Saya hanya ingin bercerita, lagi-lagi sebuah curahan hati yang mungkin tak ada guna untuk Anda. Walaupun saya tahu tulislah sesuatu yang berguna atau diam. Yang saya sendiri sadar menuliskan tentang nyinyir jangan-jangan justru saya sendiri yang nyinyir.
Perkara apa? Perkara pemilu, teman-teman. Basi mungkin, sudah banyak yang cuap-cuap barangkali, dan bosan sepertinya. Semula saya tak tertarik ikut menuliskan euforia tentang pemilu sederhana tapi luar biasa hebohnya di Indonesia. Tapi saya benar-benar sedang ingin menye-menye, saya sedang sakit hati, dan saya sedang melankoli ingin menangis hanya karena sebuah peristiwa bernama pemilu.
Sudah sejak pemilu 9 April 2014 saya merasakan itu. Teman-teman di salah satu grup ramai sekali membicarakan ini. Terkadang saya menyimak, tak jarang saya muak. Kampanye terselubung lah, kode-kode ini itulah, dan lain sebagainya. Hingga puncak di malam dan hari pemilu, saya protes ke teman-teman di grup itu. Jangan lebay, ini masa tenang, ini masa pencoblosan. Ah, mungkin saat itu saya yang lebay.
Selepas hari pemilu itu, seorang teman menghubungi saya dan bertanya, "Ada apa denganmu, Vi? Tumben sekali kamu sensi dan kelihatan tidak suka di grup tadi." Bahkan sikap saya yang tak biasanya itu juga dibahas oleh beberapa teman yang intinya heran ada apa dengan saya.
Waktu itu saya bilang ke teman saya kalau saya lelah. Saya lelah dianggap dan dipandang miring. Padahal saya bukan kader partai manapun, bukan pula simpatisan partai apapun. Saya lelah karena tiap partai mendewa-dewakan partainya dan menganggap partai lain dengan sebelah mata. Saya lelah mendengar obrolan yang saling hujat satu partai dengan partai lainnya hanya karena mereka simpatisan partai tertentu. Saya lelah ketika akhirnya caleg partai tertentu terlihat cela sedikit saja, lantas partai lain menyerang luar biasa. Dan saya lelah melihat simpatisan partai yang mati-matian membela calegnya dan menutup cela itu seolah mereka tanpa dosa. Saya lelah disanjung-sanjung dan akhirnya nantinya dihina-hina hanya karena menutup mata.
Sekalipun teman saya yang kader partai itu membela diri, saya hanya mendengarkan argumennya saja. Sayangnya hati saya sudah terlanjur sakit dan terlanjur trauma masalah hujat menghujat perkara partai ini saja. Saya lebih memilih diam dan mungkin tak akan mengambil hati lain kali hingga kelepasan beragumen di grup yang ternyata sangat kentara bahwa saya tidak suka.
Sedihnya, rasa sakit hati semakin menjadi-jadi di pemilu presiden 9 Juli 2014 kemarin. Sedih luar biasa karena keadaan itu semakin parah. Jika dulu orang hanya sibuk mendewakan partainya layaknya Tuhan, kini mereka semakin menjadi Tuhan dengan memvonis dosa capres lainnya. Saya sedih karena mata mereka semakin buta. Asal sudah pokoknya A, tak peduli lagi B itu bagaimana. Tak jarang saya beristigfar setiap membaca diskusi di grup, pun tak jarang saya ingin menitikkan air mata melihat mereka yang begitu fanatik membela capresnya. Allah, mereka bukan malaikat tanpa dosa. Jikalau dia manusia, tentu saja dia punya khilaf dan cela.
Saya pikir semua itu akan berakhir ketika presiden diumumkan. Nyatanya tidak. Hujat menghujat tetap ada hingga saya akhirnya menuliskan blog ini. Grup masih ramai saling nyinyir, meragukan capres yang menang, menghujat, berdoa macam-macam, saling tuding. Yang membuat miris hati adalah, semula mereka baik-baik saja. Semuanya adalah saudara. Sama-sama muslim, sama-sama menjaga. Tapi tiba-tiba justru saling membuka aib. Hei, bukankah aib seseorang itu harus ditutup? Bukankah jika kita mengumbar aib orang lain, suatu saat kita akan dibuka pula aibnya? Bukankah sesama muslim harus saling menjaga bahaya dari lisannya. Ah, lisan. Sungguh engkau mata pedang yang bisa sangat menyakitkan. Tak ingatkah mereka tentang bahaya lisan yang sepertinya dulu sering mereka dengung-dengungkan?
Cukup. Ingin saya berteriak lagi, tapi saya tahu diri kalau argumen saya di grup hanya minoritas yang akhirnya membuat teman-teman saya heran dan pada akhirnya saya yang nantinya akan diinterogasi lagi. Ini bukan pemilu pertama, apakah hidup mati kita akan dipengaruhi oleh hasil pemilu ini? Ya, tentu saja arah Indonesia akan bergantung pada presidennya. Tapi, kita? Bukankah ada pemilu atau tidak, kita tetap harus melanjutkan mengisi kemerdekaan sesuai peran yang sudah kita pilih sebelumnya. Lalu kenapa masih sibuk saling mencela dan tak fokus di bidang kita?
Ah, sudahlah. Percuma juga jika ada yang berteriak. Mungkin benar komentar seorang teman, "Orang yang paling susah dinasihati adalah orang yang sedang jatuh cinta dan orang yang fanatik dengan capresnya." Yah, apa mau dikata. Fanatik tetaplah fanatik, jatuh cinta tetaplah jatuh cinta.
Andai saja manusia mau bertindak sewajarnya, mungkin tak akan ada yang heboh pula. Bukankah dalam jatuh cinta seharusnya juga sewajarnya saja? Bukankah dalam kekaguman hendaknya seperlunya pula? Saya hanya takut, siapa yang mencintai dengan teramat sangat, dia juga memiliki kesempatan untuk membenci dengan teramat sangat. Semoga saja tidak. Semoga cinta itu masih menyelimuti dunia seisinya. Semoga kedamaian itu akan menyinari seluruh jagad raya, khususnya untukmu Negeriku, Indonesia.
Friday, 25 July 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
hihihihi, ndak usah terlalu serius lah
ReplyDeletekarena Serius Band aja bubar...
Ini hanya dagelan hidup. Dagelan demokrasi.
tmy
Hm.., ya inginnya dibuat santai tapi apa daya kuping semakin panas. Astagfirullah
ReplyDelete