Bus Langsung Jaya jurusan Jogja-Solo masih saja menaikkan penumpang. Kenek dan sopirnya seakan menutup mata dengan kondisi penumpang yang sudah mirip ikan lele yang megap-megap di ember penjual ikan. Berdesakan dan berebut udara yang keluar masuk lewat celah jendela yang tak terbuka semua. Hampir setengah perjalanan aku berdiri. Untung saja saat itu belum penuh sesak seperti ini. Setidaknya tadi aku masih dapat berdiri tegak dan leluasa memasang kuda-kuda untuk menangkis serangan mendadak injakan kaki sopir di atas rem.
Beberapa kali bus berhenti, namun agaknya tak cukup memberi dampak yang berarti. Tetap penuh, sesak. Di ujung jalan, bus kembali berhenti. Seorang penghuni baru yang agaknya tak terlalu diharapkan mencoba menerobos kerumunan. Ia berhenti dua kursi di depan kursi tempatku merebahkan diri. Dengan sebuah senjata, dia mulai beradu melawan deru suara mesin, melantunkan sebuah lagu.
Tak ada yang special, dalam arti tidak spektakuler hingga membuat semua penumpang terpukau dan mengarahkan pandang padanya, pun tidak hancur lebur yang justru membuat penumpang pun menoleh padanya dengan pandangan berharap untuk diam saja. Dia yang seorang diri hanyalah menambah populasi bus ini, pun menambah runyam perkara kurasa. Ibarat lele di ember dengan tangan penjual yang berkecipak di permukaan air atau mengetuk-ketuk dinding ember berharap dagangannya laris. Laris, namun para lele semakin resah. Sungguh pemandangan yang bagiku tak layak dikatakan pemandangan.
Aku mencoba memalingkan mata ke arah jendela. Sayangnya pandanganku terhalang oleh seorang ibu muda yang terlihat manis dengan kerudungnya. Tak enak rasanya jika berebut zona pandang di jendela yang hanya sepetak itu. Aku pun menggiring pandanganku ke sisi seberang dan terlihatlah pengamen itu. Sosoknya tua paruh baya, tidak kurus kering mengenaskan, namun tidak pula gemuk ibarat bos besar. Dengan topi pet dan kaos oblong putih yang sudah tidak putih benar, dia melantunkan lagu lama. Seketika aku terhenyak melihat wajah pengamen itu.
Wajahnya menyiratkan sebuah keletihan yang sangat. Wajar, jarum jam di tanganku menunjukkan pukul 5 sore. Jika bapak pengamen itu sudah keluar rumah sejak pagi tadi, tentunya kelelahan menjadi hal yang biasa. Namun dibalik keletihan itu, aku menemukan suatu gurat wajah yang lain. Kesabaran. Ya, itu yang kutemukan di wajah letih itu.
Pikiranku yang sering mengembara tak tentu arah entah mengapa justru membayangkan hal yang aneh-aneh. Sudah tidak terdengar lagu bapak pengamen itu melantunkan lagu apa. Pikiranku melayang ke sesosok manusia yang wajahnya ingin kujumpai. Bapak, ya, bapakku. Entah pikiran ngawur ini mengapa membawaku pada bapak, tapi terbayang di pelupuk mata ini ketika bapak pulang malam dan wajahnya pun menyiratkan kelelahan yang sabar. Sungguh…, aku merasakan betapa bapak dan bapak pengamen ini telah melakukan sebuah perjuangan yang besar untuk keluarganya.
Pikiranku kembali mengada-ada, menciptakan sebuah skenario yang dramatis dalam angan-anganku sendiri. Aku membayangkan bapak pengamen ini pergi ke luar rumah pagi-pagi benar dengan diiringi tatapan penuh harap keluarganya akan beberapa keping uang logam atau selembar uang untuk mengisi perut mereka esok hari. Dan bapak pengamen itu bekerja dengan caranya, mengamen dengan penuh kesabaran, berusaha ikhlas menerima berapapun uang yang akan ia terima dalam pengembaraannya menjelajahi bus demi bus.
Ketika nyanyian terhenti, bapak pengamen itu mengulurkan tangannya. Satu hal lagi yang kusuka dari bapak pengamen itu yang belum tentu kudapatkan pada semua pengamen yang kebetulan aku jumpai di bus. Wajahnya ikhlas menerima uluran derma pun ketika penumpang hanya melambaikan tangan karena tak ingin memberi. Saat melewati himpitan penumpang di lorong bus, bibirnya tak lupa berkata “amit..amit..(permisi..permisi…)”. Kurasa ini sebuah penghormatan yang bisa ia berikan pada penumpang, agar ia tidak dikira kurang ajar ikut berdesakan dan menghimpit mereka meminta jalan.
Satu lagi, saat tangan penumpang mengulurkan sedikit rupiah padanya, dia tersenyum. Sungguh tersenyum yang menyiratkan sebuah syukur. Tak lupa tentunya dengan ucapan “matur nuwun…(terima kasih)”. Kurasa ini sebuah syukur yang ia panjatkan pada Allah, pun pada orang yang telah rela memberinya derma.
Tak peduli apakah mengamen itu sebuah kerja, atau akan digunakan untuk apa uang yang ia terima, aku belajar sesuatu dari bapak pengamen itu. Belajar tentang sebuah kerja keras walau lelah disertai dengan kesabaran. Dan belajar tentang rasa syukur teriring ucapan terima kasih dengan rasa ikhlas atas rizki apapun yang diterima.
belajar kehidupan dari seorang "musisi jalanan" ya?
ReplyDeleteorang-orang seperti itu memang guru kehidupan terbaik menurut saya.
karena mereka lebih merasakan manis pahitnya kehidupan, sehingga apa yang mereka sampaikan, apa yang mereka siratkan terkadang sangat membekas di dalam benak kita.
hmmmmh...perlu banyak belajar dari orang-orang biasa tapi sebenarnya luar biasa..
ReplyDeletenice story..
ikan lele??haha..shiph2
waiting for the others..
iya nita...
ReplyDeletemembuka mata, membuka hati pada lingkungan sekitar...
kisah yang bagus.
ReplyDeletebenar-benar guru kehidupan.
ya, orang-orang kecil yang justru punya pembelajaran yang besar..
ReplyDeleteguru kehidupan...