Perasaan orang yang dipoligami bisa bermacam-macam. Pertama
adalah pasrah, seakan menerima apa adanya tanpa mau ambil pusing untuk
mengurusnya. Kedua, mendukung bahkan saling berbagi satu sama lain dengan
istrinya. Ketiga, menghindar dan dalam hati menolak. Termasuk pula perasaan
orang yang akan dijadikan istri kesekian. Ada yang menerima dengan lapang dada,
ada pula yang menerima dengan terpaksa. Semua warna-warni rasa itu terangkum
manis dalam film karya Nia Dinata tersebut.
Film (yang mana saya membaca bukunya) terbagi dalam tiga
babak. Babak pertama bercerita tentang seorang dokter yang pasrah dipoligami
oleh suaminya yang seorang ustadz. Dokter itu tak mau ambil pusing, bahkan rasa
cintanya pada suami berubah menjadi rasa kasihan semata.
Babak kedua bercerita tentang seorang wanita yang berharap
disekolahkan oleh pamannya. Tetapi akhirnya justru dinikahi sebagai istri
ketiga. Wanita ini dalam hati menolak, hingga akhirnya diceritakan melarikan diri
meninggalkan sang suami.
Babak ketiga bercerita tentang seorang gadis yang dinikahi
oleh majikannya. Wanita itu menerima dengan senang hati karena mendapat
fasilitas lengkap dari majikannya. Tetapi pada akhirnya cinta itu kandas karena
sang suami dilarang oleh istrinya.
Semua perasaan itu mewakili kemungkinan perasaan dari semua
wanita. Tak ada sedikit pun statement yang memberikan pendapat Nia Dinata
mengenai poligami. Semua hanya sebuah paparan dan semua dikembalikan lagi
kepada penonton atau pembaca untuk menilai bagaimanakan perasaan jika
dipoligami.
Terlepas dari isu poligami itu sendiri, saya lebih mengamati
tentang bagaimana penulisan skenario. Ada satu kelebihan penulisan skenario
yang saya tangkap jika dibandingkan penulisan cerpen atau novel biasa.
Kelebihan itu adalah pendeskripsian yang sangat jelas.
Sebagai contoh, dalam mendeskripsikan ruangan di skenario
dijelaskan bagian apa yang dilihat dan kamera mulai diarahkan dari sudut mana.
Hanya dengan membaca skenarionya saja, saya sudah bisa membayangkan bagaimana
adegan sebenarnya.
Dari sini saya belajar mengenai pendeskripsian. Dalam
menulis cerpen atau novel pun seorang penulis harus bisa memberikan detail
dengan jelas. Dengan begitu, pembaca seakan-akan dapat melihat sendiri atau
bahkan ikut merasa di dalam cerita. Apabila hal ini terjadi, maka cerita pun
akan lebih mudah untuk dicerna dan mudah diterima juga.
Dari buku ini saya belajar banyak hal. Belajar mengenal
sudut pandang lain mengenai poligami. Dan belajar menuliskan sebauh kisah
dengan nyata, senyata menulis sebuah adegan film.
No comments:
Post a Comment