Follow Us @soratemplates

Saturday, 5 July 2014

Sesama Dokter

Ramadhan #7

Apa profesimu? Apa pula profesi pasanganmu? Apakah profesi kalian sama ataukah justru berbeda? Saya sedang tergelitik dengan masalah profesi terkait sebuah hubungan lelaki perempuan.

Seorang teman yang menjalin cinta dengan sesama teman dokter muda baru-baru ini memutus ikatannya. Apa pasal? Gara-gara orang tua si pria yang merupakan seorang dokter tidak rela anaknya berpacaran dengan perempuan yang bukan anak dokter. Ada lagi teman saya seorang koas juga yang putus dengan pacarnya dengan alasan, "Aku takut kalau suamiku bukan dokter", atau begitu juga dengan teman koas saya yang berganti-ganti gandengan asalkan tetap seorang dokter. Terlepas dari masalah pacaran dan hubungan mereka, saya geleng-geleng kepala dengan alasan hubungan mereka itu sendiri.

Apakah seorang dokter akan lebih mulia jika memiliki pasangan seorang dokter pula atau berasal dari keluarga dokter juga? Saya menghela nafas untuk ini. Sebegitu picikkah orang-orang hingga melupakan syarat agama di atas kekayaan, nasab, dan rupa?

Ustadz pernah berkata, bersyukurlah jika memiliki pasangan sesama dokter, setidaknya mereka pernah merasakan suka duka hidup seorang dokter. Mereka akan maklum jika lebaran tidak bisa datang karena jaga. Mereka akan maklum ketika pagi-pagi harus sudah berangkat untuk memfollow up pasien. Mereka akan sangat maklum ketika lelah pulang tetap harus melayani pasien di rumah. Tapi ustadz juga berkata, bukan berarti pasangan bukan dokter tidak bisa disyukuri. 

Memang diakui banyak sekali pasangan dokter di rumah sakit. Residen anak pasangannya residen obsgyn. Dokter kulit pasangannya dokter penyakit dalam. Begitu terus hingga rasanya terlalu banyak dinasti dokter di dalam rumah sakit. Tapi, tidak jarang pula saya menemui dokter yang bukan berasal dari keluarga dokter dan atau tidak memiliki pasangan seorang dokter.

Saya pernah bertanya pada seorang residen obsgyn, "Istrinya dokter juga, Dok?", beliau menggeleng, "Bukan, istri saya notaris. Saya ga mau istri saya dokter juga, ga ada yang ngurus anak." Lain lagi dengan residen neuro, "Suami saya bukan dokter, dek. Saya ga bisa membayangkan hidup saya cuma di sekitar situ-situ saja. Masalah yang dibahas seputar penyakit dan rumah sakit saja. Bosan, dek."

Apakah mereka bahagia? Setidaknya begitu yang saya lihat dari kacamata saya. Beliau berdua sebagai contoh dari beberapa dokter lainnya tetap saja bahagia tanpa perlu mendewa-dewakan dinasti dokter di keluarganya.

Ah, mungkin itu pilihan hidup seseorang. Dan semua itu terjadi tak lepas dari takdir Illahi. Mungkin teman-teman saya tadi memang berjodoh dengan sesama dokter hingga mereka putus demi mencari dokter yang juga berasal dari keluarga dokter. Wallahua'lam, toh jodoh tak akan tertukar, jodoh tak akan keliru.



No comments:

Post a Comment