Perfeksionis itu
melelahkan. Toh, untuk apa? Seperfeksionis apapun manusia tetaplah tidak
mungkin sempurna.
Kalimat itu saya tulis dalam akun twitter saya beberapa
bulan yang lalu. Kala sindrom perfeksionis sedang melanda, dan tiba-tiba saya
merasakan capek yang luar biasa. Sepertinya, perfeksionis memang melelahkan.
Kata ibu, saya ini perfeksionis. Kalau memang inginnya
begitu, pokoknya diusahakan harus begitu. Bahkan untuk urusan baju pun, waktu
kecil saya sering ribut hanya karena kerudung yang dibeli tidak senada dengan
bajunya. Kata teman saya, saya ini juga cenderung perfeksionis. Mana mau saya
bikin karya tulis yang hanya abal-abal. Hm, begitukah?
Barangkali sekilas memang terlihat ribet. Urusan sepele bisa
menjadi lama dan menghabiskan konsentrasi hanya karena ingin sempurna.
Salahkah?
Kalau saya mau ngeles,
perfeksionis itu tidak salah. Ingin sempurna itu tidak salah. Bagaimanapun
berusaha untuk memberikan yang terbaik atau menjadi yang terbaik tetap
merupakan hal yang baik. Justru kalau tidak ada semangat juangnya, semuanya
terasa seperti asal jalan dan asal jadi saja. Seakan tidak ada ikhtiar yang
benar-benar diupayakan. Jadi, tak ada salahnya berusaha maksimal untuk
sempurna.
Di sini saya katakan, berusaha. Ya, karena memang mampunya
hanya sebatas berusaha. Kembali lagi ke kalimat di atas, meski berusaha
sesempurna apapun, kita tetap tak mungkin sempurna. Bagaimanapun pasti ada
salah atau luput sekecil apapun itu. Wajar. Karena manusia juga tempat salah
dan dosa.
Kalau pada batas ini si perfeksionis masih bisa
mentoleransi, saya kira ini perfeksionis yang baik. Bukan perfeksionis yang
gelap mata hingga benar-benar ingin sempurna dengan menggunakan segala cara.
Kalau memang masih mau bertoleransi pada batas yang sudah di luar kemampuan
secara manusiawi, bukankah seharusnya perfeksionis itu tidak menjadi masalah?
Nyatanya, tidak juga. Perfeksionis tetap dianggap sebagai
sesuatu yang melelahkan. Bagi orang yang tidak perfeksionis dan harus
berhubungan dengan si perfeksionis, tidak jarang ikut merasakan kelelahan itu
sendiri.
Seperti ketika pemilihan dosen untuk pembimbing dan penguji
skripsi kemarin. Ada beberapa daftar nama dosen yang saya incar. Tetapi
beberapa teman berkomentar, “Jangan dosen itu. Dia perfeksionis. Ribet.”
Hm, ribet? Berarti melelahkan ya? Saya jadi merefleksikannya
ke diri saya sendiri. Sebegitu ribetkah saya dan melelahkan di mata orang lain?
Entahlah.
Mungkin masalahnya karena orang lain tidak perfeksionis,
sehingga bagi mereka agak aneh segala upaya yang kita lakukan. Padahal kalau
kami sendiri yang menjalaninya enjoy, harusnya tidak ada masalah kan? Toh, ini azzam kami sendiri. Biarlah kami
berlelah-lelah sendiri.
Cuma, mana ada urusan manusia di dunia ini yang benar-benar
sendiri? Ujung-ujungnya tetap butuh orang lain. Ujung-ujungnya tetap akan
berinteraksi dengan orang lain. Karena itulah, berhubung berinteraksi dengan
orang lain maka muncul sebuah kesenjangan dan menimbulkan sebuah kelelahan.
Konsekuensinya? Kalau memang itu sudah menjad harga mati bagi
diri sendiri, ya lakukanlah sendiri. Puaskan diri sendiri untuk berjuang
mencapai tingkat kesempurnaan sebatas yang bisa kita upayakan. Lakukan sendiri,
toh itu azzam diri kita sendiri.
Jangan buat orang lain ikut merasakan lelah hanya karena kita mematok standar
yang terlampau tinggi.
Lakukan saja, berusaha saja. Sampai apa? Sampai kita lelah,
sampai kita tak mampu meraihnya karena kodrat kita sebagai manusia. Ya, karena
sesempurna apapun keinginan kita, kita tetap akan benar-benar sempurna.
No comments:
Post a Comment