Follow Us @soratemplates

Friday, 25 July 2014

Nyinyir

05:13 2 Comments
Saya hanya ingin bercerita, lagi-lagi sebuah curahan hati yang mungkin tak ada guna untuk Anda. Walaupun saya tahu tulislah sesuatu yang berguna atau diam. Yang saya sendiri sadar menuliskan tentang nyinyir jangan-jangan justru saya sendiri yang nyinyir.

Perkara apa? Perkara pemilu, teman-teman. Basi mungkin, sudah banyak yang cuap-cuap barangkali, dan bosan sepertinya. Semula saya tak tertarik ikut menuliskan euforia tentang pemilu sederhana tapi luar biasa hebohnya di Indonesia. Tapi saya benar-benar sedang ingin menye-menye, saya sedang sakit hati, dan saya sedang melankoli ingin menangis hanya karena sebuah peristiwa bernama pemilu.

Sudah sejak pemilu 9 April 2014 saya merasakan itu. Teman-teman di salah satu grup ramai sekali membicarakan ini. Terkadang saya menyimak, tak jarang saya muak. Kampanye terselubung lah, kode-kode ini itulah, dan lain sebagainya. Hingga puncak di malam dan hari pemilu, saya protes ke teman-teman di grup itu. Jangan lebay, ini masa tenang, ini masa pencoblosan. Ah, mungkin saat itu saya yang lebay.

Selepas hari pemilu itu, seorang teman menghubungi saya dan bertanya, "Ada apa denganmu, Vi? Tumben sekali kamu sensi dan kelihatan tidak suka di grup tadi." Bahkan sikap saya yang tak biasanya itu juga dibahas oleh beberapa teman yang intinya heran ada apa dengan saya.

Waktu itu saya bilang ke teman saya kalau saya lelah. Saya lelah dianggap dan dipandang miring. Padahal saya bukan kader partai manapun, bukan pula simpatisan partai apapun. Saya lelah karena tiap partai mendewa-dewakan partainya dan menganggap partai lain dengan sebelah mata. Saya lelah mendengar obrolan yang saling hujat satu partai dengan partai lainnya hanya karena mereka simpatisan partai tertentu. Saya lelah ketika akhirnya caleg partai tertentu terlihat cela sedikit saja, lantas partai lain menyerang luar biasa. Dan saya lelah melihat simpatisan partai yang mati-matian membela calegnya dan menutup cela itu seolah mereka tanpa dosa. Saya lelah disanjung-sanjung dan akhirnya nantinya dihina-hina hanya karena menutup mata.

Sekalipun teman saya yang kader partai itu membela diri, saya hanya mendengarkan argumennya saja. Sayangnya hati saya sudah terlanjur sakit dan terlanjur trauma masalah hujat menghujat perkara partai ini saja. Saya lebih memilih diam dan mungkin tak akan mengambil hati lain kali hingga kelepasan beragumen di grup yang ternyata sangat kentara bahwa saya tidak suka.

Sedihnya, rasa sakit hati semakin menjadi-jadi di pemilu presiden 9 Juli 2014 kemarin. Sedih luar biasa karena keadaan itu semakin parah. Jika dulu orang hanya sibuk mendewakan partainya layaknya Tuhan, kini mereka semakin menjadi Tuhan dengan memvonis dosa capres lainnya. Saya sedih karena mata mereka semakin buta. Asal sudah pokoknya A, tak peduli lagi B itu bagaimana. Tak jarang saya beristigfar setiap membaca diskusi di grup, pun tak jarang saya ingin menitikkan air mata melihat mereka yang begitu fanatik membela capresnya. Allah, mereka bukan malaikat tanpa dosa. Jikalau dia manusia, tentu saja dia punya khilaf dan cela.

Saya pikir semua itu akan berakhir ketika presiden diumumkan. Nyatanya tidak. Hujat menghujat tetap ada hingga saya akhirnya menuliskan blog ini. Grup masih ramai saling nyinyir, meragukan capres yang menang, menghujat, berdoa macam-macam, saling tuding. Yang membuat miris hati adalah, semula mereka baik-baik saja. Semuanya adalah saudara. Sama-sama muslim, sama-sama menjaga. Tapi tiba-tiba justru saling membuka aib. Hei, bukankah aib seseorang itu harus ditutup? Bukankah jika kita mengumbar aib orang lain, suatu saat kita akan dibuka pula aibnya? Bukankah sesama muslim harus saling menjaga bahaya dari lisannya. Ah, lisan. Sungguh engkau mata pedang yang bisa sangat menyakitkan. Tak ingatkah mereka tentang bahaya lisan yang sepertinya dulu sering mereka dengung-dengungkan?

Cukup. Ingin saya berteriak lagi, tapi saya tahu diri kalau argumen saya di grup hanya minoritas yang akhirnya membuat teman-teman saya heran dan pada akhirnya saya yang nantinya akan diinterogasi lagi. Ini bukan pemilu pertama, apakah hidup mati kita akan dipengaruhi oleh hasil pemilu ini? Ya, tentu saja arah Indonesia akan bergantung pada presidennya. Tapi, kita? Bukankah ada pemilu atau tidak, kita tetap harus melanjutkan mengisi kemerdekaan sesuai peran yang sudah kita pilih sebelumnya. Lalu kenapa masih sibuk saling mencela dan tak fokus di bidang kita?

Ah, sudahlah. Percuma juga jika ada yang berteriak. Mungkin benar komentar seorang teman, "Orang yang paling susah dinasihati adalah orang yang sedang jatuh cinta dan orang yang fanatik dengan capresnya." Yah, apa mau dikata. Fanatik tetaplah fanatik, jatuh cinta tetaplah jatuh cinta.

Andai saja manusia mau bertindak sewajarnya, mungkin tak akan ada yang heboh pula. Bukankah dalam jatuh cinta seharusnya juga sewajarnya saja? Bukankah dalam kekaguman hendaknya seperlunya pula? Saya hanya takut, siapa yang mencintai dengan teramat sangat, dia juga memiliki kesempatan untuk membenci dengan teramat sangat. Semoga saja tidak. Semoga cinta itu masih menyelimuti dunia seisinya. Semoga kedamaian itu akan menyinari seluruh jagad raya, khususnya untukmu Negeriku, Indonesia.





Thursday, 24 July 2014

Dapat Apa?

20:24 2 Comments
"Kamu dapet apa di stase ini? Apa yang bisa kamu pelajari?" tanya seorang residen pada saya saat tadi menunggu operasi.

Saya pun mulai menjawab ini itu, satu demi satu. Residen itu pun menimpali, "Jangan dikira hanya melihat pasien begini kamu tidak belajar. Allah SWT itu punya ayat kauliyah dan ayat kauniyah. Di sinilah ayat kauniyah Allah SWT itu banyak tersembunyi. Jangan dikira 10 hari terakhir Ramadhanmu sia-sia karena banyak habis dengan pasien. Justru dengan banyak belajar dari pasien lah kamu merasa dekat sama Allah SWT," Saya pun manggut-manggut tanda mengerti.

Jujur saja, sebagai koas saya memang sering merasa capek. Terlepas dari masalah ikhlas, aktivitas dan rutinitas yang begitu saja memang mungkin cepat membuat lelah. Sayangnya, lelah itu akan menjadi bertambah-tambah ketika kita sama sekali tidak bisa menangkap hikmah.

Kebetulan saja saya menemukan salah satu firman Allah SWT.
Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunya telinga (tetapi) tidak digunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Q.S. Al-A'raf: 179).
Rasanya, ayat itu tepat sekali dengan keadaan kami para koas. Kalau kami terlalu saklek dengan semua teori, jangan-jangan kami tidak benar-benar menggunakan hati, mata, dan telinga. Padahal, ada banyak ayat kauniyah yang Allah titipkan pada keadaan di depan kami.

Contoh sederhana adalah ketika pasien mengeluh kedinginan dan kita tahu bahwa thermoregulator di otaknya terganggu. Jika hanya saklek maka kita cuma akan edukasi untuk menyelimuti. Coba seandainya kita memahami kondisi penyakit pasien itu lalu bersyukur betapa Allah SWT memberikan pengaturan suhu yang luar biasa di otak kita. Andai tidak ada, betapa kita akan mudah kedinginan dan kepanasan.

Begitu juga contoh-contoh lainnya. Ketika manusia bisa mati hanya karena tersedak. Ketika manusia mati karena lidahnya tergigit. Ketika hidup dan mati hanyalah sebuah garis yang tak bisa kita prediksi. Bukankah Allah menitipkan ayat-ayatnya untuk hati, mata, dan telinga kita?

Hanya saja, apakah kita pandai untuk menangkap hikmahnya? Jika pandai, mungkin kita akan melalui hari dengan penuh kesyukuran. Tak akan ada kelelahan, tak akan ada penat. Semua ikhlas. Tapi bagaimana jika tidak? Hati mati, mata buta, telinga tuli. Seperti ayat di atas, tak ubahnya kita hanyalah manusia lengah. Dan parahnya, manusia lengah jauh lebih sesat dibandingkan para hewan ternak. Ada yang suka disamakan dengan hewan? Tentu tidak.

Maka, benar sepertinya pertanyaan residen pada saya pagi tadi. "Kamu dapat apa di stase ini?" Jangan-jangan saya lengah dan merasa tidak mendapat apa-apa hanya karena salah saya sendiri yang tidak membuka hati, mata, dan telinga. Naudzubillahimindzalik.





Maafkan Aku

19:42 2 Comments
Suatu ketika saat sedang sangat melankolis, saya membuka catatan-catatan saya terdahulu. Tanpa sengaja, saya menemukan sebuah catatan tentang maaf beberapa tahun yang lalu.


Bagiku, kata maaf sangatlah berharga. Aku tidak ingin permasalahan ini nantinya akan menyulitkanku di akhirat. Untuk itu, aku minta maaf padamu. Setidaknya ucapan permintaan maaf ini memperingan beban di pundakku. Aku sangat mengharapkan pemberian maaf darimu. Kalaupun aku tidak mendapatkan hal itu, setidaknya gugur satu kewajibanku untuk minta maaf padamu.
Dan aku selalu memaafkanmu atas perbuatan yang mungkin kau lakukan atau tidak sengaja kau lakukan. Meskipun ucapan maaf itu tidak akan keluar darimu. Aku akan berusaha untuk memaafkan dan mengikhlaskan semua itu. Setidaknya, gugur lagi satu kewajibanku untuk memaafkanmu.
Pertengkaran, perselisihan, kesalahpahaman. Seringkali kita menjumpainya dalam kehidupan kita. Boleh jadi timbul amarah di hati kita yang berbuah luka, dan bukan tak mungkin pula kita menorehkan sakit yang berujung luka pula di hati saudara kita. Ada yang bilang, luka di hati itu seperti paku. Dia menancap di kayu dan menimbulkan bekas lubang. Begitu juga amarah dari orang lain. Seringkali menimbulkan sakit hati yang tak kunjung hilang.

Tapi, bukan berarti kita bisa membiarkan paku dan lubang itu terus bersemayam di dalam lubuk hati kita. Di sinilah peran maaf itu bermain. Menurut saya, maaf adalah suatu mekanisme timbal balik. Maksudnya, suatu kesalahan akan selesai jika ada yang meminta maaf dan sebagai timbal balik, ada orang lain yang akan memberi maaf pula.

Dalam urusan dosa, kita hanya diminta untuk bertaubat dan mohon ampun pada-Nya. Sesimpel itu. Kenapa? Karena Allah maha Pemaaf. Dalam keadaan apapun, Allah akan memaafkan hamba-Nya yang memohon ampun pada-Nya. Habis sudah perkara, tinggal bagaimana kita mau sering-sering meminta maaf pada-Nya.

Beda halnya dengan manusia. Ketika kita berbuat salah (terlebih jika akhirnya menyeret pada dosa), kita tak cuma cukup memohon ampun pada Allah tetapi juga memohon maaf kepada orang yang bersangkutan. Karena manusia bukan Sang Maha Pemaaf, boleh jadi urusan maaf-memaafkan ini tidak semudah yang dibayangkan.

Meminta maaf menjadi sulit jika diri kita masih diliputi gengsi. Barangkali diri kita merasa berada di pihak yang benar. Mungkin pula kita terlalu tinggi hati untuk mengakui kesalahan diri kita. Atau kita terlalu gila hormat hingga merasa orang lain-lah yang seharusnya meminta maaf duluan pada kita.

Maka saya tuliskan di penggalan catatan saya di atas, sebuah kewajiban dari diri kitalah untuk meminta maaf. Paku dan lubang tak akan benar-benar hilang jika tidak ada yang mencabut paku itu. Kita lah yang harus mencabut paku yang ada di hati orang lain. Itulah tugas kita. Dan menjadi gugurlah kewajiban kita itu jika kata maaf sudah terlontar dari mulut kita.

Tapi, bagaimana dengan lubang yang masih tersisa? Di sinilah peran kedua dibutuhkan. Lubang akan sirna jika pemilik hati segera menutupnya. Artinya, luka di dalam diri seseorang akan musnah ketika kita sendiri sebagai pemilik hati mau menghilangkannya. Bagaimana caranya? Dengan memaafkannya.

Perkara memaafkan ini juga bukan urusan gampang. Kadang di mulut sudah mengatakan memaafkan tapi di hati belum demikian. Rasa sakit hati masih ada. Barangkali karena disimpan lama justru menjadi sebuah dendam. Dan jika diguyur sedikit minyak amarah saja, sudah terbakar gosong seluruh hati kita. Jadi benar-benar urusan diri kita sendiri apakah kita akan memaafkan atau tidak karena tergantung kita juga mau terus sakit hati atau tidak. 

Sekalipun orang yang berbuat salah pada kita tidak meminta maaf, apakah kita akan merasa nyaman hidup dengan dengan paku menancap di hati? Maka, itulah yang saya tulis di catatan saya di atas: meskipun ucapan maaf tidak keluar darimu, aku akan memaafkanmu. Bukan apa-apa, saya hanya tidak mau hidup dengan terus-menerus membawa paku. Kalau memang bukan dia sendiri yang mencabut paku itu, biarlah saya yang mencabutnya dan saya pula yang menutup bekas lubangnya.

Simpel seharusnya. Perkara maaf dan memaafkan kembali lagi pada diri kita sendiri (pun Allah SWT yang semoga mengampuni). Jika memang mekanisme ini berjalan terus, bukankah tak akan ada lagi yang namanya sakit hati? Wallahua'lam.


Monday, 7 July 2014

Kebaikanku, Begitukah di Matamu?

22:58 0 Comments
Ramadhan #9

Hari ini saya berbuka bersama dengan sahabat-sahabat saya. Saat di jalan dan posisi kami tenang-tenang saja, tiba-tiba ada sebuah motor yang menyerobot jalan dan mepet sekali dengan mobil yang kami tumpangi. Sontak teman saya berteriak, "Wah, hati-hati mbak. Tau cewek juga yang nyetir sama-sama pengertian dong."
Salah satu teman saya menimpali, "Eh, jangan gitu dong, aku juga sering naik motor nggeloyor mepet-mepet gitu lho."
Teman saya pun balik menanggapi, "Ah iya, sudah berapa lama aku tidak kamu bonceng ya. Kamu kalau naik motor juga suka mepet-mepet deh. Kalo ga mepet trotoar ya mepet ke kanan."
Teman saya yang diprotes itu menjawab, "Ya kan aku mau hati-hati, minggir gitu."
Teman saya balik menjawab, "Ya tapi kakiku kena trotoar kalau terlalu mepet."
Dan kami pun tertawa.

Saya belajar dari sepenggal kisah kami itu. Pertama, sesuatu yang kita lakukan dengan maksud baik, ternyata belum tentu baik di mata orang lain. Seperti teman saya yang berniat jalan hati-hati di pinggir ternyata justru meresahkan kawan saya karena kakinya terkena trotoar.

Kedua, hidup itu saling mempengaruhi. Kita sudah berbuat baik, tapi bisa saja kita buruk karena orang lain. Seperti tadi, mobil kami yang sudah berjalan dengan tenang, tiba-tiba diserobot oleh motor yang berjalan sempoyongan. Sering pula misal ketika hujan. Ketika kita sudah berhati-hati menghindari genangan air, tenyata tetap saja tersiram air dari kendaraan lain yang melaju lebih kencang.

Kalau itu ruang publik, barangkali agak susah untuk menghindarinya. Kita bukan polisi yang menyemprit mobil yang melaju kencang dan membuat kita sempoyongan. Atau ketika di mall misalnya. Kita tak bisa menegur semua orang yang membuka aurat demi membuat pandangan kita tetap terjaga. Sulit rasanya.

Lalu bagaimana?

Mungkin ada baiknya niat baik itu disampaikan. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman. Coba jika teman saya memberi tahu kalau dia hobi mepet karena bermaksud untuk hati-hati, mungkin teman saya yang lain akan lebih memahami. Untung saja kami sudah saling mengenal dan mengerti, jadi hal-hal kecil begini tidak terlalu dimasukkan hati. Tapi, bagaimana dengan orang asing yang tidak saling mengetahui?

Ah, andai saja setiap orang mau mempertimbangkan hak dan kewajibannya. Bukan cuma hak asasinya sendiri untuk bebas ngebut ke sana kemari, tetapi hak orang lain juga untuk bisa menikmati jalan bersama-sama. Andai saja setiap pengguna ruang publik mau memikirkan hak orang lain di samping hak asasinya, barangkali tak akan ada kekecewaan karena niat baik diri sendiri yang terbentur oleh keadaan sekitarnya. Barangkali....



Sunday, 6 July 2014

Mereka Mendengar

22:05 0 Comments
Ramadhan #8

Sebulan yang lalu saya sedang menjalani stase anak. Di stase ini saya mendapat jatah satu minggu jaga di bangsal HCU Neonatus. Bayi-bayi baru lahir yang butuh perawatan khusus masuk ke bangsal ini. Karena jaga, otomatis saya berinteraksi dengan bayi-bayi itu setiap harinya.

Salah satu bayi yang saat itu dirawat bernama bayi Ny.M. Mereka memang belum diberi nama karena usianya baru dalam hitungan hari. Jadi menyebutnya pun dengan nama ibu mereka. Saat saya di stase obsgyn, Ny.M ini termasuk dalam pasien yang saya rawat karena ketuban pecah dini dua bulan sebelum masa kelahiran. Otomatis Ny.M ini mondok cukup lama. Dan karena saya bertugas follow up setiap pagi, mau tidak mau sering berinteraksi juga dengan Ny.M. Ketika saya sudah pindah ke stase anak, ternyata saya dipertemukan dengan bayi Ny.M ini.

Bayi Ny.M ini rewel luar biasa. Dia termasuk bayi yang sering menangis dibandingkan bayi yang lainnya. Kalau sedang diperiksa, hampir tidak bisa diam. Otomatis, waktu pemeriksaan pun menjadi lebih lama. Karena saya merasa 'kenal' dengan Ny.M, saya jadi memiliki ketertarikan tersendiri pada bayi Ny.M ini. Karena kondisinya cukup buruk, dia termasuk bayi yang harus diperiksa setiap jam. Otamatis setiap jam saya akan menyambanginya bergantian dengan teman saya, dan saat itulah saya berinteraksi dengannya.

Saat sepi dan harus memeriksa dia sendiri, saya curhat padanya, "Ayo, kamu diem, lah. Itu temen-temenmu tidur semua." Atau saat dia harus diperiksa ini itu setiap jam, saya berkomentar, "Tuh kan, kakimu ditusuk lagi kan. Makanya cepetan sehat biar ga diperiksa gini lagi." Atau ketika dia rewel luar biasa dan saya tidak bisa menstabilkan kakinya, saya pernah berkata, "Ssst, ibumu dulu tu sakit-sakitan lho. Masak kamu mau sakit juga. Ndak boleh nakal. Nanti kalau nakal ga sembuh-sembuh kamu sakit-sakitan terus kayak ibumu lho". Dan berbagai kata-kata lainnya yang sekedar iseng saya ucapkan daripada saya cuma hening memeriksa sendirian.

Suatu ketika saat saya sedang memeriksa bayi lain di pagi hari, saya mendengar ibu bidan yang sedang mengajari adik siswa cara mengganti popok. Ibu bidan itu berkata, "Kalau sedang merawat bayi, sambil diajak ngobrol. Jangan cuma diganti popok saja, ditinggal. Dikasih susu saja sambil didiamkan. Meskipun masih bayi, mereka juga bisa mendengar."

Saya yang berada di box bayi tidak jauh dari mereka berdua terdiam. Duh, berarti bayi Ny.M (dan bayi-bayi lainnya) juga mendengar dong kalau suka ngobrol dengan mereka.

Saya jadi teringat tentang teguran Allah SWT pada Rasulullah SAW di surat Abasa. Saat itu Rasulullah SAW memalingkan wajahnya dari seorang yang buta. Kalau dinalar, orang buta pasti tidak akan tahu kalau Rasulullah SAW memalingkan wajahnya, tapi ternyata Allah SWT menegur beliau.

Barangkali begitu juga dengan bayi-bayi itu. Sekalipun mereka belum bisa bicara, belum memahami apa-apa, tetapi mereka mendengar. Dan bisa jadi mereka merasakan apa yang kita bicarakan.

Hm, tiba-tiba saya merasa bersalah pada bayi Ny.M, khususnya karena kadang 'mengancam' (walaupun dengan maksud bercanda) ketika dia rewel. Agaknya setiap ucapan memang harus dijaga. Sekalipun itu sekedar bercanda kepada orang bahkan bayi yang belum memahaminya.

Astagfirullahal'adzim....




Saturday, 5 July 2014

Sesama Dokter

21:34 0 Comments
Ramadhan #7

Apa profesimu? Apa pula profesi pasanganmu? Apakah profesi kalian sama ataukah justru berbeda? Saya sedang tergelitik dengan masalah profesi terkait sebuah hubungan lelaki perempuan.

Seorang teman yang menjalin cinta dengan sesama teman dokter muda baru-baru ini memutus ikatannya. Apa pasal? Gara-gara orang tua si pria yang merupakan seorang dokter tidak rela anaknya berpacaran dengan perempuan yang bukan anak dokter. Ada lagi teman saya seorang koas juga yang putus dengan pacarnya dengan alasan, "Aku takut kalau suamiku bukan dokter", atau begitu juga dengan teman koas saya yang berganti-ganti gandengan asalkan tetap seorang dokter. Terlepas dari masalah pacaran dan hubungan mereka, saya geleng-geleng kepala dengan alasan hubungan mereka itu sendiri.

Apakah seorang dokter akan lebih mulia jika memiliki pasangan seorang dokter pula atau berasal dari keluarga dokter juga? Saya menghela nafas untuk ini. Sebegitu picikkah orang-orang hingga melupakan syarat agama di atas kekayaan, nasab, dan rupa?

Ustadz pernah berkata, bersyukurlah jika memiliki pasangan sesama dokter, setidaknya mereka pernah merasakan suka duka hidup seorang dokter. Mereka akan maklum jika lebaran tidak bisa datang karena jaga. Mereka akan maklum ketika pagi-pagi harus sudah berangkat untuk memfollow up pasien. Mereka akan sangat maklum ketika lelah pulang tetap harus melayani pasien di rumah. Tapi ustadz juga berkata, bukan berarti pasangan bukan dokter tidak bisa disyukuri. 

Memang diakui banyak sekali pasangan dokter di rumah sakit. Residen anak pasangannya residen obsgyn. Dokter kulit pasangannya dokter penyakit dalam. Begitu terus hingga rasanya terlalu banyak dinasti dokter di dalam rumah sakit. Tapi, tidak jarang pula saya menemui dokter yang bukan berasal dari keluarga dokter dan atau tidak memiliki pasangan seorang dokter.

Saya pernah bertanya pada seorang residen obsgyn, "Istrinya dokter juga, Dok?", beliau menggeleng, "Bukan, istri saya notaris. Saya ga mau istri saya dokter juga, ga ada yang ngurus anak." Lain lagi dengan residen neuro, "Suami saya bukan dokter, dek. Saya ga bisa membayangkan hidup saya cuma di sekitar situ-situ saja. Masalah yang dibahas seputar penyakit dan rumah sakit saja. Bosan, dek."

Apakah mereka bahagia? Setidaknya begitu yang saya lihat dari kacamata saya. Beliau berdua sebagai contoh dari beberapa dokter lainnya tetap saja bahagia tanpa perlu mendewa-dewakan dinasti dokter di keluarganya.

Ah, mungkin itu pilihan hidup seseorang. Dan semua itu terjadi tak lepas dari takdir Illahi. Mungkin teman-teman saya tadi memang berjodoh dengan sesama dokter hingga mereka putus demi mencari dokter yang juga berasal dari keluarga dokter. Wallahua'lam, toh jodoh tak akan tertukar, jodoh tak akan keliru.



Friday, 4 July 2014

Bapak...

11:03 2 Comments
Ramadhan #6

Saya baru saja menyelesaikan membaca sebuah buku. Judulnya Ayah, karya Irfan Hamka, yang mengisahkan tentang ayahnya, Buya Hamka. Di bagian-bagian akhir ketika membaca buku itu, tanpa saya sadari air mata menggenang di pelupuk mata saya.

Karena masih ingin membaca, selepas membaca buku Ayah, saya lanjutkan dengan buku komik 33 Pesan Nabi Jilid 3. Tak disangka, bagian pertama dari komik itu juga mengisahkan tentang ayahnya. Penulis mengisahkan bagaimana si anak malu karena ayahnya memiliki vespa yang berisik tidak karuan, sedangkan sang Ayah tetap ikhlas menerima, mengajarkan budi pekerti, memberikan cinta kasih. 

Air mata jatuh begitu saja dari kedua mata saya. Bukan cuma menetes haru, tapi saya menangis sesenggukan. Saya teringat bapak saya.

Saya ingat bapak saya yang selalu mengirimkan SMS tahajud setiap malam, pada hampir seluruh nomor di ponselnya, termasuk saya. Sekedar SMS berisi hadits atau ayat dan ajakan untuk tahajud. SMS yang hampir tidak pernah saya balas, karena bagi saya itu sekedar ucapan. Dan saya ingat bagaimana ketika bapak pulang dan berkata, "Kok ga pernah balas SMS tho, Kak? Sudah lupa kalau punya bapak atau gimana?"

Saya ingat bagaimana kalau bapak pulang berarti akan ada sedikit kerepotan terkait transportasi. Satu motor sudah dipakai bapak di Jakarta. Hanya ada satu motor di rumah yang saya pakai, yang artinya akan jadi rebutan bapak dan saya. Kadang-kadang saja jika mobil ibu menganggur dan tidak ada urusan baru bapak bisa pergi dengan ibu.
Saya ingat bagaimana ketika mobilitas saya tinggi dan saya repot sekali, ibu akhirnya bilang, "Ya sudah tho, Pak. Biar Avi tetap pakai motor". Lantas bapak saya hanya mengalah dan memakai transportasi umum atau naik sepeda. Baru akhir-akhir ini saja ketika jadwal harian saya sudah pasti lantas bapak tetap memakai motor dan mengantar jemput saya setiap hari. Kalaupun tidak bisa, itu pun bapak meminta maaf dengan sangat karena saya harus menunggu jemputan lama atau memilih pulang naik transportasi umum saja.


Ah, bapak. Sekalipun hampir tak pernah saya memberikan perhatian secara kasat mata, sungguh saya mencintainya.

Bapak yang tadi pagi SMS membangunkan sahur dan menyanyikan lagu Rhoma Irama. Bahkan saya sendiri tidak tahu itu lagu apa. Yang karena saya tidak tahu lantas bapak ganti lagu, dan tetap saja saya tidak tahu lagunya.

Bapak yang ketika saya sedang resah selalu bisa membaca dan selalu bertanya, "Kamu kenapa, Kak?" walaupun tetap saja saya juga tidak akan langsung cerita. Dan beliau akan menyanyikan lagu 'ayo ngguyu' atau 'tombo ati'.

Bapak yang tahu dan siap sedia kalau ketika jam masuk sudah mendekat, padahal tugas belum diprint, belum lagi kalau tiba-tiba tinta habis dan macet. Saya akan uring-uringan sambil buru-buru mandi dan begitu selesai mandi sudah ada tugas yang tercetak rapi.

Bapak yang setiap pulang dari manapun pasti mengetuk pintu kamar dan berkata, "Kak, ini lho bapak bawa pisang goreng kesukaanmu" pun makanan lainnya. Yang mungkin karena saya masih asyik mengerjakan sesuatu, makanan itu masih saja tergeletak di meja belajar saya. Hingga bapak masuk kamar lagi dan berkata, "Kok belum dimaem?" dan saya pun buru-buru memakannya.

Bapak yang suatu ketika menelepon dan menceritakan masalahnya lalu berkata, "Bapak telepon bukan sebagai bapak yang telepon anaknya, tapi orang yang minta konsultasi pada ahlinya. Jadi kamu harus objektif dan ga perlu pekewuh memberi saran."

Ah, bapak. Masih banyak kisah yang membuat saya menyadari bahwa saya mencintai bapak saya dan saya tahu bapak juga sangat mencintai saya.

Maka saya tak habis pikir jika ada yang berkata bagaimana saya harus mempertimbangkan bapak ibu dalam hidup saya. Tentu saja sampai kapanpun saya akan menghormati beliau berdua. Sekalipun kelak saya menjadi istri dan bakti pertama saya haruslah pada suami, tak akan mungkin saya tidak mencintai bapak dan ibu saya.

Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma kama robbayani soghiro.
Salam takzim untukmu, Bapak...




Thursday, 3 July 2014

Tentang Rasa

12:01 2 Comments
Ramadhan #5

Dalam sebuah percakapan panjang dengan seorang teman, tiba-tiba dia berkata, "Aku tahu perasaanmu, Vi." 
Saya yang saat itu dalam posisi netral lantas menjawab, "Bagaimana bisa tahu, aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku."
Dia kembali menjawab, "Karena kadang seseorang lebih bisa merasakan perasaan orang lain dibandingkan perasaan dirinya sendiri."

Saya sering kesulitan memaknai rasa. Ah, bukan sulit. Lebih tepatnya saya terlalu cuek dan tak ambil pusing dengan mereka yang bermain-main dengan rasa. Datar, begitu saja. Bagi seorang teman, kondisi saya ini menyedihkan.

Sahabat saya pernah bertanya, "Mbak, kamu ga merasa sakit hati?"
Saya menggeleng dan menjawab, "Ga sama sekali. Ga ada rasa sama sekali."
Dan sahabat saya justru berkata, "Aku pingin nangis karena menurutku sebenarnya hatimu itu sangat sakit sampai-sampai tidak bisa merasakan sakit."

Sebaliknya suatu ketika sahabat saya bertanya, "Mbak, kamu bahagia?"
Dengan mantap saya menjawab, "Ya, tentu saja aku bahagia."
Dan dia justru menghela nafas, "Ya sudah, yang penting kamu benar-benar bahagia."

Dalam kacamata sahabat saya, sepertinya ada yang salah di dalam diri saya dalam memaknai rasa. Seharusnya sedih, tapi biasa saja. Seharusnya marah dan sakit hati, tapi ga meluap juga. Seharusnya bisa lebih bahagia, tapi sudah cukup dengan kebahagiaan ini saja. Menyedihkan begitu katanya. Padahal dalam ilmu psikiatri disebutkan bahwa mengungkapkan sedih, senang, marah, dan lain sebagainya itu penting untuk kesehatan jiwa.

Tapi saya berpikir, urusan rasa di hati ini urusan Illahi. Dia yang maha membolak-balikkan hati. Sekalipun konteksnya adalah tentang keimanan, tapi Dia juga yang membolak-balikkan hati seorang hamba dari sedih, susah, marah, senang, dan sebagainya. Kalo hari ini sedih, besok juga bisa jadi senang, dan seterusnya.

Ada yang beranggapan, jangan terlalu senang dan jangan terlalu sedih. Orang yang terlalu senang bisa jadi esok akan terlalu sedih. Dalam hal ini saya lebih sepakat dengan pendapat ini. Namun, mungkin sahabat saya memilih sebaliknya. Bisa jadi dia termasuk orang yang memilih selagi senang, ayo bersenang-senang. Kalaupun sedih, ya dipikir nanti belakangan.

Entahlah. Tentang bagaimana memaknai rasa itu, saya kadang masih tidak mengerti. Apakah emang harus terdefinisi atau biarkan mengalir saja? Asal diri ini tetap enjoy menjalani, apakah tetap menjadi masalah? Lagi-lagi entahlah.



*to my best friend: trust me, I enjoy my life... :)






Wednesday, 2 July 2014

You're My Friend

11:08 3 Comments
Ramadhan #4

Teman, apa arti teman bagi Anda? Satu demi satu pasti mahir mendefinisikannya. Dia bisa jadi orang yang sering menghabiskan waktu bersama. Dia orang yang selalu ada. Dia tempat menumpahkan suka duka, dan lain sebagainya. Bahkan mungkin teman sekedar sesederhana asal saling mengenal saja. Layaknya teman di social media yang sekedar add atau follow dan belum pernah tahu wujudnya.

Dengan luasnya definisi itu, semua orang tentunya punya banyak teman. Saya punya banyak teman, Anda, dan siapapun di dunia ini. Sayangnya, masih saja ada orang di dunia ini yang merasa dia tidak punya teman sama sekali. Kenapa?

Barangkali lingkaran pertemanan dibuatnya menjadi berlapis-lapis. Ada yang sekedar kenalan, ada yang masuk jadi teman sehari-hari, ada pula teman akrab, atau lebih lagi menjadi sahabat. Terlalu berlapis-lapisnya ikatan pertemanan ini bisa jadi membuat diri ini merasa tidak memiliki seorang teman. Padahal seorang kenalan bisa saja lantas menjadi seorang sahabat dalam sekejap. Begitu pula dengan lapisan-lapisan pertemanan lainnya.

Barangkali pula pertemanan dibuatnya menjadi berbatas waktu. Teman waktu SD, teman SMP, teman SMA, kuliah, kerja, dan seterusnya. Hingga merasa bahwa orang-orang saat ini yang menjadi temannya adalah orang yang kebetulan sedang berada di zona waktu yang sama dari fase hidupnya. Padahal bukankah seorang teman SD bisa dihubungi saat ini dan menjadi teman masa kini pula. Begitu pula untuk zona-zona waktu lainnya.

Maka, harusnya tak ada istilah tidak punya teman sama sekali. Barangkali karena kita terlalu menutup diri untuk membuat semua orang menjadi orang terdekat. Barangkali karena kita terlalu angkuh melupakan masa lalu dan hanya sibuk berkutat dengan masa kini.

Tak ada mantan teman, tak ada istilah hanya punya satu kawan. Cobalah membuka diri, maka akan ada banyak rekan-rekan yang kau dapati.



*untuk temanku yang merasa sendiri, bagaimanapun aku dan yang lain adalah temanmu





Tuesday, 1 July 2014

Dunia Oh Dunia

02:15 0 Comments
Ramadhan #3

Di sebuah kesempatan seorang teman menyapa. Saat menanyakan kabar seorang teman lainnya, dia bertanya, "Apa kabar dirinya? Masih sibuk dengan urusan duniawinya?" Saya yang ditanya bungkam. Pertanyaan itu bukan tentang diri saya, tetapi justru menyindir saya habis-habisan. Apakah saya juga masih terlalu sibuk dengan urusan duniawi?

Barangkali cara melihat kesibukan adalah dengan mengkalkulasi aktivitas kita dalam 24 jam. Orang dikatakan sibuk jika dalam sehari dia lebih banyak melakukan aktivitas dibandingkan waktu luang. Tentu saja waktu luang juga diisi dengan berbagai aktivitas, namun di sini konteksnya berbeda. Aktivitas saat waktu luang dianggap sebagai aktivitas tambahan saja, yang bisa jadi dihilangkan dan tidak terlalu mempengaruhi jalannya kehidupan. Tentu berbeda dengan aktivitas utama yang memang harus dilakukan pada hari itu juga.

Nah, coba saja dilihat. Jika kesibukan itu dikaitkan dengan urusan dunia, berarti dalam 24 jam lebih banyak waktu yang kita habiskan untuk urusan dunia dibandingkan urusan akhirat. Andai dikalkulasi, rasanya hal itu sangat mungkin terjadi. Bayangkan, berapa jam kita bekerja, makan, mandi, tidur, perjalanan ke tempat sekolah atau kerja, beres-beres rumah, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan aktivitas akhirat. Apakah hanya sholat? Yang mungkin cuma 5-10 menit sebanyak 5 kali. Tanpa sholat sunnah, tanpa mengaji, tidak sampai 1 jam dalam sehari waktu kita dipakai untuk urusan ukhrowi. Begitukah?

Jika seperti contoh di atas, kesannya memang sangat tidak berimbang. Tapi mau bagaimana lagi? Bukankah bekerja, makan, tidur, mandi, dan aktivitas lainnya memang menyita waktu lebih banyak? Bagaimana bisa aktivitas itu dihilangkan?

Hm, bukan dihilangkan tentunya, tapi bagaimana agar aktivitas itu bukan sekedar aktivitas duniawi semata. Bagaimana jika dalam aktivitas itu dihadirkan hati yang senantiasa berdoa? Bukankah aktivitas itu akan dinilai ibadah juga? Begitu pula ketika aktivitas itu dihiasi dengan hati yang tawadhu, tentu bukan mengejar dunia semata.

Ambil contoh saja tentang tidur. Ketika itu menjadi urusan dunia, maka orang akan terlelap begitu saja. Barangkali tidur bisa menjadi aktivitas yang mengingatkan dengan akhirat jika diawali dengan berwudhu, berdoa, bermuhasabah, dan sunnah-sunnah tidur lainnya. Sekalipun aktivitasnya tetap sama tentang tidur, tetapi karena hati dihadirkan maka akan terasa nuansa ukhrowi dalam aktivitas kita.

Salah satu indikator pula ketika terlalu sibuk dengan dunia adalah apa yang kita rasakan ketika bangun tidur. Pernah suatu ketika di pagi hari saya bangun dan merasa sangat resah. Berceritalah saya kepada teman-teman. Lantas seorang sahabat menimpali, "Orang yang resah ketika bangun tidur jangan-jangan karena terlalu banyak memikirkan dunia". Tertohok, dan saya akui pada saat memang benar adanya.

Tentu kita tidak ingin terbangun di pagi hari dengan kondisi resah bukan? Tentu kita ingin menjalani hari dengan lebih nyaman, kan? So, mari kita perbanyak perbandingan urusan ukhrowi dalam 24 jam kita. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang meletakkan dunia di hati hingga sangat mempengaruhi. Aamiin....