Ketika kita sholat, orang yang paling menentukan adalah
seorang imam. Cepat lambatkah, khusyuk tidakkah, imamlah faktor yang sangat
berperan. Seorang imam adalah pemimpin. Dan ia memiliki paling tidak seorang makmum
sebagai orang yang ia pimpin.
Seorang makmum pastilah orang yang mengikuti imamnya, karena
jika tidak sama dengan imam berarti mereka bukan satu jama’ah. Saat sholat
didirikan, makmum haruslah sami’na wa atho’na,
kami dengar dan kami taati. Makmum akan mendengarkan bacaan atau seruan imam,
dan kemudian akan mengikuti setiap gerakan imam.
Layaknya sholat, seorang laki-laki dan perempuan yang telah
menikah pun ibarat membuat sebuah jama’ah. Sang laki-laki adalah imam, dan
perempuan adalah makmum. Sebagai imam, laki-laki memang berhak untuk ‘menyeru’
dan ‘bergerak’. Di lain sisi, sebagai makmum, wanita memang wajib ‘mendengar’
dan ‘mengikuti’.
Jika dilihat sedangkal itu bisa jadi justru diartikan
seorang imam bisa bertindak sesuka hati dan seorang makmum sungguh merana
sekali. Tetapi ternyata tidak demikian.
Menjadi seorang imam tidaklah gampang. Imam yang baik juga
memiliki kriteria tertentu, mulai dari bacaan yang fasih, hafalan yang banyak,
atau lebih dewasa. Imam juga harus mengetahui tata cara sholat yang benar yang
sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Artinya, demikian juga dengan lelaki. Seorang
lelaki juga harus memenuhi kriteria ketika memimpin. Tidak hanya menyeru untuk
mengikuti gerakannya, tetapi paham apakah seruannya itu ‘fasih’ dan memang
benar-benar ia kuasai, apakah ia memiliki ‘hafalan’ dasar yang kuat untuk
menyuruh hal tersebut, dan apakah seruan dan gerakannya memang sesuai atu
diperbolehkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Artinya, mereka pun tak bisa sembarangan
dalam memimpin.
Dari sudut pandang makmum pun demikian. Makmum tak
semata-mata hanya mengikuti saja. Ketika imam salah, makmum juga punya hak
bahkan wajib untuk mengingatkannya. Demikian juga perempuan. Ketika laki-laki
salah, dia pun punya hak untuk membetulkan.
Ketaatan ini pun tidak harus dipandang sebagai taklid buta.
Dalam hal sholat saja ada banyak perbedaan yang terjadi. Entah itu mengangkat
telapak tangan setinggi telinga, bahu, atau dada. Tetapi meskipun sedikit
berbeda, makmum tetap melakukan gerakan itu. Artinya, penyesuaian diri dengan
kondisi dan keyakinan yang lebih mantap juga perlu dipertimbangkan sehingga
wanita tak hanya menurut bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya. Tetapi
lagi-lagi, asalkan semua ada dalilnya.
Dan imam tentunya adalah imam ketika sholat. Jika ternyata
imam justru menyuruh tidak sholat, tentu bukan imam namanya. Artinya bukan seseorang
yang harus diikuti gerakannya. Demikian juga dengan laki-laki. Jika yang
diserukan adalah hal yang buruk atau bentuk kedurhakaan pada Allah SWT, maka
tidak wajib bahkan jangan sampai diikuti oleh para perempuan. Karena memang
perempuan berhak membangkan jika laki-laki menyuruhnya berbuat kesyirikan.
Jika imam khusyuk, maka kemungkinan besar khusyuk pula
jamaahnya. Makmum taat, sholat nikmat. Jika laki-laki khusyu, maka kemungkinan
besar khusyu pula perempuannya. Perempuan taat, kehidupan pun semakin nikmat.