Follow Us @soratemplates

Monday, 2 May 2011

Ambil Saja


Dulu, ada seorang sahabat karib saya yang bersajak begini
"Dia itu ibarat apel yang ranum. Yang membuat orang yang lewat di pohonnya meneteskan air liur. Beberapa tangan sudah siap menadah, berharap apel itu jatuh ke pangkuannya. Tapi hanya akan ada satu orang yang beruntung." Hm..., maknanya dalem sekali. Tapi kali ini saya tak akan membahas makna tersirat dari celoteh sahabat karib saya itu. Saya justru akan bercerita sedikit tentang makna tersuratnya.

Di depan rumah saya (lebih tepatnya lagi di depan kamar saya) ada dua pohon yang cukup rimbun daunnya. Itung-itung pohon itu memberi pemandangan segar tiap kali saya membuka tirai jendela. Nah, kedua pohon ini bukanlah pohon biasa. Dua-duanya adalah pohon berbuah yang sengaja ditanam oleh prakarsa bapak dulu. Di sebelah kiri adalah pohon mengkudu, sedangkan di sudut kanan jendela kamar saya adalah pohon kelengkeng.

Akhir-akhir ini (mungkin juga sudah dari dulu cuma saya kurang mengamati dan memaknai) ada beberapa orang yang berseliweran di depan rumah saya dan tertarik dengan kedua pohon ini. Karena kaca kamar saya riben, jadi mereka tak tahu kalau sebenarnya aktivitas mereka saya amati dari dalam kamar. Ternyata mengamati tingkah laku orang itu menyenangkan sekali.

Beberapa waktu kebetulan saya sedang tidak ada jadwal kuliah. Saya memutuskan untuk pulang ke rumah saja dan bukannya menghabiskan waktu di kampus. Saat sudah berada di dalam kamar, datanglah rombongan anak SD yang kebetulan memang sangat dekat dari rumah saya. Apa yang dilakukan? Tentu saja, mencoba memetik kelengkeng yang memang sedang berbuah. Padahal buahnya belum seberapa. Hm..., saya cukup mengamati saja. Mungkin mereka sudah mengincar kelengkeng itu tiap berangkat atau pulang sekolah. Hingga begitu tau ada kelengkeng baru, langsung mereka petik.

Lain waktu saat sore hari. Biasanya jam-jam segitu saya memang belum pulang. Kalaupun pulang pasti sudah terlelap di atas kasur. Kebetulan saja saya tidak tidur saat itu. Datanglah anak-anak kecil yang tiap sore TPA di depan rumah saya. Kira-kira 5 orang anak perempuan yang masih kecil-kecil. Suasananya ribut sekali. Pasalnya mereka masih kecil, hingga tidak sampai untuk menjangkau kelengkeng yang agak atas. Suasana makin riuh ketika mereka mencoba saling gendong-menggendong. Alhamdulillah, setelah 2 orang bekerja sama untuk menggendong 1 orang yang paling kecil, terraihlah dahan pohon yang agak tinggi. Cuma, kelengkengnya belum sampai. Begitu mereka menurunkan dahan itu sembari menyusuri untuk mengambil kelengkeng, tiba-tiba ada anak TPA laki-laki yang berteriak. "Heh.., sing duwe ana ning omah lho. (Heh, yang punya ada di rumah lho)!" Langsung kelima anak perempuan itu berlari kembali ke masjid.
Duh..., kasihan sekali. Padahal tinggal sedikiiit lagi kelengkeng itu bisa mereka nikmati. Hm...

Itu baru kisah dibalik menggiurnya kelengkeng. Tenyata si pohon mengkudu alias pace yang pahit dan baunya ga enak pun mengalami nasib serupa. Hampir tiap pagi, saya melihat ada ibu-ibu yang mengambil beberapa pace dari pohon. Pernah suatu waktu saat saya kebetulan keluar rumah dan memergoki ibu itu, si ibu terlihat salah tingkah. Akhirnya dengan tampang yang sepertinya malu-malu ibu itu pun berkata, "Nyuwun pacenipun nggih mbak (minta mengkudunya ya mbak)"

Ada juga yang lucu. Seperti tukang becak misalnya. Suatu waktu ada becak berhenti di depan kamar saya, kemudian bapak itu bilang, "Mendhet paca mbak (ngambil pace mbak)" Padahal saya di kamar dan belum tentu pak becak itu tau kalo saya ada di rumah. Hm..., mungkin sebagai syarat untuk meminta izin saja kali ya.

Yang lucu lagi adalah kejadian siang ini. Ada seorang bapak dan anak naik motor tiba-tiba berhenti di depan jendela kamar saya. Lalu bapak itu berkata, "Cepet jipuki (cepet diambilin)" si anak pun turun dan mengambil beberapa pace yang memang sudah jatuh. Mungkin karena jumlahnya cuma sedikit, bapak itu pun ikut turun. Dan apa yang dilakukannya? Pohon pace itu digoyang-goyang dan berjatuhanlah pace-pace dengan suksesnya. Hm..., berasa panen saja dia...

Ups, saya tidak bermaksud mengkritik atau apa. Justru rasanya senang saja kalau ada pohon di rumah saya yang bisa dimanfaatkan oleh orang lain. Walaupun mereka mengambilnya dengan tidak permisi dan meski malu-malu atau takut ketahuan, sebenarnya tak masalah jika memang mau diambil. Bahkan saya termasuk menikmati ketika kambing-kambing mulai mendekat dan menjulur-julurkan badannya untuk meraih daun-daun pohon kelengkeng yang rendah. Hm..., enak rasanya bisa berbagi dengan apa yang kita miliki.

So, buat bapak-bapak, ibu-ibu, adek-adek SD, adek-adek santri TPA, bahkan kambing sekalipun, kalau mau ambil kelengkeng, pace, atau sekedar makan daunnya (khsusus kambing) silakan saja karena saya tak tega jika kalian semua hanya bisa seperti sahabat saya yang cuma bisa bersajak "Andai buah itu jatuh ke pangkuan saya."


Hikmah:
Ayo berbagi. Karena dengan berbagai, hatimu akan merasa bahagia.


No comments:

Post a Comment