Follow Us @soratemplates

Tuesday, 31 July 2012

Kan Kuikuti Imamku

00:12 0 Comments

Ketika kita sholat, orang yang paling menentukan adalah seorang imam. Cepat lambatkah, khusyuk tidakkah, imamlah faktor yang sangat berperan. Seorang imam adalah pemimpin. Dan ia memiliki paling tidak seorang makmum sebagai orang yang ia pimpin.

Seorang makmum pastilah orang yang mengikuti imamnya, karena jika tidak sama dengan imam berarti mereka bukan satu jama’ah. Saat sholat didirikan, makmum haruslah sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami taati. Makmum akan mendengarkan bacaan atau seruan imam, dan kemudian akan mengikuti setiap gerakan imam.

Layaknya sholat, seorang laki-laki dan perempuan yang telah menikah pun ibarat membuat sebuah jama’ah. Sang laki-laki adalah imam, dan perempuan adalah makmum. Sebagai imam, laki-laki memang berhak untuk ‘menyeru’ dan ‘bergerak’. Di lain sisi, sebagai makmum, wanita memang wajib ‘mendengar’ dan ‘mengikuti’.

Jika dilihat sedangkal itu bisa jadi justru diartikan seorang imam bisa bertindak sesuka hati dan seorang makmum sungguh merana sekali. Tetapi ternyata tidak demikian.

Menjadi seorang imam tidaklah gampang. Imam yang baik juga memiliki kriteria tertentu, mulai dari bacaan yang fasih, hafalan yang banyak, atau lebih dewasa. Imam juga harus mengetahui tata cara sholat yang benar yang sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Artinya, demikian juga dengan lelaki. Seorang lelaki juga harus memenuhi kriteria ketika memimpin. Tidak hanya menyeru untuk mengikuti gerakannya, tetapi paham apakah seruannya itu ‘fasih’ dan memang benar-benar ia kuasai, apakah ia memiliki ‘hafalan’ dasar yang kuat untuk menyuruh hal tersebut, dan apakah seruan dan gerakannya memang sesuai atu diperbolehkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Artinya, mereka pun tak bisa sembarangan dalam memimpin.  

Dari sudut pandang makmum pun demikian. Makmum tak semata-mata hanya mengikuti saja. Ketika imam salah, makmum juga punya hak bahkan wajib untuk mengingatkannya. Demikian juga perempuan. Ketika laki-laki salah, dia pun punya hak untuk membetulkan.

Ketaatan ini pun tidak harus dipandang sebagai taklid buta. Dalam hal sholat saja ada banyak perbedaan yang terjadi. Entah itu mengangkat telapak tangan setinggi telinga, bahu, atau dada. Tetapi meskipun sedikit berbeda, makmum tetap melakukan gerakan itu. Artinya, penyesuaian diri dengan kondisi dan keyakinan yang lebih mantap juga perlu dipertimbangkan sehingga wanita tak hanya menurut bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya. Tetapi lagi-lagi, asalkan semua ada dalilnya.

Dan imam tentunya adalah imam ketika sholat. Jika ternyata imam justru menyuruh tidak sholat, tentu bukan imam namanya. Artinya bukan seseorang yang harus diikuti gerakannya. Demikian juga dengan laki-laki. Jika yang diserukan adalah hal yang buruk atau bentuk kedurhakaan pada Allah SWT, maka tidak wajib bahkan jangan sampai diikuti oleh para perempuan. Karena memang perempuan berhak membangkan jika laki-laki menyuruhnya berbuat kesyirikan.

Jika imam khusyuk, maka kemungkinan besar khusyuk pula jamaahnya. Makmum taat, sholat nikmat. Jika laki-laki khusyu, maka kemungkinan besar khusyu pula perempuannya. Perempuan taat, kehidupan pun semakin nikmat.

Monday, 30 July 2012

Pengertian

05:50 0 Comments

Terlepas dari agama, cantik, keturunan baik, kaya, sekufu atau tidak, atau istilah bibit, bobot, bebet, terkadang orang memiliki kriteria tertentu terhadap pasangan yang dia harapkan. Berbagai sifat dan karakter mulai dijadikan pertimbangan. Salah satu sifat yang paling sering terlontar adalah pengertian.

Definisi dari sifat pengertian memiliki makna yang sangat luas. Pengertian bisa berarti sabar, bisa diartikan mensyukuri, dapat berarti qona’ah, selalu memberikan support, dan segala macam sifat baik lainnya. Bahkan bisa disimpulkan bahwa pengertian intinya adalah kumpulan sifat baik.

Tentu saja, semua orang pasti ingin mendapatkan pasangan dengan sekumpulan sifat baik. Dalam sudut pandang wanita, kumpulan sifat baik ini dapat menjadi sebuah kunci tersendiri.

Seorang dokter pernah berkata, “Besok kalau cari suami harus yang ‘legowo’ karena profesi dokter itu milik ummat yang harus siap setiap saat melayani masyarakat.”

Seorang ibu berpesan pada para aktivis, “Aktivis wanita jangan sampai salah memilih suami. Setelah menikah harus tetap bisa beraktivitas dan memberikan kebermanfaatan bagi lingkungan sekitar.”
Seorang penulis pun berkata, “Pintar-pintar mencari suami biar bisa tetap meluangkan waktu untuk produktif menulis.”

Dan entah beberapa pesan lainnya dengan nada yang serupa. Pesan-pesan di atas tanpa disadari menunjukkan bahwa pasangan yang dicari memang pasangan yang pengertian. Pasangan yang baik dan memahami apa yang seorang wanita butuhkan.

Legowo, sebuah sifat sabar dan ikhlas karena memang profesi dokter dibutuhkan oleh masyarakat. Maka, ikhlas ini adalah bentuk pengertian. Memberikan ijin beraktivitas yang memberi manfaat, artinya pengertian pula untuk memahami tuntutan aktivitas. Memberi peluang untuk tetap menulis, artinya pengertian pula dalam bentuk memberikan support.

Masih banyak definisi sifat pengertian lainnya. Intinya semua sifat baik itu dibutuhkan, terlebih bagi seorang wanita. Mengapa? Karena wanita tak mungkin melakukan itu semua tanpa pengertian laki-laki. Wanita tak akan menjadi dokter yang siap setiap saat, jika tidak mendapat ijin suaminya. Wanita tak akan bisa bermanfaat di sekitarnya jika tidak mendapat restu sekedar mengenali kebutuhan lingkungannya. Wanita tak mungkin menekuni hobinya jika tak ada pengertian meluangkan waktu dari tugas sebagai istri maupun ibu.

Tetapi tak melulu dipandangan dari sudut pandang laki-laki. Wanita pun harus memiliki kumpulan sifat baik. Wanita juga harus pengertian dalam arti sabar dengan keputusan suami. Wanita juga harus pengertian dengan menaati apa yang dibataskan oleh suami.

Ya, itu semua membutuhkan pengertian. Pengertian lelaki untuk memberikan restu, dan pengertian wanita untuk menjalani sesuai restu. Artinya, wanita tak perlu memaksa demi mendapatkan keinginannya karena laki-laki sudah mengerti apa yang dibutuhkannya. Di sisi lain wanita tak perlu berdosa karena terpaksa berselisih atau membangkang dari suaminya hanya demi memenuhi kebutuhannya.

Maka, pengertian itu memang salah satu kuncinya. Karena pengertian adalah kumpulan sifat baik, maka akan baik pulalah keduanya. Lelaki menjadi baik karena memahami, wanita menjadi baik karena mentaati.

Sunday, 29 July 2012

Gara-gara Kamu

05:48 0 Comments

Jika ada seorang lelaki dan seorang perempuan, yang ketiga adalah syaithon. Hadits tersebut dimaknai syaithon dalam arti penggoda syahwat antara keduanya. Tetapi, ada makna ‘syaithon’ lainnya.

Bukan hal yang jarang kita temui sebuah candaan memasangkan seorang lelaki dengan perempuan. Istilah bahasa Jawanya yaitu ‘macokke’, semacam candaan menjodohkan seseorang dengan orang lain. Seorang ustadz berkata, bisa jadi orang yang melakukan candaan tersebut adalah syaithon dalam bentuk lainnya.

Mengapa seekstrem itu?

Mari kita lihat seperti ini. Syaithon adalah penggoda antara laki-laki dan perempuan. Dalam keadaan bercanda tersebut, orang yang melontarkan candaan memang menggoda laki-laki dan perempuan. Meskipun godaan yang dimaksud di sini adalah godaan dalam makna candaan.

Tetapi, ternyata masalah godaan ini tidak bisa dianggap sederhana. Memang benar, seseorang bisa tebal muka dan menganggap angin lalu semua celotehan tentangnya. Tetapi, bukan tidak mungkin sedikit candaan itupun mampu membuatnya berpikir. Setidaknya sekedar berpikir, apakah benar demikian adanya. Jika dia menafsirkan tidak, maka habis perkara. Tapi jika dia semakin penasaran, atau justru mengiyakan, maka timbulah masalah selanjutnya.

Godaan yang semula hanya candaan itupun berubah menjadi pemicu godaan syahwat yang selanjutnya. Mengapa? Karena kita tidak tahu, barangkali ada penyakit hati di antara laki-laki dan perempuan yang kita goda. Dan penyakit itu terjadi karena bakteri dan virus yang terus-menerus kita tularkan pada mereka.

Mungkin pada mulanya mereka berdua sama sekali tidak saling suka. Tetapi karena terlalu seringnya kita menggoda, bisa jadi sedikit demi sedikit mulai ada kecenderungan. Entah kecenderungan untuk menghindar, atau justru kecenderungan untuk mendekat secara tidak disadari. Jika ini berlanjut, bisa jadi syahwat sesungguhnya sebagai bentuk godaan syaithon benar-benar terjadi.

Andai kesalahan fatal itu terjadi, kitalah biang keroknya. Jika benar akhirnya ada syahwat di antara keduanya, kitalah sang pencetus syaithonnya. Sebaliknya, jika mereka justru saling membenci, kita pulalah yang menyebabkan itu terjadi. Secara tidak langsung kita menjadi penyebab rusaknya hubungan ukhuwah dan silaturahmi di antara mereka. Jika sudah demikian, apa bedanya kita dengan tugas syaithon?

Maka, jaga setiap ucapan kita. Jangan menggoda jikalau tak ingin mereka celaka. Karena tentu kita tak ingin diri kita menjadi syaithon yang melemahkan iman saudara-saudara kita. Naudzubillah…

Saturday, 28 July 2012

Pemuja Rahasia

05:40 0 Comments

Mungkin kau tak kan pernah tahu betapa mudahnya kau untuk dikagumi
Mungkin kau tak kan pernah sadar betapa mudahnya kau untuk dicintai

Itu sebuh lirik lagu di jaman awal-awal puber dulu. Sebuah lagu yang dikenal karena booming di kalangan teman-teman SD pada saat itu. Judulnya pemuja rahasia, dan lirik di atas menyiratkannya.

Terkadang, kita melihat seseorang sungguh begitu mempesona. Hingga hampir semua orang mengakuinya. Tepat seperti lirik di atas. Mungkin orang itu tidak tahu bahwa dirinya sungguh mudah untuk membuat orang kagum padanya. Atau lebih parahnya, mungkin ia tidak sadar bahwa pesonanya telah membuat banyak orang begitu mudah mencintainya.

Dalam kasus di atas, orang yang sedemikian mengagumkan tersebut ibarat seorang idola. Ada banyak penggemar di mana-mana dan bisa jadi semua itu hanyalah pemuja rahasia. Karena mungkin memang sekedar mengagumi, atau memang mencintai namun cukup hanya di situ. Persis seperti penggalan lirik selanjutnya “Aku tak sampai hati bila harus menyentuhmu”.

Kita tidak membahas para pemuja rahasia itu, tapi sebaliknya justru menyoroti sang idola dadakan. Mungkin dia sendiri pun tak bermaksud untuk membuat banyak orang mudah mengaguminya, apalagi sampai membuat banyak orang mudah mencintainya. Tapi, mengapa bisa terjadi hal yang sedemikian itu?

Terlepas dari barangkali sang pemuja tidak menjaga pandangannya, pada dasarnya memang dijadikan indah pandangan manusia terhadap wanita dan seterusnya. Allah SWT sendiri yang mengatakan demikian. Maka, memang wajar kiranya banyak pria yang memuja wanita tertentu.

Tetapi jika akhirnya kekaguman atau rasa cinta itu hanyalah sekedar rasa yang justru barangkali akan mengganggu, di sinilah muncul sebuah tanda bahaya. Ini dikatakan mengganggu karena sang pemuja terpaksa akan menguntit pujaannya. Atau paling tidak merasa bahwa dirinya akan dibayang-bayangi oleh orang amazing tadi.

Yang dikhawatirkan adalah wanita atau pria yang memang mempesona tersebut rawan sekali untuk menjadi pelaku penebar harapan palsu alias PHP. Karena pesonanya, banyak orang yang menjadi salah tafsir. Dengan salah tafsirnya itulah, orang-orang akan makin mudah mengagumi dan mencintainya,

Maka, menjaga diri dan menjaga sikap itu kuncinya. Tanpa sebuah penjagaan, orang akan terlalu mudah dikagumi dan dicintai. Tetapi dengan menjaga sikap pribadi kita, barangkali kita dapat membantu orang-orang di sekitar kita untuk menjaga hatinya, menjaga agar mereka tidak menjadi pemuja rahasia, yang terkesan tergila-gila tanpa bisa berkutik dari jerat pesonanya.

Membantu orang lain untuk menjaga diri, bukankah itu mulia? Dan lebih mulia pula karena kita pun menjaga sikap diri kita. Maka, mari kita kontrol diri kita agar tak hanya tebar pesona dan menjerat para pemuja rahasia.

Friday, 27 July 2012

Wanita Tangguh

05:36 0 Comments

Dulu, wanita dianggap makhluk di bawah pria. Tapi, seiring isu-isu emansipasi, banyak wanita yang semakin mensejajarkan diri. Bahkan tak jarang, wanita bisa jadi memiliki posisi yang lebih tinggi.

Mereka terlihat sangat sukses. Cerdas dan tangguh. Mendekati sempurna, barangkali. Tapi dengan kesempurnaanya, terkadang mereka justru khawatir pada diri mereka sendiri. Dengan posisinya yang sedemikian tinggi, adakah laki-laki yang mau mendaki?

Tak jarang kita temui seorang direktur wanita sukses tak segera menikah, atau wanita lulusan S-3 tapi tak segera melepas masa lajangnya. Bukan semata-mata karena mereka mengejar karier atau akademis, tapi karena tak seorang pun pria yang tergetar hatinya untuk mendekat.

Ini bukan sesimpel karena tak ada satu pun pria yang memandangnya. Pasti ada, bahkan mungkin sangat banyak. Tapi, mata yang memandang itu hanya menatap saja, sekedar mengagumi. Seandainya mereka diminta untuk mempersuntingnya, terpaksa mereka harus berpikir beberapa kali. Mengapa? Karena mungkin mereka merasa tak pantas, atau tak mau bersusah diri. Barangkali mereka berkomentar, “Dia terlalu tinggi, terlalu tak terjangkau.”

Ibaratnya seperti pohon apel. Buah apel yang bergelantungan di pohon begitu memikat hati seseorang. Ada apel yang di bawah, di tengah, maupun di pucuk atas. Apel-apel itu sama-sama menggiurkan. Seandainya ada apel di pucuk atas yang demikian ranum, orang yang melintas belum tentu langsung sigap meraihnya. Mereka akan pikir-pikir panjang. Bisakah aku mencari galah? Atau, aku takut jatuh kalau harus memanjat. Akhirnya, mereka ambil saja apel yang di bagian bawah. Yang terjangkau, yang tak perlu repot. Toh, pada dasarnya tetap sama saja bisa menikmati sebuah apel.

Apel yang di pucuk paling atas mungkin merasa sedikit tidak terima. Kekhawatiran untuk busuk bisa saja terjadi. Tetapi ketika ada seseorang yang berhasil meraih apel itu, pasti akan terjadi hal yang luar biasa. Sang pengambil akan memperlakukan apel itu lebih istimewa karena sudah susah payah berusaha. Orang lain yang semula hanya sanggup berharap pasti turut pula mengakui perjuangannya.

Demikian juga wanita tangguh tadi. Ada kekhawatiran ia akan lapuk di makan usia karena tak seorang pun pria berani mendekat. Atau dia khawatir karena banyak pria yang cukup puas mendapat yang terbaik dari sudut pandang mereka, sudut pandang yang tak berani berharap padanya. Tapi, pasti akan ada pria yang jauh lebih cerdas yang akan mendapatkannya. Pria yang punya sebuah galah. Pria yang tangguh pula karena berani memanjat tanpa takut cedera.

Artinya, wanita tangguh pasti mendapat lelaki tangguh. Setidaknya tangguh dalam berjuang mendapatkannya. Maka, tak perlu berpikir buruk bahwa akan busuk di pucuk. Tetaplah menjadi wanita tangguh, termasuk tangguh menunggu demi sesosok pria yang tangguh.

Thursday, 26 July 2012

Kehendak Pribadi atau Illahi

08:02 0 Comments
Setiap saat kita boleh berdo’a. Dalam kaitannya dengan urusan pasangan pun, menyebut namanya sah-sah saja dilakukan kapan saja. Namun, ada sebuah do’a yang memang kita wajib menyebut namanya. Do’a itu adalah do’a istikharah, yang dilakukan setelah sholat istikharah.

Banyak orang salah mengartikan bahwa sholat istikharah adalah sholat dan do’a untuk meminta jawaban atas pertanyaan. Bisa jadi orang berdoa, “Ya Allah, tolonglah hamba untuk memilih antara A dan B”. Lantas, ia menunggu jawaban dari Allah. Padahal, ada aturan khusus untuk melakukan istikharah.

Ketika melakukan istikharah, orang harus memiliki kecenderungan terhadap sesuatu. Taruhlah sebagai contoh kasus di atas, apakah ia memilih A dan B. Sebagai manusia, setidaknya kita memiliki hati dan pikiran untuk cenderung kepada salah satu hal. Ambil saja ternyata lebih cenderung pada A.

Maka, A itulah yang diistikharahkan. Mengapa demikian? Karena do’a setelah istikharah memang demikian adanya.

Dalam redaksi bahasa Indonesia, do’a istikharah kurang lebih seperti ini.

“Ya Allah jika engkau mengetahui bahwa urusan ini (A) baik untukku dalam agamaku, dan duniaku, dan akibatnya di dunia dan akhirat, takdirkanlah ia untukku dan berkahkanlah aku di dalamnya. Kemudian mudahkanlah ia untukku”

“Dan jika engkau mengetahui bahwa urusan ini (A) buruk bagiku dalam agamaku, dan duniaku, dan akibatnya di dunia dan akhirat, maka hindarkanlah aku darinya dan hindarkanlah ia dariku. Dan takdirkanlah bagiku yang lebih baik daripada itu.”

See? Artinya, memang harus ada sebuah kecenderungan untuk fill the blank urusan yang kita pertanyakan. Dengan adanya sebuah kecenderungan itu maka jawaban Allah pun akan menjadi lebih jelas untuk ditangkap. Apakah A semakin mudah atau justru semakin sulit bagi kita.

Tetapi, aturan istikharah tak cukup sampai di situ. Mengapa? Karena bisa jadi saking menggebunya kita terhadap A, maka A-lah yang masuk ke mimpi kita. Karena terlalu ‘bernafsu’ pula, kita lah yang semakin pedekate padanya. Sehingga kita menganggap bahwa inilah jawaban Allah. Padahal bisa jadi itu hanyalah kehendak pribadi kita yang dianggap seolah-olah kehendak Illahi.

Maka, ada aturan selanjutnya yaitu musyawarah.

Istikharah harus dibarengi dengan musyawarah. Tanyakan juga urusan yang kita bimbangkan pada orang yang kita anggap mampu atau paham. Dengan demikian, keinginan kita akan dilihat dari sudut pandang orang lain. Jikalau ternyata hanya nafsu semata, orang lain pun bisa mengingatkan. Sebaliknya, jika memang itu baik, bisa jadi orang lain lah yang menjadi jalan memudahkan seperti do’a sebelumnya.

Karena Rasulullah SAW bersabda, “Ma nadima manistasyara, wa la khaba manistakhara”. Tidak akan ada penyesalan karena musyawarah dan tidak ada kerugian karena istikharah.

Maka, bermusyawarahlah untuk menentukan A, dan beristikharahlah untuk mendapat ridho-Nya. Agar kehendak kita benar-benar kehendak Illahi, bukan semata-mata kehendak pribadi.