Follow Us @soratemplates

Monday 26 March 2012

Proporsional Mendidik Anak Shalih

(dimuat di Majalah Embun LAZiS Jawa Tengah edisi Februari 2012)

Memiliki anak yang shalih adalah dambaan setiap orang tua. Untuk mewujudkannya, orang tua memiliki cara yang berbeda-beda. Ada orang tua yang berharap anaknya akan menjadi shalih dengan memberikan banyak aturan. Ada pula yang mengharapkan anaknya menjadi shalih apabila diberikan banyak dorongan dan kebebasan.
Setiap pola didik akan memberikan dampak tersendiri. Adanya pola didik yang berbeda-beda dalam sebuah keluarga akan menghasilkan karakter anak yang berbeda-beda pula. Seperti dalam sebuah hadits, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikan anaknya beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari). Dalam hadits ini ditunjukkan bahwa bagaimana kepribadian anak di masa yang akan datang sangat bergantung pada apa yang diajarkan oleh orang tua..
Untuk itu Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikanlah anak-anakmu, dan didiklah mereka dengan baik.” (HR. Ibnu Majah). Setiap orang tua memang diperintahkan untuk mendidik anak-anaknya. Mendidik yang dimaksud dalam hadits ini bukanlah asal mendidik sesuka hati saja, melainkan sebuah pola didik yang baik.
Lebih lanjut Rasulullah SAW memberi petunjuk dalam sabdanya, “Barangsiapa mempunyai anak kecil, hendaklah ia perlakukan secara proposional.” (HR. Ibnu Askair). Orang tua diharapkan dapat bertindak sesuai dengan porsinya dan tidak berlebih-lebihan ketika menghadapi seorang anak.
 Dalam kitab Tarikh Al-Yaqubi, Imam Muhammad Baqir mengatakan, “Ayah yang paling buruk adalah ayah yang berlebihan dalam menyayangi anaknya karena perbuatan baik yang ia lakukan.”
Namun bukan berarti lantas orang tua sama sekali tidak menghargai apa yang telah dilakukan anaknya. Seperti dalam hadits ke-6 Kitab Al-Kafi dituliskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah merahmati orang yang membantu anaknya untuk taat kepadanya, menghargai pekerjaannya meskipun sedikit, memaafkan kesalahannya, tidak memaksakannya untuk melakukan pekerjaan di luar kemampuannya, dan tidak menganggapnya bodoh.
Hadits di atas secara jelas menyebutkan bahwa Allah SWT merahmati orang tua yang menghargai anaknya dan tidak menganggapnya bodoh. Salah satu bentuk perilaku mengamalkan hal tersebut adalah dengan melibatkan anak ketika mengambil keputusan dalam keluarga.
Tindakan tersebut telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s. Ketika beliau bermimpi mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail a.s, beliau menyempatkan diri untuk meminta pendapat Ismail. Meskipun Ibrahim meyakini bahwa perintah menyembelih anaknya itu harus dilaksanakan, akan tetapi Ibrahim tetap melakukan dialog bersama putranya untuk meminta pendapatnya.
Barangkali apa yang dilakukan Ibrahim adalah tindakan yang sepele. Namun tindakan ini dapat memberikan dampak besar dalam diri anak. Kebiasaan orang tua yang selalu meminta pendapat anaknya akan memberikan rasa percaya diri yang besar dalam jiwa anak. Ia akan merasa keberadaannya dalam keluarga dihargai dan diperhatikan.
Mendidik secara proporsional juga memiliki arti tetap memberikan sanksi apabila anak melakukan kesalahan. Sanksi diberikan sebagai salah satu bentuk pola didik untuk mengajarkan anak agar berubah dari tindakan buruk. Pemberian sanksi secara wajar juga dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi ra, ia berkata:“Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah’” (HR. Ibnu Sunni).
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah SAW memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang anak-anak. Meskipun masih anak-anak, beliau tidak membiarkan seorang anak lari dari tanggung jawab amanah yang telah diberikan. Dalam menghukum pun, beliau tidak melakukannya secara berlebihan.
Pola didik yang diterapkan dalam keluarga bukan hanya berkaitan dengan urusan duniawi saja. Hal ini diterapkan pula dalam urusan akhiratnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.”(Shahih Jami’ Ash Shaghir).
Dalam perkara akhirat, orang tua harus bertindak tegas ketika mendidik anak untuk urusan sholat. Rasulullah SAW bersabda,“Perintahkanlah anak-anak untuk mendirikan sholat ketika dia berumur tujuh tahun. Dan ketika dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau dia meninggalkan sholat.” (HR. Abu Daud).
Hadits tersebut mengajarkan pula sikap proporsional menghadapi anak. Ketika anak berusia tujuh tahun, kita masih boleh memberikan toleransi apabila dia tidak mengerjakan sholat. Namun ketika sudah menginjak sepuluh tahun, maka sudah sepantasnya kita bertindak tegas jika anak tetap meninggalkan sholat.
Dengan pola didik yang proporsional antara pemberian kasih sayang dan ketegasan, maka akan terbentuk kepribadian anak yang shalih, yang bukan hanya berakhlak baik dalam hal duniawai, namun juga baik dalam urusan akhirat.


No comments:

Post a Comment