Diam itu emas.
Rasanya banyak orang yang sudah kenal dengan pepatah itu. Dan sepertinya, semua
orang juga tahu betapa bernilainya sebatang emas. Harganya selangit dan
investasinya pun sangat menjanjikan. Hampir semua orang suka emas. Tetapi, jika
memang emas begitu berharga dan banyak disukai, mengapa orang tidak mau meraih
keemasan dari sebuah sikap diam? Bukankah diam itu emas?
Barangkali orang
beranggapan bahwa pepatah diam itu emas hanya berlaku untuk saat-saat yang
sulit. Misalnya ketika harus memberikan jawaban atas pertanyaan yang tidak bisa
kita jawab. Barangkali karena terlalu banyak risiko jika kita menjawab, maka
kita menganggap bahwa dalam posisi itu diam adalah sebuah emas. Tetapi jika
dicermati lebih jauh, diam dikatakan sebagai emas karena memiliki nilai yang
jauh dari sikap menghindar seperti itu.
Saya masih ingat
waktu saya masih duduk di bangku sekolah menengah dulu. Setiap jam istirahat
pertama, saya selalu mengunjungi perpustakaan sekolah. Bukan hal yang aneh jika
di perpustakaan didengung-dengungkan perintah untuk diam. Tetapi, berhubung ini
adalah perpustakaan sekolah, maka dapat dibayangkan bagaimana riuhnya.
Waktu itu saya
hanya mengobrol saja dengan guru saya yang mendapat amanah untuk menjaga
perpustakaan. Berhubung saya juga ceriwis, guru saya itu mengajak diskusi
tentang topik bicara dan diam. Guru saya berkata, “Coba bayangkan jika setiap
orang itu dituliskan setiap apa yang diucapkan. Berapa banyak buku yang harus
disiapkan?”
Saya hanya diam
karena tak sanggup membayangkan. Guru saya pun melanjutkan, “Padahal setiap apa
yang kita ucapkan akan dicatat oleh malaikat. Berarti catatan kita banyak
sekali ya? Bagaimana nanti mempertanggungjawabkannya?”
Saya lagi-lagi
hanya diam. Guru saya pun melanjutkan, “Padahal Rasululllah SAW itu ucapannya
dikumpulkan sebagai hadits. Dan hadits Rasulullah SAW pasti tidak sebanyak apa
yang kita ucapkan mulai dari lahir sampai sekarang. Ucapan Rasulullah SAW pun
adalah ucapan yang bermanfaat dan dijadikan dasar oleh seluruh umat manusia. Kita
dengan ucapan yang lebih banyak, apa sebanyak itu juga manfaatnya?”
Dan saya
benar-benar cuma bisa diam.
Ada yang menarik
di sini. Saya menggarisbawahi dua hal dari kalimat di atas. Pertama, betapa
banyak apa yang kita ucapkan. Dan kedua, apakah sudah bermanfaat apa yang telah
kita ucapakan itu.
Ya, orang begitu
suka bicara. Terlebih lagi, ada yang lebih suka bicara daripada menulis.
Padahal bicara hanyalah mengeluarkan udara yang kemudian menguap dan tak
berbekas. Hanya beberapa persen saja yang membekas karena sudah masuk telinga
kanan, tanpa keluar telinga kiri. Tetapi tak ada jaminan juga berapa lama
pembicaraan itu akan membekas di otak maupun hati.
Ini masih dari
segi kuantitas bicaranya saja, belum jika kita memikirkan kualitas bicaranya.
Apakah semua pembicaraan yang kita lakukan sudah memberikan manfaat?
Terkadang orang
berbicara untuk sesuatu hal yang tak penting. Suatu obrolan yang seharusnya tak
dibutuhkan, tetapi tetap saja dilakukan. Ada sesuatu yang cukup menarik
perhatian, komentarnya begitu panjang dan tidak ketulungan. Misalkan melihat
sesuatu yang menakjubkan, perhiasan, atau semacamnya. Tak cukup sebuah kata
pujian, tetapi harus diikuti dengan rentetan paragraf selanjutnya. Padahal,
bukankah ada satu kata simpel untuk menunjukkan sebuah kekaguman? Dengan
mengucapkan subhanallah. Ya, cukup satu kata itu. Tak perlu banyak kata dan
justru membuahkan pahala.
Dari sisi isinya
pun kadang tidak memberikan manfaat. Bahkan, tak jarang justru memberikan
banyak kerugian. Misalkan melihat sesuatu yang unik, lantas berkomentar. Kalau
itu hal yang buruk, bukan tidak mungkin satu kata yang keluar pun adalah kata
yang buruk. Cacian atau ejekan misalnya. Lagi-lagi terkadang tak cukup dengan
satu kata. Ada rentetan kalimat berikutnya yang semuanya menjelek-jelekkan
keadaan tersebut. Jika diteruskan, bukankah ini akan berujung pada ghibah?
Banyak orang
menganggap bahwa ketika seseorang bisa bicara banyak, artinya dia memiliki
kapabilitas. Oke, memang ada benarnya. Orang tak akan mungkin bicara sesuatu
hal jika tidak punya ilmu terhadap hal tersebut. Tetapi jika ternyata sesuatu
hal itu adalah sebuah keburukan, apakah perlu diberitahukan juga? Apakah kita
akan menjadi orang yang mumpuni dan cakap berbicara dalam hal keburukan?
Maka, bicara
yang baik atau diam. Pikir dulu perkataan kita, sebelum itu terucap. Karena
setiap kata yang keluar dari mulut akan segera menguap. Tak kan mungkin
kembali, dan jangan sampai disesali.
No comments:
Post a Comment