Follow Us @soratemplates

Sunday, 11 March 2012

Diam, Pilih-pilih Kata

Diam itu emas. Rasanya banyak orang yang sudah kenal dengan pepatah itu. Dan sepertinya, semua orang juga tahu betapa bernilainya sebatang emas. Harganya selangit dan investasinya pun sangat menjanjikan. Hampir semua orang suka emas. Tetapi, jika memang emas begitu berharga dan banyak disukai, mengapa orang tidak mau meraih keemasan dari sebuah sikap diam? Bukankah diam itu emas?
Barangkali orang beranggapan bahwa pepatah diam itu emas hanya berlaku untuk saat-saat yang sulit. Misalnya ketika harus memberikan jawaban atas pertanyaan yang tidak bisa kita jawab. Barangkali karena terlalu banyak risiko jika kita menjawab, maka kita menganggap bahwa dalam posisi itu diam adalah sebuah emas. Tetapi jika dicermati lebih jauh, diam dikatakan sebagai emas karena memiliki nilai yang jauh dari sikap menghindar seperti itu.
Saya masih ingat waktu saya masih duduk di bangku sekolah menengah dulu. Setiap jam istirahat pertama, saya selalu mengunjungi perpustakaan sekolah. Bukan hal yang aneh jika di perpustakaan didengung-dengungkan perintah untuk diam. Tetapi, berhubung ini adalah perpustakaan sekolah, maka dapat dibayangkan bagaimana riuhnya.
Waktu itu saya hanya mengobrol saja dengan guru saya yang mendapat amanah untuk menjaga perpustakaan. Berhubung saya juga ceriwis, guru saya itu mengajak diskusi tentang topik bicara dan diam. Guru saya berkata, “Coba bayangkan jika setiap orang itu dituliskan setiap apa yang diucapkan. Berapa banyak buku yang harus disiapkan?”
Saya hanya diam karena tak sanggup membayangkan. Guru saya pun melanjutkan, “Padahal setiap apa yang kita ucapkan akan dicatat oleh malaikat. Berarti catatan kita banyak sekali ya? Bagaimana nanti mempertanggungjawabkannya?”
Saya lagi-lagi hanya diam. Guru saya pun melanjutkan, “Padahal Rasululllah SAW itu ucapannya dikumpulkan sebagai hadits. Dan hadits Rasulullah SAW pasti tidak sebanyak apa yang kita ucapkan mulai dari lahir sampai sekarang. Ucapan Rasulullah SAW pun adalah ucapan yang bermanfaat dan dijadikan dasar oleh seluruh umat manusia. Kita dengan ucapan yang lebih banyak, apa sebanyak itu juga manfaatnya?”
Dan saya benar-benar cuma bisa diam.
Ada yang menarik di sini. Saya menggarisbawahi dua hal dari kalimat di atas. Pertama, betapa banyak apa yang kita ucapkan. Dan kedua, apakah sudah bermanfaat apa yang telah kita ucapakan itu.
Ya, orang begitu suka bicara. Terlebih lagi, ada yang lebih suka bicara daripada menulis. Padahal bicara hanyalah mengeluarkan udara yang kemudian menguap dan tak berbekas. Hanya beberapa persen saja yang membekas karena sudah masuk telinga kanan, tanpa keluar telinga kiri. Tetapi tak ada jaminan juga berapa lama pembicaraan itu akan membekas di otak maupun hati.
Ini masih dari segi kuantitas bicaranya saja, belum jika kita memikirkan kualitas bicaranya. Apakah semua pembicaraan yang kita lakukan sudah memberikan manfaat?
Terkadang orang berbicara untuk sesuatu hal yang tak penting. Suatu obrolan yang seharusnya tak dibutuhkan, tetapi tetap saja dilakukan. Ada sesuatu yang cukup menarik perhatian, komentarnya begitu panjang dan tidak ketulungan. Misalkan melihat sesuatu yang menakjubkan, perhiasan, atau semacamnya. Tak cukup sebuah kata pujian, tetapi harus diikuti dengan rentetan paragraf selanjutnya. Padahal, bukankah ada satu kata simpel untuk menunjukkan sebuah kekaguman? Dengan mengucapkan subhanallah. Ya, cukup satu kata itu. Tak perlu banyak kata dan justru membuahkan pahala.
Dari sisi isinya pun kadang tidak memberikan manfaat. Bahkan, tak jarang justru memberikan banyak kerugian. Misalkan melihat sesuatu yang unik, lantas berkomentar. Kalau itu hal yang buruk, bukan tidak mungkin satu kata yang keluar pun adalah kata yang buruk. Cacian atau ejekan misalnya. Lagi-lagi terkadang tak cukup dengan satu kata. Ada rentetan kalimat berikutnya yang semuanya menjelek-jelekkan keadaan tersebut. Jika diteruskan, bukankah ini akan berujung pada ghibah?
Banyak orang menganggap bahwa ketika seseorang bisa bicara banyak, artinya dia memiliki kapabilitas. Oke, memang ada benarnya. Orang tak akan mungkin bicara sesuatu hal jika tidak punya ilmu terhadap hal tersebut. Tetapi jika ternyata sesuatu hal itu adalah sebuah keburukan, apakah perlu diberitahukan juga? Apakah kita akan menjadi orang yang mumpuni dan cakap berbicara dalam hal keburukan?
Maka, bicara yang baik atau diam. Pikir dulu perkataan kita, sebelum itu terucap. Karena setiap kata yang keluar dari mulut akan segera menguap. Tak kan mungkin kembali, dan jangan sampai disesali.  

No comments:

Post a Comment