Hm, saya bisa ‘dibunuh’ teman saya kalau saya membuat
pernyataan itu. Beberapa waktu lalu saya sering mengompor-ngompori teman saya
untuk menulis. Kata saya, “menulis itu gampang, apa susahnya menulis. Tinggal
ambil bolpoin, tulis. Buka laptop, ketik. Jadi.”
Oke, dari segi teknis memang semudah itu. Tapi proses untuk
menulis itu bukan sesuatu hal yang semudah itu. Terkadang muncul kendala yang
tak terduga.
Mulai dari sarana. Banyak yang mengeluh tak bisa menulis
karena tak ada sarana. Mungkin belum ada computer atau laptop, tapi bukan
berarti tak punya bolpoin dan kertas kan. Kalau menyerah, ya bisa saja dianggap
susah. Tapi kalau memang niat menulis, tak akan ada halangan. Tumpukan kertas
pun jadi.
Lalu, ide. Hm, perkara ide seprtinya sudah berkali-kali saya
jadikan bahan PSH. Intinya, tangkap saja semuanya. Tapi ini juga tak semudah
kedengarannya. Barangkali saat suntuk, hati tak mudah mencerna kehidupan untuk
menjadi sebuah ide. Ketika pikiran penat, tak mudah mengolah kata menjadi tulisan
yang nikmat. Ya, ada saja kondisi psikis kita yang mungkin membuat kita tak
segampang itu menjaring ide yang bertebaran di muka bumi.
Ini berkaitan dengan perkara mood. Tak sedikit teman-teman
yang mengeluh tidak punya mood. Rasanya malas untuk nulis. Ujung-ujungnya hanya
buang-buang waktu. Dan barangkali karena tidak produktif itu lantas lain hari
justru makin malas untuk meluangkan waktu. Takut waktunya terbuang sia-sia
lagi. Kalau sudah begini, kapan mau nulisnya?
Belum lagi kalau sudah berani mengirim ke media atau
berbagai media. Karya yang tak kunjung dimuat, karya yang tak juga
menang-menang lomba, rasanya menambah daftar buruk kalau menulis itu perkara
susah. Ujung-ujungnya bosan berharap, dan malas untuk menerima ketidakenakan
serupa. Maka berhentilah menulis.
Yah, menulis memang tidak semudah mengambil bolpoin dan
menggoreskannya di kertas. Dulu saya menganggapnya, aktifitas itu adalah
menulis. Tapi setelah saya pertimbangkan, rasanya itu lebih pantas dikatakan
sebagai mencoret-coret. Ya, mencoret-coret itu gampang. Tapi mengubahnya
menjadi tulsian, mungkin butuh perjuangan.
Jadi benar kiranya kalau menulis itu sulit. Kalimat ini
sebenarnya saya dapatkan dari seorang penulis beberapa waktu yang lalu. Penulis
itu menceritakan bahwa dia memiliki sebuah komunitas. Di komunitas itu, hampir
500 orang yang mendaftar sebagai anggota. Tapi, menghilang semua. Hanya
hitungan jari yang benar-benar bisa menjadi penulis, dilihat dari eksistensinya
maupun karyanya dalam bentuk buku.
Dari data itu saja kita sudah bisa mengiyakan kalau menulis
itu adalah perkara susah. Jangan harap karena bergabung dalam komunitas menulis
lantas bisa dikatakan sebagai penulis. Seorang penulis dikatakan penulis ketika
ada tulisan. Dan menciptakan sebuah tulisan itulah yang membutuhkan perjuangan.
Mungkin benar adanya, bahwa seorang penulis itu akan
mengalami seleksi alam. Penulis yang tak tahan menghadapai susahnya menulis,
akan memilih mundur dan berhenti. Tapi penulis yang mau merasakan susahnya
menulis, tak akan pernah berhenti. Dan karena tidak berhenti menulis itulah,
suatu waktu ia akan mengatakan bahwa menulis itu mudah.
Ya, menulis itu sulit. Tapi menulis itu mudah kalau kita mau
menghadapi yang sulit. Karena tak ada kesulitan, tanpa ada kemudahan.
Keep writing!