Ramadhan #5
Dalam sebuah percakapan panjang dengan seorang teman, tiba-tiba dia berkata, "Aku tahu perasaanmu, Vi."
Saya yang saat itu dalam posisi netral lantas menjawab, "Bagaimana bisa tahu, aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku."
Dia kembali menjawab, "Karena kadang seseorang lebih bisa merasakan perasaan orang lain dibandingkan perasaan dirinya sendiri."
Saya sering kesulitan memaknai rasa. Ah, bukan sulit. Lebih tepatnya saya terlalu cuek dan tak ambil pusing dengan mereka yang bermain-main dengan rasa. Datar, begitu saja. Bagi seorang teman, kondisi saya ini menyedihkan.
Sahabat saya pernah bertanya, "Mbak, kamu ga merasa sakit hati?"
Saya menggeleng dan menjawab, "Ga sama sekali. Ga ada rasa sama sekali."
Dan sahabat saya justru berkata, "Aku pingin nangis karena menurutku sebenarnya hatimu itu sangat sakit sampai-sampai tidak bisa merasakan sakit."
Sebaliknya suatu ketika sahabat saya bertanya, "Mbak, kamu bahagia?"
Dengan mantap saya menjawab, "Ya, tentu saja aku bahagia."
Dan dia justru menghela nafas, "Ya sudah, yang penting kamu benar-benar bahagia."
Dalam kacamata sahabat saya, sepertinya ada yang salah di dalam diri saya dalam memaknai rasa. Seharusnya sedih, tapi biasa saja. Seharusnya marah dan sakit hati, tapi ga meluap juga. Seharusnya bisa lebih bahagia, tapi sudah cukup dengan kebahagiaan ini saja. Menyedihkan begitu katanya. Padahal dalam ilmu psikiatri disebutkan bahwa mengungkapkan sedih, senang, marah, dan lain sebagainya itu penting untuk kesehatan jiwa.
Tapi saya berpikir, urusan rasa di hati ini urusan Illahi. Dia yang maha membolak-balikkan hati. Sekalipun konteksnya adalah tentang keimanan, tapi Dia juga yang membolak-balikkan hati seorang hamba dari sedih, susah, marah, senang, dan sebagainya. Kalo hari ini sedih, besok juga bisa jadi senang, dan seterusnya.
Ada yang beranggapan, jangan terlalu senang dan jangan terlalu sedih. Orang yang terlalu senang bisa jadi esok akan terlalu sedih. Dalam hal ini saya lebih sepakat dengan pendapat ini. Namun, mungkin sahabat saya memilih sebaliknya. Bisa jadi dia termasuk orang yang memilih selagi senang, ayo bersenang-senang. Kalaupun sedih, ya dipikir nanti belakangan.
Entahlah. Tentang bagaimana memaknai rasa itu, saya kadang masih tidak mengerti. Apakah emang harus terdefinisi atau biarkan mengalir saja? Asal diri ini tetap enjoy menjalani, apakah tetap menjadi masalah? Lagi-lagi entahlah.
*to my best friend: trust me, I enjoy my life... :)
Thursday, 3 July 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Semua perasaan tidaklah harus ditampakkan secara ekspresi.
ReplyDeleteIni tentang memilih waktu yang tepat. Jika memang perlu terlihat tenang di saat semuanya terasa sesak, ya tampakkan ketenangan.
Kita semua punya masalah yang kadang ingin muncul dalam bentuk ekspresi. Muka ditekuk, terlalu serius, senyum yang sepah dinikmati....tapi ah ya bukan berarti ini menjadi alasan untuk tidak membagi keceriaan dengan dunia.
Setiap orang punya masalahnya masing2, dan sayangnya sifat manusia yang narsis, ingin selalu merasa bahwa masalah mereka adalah yang terberat dibanding sekitarnya. Namun bukan berarti dunia tidak pantas menerima keceriaan kita.
Tampakkanlah keceriaan, karena dunia pantas menerimanya. Nikmati, dan jangan serius-serius amat,, karena serius aja udah bubar :)
Setiap perasaan tidaklah harus diekspresikan. Pun kesusahan atau kesenangan, sejujurnya kita tidak akan pernah tahu mana yang terbaik untuk kita ke depannya.
Karena sangat mungkin, kesusahan akan membuka peluang di depan. Jadi yah nikmati dan sabar serta jaga sikap.
best,
tmy
Ya, saya sepakat dengan hakikat pemilihan waktu. Sekalipun saya sendiri sering tidak bisa membohongi dan menutupi ekspresi yang muncul dengan sendirinya di wajah.
ReplyDeleteTerima kasih untuk komentarnya