Follow Us @soratemplates

Thursday, 26 July 2012

Kehendak Pribadi atau Illahi

Setiap saat kita boleh berdo’a. Dalam kaitannya dengan urusan pasangan pun, menyebut namanya sah-sah saja dilakukan kapan saja. Namun, ada sebuah do’a yang memang kita wajib menyebut namanya. Do’a itu adalah do’a istikharah, yang dilakukan setelah sholat istikharah.

Banyak orang salah mengartikan bahwa sholat istikharah adalah sholat dan do’a untuk meminta jawaban atas pertanyaan. Bisa jadi orang berdoa, “Ya Allah, tolonglah hamba untuk memilih antara A dan B”. Lantas, ia menunggu jawaban dari Allah. Padahal, ada aturan khusus untuk melakukan istikharah.

Ketika melakukan istikharah, orang harus memiliki kecenderungan terhadap sesuatu. Taruhlah sebagai contoh kasus di atas, apakah ia memilih A dan B. Sebagai manusia, setidaknya kita memiliki hati dan pikiran untuk cenderung kepada salah satu hal. Ambil saja ternyata lebih cenderung pada A.

Maka, A itulah yang diistikharahkan. Mengapa demikian? Karena do’a setelah istikharah memang demikian adanya.

Dalam redaksi bahasa Indonesia, do’a istikharah kurang lebih seperti ini.

“Ya Allah jika engkau mengetahui bahwa urusan ini (A) baik untukku dalam agamaku, dan duniaku, dan akibatnya di dunia dan akhirat, takdirkanlah ia untukku dan berkahkanlah aku di dalamnya. Kemudian mudahkanlah ia untukku”

“Dan jika engkau mengetahui bahwa urusan ini (A) buruk bagiku dalam agamaku, dan duniaku, dan akibatnya di dunia dan akhirat, maka hindarkanlah aku darinya dan hindarkanlah ia dariku. Dan takdirkanlah bagiku yang lebih baik daripada itu.”

See? Artinya, memang harus ada sebuah kecenderungan untuk fill the blank urusan yang kita pertanyakan. Dengan adanya sebuah kecenderungan itu maka jawaban Allah pun akan menjadi lebih jelas untuk ditangkap. Apakah A semakin mudah atau justru semakin sulit bagi kita.

Tetapi, aturan istikharah tak cukup sampai di situ. Mengapa? Karena bisa jadi saking menggebunya kita terhadap A, maka A-lah yang masuk ke mimpi kita. Karena terlalu ‘bernafsu’ pula, kita lah yang semakin pedekate padanya. Sehingga kita menganggap bahwa inilah jawaban Allah. Padahal bisa jadi itu hanyalah kehendak pribadi kita yang dianggap seolah-olah kehendak Illahi.

Maka, ada aturan selanjutnya yaitu musyawarah.

Istikharah harus dibarengi dengan musyawarah. Tanyakan juga urusan yang kita bimbangkan pada orang yang kita anggap mampu atau paham. Dengan demikian, keinginan kita akan dilihat dari sudut pandang orang lain. Jikalau ternyata hanya nafsu semata, orang lain pun bisa mengingatkan. Sebaliknya, jika memang itu baik, bisa jadi orang lain lah yang menjadi jalan memudahkan seperti do’a sebelumnya.

Karena Rasulullah SAW bersabda, “Ma nadima manistasyara, wa la khaba manistakhara”. Tidak akan ada penyesalan karena musyawarah dan tidak ada kerugian karena istikharah.

Maka, bermusyawarahlah untuk menentukan A, dan beristikharahlah untuk mendapat ridho-Nya. Agar kehendak kita benar-benar kehendak Illahi, bukan semata-mata kehendak pribadi.



No comments:

Post a Comment