Follow Us @soratemplates

Saturday, 11 May 2024

Emosi Pedagang Keliling

20:52 0 Comments



Kak A demam. Salah satu mitigasi agar dia tetap mau makan adalah menawarkan mau makan apa. Sudah bisa diduga, salah satu daftar menu requestnya adalah steak milik keluarga teman suami. 

Ketika kami sedang menikmati menu makanan yang kami pesan, seorang pemuda masuk ke dalam rumah makan. Dia menghampiri bagian kasir yang tak lain dan tak bukan adalah pemilik rumah makan ini. Dia meminta izin untuk diperbolehkan menawarkan barang yang dia bawa kepada pengunjung yang datang. Pemilik rumah makan pun membolehkan.

Maka pemuda itu menghampiri meja pelanggan yang paling dekat dengan kasir. Saya mengamatinya. Pemuda itu membawa sebuah kotak plastik berisi makanan yang dia angkat dengan kedua tangannya. Dia bertanya kepada pelanggan apakah mau membeli dagangannya dan dibalas dengan gelengan kepala. Beberapa meja dilalui dan mendapat reaksi serupa. Hingga akhirnya dia mendekat ke meja kami.

Suaranya lirih, entah antara ragu atau sudah menduga akan mendapat jawaban yang sama dengan meja-meja sebelumnya. Dan memang sesuai prediksinya, suami spontan berkata tidak sambil menggelengkan kepala.

Saya mencoba melirik ke kotak yang diusungnya, "Jualan apa?" tanya saya pada suami karena posisi saya memang di ujung meja. Tak terlihat dia membawa dagangan apa, pun tak terdengar dia menjajakan apa.

"Pisang coklat," jawab suami, "Mami tu yang mau." Seolah sudah bisa menebak bahwa saya pasti akan berbinar jika tahu dia jualan pisang coklat. Maka, buru-buru saya membuka dompet, mengambil uang pecahan dan memanggil si pemuda tadi. Kami membeli tiga buah dengan dalih untuk tiga anak, padahal ujung-ujungnya juga bakal saya yang makan semua.

Pisang coklat itu biasa saja sebenarnya. Untuk ukuran kecil dengan harga dua ribu rupiah mungkin standar saja. Bentuknya pun tidak bisa dibilang profesional. Ada satu dari piscok itu justru yang dilipat dengan kurang sempurna. Bentuknya tak jauh beda dengan hasil uji coba saya dan Kak A beberapa waktu lalu saat iseng membuat pisang karamel sendiri di rumah. 

Tapi, case penjual begini memberi nilai berbeda bagi saya. Ada faktor emosi yang dihadirkan penjual agar pembeli mau membeli dagangannya. Emosi yang pertama mungkin iba. Melihat tampangnya yang masih muda, bisa jadi dia adalah mahasiswa rantau yang mencari tambahan uang saku dengan coba-coba membuka usaha. Maka karena unsur kasihan itulah akan ada pembeli yang rela merogok kocek barang dua atau empat ribu rupiah.

Rasa iba juga bisa muncul melihat effort si penjual. Bagaimana malam-malam membawa kotak makanan yang masih terisi lumayan dan harus berjalan menjajakan keliling dari satu rumah ke rumah makan atau menawarkan pada siapapun yang ditemukan di jalan.

Di sini, pembeli menggunakan asas membantu penjual agar dagangannya laku. Dengan begitu penjual tak perlu berjalan jauh. Boleh jadi malah si pembeli akan meniatkan untuk sedekah, karena ada yang beranggapan bahwa salah satu cara membantu orang yang membutuhkan adalah dengan membeli barang dagangannya.

Emosi kedua yang dibangkitkan bisa jadi justru bertolak belakang dari iba. Penjual bisa saja justru membangkitkan emosi bangga atas usahanya. Maka pembeli akan melihat bahwa penjual adalah sosok yang tangguh, pantang menyerah dengan segala ide-ide kreasinya.

Di sini pembeli akan menggunakan asas apresiasi. Dia membeli barang dagangan mungkin tidak karena benar-benar mau, tapi justru karena merasa harus mendukung dan mengapresiasi apa yang sudah diusahakan oleh si penjual.

Terlepas dari itu sebagai pembeli tetap saja perlu menjaga emosi dalam bertransaksi. Terbawa emosi ketika berurusan dengan keuangan tak selamanya baik. Maka, selagi itu aman, lakukan saja, entah karena membantu atau mengapresiasi.

Thursday, 15 February 2024

Konferensi... Akarku Diuji

07:18 0 Comments



Konferensi Perempuan Indonesia? Lega...

Itu kata yang saya ucapkan ketika seluruh panitia diminta mengucapkan satu kata untuk konten terakhir yang dibuat di lokasi KPI sebelum akhirnya kami pulang.

Ada rasa nano-nano bagi saya pribadi ketika konferensi ini berjalan pekan lalu. Bagaimana saya yang baru satu jam sampai di lokasi terpaksa harus kembali pulang ke Solo karena suatu hal. Galau, pasti. Lelah, barangkali. Di sini saya merasakan kekuatan akar itu diuji.

Di perjalanan pulang ketika suami dan anak-anak tertidur, air mata mengalir dengan sendirinya. Sesuatu yang saya persiapkan satu tahun lebih harus saya tinggalkan begitu saja. Padahal satu langkah lagi untuk menyaksikan semua berjalan dan saya menikmati di pojokan, menyaksikan bahwa ini berakhir. Namun ternyata saya diuji untuk berdamai dengan rasa itu. Jelas akar diri saya dipertanyakan. Apakah saya akan egois, ataukah saya menguatkan kondisi diri dan sekitar?

Kecewa, ada setitik tentu saja. Namun bukan berarti saya mempertanyakan takdir yang sudah Allah SWT gariskan. Tidak, saya justru mencari hikmah. Apa makna di balik skenario ini. Namun keputusan cepat harus segera dibuat, dan tak ada pengambilan keputusan terbaik kecuali oleh kendali Allah Ta'ala.

Saya istikharah. Untuk sesuatu yang mungkin dianggap remeh, saya meminta pertimbangan Allah. Ya, karena saya selalu percaya bahwa tak akan menyesal orang yang istikharah dan tak akan kecewa orang yang musyawarah. Maka, demi menetralisir kekecewaan karena harus pulang, saya pun melakukannya dengan dalih agar saya tak menyesal dan tak kecewa.

Musyawarah saya lakukan. Saya bertanya pada bapak dan saran bapak mengatakan saya sebaiknya kembali ke acara. Ya, saya tahu perkara tanggung jawab pada peran memang menjadi value yang kami prioritaskan. Tentu saja tanpa mengesampingkan value keluarga adalah nomor satu.

Pertanyaan kedua saya lontarkan pada Kak A. Diksi jawabannya di luar dugaan, "Namanya sudah takdir. Yang penting semuanya tuntas. Kalau di sini sudah tuntas, gantian acaranya Mami biar tuntas." Materi kajian di hari sebelumnya yang dia ikuti tentang takdir Allah tenyata cukup membekas di hati. Dia memahami bahwa ini bagian dari takdir yang harus dijalani.

Lain halnya dengan Mas Z yang tak berpikir sejauh itu. Tentu saja yang ada dalam bayangannya adalah jika kembali ke acara maka dia bisa berenang sepuasnya, ditambah dengan jalan-jalan di sekitar lokasi. Saya menguji keinginannya itu dengan sebuah pertanyaan, "Tapi kan capek baru sampai Solo sudah harus kembali lagi ke sana." Dengan santai Mas Z menjawab, "Ga capek kan aku juga tidur terus di mobil."

Pun jawaban terakhir dari suami. Beliau mengembalikan keputusan pada saya apakah mau kembali atau di rumah saja. Dia tahu betul bagaimana istrinya menyiapkan ini. Dia tahu jika menjawab tidak akan ada luka di hati. Tapi si satu sisi, dia juga sangat paham konsekuensi jika kami akan kembali. Namun ketika konsekuensi itu kami rundingkan, negosiasi pun kami sepakati.

Di sini saya menyadai kekuatan akar keluarga kami diuji. Saya merasakan betul support system yang mendukung saya. Bukan hanya suami dan anak-anak, bahkan hingga bapak. Sesuatu yang akan saya ingat betul bahwa mereka adalah orang-orang yang memahami saya dan akan selalu mendukung saya.

Maka, kembalilah kami menempuh perjalanan lagi. Sesampai di lokasi reaksi teman-teman bermacam-macam. Ada yang takjub karena saya sudah kembali. Ada yang terharu karena saya kembali lagi. Ada yang kaget tak menyangka saya akan kembali. Mereka mengapresiasi bagaimana saya membagi waktu, membagi peran, membagi prioritas. 

Tidak, padahal bukan itu yang saya kehendaki. Saya kembali bukan karena cinta buta pada sesuatu yang saya geluti. Ada integritas yang menjadi value diri sedang saya hadirkan di sini. Kekuatan akar komunitas jelas sedang diuji. Saya bukan semata-mata memprioritaskan komunitas. Tetapi bagaimana saya bertanggung jawab dengan peran dan menuntaskan apa yang sudah saya mulai.

Masih ada akar ekosistem dan negara yang perlu diuji selanjutnya. Tentunya boleh jadi akan menyambung karena pasca KPI disambut dengan pemilu. Tapi tidak, fokus saya di sini baru sebatas di tiga akar pertama. Dua akar lainnya tidak dibicarakan di sini.

Maka ketika konferensi ini selesai, saya berucap lega... Kekuatan akar diri, keluarga, dan komunitas saya sudah diuji. Dan saya patut lega untuk mengatakan bahwa saya kuat untuk tiga hal ini.

Bagi saya pribadi perjuangan satu tahun lebih di konferensi ini patut untuk disyukuri. Segala rasa sedih, marah, lelah, kecewa, melebur menjadi satu kelegaan dan kebahagiaan karena ini telah berakhir.

Kami tahu bahwa kami tidak bisa menyenangkan semua orang. Kami tahu bahwa akan ada mata yang memandang bahwa rumput sebelah lebih hijau. Tapi itu bukan lagi menjadi soal bagi kami. Menyelesaikan apa yang sudah dimulai dengan high energy ending itu menjadi akhir yang cukup bagi kami.

Kini saatnya melompat lebih tinggi, di manapun kami menantikan pilihan untuk menguatkan akar kami. Bismillah

Thursday, 1 February 2024

Aku Bosan

22:00 0 Comments



Tadi pagi ada obrolan menarik ketika pak sayur keliling lewat di depan rumah. Tetangga depan rumah biasanya selalu menanyakan gembukan alias odading untuk camilan suaminya. Saking sudah menjadi rutinitas setiap hari, tak jarang Pak Sayur menyisihkan odading demi ibu itu, biar tidak dibeli pelanggan lainnya yang sudah dilewati lebih dulu.

Seperti biasa, tadi Pak Sayur pun menyapa dengan tawarannya, "Gembukannya masih, Bu." Di luar dugaan, si ibu yang biasanya akan meraih plastik odading justru menimpali "Wah, pak ku bosen, ora gembukan sik (Wah, suamiku bosan, tidak odading dulu)."

Pak Sayur pun menanggapi, "Ojo meneh gembukan mben dino, nyawang wong bagus mben dino wae yo iso bosen yo mbak (Jangankan odading setiap hari, melihat orang ganteng setiap hari saja bisa bosan ya mbak)", kata bapak itu sambil mengajak kami ngobrol.

"Yo bosen lah, nek ra dikei dhuwit (Ya bosan lah, kalau tidak dikasih uang)," sahut si ibu tadi.

"Kula gadhah rencang. Rumangsaku bojone ki yowes ayu, ning kok yo tetep wae yang-yangan malah karo wong sih ra pathek ayu (Saya punya teman. Menurutku istrinya itu sudah cantik, tapi kok ya tetap pacaran malah sama orang yang ga terlalu cantik)" lanjut Pak Sayur.

Saya yang mendengar obrolan itu hanya menyimak saja sambil tersenyum, tak menimpali sama sekali. Meski ada obrolan berikutnya, secuil percakapan itu cukup menarik bagi saya.

Argumen yang disampaikan Pak Sayur sebenarnya tidak salah. Setiap hari dibelikan odading, ya wajar saja dong kalau bosan. Cuma kalau dipikir-pikir, apa iya sih harus sampai bosan?

Padahal dari kecil kita juga makan nasi setiap hari. Tapi apakah pernah terpikir untuk bosan makan nasi? Sepertinya kok jarang. Kalaupun sesekali malas sarapan nasi dan mau roti misalnya, saat makan siang juga kembali ke nasi lagi. Tentu saja casenya berbeda dengan orang yang berhenti makan nasi karena diet atau memang budaya di daerah tertentu yang tidak terbiasa makan nasi. Tapi yang menjadi sorotan di sini adalah tentang sesuatu hal yang lumrah dan rutin ternyata tak menjadi sebuah kebosanan.

Begitu juga di pernikahan. Apakah pantas muncul istilah bosan karena sudah setiap hari bertemu hingga bertahun-tahun. Layaknya nasi tadi, seharusnya tidak akan bosan kan karena itu sudah menjadi sebuah kelaziman yang harus dijalani. Tapi, kenapa dalam case teman Pak Sayur ada saja yang dihinggapi rasa bosan ini dan tergoda untuk mencoba yang lain?

Kalau menukil tausiyah dari seorang ustadz, pernikahan itu adalah ibadah dalam rentang yang paling lama. Untuk menjaganya tidak hanya cukup dengan dipenuhi sandang, pangan, papan layaknya tanggapan ibu tetangga tadi. Tapi, yang menjadi kunci apakah ibadah panjang ini akan bertahan hingga akhir adalah adanya iman.

Ambil contoh ibadah yang lain yaitu sholat. Kita sudah disyariatkan untuk mendirikan sholat sejak umur 7 tahun. Jika ada iman yang tertanam dalam hati, maka hingga usia puluhan tahun pun sholat akan tetap ditegakkan. Tak akan ada istilah bosan meski dilakukan lima kali dalam sehari.

Begitu juga dengan ibadah pernikahan. Ketika ada iman dalam hati, maka sepanjang apapun jangka ibadah ini tak akan ada bosan ketika dilandasi dengan iman. Karena iman, perasaan yang menggoyahkan pernikahan akan luntur atas dasar percaya dan takzim pada Allah Ta'ala. Atas dasar iman, perasaan seperti bosan akan terganti dengan keyakinan untuk memperbaiki semata-mata mencari ridho Illahi. Justru iman itulah yang akan membangkitkan cinta di hati suami istri untuk terus meremajakan dan saling jatuh cinta lagi. Ini semata-mata karena sadar bahwa pernikahan adalah ibadah, dan sebuah ibadah dilandasi oleh iman.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, adakah iman di hati? Adakah rasa percaya bahwa odading adalah sajian terbaik yang dibelikan oleh sang istri? Adakah keyakinan bahwa istrinya adalah yang terbaik dibandingkan perempuan lain yang dia pacari? Selama masih ada iman, maka kita akan mengerti bahwa inilah takdir terbaik yang menghampiri. InsyaAllah.

Thursday, 25 January 2024

Ingin Sepertimu

16:45 0 Comments



Seorang tetangga depan rumah bertandang beberapa waktu kemarin. Qodarullah suaminya terkena sakit kanker usus. Roller coaster kehidupan yang tidak pernah kita tahu membuatnya harus berjuang ini itu.

Beliau menceritakan kehiduapannya dengan suami dan kedua anaknya yang sudah remaja. Ibu itu bercerita bagaimana ketika suami kesakitan atau seolah memberikan pertanda. Dengan nada panik beliau menimpali sambil terus menyemangati. Alhamdulillah anak-anaknya telaten dan menurut pada ayah ibunya, sehingga tidak menambah beban tapi menjadi penyejuk jiwa.

Dalam kondisi itu, semuanya berkorban. Si kakak yang akan lulus SMA memilih untuk tidak kuliah dan akan mencari kerja begitu lulus sekolah. Meski ibunya berharap dia mau kuliah, tapi si kakak memilih untuk menunda. Si adik yang juga SMA setia menemani ayahnya dan selalu tetap ceria dengan senyum ramahnya saat menyapa.

Jika sore hari kami bertemu ngobrol santai di depan rumah, tak berapa lama si ibu akan tiba-tiba pamit dengan tersenyum, "Maaf ya, itu pasiennya panggil-panggil". Kami memang tak sering bercakap bersama. Seandainya kebetulan bertemu, biasanya akan diawali "Alhamdulillah pasiennya lagi seneng bisa main hape" atau "baru tidur mb, bisa disambi". Maasya Allah...

Di satu sisi ibu itu bercerita, sebagai buruh pabrik, kondisinya cukup kepontang-panting juga. Apalagi dengan kondisi saat ini, banyak pekerja yang dibuat shift karena minim orderannya katanya. Dan itu tidak terjadi di pabrik dia saja, hampir mayoritas pabrik demikian. Dia hanya masuk 3 hari sekali. Kakaknya di pabrik lain juga dibuat sistem kerja seminggu sekali. Bahkan di pabrik lain ada yang sebulan masuk, sebulan libur. Gimana ga dapat gaji sebulan, begitu katanya.

Lalu beliau menyeletuk, "Saya juga mau mb seperti jenengan,"

Deg! Saya kaget. Konteks kalimatnya di sini membicarakan pekerjaan, padahal saya justru sedang tidak bekerja saat ini.

Saya hanya tersenyum sebagai bentuk tanggapan. Mau menjawab, "Sama saja, Bu" atau mengatakan bahwa ini hanya sawang sinawang, rasanya tidak pantas. Tentu saja saya tidak bisa menafikan kebaikan suami dan mensyukuri segala keberkahan di keluarga ini. Maasya Allah walhamdulillah. Maka saya bersyukur ketika ada yang merasa ingin hidup seperti saya.

Seorang saudara beberapa waktu lalu juga mengomentari hal serupa. Begitu tahu saya resign dari tempat kerja hampir setahun yang lalu, alih-alih mempertanyakan keputusan saya, beliau justru memaklumi. Terlebih ketika kami kumpul bersama dan saya bisa dengan santai mengurus tiga anak sedangkan suami keluar rumah. Mereka heran "Bisa ya ternyata ngurus sendiri di rumah dan suaminya tetap beraktivitas" dan ditimpali sang istri, "Ya, cukup-ono" (Ya cukupilah).

Iya, kuncinya di cukup atau rasa cukup itu sebenarnya. Nominal gaji urusan nanti, tapi ketika ada rasa cukup maka habis sudah semua perkara. Rasanya tenang-tenang saja. Dan rizqi akan datang dari arah mana saja dengan berbekal rasa cukup yang sudah bersemayam di dada.

Maka balik lagi ke kasus ibu tetangga tadi. Terlepas dari satu kalimatnya yang ingin menjadi orang lain, ada berbagai rasa cukup sebenarnya yang beliau miliki. Rasa cukup melihat suaminya tidak kesakitan, cukup dengan anak-anak yang tak membuat masalah, cukup dengan saling support di internal keluarganya.

Bukankah itu saja sudah menghangatkan jiwa? Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Wednesday, 24 January 2024

I Can Hear Your Voice: Merdeka

22:54 0 Comments



Baru-baru ini saya menyelesaikan drama korea berjudul I Can Hear Your Voice. Sebuah drama lawas (tentu saja) yang masuk waiting list karena pernah dispill oleh sesedokter di jagad media. Kebetulan saya juga tertarik dengan tema yang diangkat. Klop sudah menjadi edisi marathon beberapa waktu kemarin.

Drama ini menceritakan seseorang yang tiba-tiba punya kekuatan ajaib bisa mendengar apa yang ada dalam pikiran orang lain. Setiap dia melihat mata lawan bicaranya, maka dia tahu suara-suara apa yang ada di pikirannya meskipun tidak keluar di mulutnya. 

Konflik yang muncul sepanjang drama adalah si tokoh utama bernama Soo Ha ketika kecil mendapati ayahnya dibunuh di depan mata. Ketika ia akan dibunuh, seorang gadis cilik (Hye Sung) menyelamatkannya. Gadis ini kemudian bersaksi di pengadilan dan menjadikan si terdakwa (Joon Gook) mendapat hukuman penjara. Sang pembunuh pun memiliki dendam untuk menghabisi nyawa Hye Sung.

Ada yang menarik dari drama ini. Selain beberapa kasus hukum yang diangkat disajikan dengan apik, beberapa pesan moral juga tersirat di sini. Misalnya, ketika ibu Hye Sung akan dibunuh oleh Joon Gook, dia berkesempatan untuk mengangkat telepon dari putrinya. Alih-alih memberi tahu keadaannya, ibu Hye Sung justru memberikan nasihat kepada putrinya.

Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Kalau di dunia semua seperti ini, maka hukum tak ada gunanya. Orang hidup di dunia ini hanya memiliki waktu singkat untuk mencintai. Jadi kenapa harus memelihara dendam di hati? Orang yang memiliki dendam di hatinya sesungguhnya adalah orang yang iri terhadap kita. Maka daripada membalas dendam, kasihanilah mereka yang menyakitimu karena artinya dia tidak memiliki yang kita miliki. 

Kurang lebih begitu pesannya. Wow, dalem sekali ini!

Pesan di atas mirip dengan teori pemaafan yang disampaikan oleh salah seorang psikolog senior, Kang Asep Chaerul Ghani. Sejatinya luka atau benci atau dendam yang kita miliki adalah sesuatu yang kita kelola sendiri. Artinya jika kita masih memiliki rasa itu, sebenarnya kita sendiri yang rugi karena membiarkan itu ada dan mengganggu kehidupan kita.

Lalu sudut pandang mengasihani oknum yang mengusik kehidupan kita juga sangat menarik. Jika mereka masih ada waktu untuk mengurusi kehidupan kita, artinya mereka sebenarnya iri dengan kita. Lalu kenapa kita harus pusing-pusing dan sibuk untuk menanggapi juga. Kembali lagi, hidup di dunia ini singkat. Alih-alih menanggapi orang-orang yang melukai kita, lebih baik fokus pada kasih sayang dan hidup penuh cinta.

Di scene yang lain diketahui bahwa ternyata Joon Gook membunuh ayah Soo Ha karena dia merasa kecewa donor organ yang seharusnya menjadi hak istrinya justru dialihkan ke ibu Soo Ha. Joon Gook merasa mendapat ketidakadilan setelah dia berusaha susah payah hingga akhirnya istrinya meninggal. Dia menyalahkan ayah Soo Ha dan menganggap bahwa ayah Soo Ha lah yang memulai rangkaian pembunuhan ini.

Poin ini cukup menarik. Seorang suami sejati memang selayaknya memberikan yang terbaik untuk istrinya. Dia sudah berusaha keras dan setia mendampingi istrinya apapun keadannya. Hingga di titik frustasi ketika satu-satunya harapan untuk istri sirna, sangat wajar jika seorang suami yang baik akan merasa bersalah pada istrinya. Ini adalah bentuk tanggung jawab seorang suami, di mana dia mengutamakan istri dibandingkan urusan lainnya.

Namun ketika Joon Gook akan membunuh Hye Sung agar Soo Ha tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai, Soo Ha memiliki kontrol diri yang baik. "Aku berbeda. Aku tidak akan menjadi binatang sepertimu." Poin ini menohok Joon Gook.

Ya, sebesar apapun cinta kepada seseorang, akal sehat dan norma tetap tidak bisa dilanggar. Dan kembali lagi, tidak ada dendam yang bersemayam di dalam hati. Soo Ha menunjukkan bahwa dia pribadi yang menang. Dia tidak terpengaruh meski dipojokkan dalam kondisi akan kehilangan kekasih dan punya kesempatan untuk membalas dendam. Tidak, Soo Ha tidak memilih opsi itu. Dia memilih tetap menjadi manusia, dan bukan binatang yang gelap mata menuruti nafsunya.

Begitulah, drama ini membawa pesan untuk bisa menjadi pribadi yang merdeka. Tak perlu terpengaruh dengan dendam atau luka masa lalu, pun jangan berbuat gegabah hanya karena terbawa nafsu. Drama ini mengajarkan kita untuk melepaskan segala kondisi menyakitkan yang kita punya dan tetap berpegang teguh dengan prinsip kebaikan yang ada.

Nice!


Wednesday, 17 January 2024

Di Taman Bermain

10:39 0 Comments



Saya memiliki kesenangan yang diajarkan oleh seorang teman, yaitu tentang mengamati sekitar. Bagaimana caranya? Yaitu dengan berada di sebuah keramaian lalu menyaksikan aktivitas setiap orang sambil membayangkan posisi mereka.

Bukan, ini bukan tentang sawang sinawang. Ini dilakukan bukan sebagai bentuk kufur nikmat dan membayangkan andai aku jadi mereka. Tidak seperti itu. Ini dilakukan sebatas untuk memperkaya khasanah kita dalam melihat sesuatu. Karena hanya dengan melihat secara helicopter view lah kita bisa menyaksikan semuanya lalu mampu menentukan akan bertindak apa.

Weekend lalu anak-anak mengajak ke taman kota. Berhubung saya sudah janji dan kebetulan sore itu tidak ada aktivitas karena suami keluar kota, kami pergi ke taman yang dituju. Sesuai dugaan, taman akan penuh dengan anak-anak yang bermain, lengkap dengan berbagai karakter orang tua yang mengantar. Sambil mengawasi anak-anak bermain pasir, saya menyaksikan potongan demi potongan adegan di sana.

Tepat di belakang anak-anak, ada seorang (atau dua orang) anak yang juga bermain pasir., mengais-ngais pasir dengan truknya ditemani seorang ibu yang berjongkok di sampingnya. Sebuah sendok menyorong ke mulut si anak, bergantian mungkin dengan adiknya. 

Saya tersenyum. Lagi-lagi trik orang tua demi membuat anak-anak lahap makannya. Mungkin bukan sekali ini si anak pergi ke taman sambil orang tuanya sibuk menjejalkan suap demi suap nasi. Hingga terdengar kalimat, "Kalau ga mau makan, kita pulang". Hm..., negosiasi sesuai dugaan.

Di sebelah kiri, seorang ibu menuntun anak balitanya menaiki tangga titian. Setapak demi setapak anak tangga dia lewati. Dia cukup berani karena makin tinggi, anak itu tak mau dipegangi. Sang ibu hanya mendampingi di samping tangga siap siaga sebagai bentuk mitigasi. Di ujung tangga, seorang lelaki bersiap. Ponsel di tangannya merekam langkah demi langkah si anak. Ada seutas senyum di bibirnya. Hm..., sepertinya dia bahagia karena anaknya bisa bermain sepuasnya.

Tak jauh berbeda, sepasang ayah bunda juga melakukan hal yang sama. Si anak sekitar usia satu tahun duduk asyik di tengah pasir. Mereka berdua asyik mengabadikan sang buah hati, sambil sesekali menyodorkan ponsel masing-masing. "Kok ga bisa fokus ya. Ini pencahayaannya begini ya. Lensanya itu", dan obrolan sejenis. Pasangan itu asyik mereview hasil karya masing-masing.

Satu keluarga muda kemudian datang menghampiri tempat kami. Anak laki-lakinya berlari melepas alas kaki dan menginjakkan telapak ke pasir putih. Sang ayah buru-buru menghardik, "Mainnya di sana saja, kamu udah mandi". Ayah itu pun mengangkat anaknya menjauh dari arena pasir dan mengajak ke sudut taman yang lain. Tentu dengan diiringi ekspresi si anak yang berbeda saat kedatangannya.

Ada juga seorang ibu yang mengikuti ke manapun langkah kedua anaknya. Meski anak-anak lain melepas alas kaki (dan memang ada papan bertuliskan alas kaki harap dilepas), tapi mereka menggunakan sandalnya. "Dipakai sandalnya biar ga kotor", begitu katanya ketika kedua anak hendak melepas sandal ketika datang tadi.

Masih banyak aktivitas lain. Para mamah-mamah muda yang saling bertegur sapa dan berlanjut ngobrolin anaknya, atau orang tua yang melihat anaknya sudah asyik maka dia pun asyik dengan hand phonenya, atau orang tua yang menikmati camilan sore dengan tangan penuh jajanan yang beraneka rupa.

Tangki saya terisi hanya dengan mengamati begitu saya. Persis seperti kata salah satu fasil di komunitas beberapa pekan lalu, "Hanya bertemu begini saja, sejatinya kita sudah saling belajar parenting dari setiap keluarga"

Ya, saya hanya mengamati para orang tua dan anak-anak di taman itu meski tidak mengenalnya. Tapi saya berlajar hanya dengan melihatnya. Dan hasil belajar itu tentu akan menjadi bekal untuk interaksi saya berikutnya. Sesimpel itu, dan semenyenangkan itu.

Monday, 8 January 2024

Innalillahi...

18:29 0 Comments



Ini bukan cerita tentang kematian. Ini tentang jalan dimana manusia hadir dan akan kembali.

Di suatu kesempatan, ada sebuah pembahasan bersama Ustadz Harry Santosa  rahimahullah tentang makna kebahagiaan. Tema ini menarik, karena sejatinya semua manusia hidup pasti mencari kebahagiaan. Dan ternyata semua manusia punya definisi yang berbeda-beda dalam memaknai apa itu kebahagiaan bagi dirinya.

Lalu Ustadz Harry berkata bahwa manusia akan bahagia ketika berada dalam keadaan default. Ibarat sebuah alat, gadget yang baru keluar dari pabrik pasti dalam kondisi baik dan menyenangkan. Dia tidak terkena virus-virus atau beban-beban aplikasi yang memberatkan yang akan menurunkan performa alias kondisi menyenangkannya.

Begitu juga manusia. Dia akan hidup nyaman dan bahagia ketika berada dalam kondisi default seperti saat keluar dari pabrik. Istilah kerennya adalah dimana ketika dia kembali pada fitrahnya. Di sini manusia akan memaknai bahwa sejatinya dia telah dibekali fitrah oleh Sang Pencipta dan nantinya dia akan kembali pada-Nya dengan membawa fitrah itu pula. Maka, masuklah di sini tentang Innalillahi wa inna ilahi roji'un, sesungguhnya kami adalah milik Allah dan pada-Nya lah kami kembali.

Konsep ini akan dibawa ke semua lini kehidupan. Ketika bekerja misalnya, apakah pekerjaan yang kita lakukan itu dalam rangka Innalillahi wa inna ilaihi roji'un atau tidak. Manusia tak akan bahagia ketika dia hanya fokus pada nominal angka-angka keuntungan atau gaji dari pekerjaan. Mau berapa digit pun pundi-pundi harta yang dia dapatkan, jika itu tidak diyakini sebagai milik Allah dan akan kembali pada-Nya, maka tak akan ada kebahagiaan. Mungkin akan muncul rasa selalu kurang, atau justru rasa khawatir kalau-kalau kekayaannya menghilang. Jelas tidak bahagia kan?

Apakah berarti tidak boleh berusaha maksimal untuk menjadi kaya raya? Tentu saja boleh, bukankah Rosulullah orang yang kaya, pun para sahabatnya ada yang menjadi saudagar pula. Namun, kekayaan yang dimiliki itu sejatinya menjadi jalan dia untuk kembali pada-Nya.

Case lain dalam mendidik anak misalnya. Hal ini berlaku juga. Jika menyikapi seorang anak harus memiliki skill ini itu dan cakap pada usia tertentu, boleh jadi setiap orang tua akan stress karena merasa diburu-buru. Boleh jadi dia beranggapan bahwa semua mereka lakukan demi kebahagiaan sang anak. Tapi apakah dia bahagia ketika mendapati anaknya ternyata belum sesuai milestone atau tertinggal dari anak tetangga? Pun, apakah si anak juga bahagia dengan target-target yang dicanangkan orang tuanya?

Maka, lagi-lagi, kebahagiaan itu akan tercapai ketika kembali pada fitrahnya. Bagaimana fitrahnya ketika mendidik anak, bagaimana fitrah anak diutamakan, bagaimana fitrah dalam kehidupan menjadi garis lurus untuk dijadikan acuan. 

Jika fitrah ini menjadi patokan, maka tak akan ada yang melenceng. Tak akan ada hati yang resah karena melanggar dari defaultnya. Jika sudah begini, bukankah artinya hatinya tenang dan bahagia?

Ya, innalillahi wa innailiahi rojiun. Kembalilah pada fitrahnya Allah, karena sesungguhnya kita hanya milik-Nya dan akan kembali pada-Nya.

Sunday, 7 January 2024

Ya Allah, Tolonglah Aku

04:26 0 Comments




Ada sebuah doa menarik yang saya imani. Sebuah doa yang menurut saya menjadi jawaban pamungkas dari apa yang dibutuhkan manusia di dunia. Doa dan dzikir ini bisa dibaca di tahiyat terakhir sebelum mengucap salam.

Allahumma a'inni 'ala dzikrika wasyukrika wa husni 'ibadatik. (Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu,dan memperbagus ibadah kepada-Mu). H.R. Abu Dawud, An-Nasai, Ahmad, dan Al-Hakim.

Ada beberapa poin menarik pada doa ini. 


Pertama, doa ini meminta tolong kepada Allah. Iya, bahkan untuk redaksi kalimat berikutnya agar bisa berdzikir, bersyukur, dan beribadah pada-Nya saja, kita justru meminta pertolongan pada Allah Ta'ala. Rasanya seperti, "Hei, kamu harus beribadah kepada-Ku, tapi tenang saja, Aku yang akan membantumu agar kamu bisa beribadah kepada-Ku." 

Wuih rasanya seperti Allah sudah memberikan jaminan. Dia bukan 'atasan' yang tanpa tedeng aling-aling memberikan tugas lalu 'mbuh piye carane' tugas itu harus dilaksanakan. Tidak, Allah tidak begitu. Dia justru meminta hamba-Nya untuk berdoa agar Dia membantu sang hamba bisa beribadah pada-Nya.

Menariknya, apa yang kita mintakan tolong kepada Allah adalah untuk bisa berdzikir, bersyukur, dan beribadah pada-Nya. Kita tidak disuruh untuk minta tolong dimudahkan ujian dalam hidup, tidak untuk minta tolong menjadi kaya raya, atau sukses di dunia. Tidak sama sekali, tetapi cukup untuk tiga permintaan di atas karena di sanalah kunci sesungguhnya.

Kita meminta tolong untuk bisa berdzikir kepada-Nya. Alih-alih meminta mendapat jalan yang mulus, kita justru berharap untuk bisa berdzikir alias mengingat Allah di setiap jalan kehidupan yang kita lalui. Iya, memang begitu konsepnya. Mau hidup kita di atas angin atau sedang berjuang hingga ndlosor-ndlosor di tanah, selagi kita mengingat bahwa itu skenario dari Allah maka akan lempeng saja diri kita untuk menjalaninya. Kok bisa? Tentu saja karena janji Allah "Ingatlah Aku maka hati akan menjadi tenang."

Apakah artinya manusia jadi tidak mau berusaha? Karena hatinya tenang-tenang saja ketika sedih, susah, atau bahagia, dan tak tergerak untuk mengejar kebahagiaan berikutnya? Tidak, bukan begitu. Ini menjadi kunci sekaligus rem bahwa kehidupan ini sejatinya milik Allah. Dengan mengingat ini maka kita akan tenang sehingga tidak lupa diri. Jikalau akan berjuang lagi, itupun semata-mata karena Allah, bukan karena kepongahan diri yang merasa bisa melakukan semuanya atas nama dirinya sendiri.

Kedua kita meminta untuk dimudahkan selalu bersyukur pada-Nya. Ini nyambung dengan bahasan yang pertama tadi. Tidak sedikit manusia yang selalu merasa kurang pada dirinya. Apalagi jika dihadapkan dengan pencapaian orang lain. Maka, kunci kedua ini yang menjadi penting.

Apapun yang kita miliki saat ini, kita meminta untuk dimudahkan dalam mensyukurinya. Lagi-lagi, apakah dengan bersyukur lantas hanya cukup dan tidak berjuang lagi? Tentu saja tidak. Bahkan Allah sendiri menjamin, "Siapa yang bersyukur atas nikmat-Ku, maka akan Aku tambah nikmat itu". Hei, sesimpel ini lho untuk menambah apa yang kita punya. Jadi bukan hanya dengan ngoyo mengejar ini itu di dunia, melainkan dimulai dulu dari syukurnya. 

Lantas jangan diimani bahwa bentuk penambahan nikmat itu dinilai dari transaksi rupiah. Tidak, nikmat dari Sang Kuasa tidak seremeh itu. Nikmat itu tak hanya tentang kuantitas, tapi berlaku juga untuk kualitasnya. Meski hanya makan es serut misalnya, tapi nikmat itu bisa bertambah berkali-kali lipat dibandingkan dengan yang makan gellato. Sesederhana itu, tapi karena hati lapang dengan syukur maka damai-damai saja ketika menjalani kehidupan.

Terakhir, kita meminta tolong pada Allah Ta'ala untuk dimudahkan beribadah pada-Nya. Tidak hanya beribadah biasa seolah menggugurkan kewajiban saja, tetapi meminta agar bisa membaguskan ibadah kita. Ini keren sekali. Artinya, apa yang akan kita lakukan ini justru atas bantuan Sang Pencipta. Dan bukankah sejatinya tugas manusia di dunia hanya untuk beribadah pada-Nya?

Bentuk dimudahkan dan dibaguskan ini tidak hanya tentang ibadah dhahir yang tertuang dalam fiqih saja. Ya, tentu saja kita berharap akan dimudahkan dan dibaguskan ketika menjalankan sholat, puasa, dan sebagainya. Selain berkat bantuan Allah, tentu karena dengan melantunkan doa ini maka kita berniat untuk memperbagus ibadah kita juga kan. 

Namun bantuan ini juga berlaku untuk semua ibadah umum alias semua lini kehidupan manusia. Bukankah bekerja adalah ibadah selagi memang diniatkan untuk ibadah. Maka artinya, kita meminta bantuan Allah untuk memudahkan dan membaguskan pekerjaan kita. Bukankan mendidik anak adalah ibadah, maka kita sejatinya sedang meminta bantuan untuk bisa mendidik dengan mudah dan baik.

Itulah kenapa saya bilang doa ini menjadi salah satu doa pamungkas saya. Karena hanya dengan tiga bantuan dari Allah itu saja, selesai sudah semua urusan di dunia. Mau melewati skenario apapun di kehidupan, Allah akan bantu untuk mengingatkan bahwa ada Dia di atas segalanya, ada Dia yang membuat hati ini lapang dengan segala hasilnya, dan ada Dia yang menolong untuk memperbagus setiap skenario hidup kita. Insya Allah.



 

Wednesday, 3 January 2024

Lini Usaha

09:00 0 Comments

 

Jangan meletakkan seluruh telur dalam satu keranjang


Ada yang familiar dengan pepatah di atas?
Pepatah itu melarang untuk meletakkan seluruh telur dalam satu keranjang. Why? Karena risikonya sangat besar.

Telur yang masih mentah termasuk benda yang rawan pecah. Andai kita punya beberapa telur lalu menempatkan di satu wadah, maka kita betul-betul hanya bertumpu pada satu wadah tersebut.

Seandainya wadah itu kita bawa dan ternyata kita tergelincir lalu jatuh, kemungkinan telur-telur yang berada di satu wadah itu akan ikut jatuh semua. Termasuk misalnya ketika kita sudah berhati-hati membawanya, tapi wadah itu pecah tak sengaja, maka rawan semua telur di dalamnya akan ikut pecah juga.

Konsep ini berlaku dalam menjalani kehidupan. Salah satunya dalam menggantungkan sumber pendapatan.

Dulu sekali Ibu rahimahullah pernah bercerita pada saya. Meski nanti sudah bekerja, milikilah keahlian untuk bisa menambah pemasukan. Karena dengan begitu setidaknya ada minimal dua sumber mata pencaharian. Seandainya satu pintu tertutup, maka ada pintu lain yang masih terbuka.

Waktu itu, saya yang belum mulai mencari uang sendiri hanya menelan mentah-mentah apa yang beliau katakan. Setelah dipikir-pikir, saran beliau ada benarnya juga.

Terlepas dari rizki sudah diatur oleh Allah SWT dan sudah ditentukan juga akan menghampiri kita melalui pintu yang mana, tapi memiliki banyak pintu rejeki jelas tidak ada salahnya. Melihatnya bukan dari sudut pandang matre atau gila harta, ini lebih ke mau berikhtiar untuk menjemput rizqi yang sudah dijanjikan.

Beberapa waktu lalu saya pun melihat contoh nyata dari filosofi itu. Seorang kolega yang paham betul tentang makna pepatah ini bercerita bahwa dia memiliki delapan lini usaha. Beliau yang juga seorang dokter mengambil jalan sebagai seorang wirausaha. Alih-alih mengambil studi spesialis, beliau tetap menikmati menjadi dokter umum dan spesialisasi ilmu yang didalami sendiri.

Selain praktik pribadi yang berjalan seperti pada umumnya, beliau membuka lini usaha lainnya. Ada pabrik yang beliau dirikan. Ada lini khusus marketing yang beliau kelola. Tidak hanya terkait medis, usahanya pun merambah ke bidang lainnya. Usaha pendidikan belajar ada, bahkan untuk ranah hiburan seperti membangun resort pun dia coba.

Orang bilang mungkin palugada, tapi ini beda. Palugada sering dianggap sebagai serabutan apa saja dicoba. Tapi yang ini benar-benar dikonsep. Satu per satu dibuka, dan satu demi satu dimaintenance. Ini yang membuat lini usahanya maju dan bisa menghasilkan satu demi satu.

Ingin mencoba?
Mulai saja dulu dari satu pintu rezeki yang paling kita minati. Mungkin dari sana bisa menambah pintu-pintu lainnya. Insya Allah.

Tuesday, 2 January 2024

Ruang Diskusi

13:14 0 Comments



Dalam sebuah keluarga sudah layaknya dibuka banyak ruang diskusi. Hm, tentu bukan literally ruang-ruang berbatas atap, dinding, dan lantai, melainkan sebuah kesempatan untuk saling bicara dan menyampaikan apapun dalam hati dan pikirannya.

Bagi sebagian orang, mungkin ini hal yang mudah saja. Apalagi manusia dikenal sebagai makhluk yang tak bisa diam kan. Sayangnya, bagi orang yang cenderung hemat kata, mungkin membuka sesi diskusi seolah butuh meluangkan waktu tersendiri. Rasanya buat apa banyak berkata-kata kalau hanya basa-basi. Fyuh...

Di sebuah sesi kajian online Ustadz Oemar Mita berkata, "2/3 dari pernikahan itu adalah ngobrol"

Iya ga sih. Ada dua orang (bahkan lebih kalau sudah beranak pinak) ga mungkin dong hanya sunyi senyap begitu saja. Tapi coba deh disimak lagi. Obrolan yang ada di rumah kita tuh ngomongin apa sih? Apakah sekedar bertanya sudah makan belum, sudah mandi belum, dan pertanyaan beruntun seolah mengecek to do list aktivitas harian. Atau sudah meningkat dengan pertanyaan gimana tadi di sekolah, ujiannya bisa, dst yang bertubi-tubi seolah pertanyaan interogasi. Atau jangan-jangan sudah menjadi obrolan panas mengomentari debat capres cawapres misalnya. Beuh...

Ajakan sering ngobrol juga sering digaungkan di Ibu Profesional, bahkan menjadi salah satu mantra yaitu main bareng - ngobrol bareng - beraktivitas bareng. Memang tig aktivitas ini menjadi jimat untuk membangun bonding di keluarga. Kalau ga pernah main bareng ya gimana suasana mau cair. Kalau ga pernah ngobrol bareng, ya gimana mau saling memahami. Kalau ga pernah beraktivitas bareng, ya gimana mau saling support.

Rasulullah SAW sendiri juga memberikan contoh bagaimana membangun sebuah keluarga melalui ruang-ruang diskusi. Beliau mencontohkan waktu-waktu yang tepat untuk mengajak ngobrol dengan anak. Misalnya ketika sedang dalam perjalanan. 

Dalam sebuah riwayat dikisahkan Rasulullah SAW sedang menunggang unta bersama Ibnu Abbas. Alih-alih menghabiskan waktu perjalanan dengan murojaah misalnya, Rasulullah SAW justru memanfaatkan momen itu untuk memberikan pesan-pesan berharga pada anak kecil kesayangannya itu.

Di lain waktu, Rasulullah SAW memberikan nasihat pada anak-anak kecil ketika sedang menyantap hidangan makan bersama. Waktu-waktu seperti ini ruang diskusi akan lebih mudah dicerna seiring santapan yang masuk ke pencernaan juga.

Apapun itu, membuka sesi saling bicara memang perlu diagendakan jika memang belum menjadi sebuah kebiasaan atau spontanitas harian. Tentu saja karena penghuni rumah bukan cenayang yang bisa menebak apa isi hati dan pikiran.

Yuk ngobrol!


Monday, 1 January 2024

Naik Kelas

09:19 0 Comments



Tahun 2023 sudah berlalu. Seperti biasa tentu saja ada berjuta rasa ketika melewati sebuah masa, pun di 2023.

Tahun ini aku full menjadi ibu rumah tangga. Bukan hal mudah untuk mengambil keputusan menutup tempat praktik yang sudah berjalan beberapa tahun. Ya, ada mimpi besar yang memang harus aku sambut setelah ini. Dan tentu saja, mimpi itu harus berbuah konsekuensi, salah satunya yaitu dengan tidak praktik (dulu).


Mimpi apa itu?
Ah, tak perlu kuceritakan di sini. Kata orang, jika kamu punya niat lalu bercerita, kadang niatmu itu justru benar-benar hanya akan menjadi niat belaka. Tak ada pencapaian pada akhirnya. Jadi, biar kupendam dulu mimpi itu, biar kurajut dulu, hingga nanti benar-benar terwujud maka sudah pantas aku menceritakannya di sini.


Tahun ini waktuku habis untuk menyiapkan sebuah konferensi. Pasti tahu konferensi apa yang kumaksud. Kalau dipikir-pikir lucu juga. Di 1 Januari 2023 aku sudah mencurahkan konsentrasi di sini. Hingga 1 Januari 2024 ternyata diriku masih tetap di sini. Selama itu? Iya... Kalau orang lain lihat mungkin, "Hah, cuma bikin event begitu saja masa persiapannya sampai setahun!" Kenyataannya, iya.


Boleh dibilang, diriku ditempa karena event ini. Aku yang dulu cinta damai, mulai berani berkontroversi. Aku yang sering memilih diam, mulai tak tahan untuk membela diri. Ketahananku berubah, sikap eguh pekewuhku jelas terpengaruh. Agak kaget juga sebenarnya, tapi apa yang terjadi tentu menjadi pembelajaran kan. Dan sedikit banyak aku belajar dari pribadiku yang berbeda ini.


Di akhir sesi part satu kemarin, sebuah apresiasi menjumpaiku. "Saya menemukan leader baru, yaitu dirimu." Oh, tidak. Jujur, aku tidak mengharap apresiasi itu.


Kata seorang sahabat, merendah untuk menghindari cim itu perlu. Sayangnya, apa yang kulakukan setahun ini rasanya justru membuatku 'tampil', sesuatu yang sebenarnya tidak seperti itu yang kuharapkan. Aku tidak dalam rangka ingin unjuk diri. Tidak sama sekali. Aku hanya ingin menyelesaikan apa yang sudah aku mulai, dan tentu saja dengan menunjukkah harga diri bahwa aku bisa memberikan versi terbaik dan menunjukkan bahwa kami tidak main-main.


Lantas embel-embel di belakangnya adalah, "Semoga mau menerima tawaran untuk naik kelas." Ya, tentu saja aku ingin naik kelas. Bahkan setahun yang kulalui pun sudah membuatku berada di kelas yang berbeda dari akhir 2022. Tapi, apakah kelas di sini yang akan kulalui, itu yang masih membuatku sangsi. Apakah jika aku pindah kelas artinya aku sedang tidak 'naik' kelas, itu juga yang seolah menjadi bukti apakah sedang naik atau justru mogok dan berganti haluan.


Yang jelas, sebagai manusia kita tetap diminta untuk terus naik kelas kan. Bagaimana agar hari esok lebih baik dari hari ini, bagaimana hari ini lebih baik dari hari kemarin. Tentu saja itu versi naik kelas sederhana yang akan kontinyu kita lalui.


Jadi, apakah akan naik kelas? Tentu saja, entah di kelas yang mana.