Banyak orang salah mengartikan bahwa sholat istikharah
adalah sholat dan do’a untuk meminta jawaban atas pertanyaan. Bisa jadi orang
berdoa, “Ya Allah, tolonglah hamba untuk memilih antara A dan B”. Lantas, ia
menunggu jawaban dari Allah. Padahal, ada aturan khusus untuk melakukan
istikharah.
Ketika melakukan istikharah, orang harus memiliki
kecenderungan terhadap sesuatu. Taruhlah sebagai contoh kasus di atas, apakah
ia memilih A dan B. Sebagai manusia, setidaknya kita memiliki hati dan pikiran
untuk cenderung kepada salah satu hal. Ambil saja ternyata lebih cenderung pada
A.
Maka, A itulah yang diistikharahkan. Mengapa demikian?
Karena do’a setelah istikharah memang demikian adanya.
Dalam redaksi bahasa Indonesia, do’a istikharah kurang lebih
seperti ini.
“Ya Allah jika engkau mengetahui bahwa urusan ini (A) baik
untukku dalam agamaku, dan duniaku, dan akibatnya di dunia dan akhirat,
takdirkanlah ia untukku dan berkahkanlah aku di dalamnya. Kemudian mudahkanlah
ia untukku”
“Dan jika engkau mengetahui bahwa urusan ini (A) buruk bagiku
dalam agamaku, dan duniaku, dan akibatnya di dunia dan akhirat, maka
hindarkanlah aku darinya dan hindarkanlah ia dariku. Dan takdirkanlah bagiku
yang lebih baik daripada itu.”
See? Artinya, memang harus ada sebuah kecenderungan untuk
fill the blank urusan yang kita pertanyakan. Dengan adanya sebuah kecenderungan
itu maka jawaban Allah pun akan menjadi lebih jelas untuk ditangkap. Apakah A
semakin mudah atau justru semakin sulit bagi kita.
Tetapi, aturan istikharah tak cukup sampai di situ. Mengapa?
Karena bisa jadi saking menggebunya kita terhadap A, maka A-lah yang masuk ke
mimpi kita. Karena terlalu ‘bernafsu’ pula, kita lah yang semakin pedekate
padanya. Sehingga kita menganggap bahwa inilah jawaban Allah. Padahal bisa jadi
itu hanyalah kehendak pribadi kita yang dianggap seolah-olah kehendak Illahi.
Maka, ada aturan selanjutnya yaitu musyawarah.
Istikharah harus dibarengi dengan musyawarah. Tanyakan juga
urusan yang kita bimbangkan pada orang yang kita anggap mampu atau paham. Dengan
demikian, keinginan kita akan dilihat dari sudut pandang orang lain. Jikalau
ternyata hanya nafsu semata, orang lain pun bisa mengingatkan. Sebaliknya, jika
memang itu baik, bisa jadi orang lain lah yang menjadi jalan memudahkan seperti
do’a sebelumnya.
Karena Rasulullah SAW bersabda, “Ma
nadima manistasyara, wa la khaba manistakhara”. Tidak akan ada penyesalan
karena musyawarah dan tidak ada kerugian karena istikharah.
Maka, bermusyawarahlah untuk menentukan A, dan
beristikharahlah untuk mendapat ridho-Nya. Agar kehendak kita benar-benar
kehendak Illahi, bukan semata-mata kehendak pribadi.
No comments:
Post a Comment