Tapi seorang wanita merintih berkata, "Tolong jadikan aku Fatimah, yang hanya seorang diri saja tanpa ada wanita-wanita lainnya."
Permintaannya sederhana, tapi nyatanya sulit untuk menjadi realita.
Seorang laki-laki lantas berkisah, "Kalau kamu ingin menjadi Fatimah, maka kau harus rela menunggu laki-laki buta penunggu burung gereja." Dan mulailah laki-laki itu bercerita.
Dahulu kala ada seorang putri yang cantik jelita. Sudah banyak sekali pangeran yang datang untuk melamar menjadi suaminya. Tak ada yang kurang dari pangeran-pangeran itu. Tetapi sang putri tetap saja menolak. Ternyata dia takut pangeran-pangerannya yang sempurna itu terlalu mempesona gadis-gadis lainnya. Dia tidak siap untuk disakiti. Maka, putri itu pun rela menunggu seseorang yang tidak sempurna asalkan tidak membagi dirinya dengan wanita lainnya. Dan satu-satunya laki-laki yang memenuhi kriteria tersebut adalah laki-laki buta penunggu burung gereja. Kenapa? Karena ia buta, sehingga tak mampu untuk melihat kiri kanan dan menebar pesonanya pada gadis jelita lainnya.
Laki-laki itu pun mengakhiri kisahnya, "Kalau kamu ingin menjadi Fatimah, bersiaplah mendapatkan laki-laki yang cacat, layaknya laki-laki buta penunggu burung gereja."
Sang wanita pun memaklumi. Di jaman seperti ini, laki-laki pun mempermak diri. Ibaratnya orang yang mencari ikan. Pesona lelaki tak hanya dikaitkan pada sebuah kail saja. Tak jarang lelaki menggunakan jala agar mendapat ikan lebih banyak. Atau justru memakai pukat, sehingga ikan-ikan kecil tak berdosa pun terkena pula imbasnya.
Tentu saja, di jaman serba canggih seperti ini tak mungkin mencari ikan dengan sebuah pancing lagi. Kalau pun ada, pasti laki-laki itu cacat secara teknologi. Atau kalaupun ada, itu karena laki-laki itu memang hobi. Rela menunggu lama sekalipun akhirnya hanya mendapat satu ikan yang tersangkut di pancingnya.
Ya, untuk menjadi seorang Fatimah memang dibutuhkan lelaki yang cacat atau pemancing yang setia. Lelaki yang cacat matanya dari melihat kemaksiatan, yang cacat bibirnya dari berkata kotor, yang cacat telinganya dari mendengar hal buruk, yang cacat tangannya dari mengambil yang tidak halal, yang cacat kakinya di jalan penuh kenistaan.
Atau lelaki pemancing setia. Yang tak tergoda kecanggihan zaman dengan segala tipu dayanya. Yang tetap setia dengan sebuah pancing udiknya. Yang akan rela menunggu berlama-lama demi seekor ikan. Yang karena telah lama menunggu maka akan memperlakukan ikan itu dengan sebaik-baiknya. Yang semua itu dilakukan karena hobi, sebuah kesenangan untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan menjalani proses secara baik. Tanpa pukat, tanpa jala yang meraja lela.
Maka, jika laki-laki tadi terkesan merendahkan dengan berkata, "Kalau mau jadi Fatimah harus rela mendapat laki-laki cacat," kini justru sang wanita yang balik bertanya, "Apakah masih ada lelaki cacat atau seorang pemancing setia?"
No comments:
Post a Comment