Memiliki anak yang
shalih adalah dambaan setiap orang tua. Untuk mewujudkannya, orang tua memiliki
cara yang berbeda-beda. Ada orang tua yang berharap anaknya akan menjadi shalih
dengan memberikan banyak aturan. Ada pula yang mengharapkan anaknya menjadi shalih
apabila diberikan banyak dorongan dan kebebasan.
Setiap pola didik akan
memberikan dampak tersendiri. Adanya pola didik yang berbeda-beda dalam sebuah
keluarga akan menghasilkan karakter anak yang berbeda-beda pula. Seperti dalam
sebuah hadits, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua
orang tuanya yang menjadikan anaknya beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari). Dalam
hadits ini ditunjukkan bahwa bagaimana kepribadian anak di masa
yang akan datang sangat bergantung pada apa yang diajarkan oleh orang tua..
Untuk itu Rasulullah
SAW bersabda, “Perhatikanlah anak-anakmu,
dan didiklah mereka dengan baik.” (HR. Ibnu Majah). Setiap orang tua memang
diperintahkan untuk mendidik anak-anaknya. Mendidik yang dimaksud dalam hadits
ini bukanlah asal mendidik sesuka hati saja, melainkan sebuah pola didik yang
baik.
Lebih lanjut Rasulullah
SAW memberi petunjuk dalam sabdanya, “Barangsiapa
mempunyai anak kecil, hendaklah ia perlakukan secara proposional.” (HR.
Ibnu Askair). Orang tua diharapkan dapat bertindak sesuai dengan porsinya dan
tidak berlebih-lebihan ketika menghadapi seorang anak.
Dalam kitab Tarikh Al-Yaqubi, Imam Muhammad Baqir
mengatakan, “Ayah yang paling buruk adalah ayah yang berlebihan dalam
menyayangi anaknya karena perbuatan baik yang ia lakukan.”
Namun bukan berarti lantas orang tua sama sekali tidak menghargai apa
yang telah dilakukan anaknya. Seperti dalam hadits ke-6 Kitab Al-Kafi
dituliskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah merahmati orang yang
membantu anaknya untuk taat kepadanya, menghargai pekerjaannya meskipun
sedikit, memaafkan kesalahannya, tidak memaksakannya untuk melakukan pekerjaan
di luar kemampuannya, dan tidak menganggapnya bodoh.”
Hadits di atas secara jelas menyebutkan bahwa Allah SWT merahmati
orang tua yang menghargai anaknya dan tidak menganggapnya bodoh. Salah satu
bentuk perilaku mengamalkan hal tersebut adalah dengan melibatkan anak ketika
mengambil keputusan dalam keluarga.
Tindakan tersebut telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s.
Ketika beliau bermimpi mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk menyembelih
Nabi Ismail a.s, beliau menyempatkan diri untuk meminta pendapat Ismail.
Mendidik secara proporsional juga memiliki arti
tetap memberikan sanksi apabila anak melakukan kesalahan. Sanksi diberikan
sebagai salah satu bentuk pola didik untuk mengajarkan anak agar berubah dari
tindakan buruk. Pemberian sanksi secara wajar juga dilakukan oleh Rasulullah
SAW.
Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi ra, ia berkata:“Ibu saya
pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau
saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau
menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah’”
(HR. Ibnu Sunni).
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah
SAW memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang
anak-anak. Meskipun masih anak-anak, beliau tidak membiarkan seorang anak lari
dari tanggung jawab amanah yang telah diberikan. Dalam menghukum pun, beliau tidak
melakukannya secara berlebihan.
Pola didik yang diterapkan dalam keluarga bukan
hanya berkaitan dengan urusan duniawi saja. Hal ini diterapkan pula dalam
urusan akhiratnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Sesungguhnya Allah
membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan
akhiratnya.”(Shahih Jami’ Ash Shaghir).
Dalam perkara akhirat, orang tua harus bertindak
tegas ketika mendidik anak untuk urusan sholat. Rasulullah SAW bersabda,“Perintahkanlah
anak-anak untuk mendirikan sholat ketika dia berumur tujuh tahun. Dan ketika
dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau dia meninggalkan
sholat.” (HR. Abu Daud).
Hadits tersebut mengajarkan pula sikap proporsional
menghadapi anak. Ketika anak berusia tujuh tahun, kita masih boleh memberikan
toleransi apabila dia tidak mengerjakan sholat. Namun ketika sudah menginjak
sepuluh tahun, maka sudah sepantasnya kita bertindak tegas jika anak tetap
meninggalkan sholat.
Dengan pola didik yang proporsional antara
pemberian kasih sayang dan ketegasan, maka akan terbentuk kepribadian anak yang
shalih, yang bukan hanya berakhlak baik dalam hal duniawai, namun juga baik
dalam urusan akhirat.
No comments:
Post a Comment