Waktu saya di Jepang, suatu waktu saya janjian bertemu dengan profesor saya. Sayangnya, saya terlambat 1 menit. Profesor saya berkata, “Untungnya kamu adalah orang asing. Seandainya kamu orang Jepang, saya tidak akan memberikan kesempatan kedua”. Hm…, pedihnya. Padahal, Cuma terlambat 1 menit saja.
Lalu, beliau bercerita lagi begini.
“Di Jepang, rata-rata orang tua tidak berharap anaknya menjadi dokter, insiyur, atau profesi apapun. Mayoritas mereka akan berkata, yang penting anak saya tidak mengganggu orang lain. Cuma itu keinginannya.”
Nah, apa kaitannya dengan judul di atas?
Berhubung dosen saya ini ontime, kuliah yang biasanya molor 5 – 10 menit jadi dimulai tepat waktu. Dampaknya, ada beberapa teman yang terlambat.
Dihubungkan dengan statement kedua, teman-teman yang masuk pada saat kelas sudah dimulai ini terkategorikan sebagai orang yang mengganggu orang lain karena menghambat jalannya kuliah. Soalnya, dosen saya terpaksa berhenti menerangkan setiap ada orang baru masuk ke dalam kelas.
Waktu itu, ada statement yang kemudian dilontarkan oleh dosen saya, “Waktu saya jadi mahasiswa dulu, kalau saya sudah terlambat dan pintu kelas sudah ditutup, saya akan tau diri. Lebih baik tidak ikut kuliah saja daripada mengganggu orang lain.”
Hm…, menarik. Bukannya saya mendukung pembolosan yang dilakukan dosen saya itu, tapi ada statement ‘tau diri’ untuk alasan tindakan di atas. Yup, memang betul. Kalau kita tau diri, tentu kita akan malu datang terlambat saat kelas sudah dimulai. Malu pada dosen yang sudah datang on time. Malu pada teman-teman lain yang terpecah konsentrasinya karena kita dengan tak tau dirinya membuka pintu kelas. Belum lagi kalau kita terpaksa harus melewati beberapa teman yang memilih duduk di kursi belakang saat hunting kursi kosong yang bisa diduduki. Sungguh mengganggu memang.
Namun, ada asas lain yang perlu dipertimbangkan. Tak sedikit orang yang memiliki motto ‘lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali’. Ya, bagi mereka, lebih baik terlambat 5 – 10 menit daripada tidak hadir sama sekali. Masih mending tidak mendapat materi selama 5 – 10 menit itu daripada tidak tau apa-apa tentang materi 1,5 jam kemudian. Daripada menyesal di kemudian hari, lebih baik terlambat di hari ini. Mungkin begitu pemikirannya.
Nah, masalahnya, kedua motto itu bertolak belakang
Lalu, mana yang lebih baik? Tidak ada yang lebih baik. Yang penting adalah masing-masing pilihan harus berani menanggung risiko yang ditimbulkan. Tipe pertama yang pada dasarnya tau diri tentu harus tau diri juga kalau dirinya sudah ketinggalan materi. Pastinya mereka juga harus tau diri bagaimana cara agar mereka tetap mendapatkan materi yang tidak mereka ikuti. Entah dengan pinjam catatan, atau meminta rekaman kuliah dari teman. Untuk tipe kedua, walau pada dasarnya mereka ‘tidak tau diri’ (dilihat dari sudut pandang orang lain), setidaknya mereka berusaha meminimalisasi keributan yang ditimbulkan saat mereka masuk kelas. Tak banyak cakap, segera menempatkan diri, dan tidak mengajak bicara teman lain yang sudah berkonsentrasi. Setidaknya dengan begitu, dia tidak merugikan orang lain.
Tapi…, dari kedua solusi di atas, ada sebuah solusi yang paling tepat. Apa itu? Be ontime! Yup, betul. Kalau sejak awal kita sudah on time, tak perlu lagi kita dilema antara tau diri atau lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. So, ontime lah…!!!
ah, mba Avi... itu aku yang telat...
ReplyDeleteaku Nur Zahratul Jannah G0009157, dan barusan aku bikin almamaterku malu pernah membesarkanku dalam nama mereka...
aku jadi bisa memahami betapa malunya beliau ketika telat janjian sama profesornya, lebih dalam, daripada yang mereka yang ngga terlambat...
aku jadi bisa merasakan emosi beliau yang mungkin beberapa sudah menguap tergerus waktu,, merasakan tiap ketegangan dan aliran rasa di setiap kalimat beliau, dan memvisualisasikan setiap getar nada beliau, dangan sangat, nyata.
Efeknya, beliau jadi sedisiplin itu,, smg efek yang sama bekerja padaku :) :) :)
aamiin.. aamiin.. aamiin..
ReplyDeletesama-sama belajar untuk terus disiplin zah.
kasihan nanti pasiennya kalau dokternya molor semua.
amin..
ReplyDeleteeh mba Avi,sbenernya aku mau nge like komenmu...
tapi gk nemu tombolnya..
*tiperemajalostinfacebook
hehe...
ReplyDeletebesok kita buat blogspot model facebook zah..
setuju mbak avi..
ReplyDeletepas sang-dokter cerita itu juga bikin aku 'deg'.. saolnya aku kebiasaan banget telaat :((
Makanya bil.., kita sama-sama belajar buat ontime.
ReplyDeleteMalu kan kalau orang bilang "Indonesia udah biasa jam karet". Katanya mau tinggal di luar negeri? Jangan bikin malu Indonesia di mata negara lain hanya karena kemoloran kita.
Insya Allah..