Follow Us @soratemplates

Thursday, 24 July 2014

Maafkan Aku

Suatu ketika saat sedang sangat melankolis, saya membuka catatan-catatan saya terdahulu. Tanpa sengaja, saya menemukan sebuah catatan tentang maaf beberapa tahun yang lalu.


Bagiku, kata maaf sangatlah berharga. Aku tidak ingin permasalahan ini nantinya akan menyulitkanku di akhirat. Untuk itu, aku minta maaf padamu. Setidaknya ucapan permintaan maaf ini memperingan beban di pundakku. Aku sangat mengharapkan pemberian maaf darimu. Kalaupun aku tidak mendapatkan hal itu, setidaknya gugur satu kewajibanku untuk minta maaf padamu.
Dan aku selalu memaafkanmu atas perbuatan yang mungkin kau lakukan atau tidak sengaja kau lakukan. Meskipun ucapan maaf itu tidak akan keluar darimu. Aku akan berusaha untuk memaafkan dan mengikhlaskan semua itu. Setidaknya, gugur lagi satu kewajibanku untuk memaafkanmu.
Pertengkaran, perselisihan, kesalahpahaman. Seringkali kita menjumpainya dalam kehidupan kita. Boleh jadi timbul amarah di hati kita yang berbuah luka, dan bukan tak mungkin pula kita menorehkan sakit yang berujung luka pula di hati saudara kita. Ada yang bilang, luka di hati itu seperti paku. Dia menancap di kayu dan menimbulkan bekas lubang. Begitu juga amarah dari orang lain. Seringkali menimbulkan sakit hati yang tak kunjung hilang.

Tapi, bukan berarti kita bisa membiarkan paku dan lubang itu terus bersemayam di dalam lubuk hati kita. Di sinilah peran maaf itu bermain. Menurut saya, maaf adalah suatu mekanisme timbal balik. Maksudnya, suatu kesalahan akan selesai jika ada yang meminta maaf dan sebagai timbal balik, ada orang lain yang akan memberi maaf pula.

Dalam urusan dosa, kita hanya diminta untuk bertaubat dan mohon ampun pada-Nya. Sesimpel itu. Kenapa? Karena Allah maha Pemaaf. Dalam keadaan apapun, Allah akan memaafkan hamba-Nya yang memohon ampun pada-Nya. Habis sudah perkara, tinggal bagaimana kita mau sering-sering meminta maaf pada-Nya.

Beda halnya dengan manusia. Ketika kita berbuat salah (terlebih jika akhirnya menyeret pada dosa), kita tak cuma cukup memohon ampun pada Allah tetapi juga memohon maaf kepada orang yang bersangkutan. Karena manusia bukan Sang Maha Pemaaf, boleh jadi urusan maaf-memaafkan ini tidak semudah yang dibayangkan.

Meminta maaf menjadi sulit jika diri kita masih diliputi gengsi. Barangkali diri kita merasa berada di pihak yang benar. Mungkin pula kita terlalu tinggi hati untuk mengakui kesalahan diri kita. Atau kita terlalu gila hormat hingga merasa orang lain-lah yang seharusnya meminta maaf duluan pada kita.

Maka saya tuliskan di penggalan catatan saya di atas, sebuah kewajiban dari diri kitalah untuk meminta maaf. Paku dan lubang tak akan benar-benar hilang jika tidak ada yang mencabut paku itu. Kita lah yang harus mencabut paku yang ada di hati orang lain. Itulah tugas kita. Dan menjadi gugurlah kewajiban kita itu jika kata maaf sudah terlontar dari mulut kita.

Tapi, bagaimana dengan lubang yang masih tersisa? Di sinilah peran kedua dibutuhkan. Lubang akan sirna jika pemilik hati segera menutupnya. Artinya, luka di dalam diri seseorang akan musnah ketika kita sendiri sebagai pemilik hati mau menghilangkannya. Bagaimana caranya? Dengan memaafkannya.

Perkara memaafkan ini juga bukan urusan gampang. Kadang di mulut sudah mengatakan memaafkan tapi di hati belum demikian. Rasa sakit hati masih ada. Barangkali karena disimpan lama justru menjadi sebuah dendam. Dan jika diguyur sedikit minyak amarah saja, sudah terbakar gosong seluruh hati kita. Jadi benar-benar urusan diri kita sendiri apakah kita akan memaafkan atau tidak karena tergantung kita juga mau terus sakit hati atau tidak. 

Sekalipun orang yang berbuat salah pada kita tidak meminta maaf, apakah kita akan merasa nyaman hidup dengan dengan paku menancap di hati? Maka, itulah yang saya tulis di catatan saya di atas: meskipun ucapan maaf tidak keluar darimu, aku akan memaafkanmu. Bukan apa-apa, saya hanya tidak mau hidup dengan terus-menerus membawa paku. Kalau memang bukan dia sendiri yang mencabut paku itu, biarlah saya yang mencabutnya dan saya pula yang menutup bekas lubangnya.

Simpel seharusnya. Perkara maaf dan memaafkan kembali lagi pada diri kita sendiri (pun Allah SWT yang semoga mengampuni). Jika memang mekanisme ini berjalan terus, bukankah tak akan ada lagi yang namanya sakit hati? Wallahua'lam.


2 comments:

  1. Anonymous27 July, 2014

    Ada yang mengatakan "berjuang melawan rasa sakit adalah berjuang melawan rasa lupa". Jika kita melupakan, maka rasa sakit itu yang menang.

    Memaafkan dan melupakan adalah 2 hal yang berbeda.
    Maaf muncul dari kebesaran jiwa, keinginan untuk menjaga keharmonisan dengan pihak-pihak yang punya irisan kepentingan.

    Namun melupakan, muncul dari naluri manusia untuk bertahan/survive. Mengapa? Karena seseorang yang mengingat rasa sakit yang pernah dideritanya dari singgungan sosial dengan orang lain,dia memiliki kehati-hatian untuk tidak terbentur rasa sakit yang sama.

    Tetap mengingat, menjadi cara orang untuk memberi penanda pada hal-hal yang pernah menyakitinya, dan membantunya membuat keputusan pada hubungan dengan pihak/orang yang bernah berkonflik.

    Jika analoginya paku, kayu, dan tambalan, maka: pikiran adalah kayu - paku adalah rasa sakit - dan tambalan adalah maaf.

    Maaf akan menambal rasa sakit sehingga bentuk kayu bisa menyerupai bentuk yang sebelumnya. Namun bekas/lubang paku akan tetap ada disitu. Disinilah pentingnya tetap mengingat. Mengingat dimana letak lubang, mengingat apa yang menjadi penyebab lubang, mengingat seberapa besar kerusakan yang disebabkan paku, mengingat seberapa besar tambalan dan perbaikan yang diperlukan.

    Mengingat rasa sakit bukan berarti mendendam. mengingat adalah cara kita untuk tetap logis, untuk memiliki bahan-bahan pertimbangan suatu saat nanti jika kita dan pihak yang membawa paku berada dalam situasi konflik yang hampir mirip.

    best,
    tmy

    ReplyDelete
  2. Nice point from you. Thank you :)

    ReplyDelete