Follow Us @soratemplates

Tuesday, 10 May 2011

Perfeksionis Melelahkan

Perfeksionis itu melelahkan. Toh, untuk apa? Seperfeksionis apapun manusia tetaplah tidak mungkin sempurna.

Kalimat itu saya tulis dalam akun twitter saya beberapa bulan yang lalu. Kala sindrom perfeksionis sedang melanda, dan tiba-tiba saya merasakan capek yang luar biasa. Sepertinya, perfeksionis memang melelahkan.

Kata ibu, saya ini perfeksionis. Kalau memang inginnya begitu, pokoknya diusahakan harus begitu. Bahkan untuk urusan baju pun, waktu kecil saya sering ribut hanya karena kerudung yang dibeli tidak senada dengan bajunya. Kata teman saya, saya ini juga cenderung perfeksionis. Mana mau saya bikin karya tulis yang hanya abal-abal. Hm, begitukah?

Barangkali sekilas memang terlihat ribet. Urusan sepele bisa menjadi lama dan menghabiskan konsentrasi hanya karena ingin sempurna. Salahkah?

Kalau saya mau ngeles, perfeksionis itu tidak salah. Ingin sempurna itu tidak salah. Bagaimanapun berusaha untuk memberikan yang terbaik atau menjadi yang terbaik tetap merupakan hal yang baik. Justru kalau tidak ada semangat juangnya, semuanya terasa seperti asal jalan dan asal jadi saja. Seakan tidak ada ikhtiar yang benar-benar diupayakan. Jadi, tak ada salahnya berusaha maksimal untuk sempurna.

Di sini saya katakan, berusaha. Ya, karena memang mampunya hanya sebatas berusaha. Kembali lagi ke kalimat di atas, meski berusaha sesempurna apapun, kita tetap tak mungkin sempurna. Bagaimanapun pasti ada salah atau luput sekecil apapun itu. Wajar. Karena manusia juga tempat salah dan dosa.

Kalau pada batas ini si perfeksionis masih bisa mentoleransi, saya kira ini perfeksionis yang baik. Bukan perfeksionis yang gelap mata hingga benar-benar ingin sempurna dengan menggunakan segala cara. Kalau memang masih mau bertoleransi pada batas yang sudah di luar kemampuan secara manusiawi, bukankah seharusnya perfeksionis itu tidak menjadi masalah?

Nyatanya, tidak juga. Perfeksionis tetap dianggap sebagai sesuatu yang melelahkan. Bagi orang yang tidak perfeksionis dan harus berhubungan dengan si perfeksionis, tidak jarang ikut merasakan kelelahan itu sendiri.

Seperti ketika pemilihan dosen untuk pembimbing dan penguji skripsi kemarin. Ada beberapa daftar nama dosen yang saya incar. Tetapi beberapa teman berkomentar, “Jangan dosen itu. Dia perfeksionis. Ribet.”

Hm, ribet? Berarti melelahkan ya? Saya jadi merefleksikannya ke diri saya sendiri. Sebegitu ribetkah saya dan melelahkan di mata orang lain? Entahlah.

Mungkin masalahnya karena orang lain tidak perfeksionis, sehingga bagi mereka agak aneh segala upaya yang kita lakukan. Padahal kalau kami sendiri yang menjalaninya enjoy, harusnya tidak ada masalah kan? Toh, ini azzam kami sendiri. Biarlah kami berlelah-lelah sendiri.

Cuma, mana ada urusan manusia di dunia ini yang benar-benar sendiri? Ujung-ujungnya tetap butuh orang lain. Ujung-ujungnya tetap akan berinteraksi dengan orang lain. Karena itulah, berhubung berinteraksi dengan orang lain maka muncul sebuah kesenjangan dan menimbulkan sebuah kelelahan.

Konsekuensinya? Kalau memang itu sudah menjad harga mati bagi diri sendiri, ya lakukanlah sendiri. Puaskan diri sendiri untuk berjuang mencapai tingkat kesempurnaan sebatas yang bisa kita upayakan. Lakukan sendiri, toh itu azzam diri kita sendiri. Jangan buat orang lain ikut merasakan lelah hanya karena kita mematok standar yang terlampau tinggi.


Lakukan saja, berusaha saja. Sampai apa? Sampai kita lelah, sampai kita tak mampu meraihnya karena kodrat kita sebagai manusia. Ya, karena sesempurna apapun keinginan kita, kita tetap akan benar-benar sempurna.


No comments:

Post a Comment