Ramadhan #6
Saya baru saja menyelesaikan membaca sebuah buku. Judulnya Ayah, karya Irfan Hamka, yang mengisahkan tentang ayahnya, Buya Hamka. Di bagian-bagian akhir ketika membaca buku itu, tanpa saya sadari air mata menggenang di pelupuk mata saya.
Karena masih ingin membaca, selepas membaca buku Ayah, saya lanjutkan dengan buku komik 33 Pesan Nabi Jilid 3. Tak disangka, bagian pertama dari komik itu juga mengisahkan tentang ayahnya. Penulis mengisahkan bagaimana si anak malu karena ayahnya memiliki vespa yang berisik tidak karuan, sedangkan sang Ayah tetap ikhlas menerima, mengajarkan budi pekerti, memberikan cinta kasih.
Air mata jatuh begitu saja dari kedua mata saya. Bukan cuma menetes haru, tapi saya menangis sesenggukan. Saya teringat bapak saya.
Saya ingat bapak saya yang selalu mengirimkan SMS tahajud setiap malam, pada hampir seluruh nomor di ponselnya, termasuk saya. Sekedar SMS berisi hadits atau ayat dan ajakan untuk tahajud. SMS yang hampir tidak pernah saya balas, karena bagi saya itu sekedar ucapan. Dan saya ingat bagaimana ketika bapak pulang dan berkata, "Kok ga pernah balas SMS tho, Kak? Sudah lupa kalau punya bapak atau gimana?"
Saya ingat bagaimana kalau bapak pulang berarti akan ada sedikit kerepotan terkait transportasi. Satu motor sudah dipakai bapak di Jakarta. Hanya ada satu motor di rumah yang saya pakai, yang artinya akan jadi rebutan bapak dan saya. Kadang-kadang saja jika mobil ibu menganggur dan tidak ada urusan baru bapak bisa pergi dengan ibu.
Saya ingat bagaimana ketika mobilitas saya tinggi dan saya repot sekali, ibu akhirnya bilang, "Ya sudah tho, Pak. Biar Avi tetap pakai motor". Lantas bapak saya hanya mengalah dan memakai transportasi umum atau naik sepeda. Baru akhir-akhir ini saja ketika jadwal harian saya sudah pasti lantas bapak tetap memakai motor dan mengantar jemput saya setiap hari. Kalaupun tidak bisa, itu pun bapak meminta maaf dengan sangat karena saya harus menunggu jemputan lama atau memilih pulang naik transportasi umum saja.
Ah, bapak. Sekalipun hampir tak pernah saya memberikan perhatian secara kasat mata, sungguh saya mencintainya.
Bapak yang tadi pagi SMS membangunkan sahur dan menyanyikan lagu Rhoma Irama. Bahkan saya sendiri tidak tahu itu lagu apa. Yang karena saya tidak tahu lantas bapak ganti lagu, dan tetap saja saya tidak tahu lagunya.
Bapak yang ketika saya sedang resah selalu bisa membaca dan selalu bertanya, "Kamu kenapa, Kak?" walaupun tetap saja saya juga tidak akan langsung cerita. Dan beliau akan menyanyikan lagu 'ayo ngguyu' atau 'tombo ati'.
Bapak yang tahu dan siap sedia kalau ketika jam masuk sudah mendekat, padahal tugas belum diprint, belum lagi kalau tiba-tiba tinta habis dan macet. Saya akan uring-uringan sambil buru-buru mandi dan begitu selesai mandi sudah ada tugas yang tercetak rapi.
Bapak yang setiap pulang dari manapun pasti mengetuk pintu kamar dan berkata, "Kak, ini lho bapak bawa pisang goreng kesukaanmu" pun makanan lainnya. Yang mungkin karena saya masih asyik mengerjakan sesuatu, makanan itu masih saja tergeletak di meja belajar saya. Hingga bapak masuk kamar lagi dan berkata, "Kok belum dimaem?" dan saya pun buru-buru memakannya.
Bapak yang suatu ketika menelepon dan menceritakan masalahnya lalu berkata, "Bapak telepon bukan sebagai bapak yang telepon anaknya, tapi orang yang minta konsultasi pada ahlinya. Jadi kamu harus objektif dan ga perlu pekewuh memberi saran."
Ah, bapak. Masih banyak kisah yang membuat saya menyadari bahwa saya mencintai bapak saya dan saya tahu bapak juga sangat mencintai saya.
Maka saya tak habis pikir jika ada yang berkata bagaimana saya harus mempertimbangkan bapak ibu dalam hidup saya. Tentu saja sampai kapanpun saya akan menghormati beliau berdua. Sekalipun kelak saya menjadi istri dan bakti pertama saya haruslah pada suami, tak akan mungkin saya tidak mencintai bapak dan ibu saya.
Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma kama robbayani soghiro.
Salam takzim untukmu, Bapak...
Friday, 4 July 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
“Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.”
ReplyDeleteSemoga Orang tua Mbak Avi selalu meridloi Mbak Avi; sehingga ALLOH SWT juga senantiasa memberikan ridlo-NYA pada Mbak Avi; demikian pula InsyaALLOH Orang tua Mbak Avi tidak akan murka pada Mbak Avi, sehingga ALLOH SWT pun tidak akan menjatuhkan murka-NYA pada Mbak Avi... Berbahagialah Mbak Avi..
Tapi diantara bakti pada orang tua (antara bakti pada Bapak dan Ibu), mbak Avi coba cermati hadits berikut :
“Abu Hurairoh juga meriwayatkan, bahwa ada seorang lelaki menghadap Rasulullah SAW. Untuk menayakan siapakah orang yang lebih patut dilakukan persahabatan (bakti) dengan baik? Maka jawab Rasulullah SAW. Ibumu. Kemudian ia pun bertanya lagi : lalu siapa lagi? Jawab beliau tetap : Ibumu. Lalu ia bertanya lagi: Lalu siapa lagi: Maka kali ini jawab beliau: Ayahmu” ( HR. Bukhari dan Muslim – Riyadhush Shalihin 9/319 )
Mbak Avi pasti lebih tahu tafsir dari hadits itu, bakti pada Ibu harus lebih di"utama"kan dibandingkan pada Bapak; meskipun hati kecil kita tidak ingin membanding-bandingkannya. Karena bakti dan cinta pada keduanya memang tidak bisa (sulit) untuk dibanding-bandingkan.
Nggih pak, insya Allah..
ReplyDelete