Follow Us @soratemplates

Wednesday, 14 March 2012

Berbagi Suami

Bagi para istri atau calon istri, bagaimanakah rasanya jika kelak harus berbagi suami? Perasaan bergolak pastinya akan muncul. Rasa itulah yang dibidik oleh Nia Dinata dalam filmnya yang berjudul Berbagi Suami. Saya memang tidak melihat filmnya, tetapi saya berkesempatan untuk membaca buku skenarionya.

Perasaan orang yang dipoligami bisa bermacam-macam. Pertama adalah pasrah, seakan menerima apa adanya tanpa mau ambil pusing untuk mengurusnya. Kedua, mendukung bahkan saling berbagi satu sama lain dengan istrinya. Ketiga, menghindar dan dalam hati menolak. Termasuk pula perasaan orang yang akan dijadikan istri kesekian. Ada yang menerima dengan lapang dada, ada pula yang menerima dengan terpaksa. Semua warna-warni rasa itu terangkum manis dalam film karya Nia Dinata tersebut.

Film (yang mana saya membaca bukunya) terbagi dalam tiga babak. Babak pertama bercerita tentang seorang dokter yang pasrah dipoligami oleh suaminya yang seorang ustadz. Dokter itu tak mau ambil pusing, bahkan rasa cintanya pada suami berubah menjadi rasa kasihan semata.

Babak kedua bercerita tentang seorang wanita yang berharap disekolahkan oleh pamannya. Tetapi akhirnya justru dinikahi sebagai istri ketiga. Wanita ini dalam hati menolak, hingga akhirnya diceritakan melarikan diri meninggalkan sang suami.

Babak ketiga bercerita tentang seorang gadis yang dinikahi oleh majikannya. Wanita itu menerima dengan senang hati karena mendapat fasilitas lengkap dari majikannya. Tetapi pada akhirnya cinta itu kandas karena sang suami dilarang oleh istrinya.

Semua perasaan itu mewakili kemungkinan perasaan dari semua wanita. Tak ada sedikit pun statement yang memberikan pendapat Nia Dinata mengenai poligami. Semua hanya sebuah paparan dan semua dikembalikan lagi kepada penonton atau pembaca untuk menilai bagaimanakan perasaan jika dipoligami.

Terlepas dari isu poligami itu sendiri, saya lebih mengamati tentang bagaimana penulisan skenario. Ada satu kelebihan penulisan skenario yang saya tangkap jika dibandingkan penulisan cerpen atau novel biasa. Kelebihan itu adalah pendeskripsian yang sangat jelas.

Sebagai contoh, dalam mendeskripsikan ruangan di skenario dijelaskan bagian apa yang dilihat dan kamera mulai diarahkan dari sudut mana. Hanya dengan membaca skenarionya saja, saya sudah bisa membayangkan bagaimana adegan sebenarnya.

Dari sini saya belajar mengenai pendeskripsian. Dalam menulis cerpen atau novel pun seorang penulis harus bisa memberikan detail dengan jelas. Dengan begitu, pembaca seakan-akan dapat melihat sendiri atau bahkan ikut merasa di dalam cerita. Apabila hal ini terjadi, maka cerita pun akan lebih mudah untuk dicerna dan mudah diterima juga.

Dari buku ini saya belajar banyak hal. Belajar mengenal sudut pandang lain mengenai poligami. Dan belajar menuliskan sebauh kisah dengan nyata, senyata menulis sebuah adegan film.

No comments:

Post a Comment