah bareng," dan seterusnya dan seterusnya. Padahal....


Lagi-lagi ini tentang sawang-sinawang. Saya pun pernah terbersit hal yang sama ketika melihat seorang senior suami istri hadir di acara parenting berdua. Lalu makin mupeng ketika ternyata beliau aktif membersamai sebuah komunitas ayah bunda. Tanpa saya sadar kalau ada orang lain yang menatap hal sama pada saya dan suami, meski di ranah yang berbeda.


Kalau menurut saya, ini hanya tentang mencari kesamaan passion yang serupa. Kami pun tidak selamanya berjalan seiring berdua. Suami yang hobi olahraga bela diri misalnya. Hanya sesekali saja saya hadir menemani latihan. Tapi selebihnya saya pilih di rumah dan suami latihan sampai berjam-jam. Pun begitu sikap suami. Saya yang suka menulis misalnya. Sepertinya bisa dihitung jari suami menemani saya di acara-acara literasi.


Tapi ya begitulah kehidupan. Kita tidak sedang memperbesar lembah kan. Meratakan lembah saja tidak dianjurkan apalagi makin memperbesarnya menjadi jurang.


Yang perlu dilakukan hanya meninggikan bukit. Fokus saja pada hal-hal yang menyenangkan. Lihat saja bahwa kami seiring berdua dalam wirausaha, meski sendiri-sendiri dalam menekuni hobi. Orang tak akan menilai, "Kok ga pernah hadir literasi ditemani suami?" Yang mereka lihat adalah kebahagiaan saat hadir berdua. So, tampakkan saja kebahagiaan itu dari diri kita.

Thursday, 10 June 2021

Hobi Belajar atau Hobi Jajan Kelas?

22:11 0 Comments



Beberapa waktu lalu saya posting tentang 'suka kompetisi'. Buat yang belum baca, boleh baca di tulisan berjudul Challenge Accepeted. Hehe ga penting juga sih. Ya siapa tahu aja pingin baca biar nyambung sama cuap-cuap saya kali ini.


Berhubung saya mau mengubah mind set untuk tidak berkompetisi menjatuhkan lawan, maka saya mulai kembali asyik menyelami diri sendiri. Yah semata-mata untuk mencari apa sih sebenarnya yang membuat mata saya berbinar? Alias, apa sebenarnya jalan yang bisa saya tempuh agar bisa lebih menikmati hidup dengan penuh warna.


Well, setelah merenungi serpihan-serpihan episode hidup, ternyata saya berbinar sekali ketika belajar. Weits? Ga salah baca nih?! Iya bener, ternyata saya suka belajar. Saya bahagia sekali ketika bisa join kelas ini kelas itu. Saya merasa tertantang sekali ketika ada ilmu baru dan ternyata ada sesuatu yang harus dikerjakan.


Tapi meski saya suka belajar, saya perlu berpikir dua kali untuk mendaftar di sebuah instansi. Yah maksudnya untuk menjadi seorang mahasiswa resmi. Alih-alih menyiapkan toefl atau surat rekomendasi, saya justru keranjingan ikut kelas online di sana-sini. Saking banyaknya, kadang dalam satu waktu saya mengikuti lebih dari satu kelas dalam durasi waktu yang bersamaan.


Cuma, beberapa waktu lalu saya tertohok oleh satu hal. Di era pandemi ini, orang zaman sekarang lebih gampang jajan kelas daripada jajan makanan. Eh, gimana maksudnya? Iya, tahu dong kalau akhir-akhir ini kelas online begitu merajalela. Nah saking banyaknya itu, kadang orang pingin ikut kelas A, kelas B, dan seterusnya. Biasanya sih yang punya aura-aura FOMO alias fear of missing out. Dia ngrasa takut ketinggalan kalau ga ikut kelasnya sekarang.


Then, mendaftarlah dia dan join kelasnya. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Ternyata dia cuma numpang lewat. Dia cuma numpang daftar, trus numpang di kelas, trus tahu-tahu kelas berakhir. Kok gitu? Iya saking ga sempat karena sibuk ini itu. Jadi yang penting masuk dulu, dapet materi dulu, belajarnya nanti aja lagi. Yakin?


Nyatanya, mereka yang ngaku ntar saya pelajari sendiri ternyata ga dipelajari juga. Ups, itu sih saya kayaknya. Buktinya apa? Contoh aja nih, materi dalam bentuk pdf atau ebook kayaknya udah ngumpul banyak banget di hp. Tapi mau dikurangi kok belum dibaca. Nah itu sama juga tuh kayak syndrom sejak zaman kuliah. Yang penting ikutan fotocopy dulu, belajarnya belakangan. Yang penting ikut beli buku dulu, belajarnya nanti aja kalau mau ujian.


Duh, kalau gini sih berarti mentalnya yang perlu diperbaiki. Biar belajarnya memang murni haus akan ilmu, bukan sekedar euforia takut ketinggalan materi.


Yah semoga masih ada waktu. At least semoga niat menuntut ilmunya dicatat sebagai satu amalan kebaikan oleh Allah SWT. Aamiin

Tuesday, 8 June 2021

SR? No!

23:17 0 Comments



Ada yang tahu istilah SR? Hm..., SR apa dulu nih. Belum-belum kok udah main say no aja.


Di kalangan medis khususnya selama bekerja di klinik perusahaan ada istilah SR buat para pegawai yang sakit. Kalau ga salah maksudnya surat rehat. Sepertinya sih gitu, saya juga ga nanya soalnya haha. Yang jelas para karyawan yang sakit itu dikit-dikit sering minta SR. Dan yaaa ternyata tanpa sadar saya berkata juga, "SR? No!" Hehe bukan apa-apa sih, karena bagaimanapun klinik punya standar kesehatana ala ketenagakerjaan. Kalau dikit-dikit memberi izin pulang karena sakit padahal masih dianggap aman ya jelas mempengaruhi produktivitas pabrik. Well ternyata SR No pun berlaku di sini.


Tapi bukan SR itu yang saya maksud. SR di sini adalah kependekan dari silent reader. Tahu dong fenomena ini di setiap whatsapp grup yang memang sudah menjamur. Orang-orang tipe ini seakan antara ada dan tiada. Mau dia di grup itu atau dia keluar dari grup pun ga berpengaruh apa-apa pada jalannya grup. Fyuh, so sad.


Beberapa waktu lalu saat mengikuti salah satu program di Ibu Profesional, saya baru menyadari ternyata urusan SR itu ga bisa dianggap dengan sekedar masa bodoh aja. "Ya udah lah biarin aja SR", buat orang muka badak kayak saya sih ga bakal dianggap pusing. Tapi, buat manajemen atau orang yang bertanggung jawab dengan program di grup itu rasanya akan amat sangat gatal. Duh ini mau diapain lagi grupnya, diajak begini sunyi, ditawarin begitu sepi. Kan jadi sedih sendiri.


Ketika akhirnya kami ditantang untuk mengatasi perkara per-SR-an ini, ternyata saya tertohok sendiri. Lhah saya kan juga bukan orang yang selalu bikin kehebohan di semua grup whatsapp yang saya punya. Memang di grup tertentu saya ramai luar biasa, tapi di grup lain ada juga yang bahkan sejak masuk belum pernah unjuk nama. Bisa kelihatan kan kalau di anggota grup tidak tertampil nama profil wa-nya haha.


Lalu seperti biasa saya asyik berkontemplasi sendiri. Kenapa ya untuk tipikal kepribadian yang sama bisa-bisanya saya memberi perlakuan yang berbeda pada grup whatsapp itu? Setelah saya renungi, sepertinya saya kurang aktif di beberapa grup karena tidak merasa memiliki. Rasa asing atau sungkan itu muncul karena seakan belum satu frekuensi dengan orang-orang di dalamnya.


Tapi setelah dipikir lagi, bagaimana bisa membaur dan merasa sefrekuensi kalau kita sendiri cuma diam-diam saja. Kalau mau ikut dalam asyiknya arus yang mengalir, jangan cuma berdiri menonton di tepi dan berharap arus akan menyeret dengan sendirinya. Tapi ceburkan saja diri kita ke dalam arus, maka kita akan ikut berenang mengikuti arus.


So, membaurlah dengan grup yang kamu miliki. Bukan karena mereka sok asyik lalu kamu tak dianggap. Tapi karena kamu sendiri yang tak mau menggabungkan diri. Jadi, apakah tetap akan menjadi tim SR? No!

Saturday, 5 June 2021

Masih Mau Nulis? Kenapa?

20:57 0 Comments



Menulis menulis menulis. Oh, no! Bahasan ini hits lagi di beberapa hari terakhir episode hidupku.


Ngikutin obrolan di wag KLIP jadi bikin merem melek sendiri. Ada hawa-hawa tak diundang yang tiba-tiba menelusup di kalbu. Rasanya sudah hampir-hampir insecure. Tapi buru-buru menarik diri. No! Aku punya jalan sendiri, dan saatnya melakukan JOMO alias joy of missing out.


Awalnya ngomongin tentang orang yang bisa kelar nulis buku atau novel dalam sebulan. Masya Allah keren banget kan. Tapi ya gimana kalau habis itu trus jadi vacuum cleaner alias vakum bin super bersih ga ada karya yang ditorehkan lagi. Ya tetap keren sih dengan pencapaian bukunya, cuma jadi ga keren paripurna gitu lho karena macet dan mogok seketika.


Lalu mulai ngomongin duit. Aih, ternyata yang punya pengalaman menjelajah media tuh banyak juga. Ada yang bisa dapat cuan belasan juta dari naskahnya. Ada yang sekali kirim media langsung publish hari itu juga. Ada yang berkali-kali lolos di media yang sama. Aih, bikin mupeng kan? Iya sih bener, tapi kalau cuma mupeng doang trus jadi bikin insecure ya buat apa.


Ditambah lagi kebetulan juga nengok sosial media. Eh, lihat teman makin bersinar dengan kiprah menulis di sebuah media bonafide di Indonesia. Mupeng lagi? Yah, wajar lah namanya juga manusia. Tapi apakah iri? Ga juga sih. Gampangnya gini, kalau posisi itu diberikan padaku, apakah aku juga akan mau dan mampu? Hm, ternyata dengan logika dan hati kecilku, aku langsung bisa menjawab tidak. So, biarkan peran itu keren untuk dirinya yang belum tentu keren untuk diriku.


Lalu teman yang lain memposting karya baru antologinya. Mupeng lagi? Ga juga lah kali ini. Toh, bukankah aku juga beberapa waktu lalu membuat naskah antologi dan ternyata rasanya cuma gitu-gitu aja. Lagi-lagi aku balik bertanya pada diri sendiri, apa aku mau di posisi itu? Mupeng punya karya baru tentu iya, tapi kalau untuk berada di posisinya sepertinya aku akan sontak menjawab, "Tidak, terima kasih, lain kali saja."


Pun bahasan kemarin tentang orang-orang yang hits dengan naskah fiksinya lewat platform menulis online. Mupeng lagi? Duh, hidupku ya mupeng mulu. Iya sih gimana ga happy kalau karyanya tenar dan dibaca banyak orang. But, lagi-lagi apakah aku akan tertarik untuk mencoba? Sepertinya sebelum memulai pun aku sudah melambaikan bendera ke kamera.


Yup, semua orang punya jalannya masing-masing. Sama-sama penulis fiksi, ada yang menulis di aplikasi nulis, ada yang berwujud karya cetak hingga berjilid-jilid. Sama-sama penulis nonfiksi, ada yang bisa kirim naskah ke media, ada yang jadi buku hits di kalangan pembaca. Sama-sama blogger, ada yang dapat cuan dari tulisannya, ada yang hepi sekedar bisa mengalirkan rasa.


Ah, semua punya jalannya sendiri. Mupeng dengan jalan orang lain boleh saja, tapi bahagia dengan jalan pilihan kita jauh lebih utama. Dan itulah alasan terpendamku kenapa aku masih mau menulis: bahagia!

Thursday, 3 June 2021

Hurry Up, Tim Anti Deadline

22:26 0 Comments



Ada yang tahu jatah waktu kita? Ups, pertanyaan retoris. Memang tidak butuh jawaban sih. Saya bertanya hanya karena sedang berandai-andai saja.


Kadang manusia meremehkan sesuatu karena merasa masih punya waktu. Hm, apalagi untuk tim deadliner macam saya begini. Ketika tahu bahwa deadline masih beberapa hari lagi, lantas merasa "Oh, besok masih bisa mengerjakan". Kadang baru terasa ketika batas waktu itu sudah sampai di penghujungnya. Satu per satu seolah dikebut untuk bisa dicapai semuanya. Parahnya kadang ujung-ujungnya menyalahkan waktu. Kok sedikit sih waktunya, dan sebagainya. Padahal sebenarnya sudah disediakan waktu sejak beberapa saat sebelumnya.


Taruhlah contoh pembayaran pajak tahunan. Zaman belum serba online begini, kantor pajak kelihatan sekali kalau menjadi tolok ukur mental manusia Indonesia yang menjadi deadline. Di bulan Februari misalnya, kantor pajak seolah beraktivitas seperti biasa. Tapi begitu memasuki bulan Maret apalagi di minggu terakhir, pengunjung begitu padat mendatangi kantor. Lantas karena terlalu banyak pengunjung berdampak pada antrian yang melebihi jam kerja. Ujung-ujungnya protes minta tambahan waktu. Padahal, salah sendiri baru datang dan antri di hari terakhir. Kenapa tidak datang di bulan sebelumnya?


Lalu saya merenungi hal itu. Sepertinya masih untung para wajib pajak itu tahu batas waktu kapan pengiriman SPT. Nah gimana kalau zakat? Untuk kasus yang hampir sama, bukankah zakat juga seolah melaporkan keuangan dan mengeluarkan haknya di setiap tahun juga?


Okelah kita tahu batas waktunya adalah haul. Hanya saja, tak ada deadline untuk pembayarannya. Begitu sudah masuk nishab dan haul, maka sudah wajib membayar zakat. Tapi mau dilakukan di hari itu atau seminggu kemudian, kembali lagi ke personnya itu.


Sayangnya, kita tidak tahu kapan batas waktu itu. Ketika ditunda dengan dalih "Ah, minggu depan saja, minggu ini repot sekali banyak meeting dan keluar kota". Hm, gimana kalau seandainya saat di luar kota itu jatah waktunya sudah habis. Dia tidak bisa meminta perpanjangan waktu. Lalu dia pergi meninggalkan dunia dalam kondisi tidak membayar zakat yang seharusnya sudah bisa dibayarkan sejak beberapa saat sebelumnya.


Tak perlu muluk-muluk tentang zakat lah, bahkan urusan sepele tentang menyegerakan sholat pun bisa berlaku hukum begini. Misal kita sudah mendengar adzan pukul 12.00 lalu kita belum sholat, dan qodarullah kita mendadak tiba-tiba harus menghadap Allah di pukul 13.00, bagaimana dengan hutang sholat kita?


Saya sedang merenungkan saja makna bersegeralah. Bukan berarti kita tergesa-gesa yang seolah tak tenang dan serabutan. Tapi ini bagaimana kita tidak menyiakan waktu untuk sesuatu yang berharga. Semoga dengan segala yang di awal waktu itu akan menjadi keberkahan tersendiri bagi kita. Aamiin

Wednesday, 2 June 2021

Pencapaian Diri, Sudah Sampai Mana Saat Ini?

03:47 0 Comments

 


Ada yang mengusik saya beberapa waktu ini. Bukan orang, bukan benda, atau apapun, melainkan tentang pencapaian diri. Awalnya karena menonton sebuah sharing dari seorang teman. Dia bisa hebat dan tampak begitu kuat. Pun pagi buta ini saya membuka sharing lainnya dan tampaklah sosok memukau berikutnya. MasyaAllah.


Rasanya saya sudah khatam tentang pepatah rumput tetangga akan selalu tampak lebih hijau daripada rumput sendiri. Syukur Alhamdulillah, saya tidak sedang iri pada mereka. No, tidak sama sekali. Saya paham betul bahwa itu memang rumput mereka, dan jelas-jelas rumputnya tak akan indah jika ditanam di rumah saya. Pun saya sadar pula bahwa saya juga punya rumput sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah rumput saya sudah tumbuh baik layaknya rumput mereka?


Saat menyimak kisah teman, ada statement menarik di sana. "Saya menjejakkan KM 0 saya 14 tahun yang lalu." Jalannya tak mudah. Bahkan sepuluh tahun pertama seperti jalan santai saja. Namun karena berada di tempat yang tepat, dia pun menghebat di empat tahun terakhir.


Begitu pula dengan teman yang satunya. Dia juga tak menyangka akan berada di pencapaiannya saat ini. Awalnya hanya sekedar menekuni hobi, sharing, dan ternyata tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, lantas tanpa sadar berdampak begitu saja. Semula pun hanya jalan di tempat setahun lamanya, sampai akhirnya melejit karena lagi-lagi menemukan tempat yang tepat.


Lalu saya merenung, bagaimana dengan saya? Apa pencapaian saya? Atau apakah sebenarnya yang ingin saya capai?


Dari dua obrolan kawan saya tersebut ada dua poin yang saya garis bawahi. Pertama tentang memulai titik nol. Semua keahlian pasti dimulai dengan langkah awal. Saya bahkan pernah menuliskannya di blog ini saat masih kuliah dulu bahwa semua yang mahir bermula dari amatir. Tak ada anak yang tahu-tahu bisa berjalan, tak ada musisi yang saat memegang alat langsung bisa menghasilkan melodi.


Semua berangkat dari titik nol. Tinggal bagaimana titik nol ini dikembangkan hingga menjadi pencapaian tersendiri. Artinya di sini butuh konsistensi, karena jika tidak konsisten bagaimana mungkin kita bisa segera mencapai kilometer tertentu yang akan kita tuju. Contoh, bagaimana mungkin seseorang akan dikatakan penghafal alquran kalau dia hanya hafalan seminggu sekali. Bagaimana bisa dia akan hafal 30 juz kalau hanya ziyadah dan murojaah setahun sekali saat Ramadhan? It's impossible.


Poin kedua setelah menentukan titik nol dan konsisten on track sesuai tujuan adalah dengan menemukan tempat yang tepat. Boleh jadi perjalanan kita mencapai tujuan akan terasa jauh dan membosankan. Maka teman-teman seperjalanan yang seritme akan memberi warna yang membahagiakan. Bahkan boleh jadi teman-teman ini akan saling 'memberikan boncengan' hingga tanpa sadar kita sampa di tujuan lebih cepat dari prediksi semula.


Ya, dua poin itu yang saya renungi pagi ini. Ada di kilometer berapa saya saat ini dan dengan siapa saya akan melangkah bersama?



Tuesday, 1 June 2021

Challenge Accepted

18:46 0 Comments




Beberapa tahun lalu saat harus memperkenalkan diri di sebuah komunitas, tanpa sadar saya menuliskan "suka berkompetisi" sejak kecil. Awalnya saya mengira itu adalah hal keren. Yah, siapa sih yang ga merasa wah dengan segudang prestasi sejak dini. Lihat saja mamak-mamak millennial zaman sekarang. Anaknya pasti pernah mencicipi lomba ini lomba itu, entah karena si anak suka atau tuntutan sekolah, atau jangan-jangan karena orang tua yang berambisi. Ups.


Namun beberapa waktu berselang, saya justru tertohok dengan kata-kata "Sekarang bukan zamannya kompetisi, tapi kolaborasi". Terlebih lagi ketika dalam perkuliahan parenting dibahas bahwa kompetisi sejak dini justru membawa mental yang tak baik. 


Anak kecil tak paham apa itu menang dan kalah. Ketika menang dia hanya memburu hadiah, lalu lagi lagi dan lagi hingga seolah mengejar nafsu yang tak ada habisnya. Dalam otaknya adalah bagaimana dia menang dan bagaimana yang lain kalah. Ya memang begitu adanya, karena jika orang lain tidak kalah artinya dia bukan pemenang. Rasanya seperti ada hawa kebencian yang saling merendahkan di sana. 


Beda halnya dengan kolaborasi, orang akan menghebat bersama. Dia akan mengakui kelebihan orang lain, makanya mereka saling bekerja sama. Katanya orang lemah yang bergabung dengan orang lemah bisa menjadi orang yang kuat. Konsep di sini berlaku juga di kolaborasi. Tak akan ada pihak yang kalah, karena sesama 'calon kalah' akan saling bekerja sama sehingga kemenangan menjadi milik semuanya.


Tapi, sepertinya hidup akan membosankan jika tak ada kompetisi. Ah, mungkin alam bawah sadar saya memang menunjukkan bahwa saya suka kompetisi. Atau mungkin saya terbawa film 3 idiots yang mengatakan bahwa hidup sejatinya adalah kompetisi. Bahkan bukankah pepatah Islam juga mengatakan agar kita saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Lalu, benarkah memang kita harus berkompetisi, atau tak perlu kompetisi dan memang pure saling berkolaborasi?


Baru-baru ini saya menyadari bahwa kompetisi mungkin memang masih perlu, tapi bukan untuk menjatuhkan lawan. Kita seharusnya berkompetisi tapi dengan diri kita sendiri. Lawan kita adalah diri kita sendiri di masa lalu. Bukankah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini? Artinya, pembanding itu akan tetap ada. Dan pembanding itulah barometer kompetisi diri sendiri.


So, saya berkata pada setiap tantangan yang datang "Challenge accepted". Semata-mata untuk memenuhi nafsu kompetisi saya, bukan untuk menjatuhkan lawan tapi untuk menjadi versi terbaru diri saya yang lebih baik lagi dan lebih baik lagi.