Follow Us @soratemplates

Wednesday, 30 November 2011

Galau? Temukan Inner Peace-mu!

19:58 11 Comments
Bagi Anda yang suka mengikuti film di bioskop, mungkin tidak asing dengan film Kungfu Panda II. Sebuah film animasi menceritakan pendekar dengan wujud hewan yang sarat dengan posan moral. Beberapa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton film tersebut. Saya mendapatkan sebuat kata-kata mantra, 'inner peace'.

Dalam film tersebut, Po sebagai pendekar panda sedang merasakan kegalauan karena penasaran ingin tahu siapa orang tua kandungnya. Karena pikirannya yang tidak tenang itulah, Po pun kalah saat bertarung. Pada saat itu Po menyadari pentingnya inner peace yang diajarkan gurunya. Ketika pikirannya tak fokus, dengan mudah musuh menyerang. Ketika hatinya tak tenang, dengan gampanganya musuh mendapat kemenangan.

Lalu Po pun introspeksi diri. Dia melupakan ambisinya untuk menemukan siapa orang tuanya. Akhirnya dia kembali mendapatkan ketenangan dirinya dan memenangkan pertarungan.

Saya merefleksikan adegan film tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika pikiran dan perasaan tidak tenang, dengan mudahnya musuh-musuh berupa rentetan masalah akan menang menyerang kita, membuat kita kalah dan tenggelam dalam kegalauan.

Banyak orang yang akhir-akhir ini merasa galau, bahkan kata galau menjadi kata sifat paling populer yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Resah diibaratkan galau, stress disamakan dengan galau. Sedikit-sedikit orang merasa kalau dirinya galau.

Saya sendiri merasa heran. Mengapa dengan mudahnya orang merasa galau? Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, galau adalah kacau tidak karuan dari segi pikiran. Apakah sedemikian banyaknya orang yang pikirannya kacau?

Menurut saya, galau bisa terjadi ketika kita tidak memiliki inner peace. Pikiran dan hati kita tak tenang sehingga yang ada hanyalah kegalauan. Ketika jadwal kegiatan begitu padat, kita menjadi tidak tenang karena dituntut untuk segera menyelesaikan. Kita pun menjadi galau. Ketika kita menginginkan atau membutuhkan sesuatu dan segala usaha yang kita lakukan belum membuahkan hasil, kita pun menjadi galau.

Ya, galau menandakan hati kita tidak tenang. Bisa karena hati kita terlalu berambisi untuk mengejar sesuatu sehingga kita memaksa hati untuk bergolak. Pergolakan yang terlalu keras tentu menghilangkan ketenangan yang ada dalam diri kita.

Terlepas dari itu, hati yang galau bisa jadi karena sejatinya memang tidak ada inner peace dalam diri kita. Meski tak ada masalah, tak ada kesibukan, tetap saja hati ini tidak tenang. Hm, berarti memang ada yang salah dalam diri kita.

Barangkali ada yang ingat dengan syair yang dilantunkan penyanyi religi beberapa tahun lalu. “Bila hati gelisah, tak tenang, tak tentram. Bila hatimu goyah, terluka, merana. Jauhkah hati ini dari Tuhan, dari Allah. Hilangkah dalam hati, dzikirku, imanku?”

Syair ini rasanya tepat jika disampaikan pada mereka yang mengaku sedang galau. Apakah hati sedang jauh dari Allah? Wajar kiranya jika hati tak tenang karena jauh dari Allah. Tentunya jika dekat dengan Allah, kita akan menyerahkan segala urusan kita pada-Nya. Kalau sudah begini, tentunya tak ada lagi kegalauan yang mendera. Bukankah urusan kita telah diserahkan pada Allah sedangkan Allah adalah maha segalanya. Pasti urusan kita akan selesai dan tak ada apa-apanya di mata Allah.

Tanyakan juga, hilangkah dzikir dan iman dalam hati? Ya, orang yang memiliki iman tentunya percaya bahwa Allah akan selalu menolongnya. Tetapi jika kita tidak memiliki iman, bagaimana kita akan percaya kalau Allah akan menolong kita?

Demikian pula jika kita jarang berdzikir. Jika kita tak pernah berdzikir mengingat Allah, wajar saja kita lupa bahwa ada Allah yang akan menolong kita. Karena kita lupa dan tak percaya bahwa ada Allah yang akan membantu, kita lantas merasa bahwa urusan ini adalah urusan diri kita sendiri. Pikiran pun semakin berat dan hati semakin kacau. Pantas kiranya kalau galau semakin mendera.

Maka, lakukanlah introspeksi seperti yang dilakukan Po dalam film Kungfu Panda II. Mari kita introspeksi, apakah yang membuat hati kita tak tenang. Apakah benar jika kita telah jauh dari Allah? Ataukah memang semakin hilang dzikir dan iman dalam hati kita?

Temukan jawabannya dalam hati kita masing-masing. Jika memang kita merasa jauh dari Allah, mendekatlah. Selangkah kita mendekat pada Allah, beribu langkah Allah akan mendekat pada kita. Kalau sudah begini, tak akan ada lagi rasa tak tenang dalam jiwa.

Perbanyak mengingat Allah dalam setiap kesempatan dan serahkan segala urusan dengan penuh kepercayaan pada Allah. Niscaya hati akan merasa tenang. Bukankah Allah telah menjanjikan akan memberi rasa tenang jika kita selalu mengingat-Nya?

So, buang jauh rasa galau. Temukan inner peace-mu dengan Allah di hatimu.


Monday, 28 November 2011

Mengubah Makna dengan Huruf N

22:55 5 Comments

Iklan susu formula anak-anak memang lucu-lucu. Mulai dari bintang iklannya yang sudah menggemaskan, tingkah polah mereka yang ikut membuat geregetan, atau konsep iklannya yang memang terasa segar dan lucu. Barangkali ada yang tak akan lupa dengan polah seorang anak menari-nari sambil bernyanyi, atau ide anak-anak dalam berusaha menyelesaikan masalah yang dialaminya.

Salah satu ide unik anak tersebut saya temukan di salah satu iklan susu. Seorang anak mengamati akuariumnya terasa begitu kosong. Hanya ada air dan ikan. Lantas dia memasukkan pernak-pernik kecil ke dalam akuarium tersebut. Tetapi, baginya masih terasa kurang. Dia pun mengambil ipad dan mencari gambar-gambar terumbu karang. Setelah menemukan yang cocok, diletakkanlah ipad itu sebagai background dari akuarimnya.

Ada yang berbeda dari keunikan anak-anak pada iklan tersebut jika dibandingkan dengan iklan anak-anak lainnya. Di bagian akhir iklan, tertampil kata ‘NAKAL?’. Setelah itu, huruf ‘N’ dan ‘tanda tanya’ dihapus sehingga tersisalah kata ‘AKAL’.

Kalau kita renungkan, batasan anak nakal dan anak yang banyak akal memang begitu tipis layaknya sebuah huruf ‘N’ yang mengubah ‘AKAL’ menjadi ‘NAKAL’. Ada seorang anak yang bermain hingga kotor. Sebagian orang tua mengatakan anaknya nakal karena hanya bikin kotor, tapi orang tua lain bisa saja menganggap anaknya itu banyak akan dan dengan enteng berkata “Berani kotor itu baik”.

Ya, batasannya memang begitu tipis, tergantung interpretasi masing-masing orang. Benar-benar hanya terpaut satu huruf saja yaitu huruf ‘N’. Selain contoh kata ‘AKAL’ dan ‘NAKAL’, saya juga mendapatkan contoh kata lain yang cukup dipermainkan dengan kehadiran huruf ‘N’ di sana.

Waktu itu adalah awal masuk saya kuliah. Dalam sebuah acara OSPEK, ketua panitia mengatakan kata-kata ini, “PEMIMPIN adalah PEMIMPI dengan huruf N”. Bayangkan! Hanya dengan huruf ‘N’ seorang pemimpi telah menjadi seorang pemimpin.

Barangkali jaman dulu ketika Soekarno beserta tokoh pemuda menggagas proklamasi, tindakan mereka dianggap hanyalah sebuah mimpi. Bukan hal aneh jika mereka dianggap sebagai pemimpi, orang yang benar-benar bermimpi agar Indonesia bisa merdeka. Tetapi, nyatanya mereka tak sekedar pemimpi, melainkan juga pemimpin yang berhasil mewujudkan mimpinya.

Di sinilah keunikannya. Dari sini kita dapat belajar untuk melihat sesuatu dengan lebih dekat, sedekat kita mengamati adakah huruf ‘N’ yang menyertai seperti pada kedua contoh kata di atas. Lihatlah, betapa sebuah huruf saja telah dapat mengubah makna.

Huruf ‘N’ pada kata ‘NAKAL’ dan ‘AKAL’ membedakan tindakan anak tersebut negatif atau positif. Seorang anak bisa saja sesungguhnya bersikap untuk menunjukkan kecerdasan akalnya namun kita menganggapnya sebagai sebuah kenakalan. Maka, lihatlah sedekat batasan huruf ‘N’.

Huruf ‘N’ pada kata ‘NAKAL’ dapat kita buang sehingga berubah menjadi ‘AKAL’. Demikian pula sikap anak-anak. Sikap anak-anak yang cenderung mengarah ke nakal dapat pula kita ubah. Kita bisa mengontrol anak-anak kita dan membuang unsur-unsur negatif dari perilaku anak-anak itu layaknya kita membuang huruf ‘N’ dari kata ‘NAKAL’. Dengan begitu akan tersisa kata ‘AKAL’ yang merupakan gambaran perilaku positif dari anak yang mencerminkan kecerdasan akalnya.

Begitu juga dalam konteks kata ‘PEMIMPIN’ dan ‘PEMIMPI’. Huruf ‘N’ pada kata ‘PEMIMPIN’ dan ‘PEMIMPI’ membedakan tingkah laku seseorang sebagai hal yang positif atau justru mengkategorikannya sebagai perilaku yang cenderung negatif. Seseorang bisa dianggap poisitif ketika dia menjadi seorang pemimpin. Namun, bisa jadi orang itu akan dicap negatif ketika dia menjadi pemimpi yang hanya bisa bermimpi. Maka, lihat dulu kedua kata itu dengan lebih seksama, layaknya mengamati perbedaan tipis dari ada dan tidaknya huruf ‘N’ di sana.

Huruf ‘N’ dapat kita tambahkan pada kata ‘PEMIMPI’ sehingga berubah menjadi ‘PEMIMPIN’. Demikian pula sikap seseorang. Seseorang yang cenderung terkesan hanya dapat bermimpi tanpa sebuah realisasi dapat pula kita ubah. Kita bisa memotivasi orang tersebut untuk segera bertindak, mewujudkan mimpinya melalui sebuah tindakan nyata dengan sebuah persiapan yang nyata pula. Bahkan jika mimpi itu adalah hal yang benar-benar baru sekalipun, kita tetap dapat mengubahnya dengan motivasi dan tekad yag kuat untuk mewujudkannya. Dalam hal ini yang dibutuhkan hanyalah menambahkan tindakan nyata pada mimpi itu layaknya kita menambahkan huruf ‘N’ pada kata ‘PEMIMPIN’. Dengan begitu akan muncul kata ‘PEMIMPIN’, seseorang yang menjadi pelopor dari sebauh ide yang benar-benar baru tersebut.

Hanya dengan sebuah huruf saja, telah terjadi perubahan makna yang sangat berbeda. Maka, mari kita melihat lebih dekat. Barangkali sebuah keburukan dapat dengan mudah kita ubah menjadi hal yang lebih baik, semudah menambah atau membuang sebuah huruf ‘N’.



Thursday, 24 November 2011

Berani Menulis Artikel #1

04:26 4 Comments



Itu adalah judul sebuah buku yang saya dapatkan beberapa minggu yang lalu. Dari judulnya saja sudah cukup menyindir saya. Ya, berani menulis artikel. Bagi saya yang masih berada di zona nyaman ‘asal tulis’ sungguh merasa tersindir. Di buku ini saya menemukan begitu banyak pelajaran. Kali ini, saya akan memaparkan intisari dari bab pertama saja.

Yang kita tahu, artikel adalah sebuah tulisan yang ada di koran, majalah, atau media massa lainnya. Apakah sebatas itu? Bagaimana membedakannya dengan berita pada umumnya?

Artikel cenderung merupakan sebuah tulisan atas nama pribadi. Di sana tercantum nama penulisnya karena memang artikel biasanya bersifat subjektif. Namun selain artikel, juga terdapat jenis tulisan yang bersifat subjektif pula seperti esai dan features. Ketiganya serupa tapi tak sama. Esai cenderung mirip dengan features, sedangkan esai/features memiliki beberapa ciri yang berbeda dengan artikel.

Persamaan dari ketiganya yaitu sama-sama bersifat subjektif dan berpeluang untuk mendatangkan pencerahan. Ketiganya sama-sama bermaksud untuk memaparkan suatu hal. Namun artikel lebih bersifat argumentatif, yaitu suatu pendapat dengan diikuti bukti-bukti atau dasar yang kuat, sedangkan esai/features lebih bersifat persuasive atau mengajak para pembaca.

Artikel cenderung berusaha untuk memaparkan persoalan actual dan berusaha untuk memecahkan persoalan tersebut. Tetapi esai/features tidak sampai seperti itu. Esai/features cenderung hanya menyajikan persoalan yang itupun bersifat fragmentaris.

Dari segi gaya bahasa pun berbeda. Artikel lebih terkesan bernada tegas, lugas, dan serius, sedangkan esai/features lebih sering menggunakan bahasa yang ringan, segar, dan terkesan akrab.
Dalam buku ini juga diceritakan bagaimana perkembangan jurnalisme dari masa lampau hingga masa kini untuk memudahkan pembaca memahami apa itu dunia jurnalistik. Namun definisi kata jurnalistik, publisistik, dan pers agaknya sedikit rancu dewasa ini. Untuk memahami jurnalisme masa kini tersebut, yang penting adalah kita tahu cirri-ciri utama dari sebuah komunikasi massa.

Komunikasi massa bersifat searah. Kita asal tulis aja, dan belum tentu semua orang akan memberikan feed back. Menunya beragam karena kita bisa menulis apapun yang kita mau. Sebarannya juga sangat luas. Kita bisa saja hanya menulis 1 artikel, tetapi ketika artikel kita dibaca orang lalu diceritakan ke orang lain, artinya informasi yang kita berikan dalam artikel tersebut telah menyebar pada orang lain. Jangkauan sebarannya ini dapat tidak terbatas. Tetapi sebuah komunikasi massa tentunya memiliki segmentasi tertentu dan terlembaga secara professional. Dengan segmentasi tersebut maka informasi akan sampai tepat sasaran serta terkesan lebih menarik, dan dengan adanya lembaga yang professional maka dapat membuat segmentasi tersebut tersusun secara baik.

Perkara selanjutnya adalah bagaimanakah suatu tulisan disebut sebagai media cetak. Apakah kumpulan tulisan saja lantas disebut sebagai media cetak? Dalam buku ini dipaparkan ragam media cetak berupa majalah, jurnal, koran, tabloid, serta buletin.

Dengan membaca artikel, publik sering terpengaruh terhadap isi artikel tersebut. Hal ini memang sangat mungkin terjadi karena artikel memiliki fungsi sebagai pembentuk opini publik. Beberapa tulisan dalam media massa yang bersifat opini dan dapat mempengaruhi opini public seperti tajuk, karikatur, pojok, artikel, kolom, maupun surat pembaca.

Di sinilah fungsi artikel itu berperan. Dengan membuat artikel, kita dapat menyampaikan opini kita yang bersifat subjektif. Dan dengan adanya media massa yang menampilkan artikel kita, maka opini kita bisa jadi mempengaruhi banyak orang sehingga terciptalah opini public. Inilah yang disebut efek jurnalisme., sebuah efek dahsyat yang muncul dari sebuah artikel opini dengan sebaran yang tak terbatas.

Maka, mari menulis artikel dan rasakan kedahsyatan jurnalisme yang mengusung opini kita.


Sumber: Berani Menulis Artikel karya Wahyu Utomo

Friday, 11 November 2011

Uji Beda Proporsi

23:27 4 Comments


Drs. Widardo

Uji proporsi bisa dilakukan untuk beda 2 proporsi atau 1 proporsi.

Contoh kita punya data nominal atau kategorikal, terdiri dari 2 kelompok.
Misal kita mau neliti proporsi penyakit gizi buruk.
Misal di Solo prevalensi gizi buruk 14%. Trus kita melakukan intervensi. Habis itu cek prevalensinya. Udah beda atau ga.
Ini namanya uji beda proporsi, dengan 2 proporsi.

Kalo 1 proporsi digunakan untuk mengecek pendapat, anggapan, atau standar terhadap kasus tertentu. Dilakukan pengecekan untuk melihat kenyataannya.
Misal: ada pakar yang bilang kalo di daerah Solo yang ikut program KB hanya 80%.
Trus kita lakukan penelitian untuk membantah pendapat ahli tersebut. Berapa yang disurvey, berapa yang ikut KB. Kita lihat apakah proporsi yang ikut KB sama dengan yang dikatakan pakar tersebut.

Tapi yang sering dilakukan itu uji beda 2 proporsi. Soalnya yang uji 1 proporsi Cuma buat nguji omongan pakar benar ga.

Uji beda proprosi paling mudah menggunakan chi square.

Nanti masing-masing uji beda proporsi itu ada rumusnya sendiri-sendiri.

Contoh soal:
Pakar mengatakan KB di Solo baru 85%.
Trus kita bandingkan dengan data di lapangan.
(Rumus lihat sendiri ya...)
-          Nilai z diketahui, x diketahui, ada proporsi anggapan, N banyaknya sampel.
-          Ho diterima jika z hitung < z alfa.
-          Dari hasil survey 6800 orang. Yang KB 5884. Yang ga 976.
-          Kita pake alfa 10%. Kalo lihat di Z skor, nilainya 1,28.
Jadi kalau kita uji z hitung lebih dari 1,28 berarti pendapat pakar itu salah.
-          Hipotesis nol: tidak berbeda proporsi pemakaian program KB di Solo yaitu 85%.
Hipotesis alternative: proporsi pemakaian KB kurang dari atau lebih dari 85%.
-          Kita lihat rumusnya:
Z= 5884 dibagi 6800 dikurangi proporsi 85% dibagi angka tadi.
(haha, maaf ya teman. Ni Cuma dari rekaman dan geje gitu deh rumusnya, ntar dicek lagi aja ya kalau udah ada slidenya)
-          Dari hasil hitungan nilai z 1,5. 1,5 kan lebih dari 1,28. Berarti proporsi yang ikut KB di Surakarta lebih dari 85%.
Dari tabel z bisa dilihat berapa persen.
(Hiks, ga ada slide, ga bisa lihat tabelnya. Pura-puranya udah mudheng cara baca tabel ya  teman… )

Tabel z itu ga ada nilai (-). Nilai 1,5 menunjukkan sekian.
Kita lihat 1 tail atau 2 tail.
Nilai z 1,96 kira-kira 97,5%. Makanya 1,5 kira-kira lebih dari 85%.
Atau pake tabel yang kemarin (yang mana coba… T.T) yang ada plus minusnya. Ntar lihat z 1,5 pasti lebih dari 85%.

Uji beda 2 proporsi ada 2 rumus yang ‘ini’ dan yang ‘ini’.
(Yang mana??? Besok lihat slide ya. Pak wid juga Cuma ngomong ‘ini’ dan ‘ini’ sih…)
Kegunaannya untuk menguji beda 2 proporsi.

Contoh soal:
Kecamatan A 571 dari 638 bayi di imunisasi. Kecamatn B 467 dari 542 bayi di imunisasi. Kita uji apakah proporsinya sama atau ga di 2 tempat ini.
-          Ho: proporsi sama. Ha: proporsi beda
-          Alfa pake 5%, berarti z 1,96.
-          Masukkan rumus
-          Mencari Q dulu: 1-P
-          Masukkan rumus
-          Ketemu z-nya 1,579.
-          Kesimpulan karena pake 2 ekor (2 tail) berarti kurang dari 1,96 atau lebih dari 1,96.
Jadi kalo antara -1,96 sampe 1,96 diterima.
Karena hasilnya ketemunya 1,579 berada di antara -1,96 sampe 1,96, berarti Ho diterima. Alias ga ada perbedaan proporsi antara daerah A dan daerah B.

Contoh soal lain:
Kita mau cek di daerah kumuh dengan kondisi sanitasi jelek 432 orang dari 628 kena diare. Misal 483 orang di desa ada yang diare 413. Dilakukan uji beda proporsi antara daerah A dengan desa.
-          Kita pake alfa 10%, berarti z-nya 1,28
-          Ho proprosi sama, Ha proprosi beda
-          Masukin rumus
-          Didapat z=1,54
-          Z 1,54 lebih dari 1,28. Berarti kesimpulannya ada beda kasus dari daerah A dengan di pedesaan.

(Bingung? Tabahkan hatimu kawan. Kita tunggu saja slidenya ya…)

Yang lebih mudah lagi ni pake SPSS.
Entry data mudah. Kita tinggal buat variabelnya.
-          Tulis nama dulu, berapa karakter
-          Trus misal butuh data umur, tipe data numeric
(Label menunjukkan nama responden)
-          Misal data lagi ttg tinggi badan, tipe numeric
-          Dst sesuai data yang kita mau
-          Misal kita pingin data bentuknya kategorik (agama, pengelompokan, dll)
Tipe tetep numeric, tapi tanpa decimal.
Agama kita kelompokkan jadi berapa, misal 7. Nilai masing-masing agama berapa, kita bikin value dulu.
Misal 1.Islam, 2.Kristen, 3.Katolik, dst.
Ntar kalo islam, diisi data 1. Kalo Kristen 2, dst.
-          Gitu terus. Jadi bisa sampe buanyak variabel

Setelah itu ntar dilakukan uji. Misal pake T test kayak kemarin itu. Ntar ada uji T yang berpasangan ada yang ga. Kalo yang berpasangan tu menilai apakah pre dan post ada perbedaan atau ga.
Kalo berpasangan, kita pilih yang pair T test.
Kita masukin nilai pre-nya, masukin juga nilai postnya.
Terlihat hasil analisisnya rata-rata dari pre dan postnya.
Habis itu lihat signifikansinya.
Disimpulkan antara pre dan postnya.

Untuk T test yang ga berpasangan (misal laki dan perempuan), pilih yang independent T test.
Masukin data jenis kelamin ada 2 (laki perempuan).
Dst sama kaya yang pair T test tadi.

Kalo yang anova gimana? Misal kita mau membandingkan antara lebih dari 2 kelompok.
Ntar pilih aja yang one way anova.
Untuk melihat perbedaannya, kita gunakan “…” trus continue, OK.
(Maaf ya teman, agak missed. Kurang bisa ‘mendengar’ rekamannya)

Uji proporsi bisa melihat apakah ada perbedaan proporsi (misal antara laki dan perempuan tadi).
Pilih descriptive statistic, trus gunakan ‘cross bla bla bla’. (Maaf, missed lagi…L)
Masukkin nilainya
Mau pake chi square atau apa.
Continue, OK
Muncul hasilnya.


Alhamdulillah…. :)
Akhirnya selesai juga cakul coursenya.
Mohon maaf lahir dan batin kalau geje
Mudah-mudahan ga bikin tambah puyeng
Selamat belajar teman…
2009…???
Bisa! Bisa! Pasti bisa!

Thursday, 10 November 2011

Korelasi dan Regresi

23:26 0 Comments


dr. Ari Probandari

Sekarang kita mau bicarain tentang menghubungkan 2 atau lebih varibel yang jenis datanya kontinyu.

Data kontinyu itu maksudnya data angka.
Inget-inget lagi ni kemarin.
Data secara umum ada 2: data kategorikal dan data numeric.
Lha, yang dimaksud data kontinyu itu yang data numeric.

Ada variabel bebas dan variabel terikat dan masing-masing datanya numeric udah termasuk uji korelasi regresi.
Ntar cek secara korelasi dan cek juga regresi linear.
(PS: regresi itu ada banyak. Tapi buat S1 cukup diajari yang linear. Kalau pingin yang lebih kompleks, ambil S2-S3 atau spesialis aja ya teman. Aamiin…)

Misal kita mau meneliti hubungan Hb dengan hematokrit.
Penelitian ini bisa buat analisis korelasi regresi. Soalnya kedua variabel ini numeric kan.

Jadi syarat pertama: variabel punya skala numeric.

Sebenarnya, apa sih bedanya korelasi dan regresi??

Persamaannya dulu ni teman:
Korelasi dan regresi sama-sama digunakan untuk mengetahui 2 variabel yang skalanya kontinyu.

Korelasi adalah…
Teknik analisis untuk melihat hubungan antara minimal 2 variabel numeric yang mencari:
-      asosiasi linear (hubungan linear)
-      kekuatan asosiasi (kekuatan hubungan)

Misal dari 20 orang yang kita ambil dalam penelitian tadi kita plot-kan mulai dari subjek 1 sampe 20.
Dari hasil plot itu kita akan tahu datanya memiliki hubungan yang linear atau ga. Dilihat dari bentuk plotnya membentuk garis atau ga.

Regresi adalah…
Teknik analisis untuk mencari:
-      Ketergantungan variabel terikat terhadap variabel bebas.
Misal ada perubahan 1 unit saja variabel bebas, variabel terikat akan berubah jadi berapa.
Jadi regresi itu bisa untuk analisis prediksi.
-      Kemiringan garis dan perpotongan
Berapa kenaikan dari variabel terikat kalo variabel bebasnya naik.
Kalo perpotongan garis pada sumbu y, berapa nilai variabel terikat kalo variabel bebasnya = 0.

Jadi intinya, korelasi dan regresi sama-sama buat mencari hubungan linear (sama-sama bentuknya garis).

Bedanya…
-      kalo regresi bisa buat nyari analisis ketergantungan. Kalo korelasi ga bisa.
-      Korelasi lebih ke kekuatan hubungan. Regresi lebih ke prediksi hubungan.

Regresi linear ada regresi linear sederhana dan regresi linear berganda.
Bedanya? Jumlah variabel bebas.
Kalo variabel bebasnya 1, berarti sederhana. Kalo lebih dari 1 berarti berganda.

Kapan korelasi dipakai dan kapan regresi dipakai?
Misal kita mau neliti ttg hubungan Hb dengan hematokrit, pake korelasi atau regresi?
Kata kuncinya di kerangka pemikiran.
Kalo Hb dapat mempengaruhi langsung bisa pake regresi. Kalo hubungannya tidak secara langsung, lebih baik pake korelasi.

Misal lagi: hubungan berat badan lahir dengan hemangioma.
Kan berat badan lahir harus apa dulu, harus gimana dulu dll baru bisa jadi hemangioma. Hubungannya belum jelas kan. Jadi pake korelasi.

Jadi intinya, regresi itu untuk hubungan yang direct consequence. Kalo belum jelas, pake korelasi.

KORELASI
Gimana langkah-langkah korelasi?
-      Pake scatter plot
Kita kenali dulu data kita itu bentuknya gimana. Distribusinya gimana.
-      Cek lagi normalitas distribusi taip variabel. Kenapa harus cek ini juga?
Soalnya korelasi ada 2 macam:
o   Korelasi pearson: dipakai kalo salah satu variabel distribusi datanya normal
o   Korelasi spearman rank: dipakai kalo kedua variabel ga distribusi normal
Ntar bedanya di rumusnya.

Dari rumus itu ntar dicari besarnya koefisien korelasi. Buat yang pearson lambangnya R. kalo spearman rank Rs.
Koefisien korelasi itu besarnya dari -1 sampe 1.
1 tu maksudnya linear. Makin mendekati 1 berarti makin linear.
Makin mendekati 0, makin tidak bisa diambil garis linear.
Makin liner berarti hubungan makin kuat.

Antara (-) dan (+) itu untuk membedakan arah hubungan.
Kalo (-) berarti x lebih tinggi, y akan makin rendah.
Kalo (+) berarti x makin tinggi, y juga makin tinggi.

Kalo R kuadrat menunjukkan proporsi suatu variabel bisa dijelaskan variabel lainnya.
Misal: korelasi Hb dan hematokrit 0,69. Kalo dikuadratkan 0,45.
Artinya 45% Hb ditentukan oleh hematokrit. 55%-nya faktor lain yang kita ga tau.

Jadi, dari rumus tadi bisa ketahui:
-      kekuatan hubungan
-      arah hubungan
-      proporsi hubungan.

Kita itung juga P-nya. P itu besarnya probabilitas kalo hasil kita itu terjadi secara kebetulan.

Jadi kalo R-nya 0,8 (kuat) tapi P-nya juga 0,8 (banyak kebetulannya), maka ga bagus juga.

Jadi, selain diperhitungkan R, perhatikan juga P-nya.

Kapan korelasi ga boleh digunakan?
1.   Hubungannya terkesan ga linear.
Makanya harus bikin scatter plot dulu.
Kalo garisnya parabola, ga bisa pake korelasi. Tapi kalo regresi masih bisa.
2.   Out layer. Ada data yang sangat berbeda jauh dari sampel-sampel lain di populasi.
Gimana cara tau ada out layer?
Salah satunya dengan bikin diagram scatter.
3.   Varibel diukur lebih dari 1 pada kelompok yang berbeda.
Misal: ngukur IPK. Ada yang diukur 2 semester, ada yang 3 semester. Trus datanya dicampur.
4.   Penelitian yang analisisnya dosis respon efek.
Kalo dosis sekian, efeknya sekian. Cocoknya pake regresi. Biar bisa ngliat perubahan sedikit variabel bebas, variabel terikatnya jadi gimana. Yang kaya gini malah ga boleh pake korelasi.

Out layer itu Cuma 1 atau 2 sampel.
Kalo sampe 10 sampel ya bukan out layer lagi. Tapi cara pengukuran kita mungkin ada kesalahan sehingga variasinya terlalu tinggi.
Dalam analisis data, 1-2 sampel yang ‘aneh’ tadi bisa dibuang.
Tapi sebelum membuangnya, harus benar-benar dicek. Itu out layer atau karena kesalahan pengumpulan data.

Intermezzo..
Ngantuk? Capek?
“Ayo berdiri dulu 2 menit,” kata dr.Ari.
Yang nulis cakul berdiri juga ah…. :D

Lanjut ke regresi linear sederhana

REGRESI LINEAR
Regresi sama aja kayak korelasi (dihitung R-nya). Cuma kalo di regresi yang diperhitungkan:
-      Kemiringannya
-      Perpotongan dengan sumbu y

Inget lagi rumus kemiringan garis waktu SMA.
Y = α + βx
Y: besaran variabel terikat/ outcome/ respon
X: variabel bebas/ prediktor
β: slope/kemiringan garisnya/ R (kalo di korelasi)
α: perpotongan dengan sumbu y
Kalo regresi linear berganda (varibel bebasnya lebih dari 1), ya berarti X-nya juga lebih dari 1.

Tambahan ni…
Kalo menjelaskan buat populasi, pakenya α, β (huruf yunani)
Tapi kalo di tingkat sampel pake huruf latin (a, b)

Gimana langkah-langkah regresi?
-      Pake scatter plot
-      Buat persamaan garisnya
Persamaan garis itu istilahnya model. Persamaan regresi = model regresi.
Setelah itu kita mempertimbangkan residualnya.

Apa itu residual?
Residual itu jarak antara y observasi dengan y yang diperkirakan dengan garis

Residual ini penting untuk menentukan kontraindikasi/indikasi regresi.
-      Kalo residualnya linear, kesimpulannya X dengan Y tidak linear.
-      Kalo residualnya ga linear, hubungan X dan Y-nya malah linear.
Padahal, yang kita butuhin itu yang X dan Y linear.

Intinya, regresi bisa dilakukan kalo residualnya
-      terdistribusi normal, bukan kalo residualnya linear
-      independent, bukan dependent (Y makin tinggi residual makin tinggi. Kalo kayak gini kan ujung-ujungnya jadi liear juga kan)

Regresi ga boleh dilakukan kalo hasil observasi didapatkan berurutan waktu
Misal: pengukuran x dan pengukuran y dilakukan pada waktu yang berbeda. X dulu baru Y. Harusnya x dan y diukur bersamaan.
Ini nanti jadinya residualnya akan dependent. Jadinya, ga bisa pake regresi.

Jadi, kalo regresi yang kita pertimbangkan adalah
-      koefisien regresi
-      perpotongan terhadap sumbu y
-      residual

Gimana teman-teman?
Masih galau?
Kata dr.Ari, misal kita galau,
Ngrasa bingung dan ga tahu sesuatu…
Jangan dijauhi sesuatu itu, tapi didekati.
TRUE EXAMPLE
Kalo galau penasaran dengan seseorang,
Dideketi atau dijauhi???
Ups, just kidding… :D
So, AYO DEKATI STATISTIK