Follow Us @soratemplates

Friday, 28 December 2012

You Raise Me Up

07:41 0 Comments



Salah satu cara menyemangati orang-orang tercinta kita adalah dengan membuat diri kita semangat.

Itu adalah sebuah quote yang saya dapatkan ketika dipaksa oleh seorang teman menonton film korea berjudul Reply 1997. Dalam film itu diceritakan seorang suami yang tiba-tiba didiagnosis menderita kanker. Awalnya sang suami dengan pasien kanker lainnya bahagia ketika menonton film di TV. Tapi ketika sang tokoh film juga mengidap kanker, sirnalah semua keceriaan pada pasien tersebut. Segala cara sudah dilakukan oleh sang istri untuk menyemangati suaminya, tapi sia-sia. Akhirnya sang istri melakukan tindakan, menghubungi sang penulis naskah, memaki-maki, dan akhirnya berharap agar ada perubahan nasib dari diri sang tokoh cerita. Sang istri tak pernah lelah bolak-balik menelepon sang penulis naskah. Hingga akhirnya di akhir cerita serial TV, sang penulis naskah memberi kesembuhan pada si tokoh. Jadilah semua pengidap kanker di bangsal itu kembali ceria.

Nah, di situlah kuncinya. Ketika sang istri tak bisa membuat suaminya semangat, hal yang bisa dia lakukan hanyalah membuat dirinya sendiri bersemangat. Harapannya, dengan dirinya semangat, suaminya pun akan semangat. Dan itu terbukti. Dengan dirinya bersemangat mendesak penulis naskah, pada akhirnya suaminya pun kembali bersemangat.

Ya, memang demikian adanya. Disadari atau tidak, terkadang semangat bisa muncul dari orang lain. Di sinilah fungsi seorang teman atau sahabat itu ada. Ketika kita down, ada teman yang menyemangati kita. Ketika kita lemah, ada teman yang menguatkan kita. Begitu seterusnya. Tetapi, apakah semua kehadiran teman itu benar-benar berarti? Sayangnya, meski disemangati seperti apapun, terkadang kita bebal juga dan tidak bangkit semangatnya pula. Maka, ambil saja teori dalam film tadi.

Boleh jadi kita gagal menyemangati teman kita, tapi jangan sampai kita gagal menyemangati diri kita senidiri. Anggaplah begini. Kita dan teman sedang sama-sama mengejar skripsi. Jika kita santai, teman mungkin santai. Ketika kita menyemangati teman, boleh jadi teman tetap saja santai. Tapi, bagaimana jika kita beranjak dan mulai benar-benar bergelut dengan skripsi? Melihat kita yang sibuk dengan skripsi, sedikit demi sedikit pasti teman kita pun akan tergerak untuk bercengkrama dengan skripsi juga. Mengapa? Karena sahabatnya juga melakukannya. Karena dirinya 'ditinggal' sahabatnya untuk skripsi, maka kenapa dirinya tidak mengurus skripsi juga?

Ya, begitulah. Memang benar adanya slogan yang mengatakan mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil. Dengan membuat diri kita sendiri bersemangat, maka cepat atau lambat kita pun akan membuat orang-orang di sekitar kita bersemangat. Demikian juga sebaliknya, dengan melihat orang lain yang memiliki semangat, perlahan diri kita akan bersemangat pula.

Yup, you raise me up. Kau membuatku bersemangat, aku membuatmu bersemangat. Insya Allah..




Thursday, 27 December 2012

Di Atas Kertas

20:14 0 Comments

Akhir-akhir ini, ada atmosfer berbeda yang kami rasakan, khususnya untuk teman-teman seangkatan saya. Perkuliahan sudah usai, ujian demi ujian sudah meninggalkan kami satu demi satu. Namun, beberapa dari kami masih memiliki tanggungan ini itu. Skripsi, jurnal, semester pendek, kompre, wisuda, plus pernik-pernik di sekitarnya. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Yang belum ujian, khawatir tidak sempat ujian. Yang syarat wisudanya belum lengkap, khawatir tidak cukup waktu untuk melengkapi. Intinya hanya satu, kami ingin segera berganti status dari mahasiswa preklinik menjadi mahasiswa klinik.

Di tengan segala kekhawatiran itu, saya dikejutkan dengan pendapat seorang teman, "Kalau tidak wisuda Maret, trus kenapa?" Hm..., pertanyaan itu belum terpikirkan di kepala saya. Tapi, saya sering berpikir hal serupa untuk kasus lainnya, misal "Kalau ga cumlaude, trus kenapa? Kalau remed, emangnya kenapa? Kalau dapat B, kenapa?" dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya.

Oke, pertanyaan itu sepertinya memang terkesan menggampangkan. Boleh jadi orang yang melontarkan kalimat itu akan dicap sebagai orang yang terlalu santai tanpa ada perjuangan untuk hidup. Tak mau berjuang untuk wisuda Maret, tidak mau susah payah mempertahankan cumlaude, tidak mau berusaha keras agar mendapat nilai A dan tidak remed, dan seterusnya. Ya, boleh jadi kami memang terkesan menggampangkan. Tapi, lebih dari itu, perkara ini memang gampang karena ada perkara lain yang lebih penting.

Wisuda, cumlaude, nilai A hanyalah hitam di atas putih. Mereka hanyalah bukti di atas sebuah kertas. Lagi-lagi teman saya berkata, "buat apa lulus Maret tapi cuma buat gaya-gayaan". Begitu juga dengan kasus lainnya, buat apa cumlaude dan nilai A kalau cuma untuk kebanggan dan gaya semata. Bukan meremehkan atau sirik karena kami mungkin tak mampu, tapi lihat kembali niatnya, lihat lagi esensinya.

Yang lebih penting dari semua itu adalah 'untuk apa?'. Untuk apa kita mati-matian mengejar nilai atau wisuda? Lagi-lagi, semua hanyalah di atas kertas. Itu semua adalah hasil yang tertampil, sedangkan di luar itu ada sesuatu yang tidak terpampang. Apa itu? Proses.

Ya, proses. Proses yang kita lalui tak akan tertulis dalam lembar ijazah atau KHS. Tapi, proses yang kita laluilah yang akan lebih membekas dalam kehidupan kita selanjutnya. Euforia cumlaude dan wisuda mungkin hanya bertahan sebulan atau setahun setelah wisuda. Tapi, coba lihat, apakah sepuluh tahun kemudian masih terasa euforia itu? Mungkin iya, tapi lebih banyak tidak. Di lain sisi, proses yang kita alami sehingga kita wisuda dan mendapat nilai di KHS pastilah sudah mempengaruhi dan membekas dalam diri kita.

Jadi yang terpenting adalah bagaimana kita melalui proses dengan sebaik-baiknya. Dalam proses itu pasti ada niat pula. Ketika niatnya baik, akan baik pula proses yang dilalui. Dan jika prosesnya baik, sangat besar kemungkinannya pula kalau hasilnya pun akan baik.

So, perbaiki niatnya, jalani prosesnya, nikmati hasilnya. Dengan keyakinan akan tiga hal itu, insya Allah tak akan ada lagi khawatir yang coba-coba mampir.



Wednesday, 26 December 2012

Noda Belajar

04:05 0 Comments

Ga ada noda, ga belajar! Rasanya, kita sudah sangat sering mendengar slogan ini di layar kaca atau media-media lainnya.

Bagi sebagian orang, mungkin slogan ini dipandang dengan sebelah mata plus dengan bibir mencibir pula. Barangkali dalam hati mereka berkata, "Buat belajar dengan noda? Kalau bisa tetap belajar dengan bersih, kenapa harus dengan noda? Tanpa noda juga tetap bisa belajar kok"

Ya, memang benar. Siapapun tetap bisa belajar tanpa harus dengan menciptakan noda. Terlebih untuk mereka-mereka yang memang dituntut untuk selalu steril dan bersih dalam proses belajar atau bekerjanya. So, slogan di atas memang tidak berlaku dalam hal ini. Tentunya juga akan sangat bersyukur sekali jika kita tetap bisa belajar tanpa menciptakan noda apapun juga.


Tapi, makna slogan di atas memiliki sudut pandang yang berbeda. Noda yang tercipta justru sebagai sarana belajar itu sendiri. Orang yang menciptakan noda justru akan bertambah 'ilmunya', tentunya jika disikapi dengan baik. Ketika noda itu muncul, orang tadi lantas bertanya-tanya, "Kenapa bisa muncul noda? Apa dampaknya kalau ada noda ini? Bagaimana saya harus menghilangkan noda?" dan seterusnya, maka orang yang memiliki noda inilah yang akan jauh lebih banyak belajar. Artinya, dengan noda itulah dia tahu dimana letak kesalahannya sekaligus tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya. Di lain sisi, orang yang selalu steril boleh jadi hanya tahu bagaimana yang sebenarnya, dan hanya mereka-reka saja kira-kira seperti apakah keadaan yang bernoda itu.

Lantas, apakah kita harus menciptakan noda itu? Tidak juga. Bukan berarti kita harus menciptakan noda sebanyak-banyaknya dengan dalih ingin lebih pintar dari yang steril. Selagi mampu membuat sesuatu dengan steril, lakukan saja. Andai suatu ketika muncul noda, jadikan sebagai sarana belajar baru buat kita.

Seperti kata seorang teman, "Kita memang harus berjalan lurus. Tapi jika hanya berjalan lurus, kita tidak tahu apa yang ada di kanan kiri kita. Jika terus berjalan lurus, suatu waktu kita akan terbentur ujung jalan juga. Maka, berbeloklah sedikit. Bukan karena mengingkari jalan yang lurus, tapi justru agar kita tak terhenti dan kembali menemukan jalan lurus tadi".

Perumpamaan teman saya ini berlaku dalam banyak hal. Sebagai contoh, jalan lurus ini bisa diartikan dengan kehidupaan perkuliahan di kampus. Kita boleh saja berharap kehidupan kuliah kita lancar maju terus tanpa hambatan. Tapi, bukan tidak mungkin akhirnya kita terpentok pada ujung jalan. Tidak lulus, remed, mengulang, dan beberapa keadaan lainnya. Apakah akan berhenti? Tentu saja tidak. Kita harus berbelok sedikit untuk bisa berjalan lurus lagi. Tak ada salahnya kita berbelok dengan mengikuti perkuliahan bersama adik tingkat karena mengulang, tak ada salahnya pula jika kita berbelok sejenak untuk masuk pit stop karena remed ujian.

Intinya, tak ada alasan untuk terhenti. Sekalipun itu noda, pasti akan hilang dengan detergen ampuh. Sekalipun itu ujung jalan, pasti ada belokan untuk melaju lagi. Insya Allah..



Friday, 30 November 2012

Kekuatan Itu Bernama Wangsit

09:52 2 Comments
Suatu barang atau karya akan menjadi biasa-biasa saja atau sangat berharga tergantung dari idenya.

Saya mempercayai statement di atas dengan sepenuh hati. Semua barang yang ada di dunia ini akan terlihat mahal hanya karena keunikan idenya. Sebagai contoh, sama-sama membuat keripik singkong, tetapi ketika dibubuhi ide pengemasan yang menarik dan ide pemasaran yang spektakuler, maka akan menjadi mahal lah keripik singkong itu. Bagi saya, teori ini berlaku untuk semua hal. Tak hanya untuk barang dan jasa, tetapi juga untuk sebuah karya, termasuk karya tulis.

Dalam sebuah training kepenulisan, seorang pembicara bernama Yusuf Maulana mengatakan, “Tangkaplah ide seakan-akan itu adalah percikan dari langit”. Ya, kata-kata beliau itu benar adanya.

Banyak orang ketika akan menulis terbentur pada ide. Sesuatu yang dikeluhkan biasanya adalah sulit mencari atau menemukan ide. Padahal, ide tak pernah pergi ke mana-mana. Ide selalu ada bertebaran di mana saja. Lagi-lagi seperti yang dikatakan Pak Yusuf Maulana, tangkaplah ide, bukan carilah ide.

Mungkin mekanisme penemuan ide dengan cari mencari atau menangkap sekiranya hampir sama saja. Tapi, sesungguhnya jauh berbeda. Ketika kita mencari ide, maka kita fokus pada ide. Lantas kita berjalan-jalan ke sana kemari sambil pikiran kita fokus bertanya-tanya, di manakah gerangan ide bersembunyi saat ini. Tapi, ketika kita memakai konsep menangkap ide, maka yang kita fokuskan adalah sarana yang kita miliki. Kita akan berjalan-jalan dengan santai, jika sewaktu-waktu ada sesuatu yang menghampiri lantas kita tangkap. Jika itu bisa jadi ide, ambil. Jika tidak, lepas.

Dalam konteks yang kedua, rasanya perjuangan untuk mendapatkan ide itu terasa lebih ringan dan tanpa beban. Kita hanya perlu membuka mata seluas-luasnya, melapangkan pikiran kita, dan menajamkan hati kita untuk memilah, benarkah ini ide yang sedang kita nanti-nanti. Kita tak perlu sepaneng alias terbebani untuk mencari-cari ide itu sendiri.

Uniknya, ide yang datang dengan sendirinya itu sering kali adalah ide yang ampuh. Justru karena ia datang dengan tiba-tiba, ide itu seringkali tak terpikirkan oleh orang lain. Maka, wajar kiranya jika Pak Yusuf Maulana menyebut sebagai kilatan dari langit, sedangkan saya sendiri lebih suka memakai istilah wangsit.

Ya, ide yang tiba-tiba datang itu ibarat wangsit. Ketika kita tak terforsir untuk mencari, tiba-tiba ide itu datang sendiri. Dan karena ide itu yang datang menemui kita, maka saya punya anggapan bahwa memang ide itulah yang terbaik buat saya. Percaya tidak percaya, ternyata ide wangsit itu pulalah yang seringkali manjur melahirkan sebuah piala.

Barangkali karena memang datangnya dari langit, maka itu adalah karunia Allah SWT. Barangkali karena ide itulah yang menemui kita, maka ia akan benar-benar barokah untuk diri kita.

Jadi, untuk Anda yang ingin menjadi tangguh dengan rentetan karya yang berharga dan tidak hanya dianggap sebelah mata, perkaya saja ide Anda. Tentu bukan ide yang biasa-biasa saja, melainkan ide yang jatuh dari langit bak wangsit yang membuat prestasi Anda akan melejit. Insya Allah.


Friday, 9 November 2012

Pengingat Kematian

07:18 1 Comments

Dalam beberapa hari terakhir ini, beberapa teman saya mengingatkan saya tentang mati. Di luar kejadian wafatnya delegasi FULDFK di sebuah acara, secara khusus mereka membuat saya teringat akan hal ini. Perkara apa? Mimpi mati.

Kita tahu, mimpi buruk seharusnya tidak boleh dicerita-ceritakan. Sayangnya, mereka terlanjur bercerita pada saya, di tengah malam buta, di pagi-pagi dini hari.

Kisah bermula ketika di suatu hari saya terbangun dan tersadar bahwa pagi itu saya masih hidup. Jujur, jarang-jarang saya berpikir begitu. Saya tetap berbaring di tempat tidur dan berpikir, "Bagaimana jadinya seandainya pagi itu saya tidak bisa bangun?"

Saat itu saya sedang tidak kumat jahil dan usilnya. Bukan berpikiran betapa enaknya tidak usah memikirkan kerjaan, tugas, kuliah, dan lain-lain karena saya tidak bisa bangun, saya benar-benar memikirkan mati, plus memikirkan orang-orang terdekat saya jika saya mati. Tapi tetap saja karena saya tukang iseng, saya pun iseng bertanya pada teman dekat saya, "Kalau dalam waktu dekat ini aku mati bagaimana?"

Beberapa hari setelahnya, pagi-pagi sekali seorang teman menghubungi saya, "Kamu ga apa-apa?". Saya bingung karena jelas saya tidak apa-apa pagi itu. Lantas ia bercerita, dia mimpi buruk tentang saya dan takut saya ada apa-apa. Saya? Menenangkan dirinya, meski dalam hati teringat pula bahwa lagi-lagi pagi itu saya masih dibiarkan oleh-Nya untuk bernyawa.

Entah berapa hari setelah hari itu, seorang teman mengirimi saya SMS di tengah malam buta. Kenapa? Ia tak bisa tidur lagi dan takut karena dia bermimpi ibunya meninggal dunia. Saya? Lagi-lagi menenangkan. Dan lagi-lagi dalam hati saya berpikir, saya masih saja tetap hidup pagi itu.

Dan tadi pagi. HP yang hening tiba-tiba berdering. Seorang teman mengirimkan SMS khawatir dan 'menangis' karena juga bermimpi ibunya meninggal dunia. Saya? Lagi-lagi mencoba menenangkan dengan mengingatkan bahwa itu ulah syaithon yang nakal. Tak perlu diceritakan, tak perlu dikhawatirkan. Tapi, (dalam hati berkata) perlu untuk dijadikan pengingat.

Ya, kematian. Seringkali kita takut dengan kematian itu. Padahal sudah jelas, bukan kematian itu yang ditakutkan, tetapi bagaimana kehidupan setelah kematian. Dalam kasus-kasus mimpi teman-teman saya di atas, yang takut justru bukan orang yang akan mati, tapi orang lain yang khawatir menghadapi kenyataan bahwa akan ditinggal mati.

Kenapa begitu? Karena manusia adalah makhluk egois. Sekalipun ini perkara mati, manusia tetap saja berpikir egois. Coba bayangkan jika ada kejadian kematian lantas pihak keluarga menangis meraung-raung. Apa yang dikatakan? Ambillah contoh, ada yang berkata begini, "Bapak kenapa pergi.. Trus aku gimana?" atau "Gimana masa depanku tanpamu.." dan lain-lain. Bayangkan saja, betapa kekhawatiran dan kesedihan itu terkadang muncul karena keegoisan diri kita sendiri.

Tapi, keegoisan ini pun tak ada salahnya. Tentunya egois yang benar. Misalkan dengan mengetahui seseorang meninggal lalu kita egois berpikir, "Dia sudah tiada, bagaimana dengan diriku jika tiada nanti? Sudah cukupkah bekalku?"


Tetap saja pernyataan di atas adalah sebuah keegoisan, tapi setidaknya keegoisan yang ini adalah egois yang baik dan bisa berbuah sebuah perubahan. Akan lebih bagus lagi jika rasa khawatir itu berbuah dengan sebuah doa untuk yang meninggal juga. Bukankah setiap doa yang kita berikan untuk orang lain akan berbalik pada diri kita sendiri? Doakan saja bahwa yang meninggal saat itu memang orang yang sudah memiliki bekal cukup, hingga kita berharap pula bahwa kelak ketika kita meninggal pun sudah dalam keadaan memiliki bekal cukup. Insya Allah. Aamiin..

Curahan hati teman-teman saya di atas memang hanya pengingat sederhana, tapi masih lebih baik daripada tidak mengingat mati sedikit pun juga. Mari mengingat mati entah dengan cara apapun. Karena sebaik-baik pesan adalah pesan kematian.

Selamat mempersiapkan kematian, kawan..



Tuesday, 6 November 2012

Serius, Ini Bercanda

23:02 7 Comments
Kemarin, saya iseng menengok statistik blog saya. Ada sesuatu yang menggelitik di sana. Dari berbagai kata kunci mesin pencarian google yang mengarah ke blog saya, ada satu kata kunci yang menarik yaitu 'arti candaan pada wanita'. Saya tersenyum. Bukan apa-apa, kalau sampai ada seseorang yang mengetikkan kata kunci itu di google, bukankah perkara arti candaan memang sedemikian pentingnya?

Diakui atau tidak, candaan memang seringkali memberikan multitafsir. Orang yang diajak bercanda bisa mengartikan candaan itu bermacam-macam. Kadang, multitafsir ini yang menyebabkan masalah. Kita hanya bercanda, orang lain menanggapi serius. Misal kita hanya menggoda, orang lain sudah terlanjur salah tingkah dan melting dibuatnya. Kita hanya bergurau, orang lain sudah terlanjur panas dan emosi karenanya. Bisa jadi terjadi sebaliknya. Kita sedang membicarakan hal serius, tetapi orang lain menanggapinya dengan bercanda. Kita sedang bersungguh-sungguh, tetapi orang lain menganggapnya bahwa itu gurauan semata. Hm..., terlalu kompleks.

Berhubung memang kompleks, pantas kiranya Rasulullah SAW memberikan aturan dalam bercanda. Terlepas dari melihat situasi dan kondisi, sebuah candaan haruslah tidak memiliki unsur kebohongan. Bagaimanapun kita memang tidak boleh berbohong. Terlebih jika kita justru menggunakan kebohongan itu untuk candaan. Salah-salah candaan kita yang hanya bohong belaka itu dianggap serius oleh teman kita. Bisa dipastikan akan timbul masalah setelahnya.

Tentang candaan dan keseriusan, ada seorang teman yang berkomentar demikian, "Selalu ada keseriusan di balik sebuah candaan". Mendengar itu, saya bergidik. Bayangkan jika candaan kita adalah sebuah kebohongan, jangan-jangan kita pun serius untuk berbohong pula. Sekalipun kita hanya bercanda, bukankah dosa bohong tetap dianggap serius dan bukan bercanda? 

Terlebih lagi candaan bohong kita itu akan menjadi menyakitkan jika lawan bercanda kita menanggapi dengan serius. Misal kita bercanda dengan berbohong akan datang ke rumahnya. Sekalipun itu bercanda, teman kita akan mengira bahwa setidaknya tebersit ada keinginan kita untuk main ke rumahnya. Balik lagi seperti yang teman saya katakan bahwa ada keseriusan di balik sebuah candaan, teman kita bisa menilai ada sedikit keseriusan dari candaan kita itu. Mungkin saja dia berharap bahwa kita akan datang. Atau jangan-jangan dia sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan kita. Padahal kita hanya berbohong. Bukankah ini akan menyakitkan karena membuat teman kita sedikit berharap sekalipun itu hanya 1% saja dari 99% kadar candaannya.

Pun sebaliknya. Untuk mereka yang terlalu bebal dan tak pandang bulu ketika bercanda, kata-kata ada keseriusan di balik sebuah candaan bisa juga menjadi skakmat untuknya. Barangkali kita bisa menelaah lagi, jangan-jangan kita pun terbersit 1% saja keseriusan ketika melontarkan sebuah candaan. Putar kembali memori tentang gurauan, godaan, ejekan, hardikan, dan semacamnya. Bagaimana jika itu tebersit sedikit saja keseriusan? Bukankah itu berbahaya juga? Karena bisa jadi dalam hati kita ada keseriusan untuk mencari perhatian teman dengan godaan kita. Atau jangan-jangan dalam hati kita memang serius ingin mencela teman kita. Naudzubillah..

Lebih-lebih kita pun tidak dianjurkan untuk terlalu banyak bercanda. Secara tak sengaja pula, saya menemukan sebuah tweet yang mengatakan, "Jangan terlalu banyak bercanda karena akan membuat hati menjadi mati dan membuat orang lain tidak percaya lagi".

Terlalu ekstrem mungkin. Tapi kalau dipikirkan memang benar adanya. Bukankah Rasulullah SAW telah berkata bahwa terlalu banyak tertawa adalah tanda hati yang mati? Padahal dalam sebuah candaan yang biasa timbul adalah derai tawa. Tentu saja jika terlalu banyak bercanda, akan semakin banyak juga tawa yang tercipta. Salah-salah tawa itu bisa membuat hati menjadi keras dan akhirnya mati.

Dampak lainnya, orang menjadi tak percaya dengan kita karena seringnya kita bercanda. Mungkin image candaan membuat sisi serius kita pun diragukan hingga kadang orang menganggap bahwa apa yang kita katakan dengan serius adalah candaan semata. Nah, ini akan semakin merepotkan ketika kita terbiasa bercanda dengan sebuah kebohongan. Suatu ketika kita berkata jujur, bisa jadi kita dianggap hanya membual saja. Salah-salah ini justru akan menyakiti diri kita sendiri karena tidak dipercaya dan dianggap sebagai pembohong.

Yah, jika memang tidak ingin terlalu ribet seperti ini memang lebih baik mengurangi bercanda. Daripada multitafsir dan membuat sakit hati, lebih baik tidak bercanda seenak hati. Bukan berarti tidak boleh bercanda sama sekali, karena bercanda pun menjadi sebuah kebutuhan dalam hidup ini. Bahkan Rasulullah SAW pun orang yang suka bercanda. Tapi tentu saja candaan beliau adalah candaan yang jujur dan tidak menyakitkan hati.

Maka, hati-hati menjaga hati, baik itu hati sendiri atau hati orang lain. Jangan sampai candaan kita justru menjadi boomerang yang membuat kita risau dan sakit hati sendiri. Pun jangan sampai candaan kita menyakiti hati orang lain karena ditafsirkan salah dengan sebuah keseriusan.

Yup, karena selalu ada keseriusan dalam setiap candaan. Sekalipun itu dalam taraf minimal bahwa kita serius untuk bercanda pada saat itu. Jadikan keseriusan itu adalah keseriusan yang baik, dan bukan keseriusan yang menyakitkan dan membuat salah paham.



Monday, 5 November 2012

Tulisan Terakhir

21:14 0 Comments

Ada sebuah kisah tentang tulisan terakhir dari sebuah blog. Seseorang menuliskan tentang kematian dalam blognya dan beberapa hari setelahnya dia meninggal dunia. Tak ada yang tahu bahwa itu akan menjadi salah satu tulisan di hari terakhirnya ngeblog. Bahkan sang penulis pun tak tahu bahwa ia telah dipersiapkan untuk menuliskan kematian saat itu.

Meskipun penulis maupun pembaca tidak sama-sama tahu, yang pasti tulisan itu menginspirasi dan memberikan rasa haru. Lantas, saya mengintrospeksi diri saya sendiri. Jikalau saya mati nanti, apakah tulisan saya (atau lebih spesifiknya tulisan terakhir saya) akan menginspirasi dan membuat haru juga?

Rasanya, ini tak ada bedanya dengan kondisi khusnul atau su'ul khotimah. Selama hidup manusia bergant-ganti melalukan perbuatan yang baik dan yang buruk. Namun ketika di akhir, siapapun akan berharap agar diakhirkan dengan sebuah perbuatan atau kondisi yang baik.

Demikian juga dalam menulis. Semua orang bisa saja bergantian menuliskan sesuatu yang baik serta buruk. Namun ketika di akhir, pasti ia juga berharap agar bisa memberikan tulisan yang baik.

Masalahnya, tidak ada orang yang tahu kapan masa akhir itu. Bisa jadi, tulisan saya inipun adalah tulisan terakhir saya. Berhubung sama-sama tidak tahu, lantas bagaimana?

Sama saja dengan perintah untuk selalu berbuat baik agar siapa tahu ketika malaikat Izroil bertugas kita memang sedang melakukan hal yang baik. Maka demikian dalam tulisan. Selalu saja menuliskan tulisan yang baik agar jika itu menjadi tulisan terakhir, maka memang tulisan baik lah tulisan terakhir kita.

Sebenarnya memang sesimpel itu. Tapi seperti juga manusia yang sering tergelincir untuk berbuat dosa, tak ada bedanya dengan penulis yang kadang kala tergelincir untuk membuat tulisan sederhana, tak bermakna, bahkan tak berguna. Kalau manusia diperintahkan untuk bertaubat, istigfar, dan tidak mengulangi lagi perbuatannya, bagaimana dengan penulis blog? Sepertinya sama saja. Berusaha untuk semakin berhati-hati agar tidak membuat tulisan yang sia-sia dan bertaubat dengan menyortir tulisan yang sekiranya dianggap tidak berguna.

Haruskah dengan begitu? Tidak juga, toh tidak ada pakemnya. Tak ada perintah taubat tulisan. Yang ada adalah perintah untuk bertaubat bila melakukan kesalahan. Jikalau kesalahan itu dalam bentuk tulisan, bukankah berarti kembali ke pakem sebelumnya.

Jadi, taubati saja aktivitas menulis kita layaknya mentaubati perbuatan lainnya. Bukan semata-mata dengan melihat tulisan itu sendiri, tapi bagaimana melihat tulisan sebagai bagian aktivitas dalam kehidupan. Semoga saja kita benar-benar berakhir dalam keadaan khusnul khotimah, apapun dalam kehidupan kita termasuk tulisan kita.

Aamiin..

Sunday, 4 November 2012

Dangkal

20:14 9 Comments
Beberapa waktu lalu, ada seorang teman yang memberikan kritikan pada blog saya ini. Bukan sekedar mengkritik, malah mungkin mencaci. Dia berkata, "Tulisan blogmu sampah. Dangkal semua".

Waktu itu saya hanya diam saja. Saya pikir, biarlah karena itu perkara selera. Persis seperti ketika saya sangat menyukai gaya penulisan seorang penulis novel, tapi baginya membosankan. Atau seperti ketika dia menyukai gaya penulisan Kahlil Gibran padahal menurut saya itu terlalu muluk dan sedikit merumitkan. Ya, perkara beda selera saja.

Tapi, kata-katanya saya renungkan pula dan baru saat ini saya menyadarinya. Di tengah 'kemalasan' yang menjadikan saya seolah-olah punya banyak waktu luang, saya mengambil secara random tulisan-tulisan yang ada di blog ini. Dan saya menyadari sesuatu. Tulisan saya berubah.

Ya, tulisan saya ketika di awal menulis blog berbeda dengan tulisan saya sekarang. Ada fase awal blog, ada fase ketika rajin update blog, ada fase program 100 hari, ada fase vakum dan dipaksakan menulis, fase 30 hari ramadhan, dan terakhir fase pasca itu semua. Masing-masing berbeda, dan saya sebagai penulisnya yang kini duduk sebagai pembaca bisa merasakannya.

Seorang teman penulis berkata, tulisan orang tak selamanya bagus, pun tak selamanya buruk. Dalam semua tulisannya, akan ada suatu masa dimana dia begitu di puncak dan tulisannya disukai banyak orang. Sebaliknya, bisa jadi suatu ketika tulisannya begitu sampah dan dicela banyak orang. Dalam kasus saya, rasanya demikian juga.

Kalau saya melihat postingan saya di fase ramadhan maupun pasca itu, jelas sangat berbeda dengan postingan program 100 hari. Unsur rasa lebih banyak menyentuh di program 100 hari, sedangkan unsur ambisi dan 'melecehkan' lebih banyak ditemui di fase ramadhan. Dangkal? Bisa jadi. Saya sendiri mengakuinya begitu baru sekarang membacanya.

Benar kata seorang teman, untuk menjadi penulis yang hebat, lupakan tulisanmu. Lalu sekali waktu baca ulang tulisan-tulisan itu. Kau akan tahu bagaimana rasanya pembaca ketika membaca tulisanmu. Jika itu baik dan sesuai dengan harapanmu, kau bisa menganggap bahwa itu memang baik. Tapi jika dirimu sendiri merasa bahwa tulisan itu buruk, bagaimana pembacamu yang bahkan tak tahu tujuanmu menulis tidak akan berpikiran bahwa itu memang tulisan yang buruk?

Sekalipun teman itu menguatkan bahwa dalam perjalanan jatuh bangun menulis justru di situlah kau akan menemukan gaya menulismu, tapi saya tak ingin gaya menulis yang jatuh dan dangkal itulah yang akhirnya saya pertahankan. Apakah artinya saya harus mengubah gaya sekarang juga? Bukan demikian caranya, melainkan dengan terus menulis tanpa jeda sehingga kau akan merasakan dimanakah alur dan arus yang akan kau bawa. Apakah berarus deras atau sedang, akankah ia dalam atau dangkal. Sekiranya kau nyaman melakukannya, maka itulah Anda. Lalu lupakan dan endapkan. Lain waktu silakan dibaca ulang. Masih belum nyaman juga? Ulang saja treatment yang sudah dilakukan. So? Tak kan pernah ada waktu luang untuk berhenti, tak ada waktu sisa untuk mengevaluasi.


*Happy writing, happy blogging... :)


Especially for you

12:09 0 Comments

Pernah memiliki orang spesial? Ups, pertanyaan saya salah. Sudahkan merasakan bagaimana rasanya memiliki orang yang spesial? Menyenangkan kah?

Hm, saya rasa memiliki orang spesial pasti akan terasa sangat menyenangkan. Pernah suatu ketika saya mengakhiri presentasi dengan berkata "cause you're amazing just the way you are", lantas seorang teman berkata "orang amazing-lah yang bisa membuat orang lain di ruangan ini merasa amazing". Jika perkataan itu dibalik dalam hal ini, maka mungkin pernyataannya akan menjadi seperti ini "kita adalah orang yang spesial karena memiliki seseorang yang spesial". Maka, berbahagiakah Anda karena menyadari bahwa diri Anda spesial?

Saya rasa, semua orang pun akan merasa bahagia jika menyadari bahwa dirinya spesial. Masalahnya adalah ketika kita tak sadar bahwa kita memang orang yang spesial. Hm..., menyedihkan. Mungkin orang-orang seperti inilah yang setiap hari hanya bisa mengeluh dan lupa untuk bersyukur.

Karena memang terasa sangat menyedihkan, barangkali memang lebih baik jika kita membuat diri kita tahu bahwa kita spesial. Untuk orang yang mudah bermuhasabah, perkara ini mudah saja. Tapi bagaimana dengan orang yang memang bebal hatinya? Kembali ke statement di atas: memiliki orang spesial agar kita menjadi spesial.

Agaknya benar kata Tere Liye dalam novelnya, "adakah yang berani menyampaikan kepada ibunya sebuah kalimat 'aku mencintai ibu karena Allah'?" Memang hanya kalimat sederhana. Tapi kalimat itu menunjukkan bahwa sang ibu memang spesial di mata anaknya. Lantas apa? Sang anak pun akan menjadi spesial di mata ibunya. Dan selanjutnya? Sang anak akan menyadari bahwa dirinya spesial.

Maka, benar kiranya bahwa spesial itu haruslah sebuah bentuk pengungkapan. Tak melulu dengan kata-kata, boleh jadi dengan bentuk perhatian atau ketaatan. Selalu meminta ijin kepada ibu, memberikan perhatian-perhatian kecil pada adik, mendengarkan petuah ayah, bisa jadi merupakan bentuk pengungkapan rasa spesial itu.

Berlebihankah? Tidak. Karena semua orang ingin menjadi spesial. Terlepas bahwa setiap orang memang telah dilahirkan dengan spesial. Tapi, orang sering lupa akan itu. Maka, ingatkan. Buatlah orang-orang di sekitarmu merasa spesial. Dan nikmatilah bahwa sesungguhnya dirimulah yang spesial karena telah membuat mereka merasa spesial.


*Happy silaturrahim, happy ukhuwah.. :)






Friday, 2 November 2012

Berdua Tidak Lebih Baik (Ini Teh Susu, dkk)

10:52 0 Comments
Orang sering berkata, "berdua itu lebih baik". Saya tak sependapat. Baik atau tidaknya, tergantung dengan situasinya. Mengerjakan ujian misalnya, berdua alias mecontek berarti lebih baik? Hm.. Saya rasa tidak.

Nah, begitu juga dalam kasus ini. Teh susu alias milk tea, atau entah sebutan dengan bahasa lainnya, yang intinya untuk mendefinisikan teh dengan penambahan susu. Sudah pernah mencoba? Saya sedang 'menggilainya' akhir-akhir ini.

Siapa yang tidak tahu teh? Siapa yang tidak tahu susu? Teh begitu kaya dengan antioksidan, begitu terkenal untuk pengobatan ini itu, pencegah penuaan dini, bahkan pelangsing badan. Susu lebih-lebih lagi, sampai-sampai pemerintah 'lebay' dengan menjadikan susu sebagai makanan penyempurna dalam slogan jadulnya 4 sehat 5 sempurna.

Jika teh itu baik dan susu juga baik, apakah persatuan dari kedua kebaikan itu akan berbuah baik pula? Ternyata, tidak.

Kebaikan teh luntur karena kebaikan susu. Susu yang tinggi protein justru akan mengikat antioksidan dari teh. Artinya, tak ada lagi manfaat antioksidan ketika kita mengonsumsi teh susu. So, apa menariknya? Mungkin memang sekedar tepat seperti apa yang dibilang diiklan tersebut: menyegarkan...

Banyak kasus lain yang senasib dengan teh susu. Misalnya, mengonsumsi teh setelah makan daging. Sering kita jumpai orang makan di warung sate dan memilih minum teh. Padahal kandungan tanin dalam teh akan mengikat zat besi yang banyak terkandung dalam daging. So, sia-sia lagi kita mengonsumi daging. Lagi-lagi sekedar memberi efek mengenyangkan...

Artinya, berdua memang belum tentu lebih baik. Sekalipun masing-masing bagian yang akan menyatu itu sudah sama-sama baik. Karena setiap hal memang memiliki pasangannya masing-masing dan setiap hal akan benar-benar bermanfaat ketika memiliki pasangan yang tepat dengan situasi dan kondisi yang tepat.


PS: Kode untuk sabilbil. Terima kasih sudah mengingatkanku untuk mencari minuman yang lebih menyegarkan plus menyehatkan. :)

Wednesday, 31 October 2012

Bermain Api

05:27 2 Comments


Jangan bermain api jika takut terbakar. Rasanya himbauan itu normatif sekali. Anak kecil pun juga tahu kalau bermain api memang memiliki risiko terbakar. Yup, memang persis seperti kata pepatah "Bermain air basah, bermain api panas". Segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada risikonya.

Saya tergelitik dengan frase 'bermain api' itu sendiri. Rasanya jika kita kolot dan memakai kaca mata kuda maka kita akan tutup mata dengan segala kemungkinan berinteraksi dengan api. Yah, mau bagaimana lagi, daripada kita panas atau bahkan terbakar. Barangkali begitu yang dipikirkan. Tapi, mari kita lihat dari sudut pandang lainnya.

Jaman dulu, nenek moyang kita bersusah payah menggosok-gosok kedua batu demi mengeluarkan bara api. Nah, jika beliau-beliau saja bersedia rela berkorban untuk menciptakan api, kenapa sekarang anak cucunya seolah-olah harus menghindari api?

Oke, anggaplah ada seseorang yang protes, "Ini kasus berbeda, Vi. Api nenek moyang kita itu untuk memasak dan menghangatkan badan, mereka tidak bermain-main. Sekarang pun kita juga butuh api untuk memasak dan menghangatkan badan, tapi tidak (jangan sampai) untuk bermain-main. Itu yang berbahaya).

Oke, saya sependapat. Api memang harus dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Bukankah memang harus demikian adanya perlakuan manusia terhadap apapun di dunia ini? Gunakan sesuai dengan fungsinya, sesuai porsinya, maka semua Insya Allah akan aman-aman saja. Demikian juga dalam kasus api. Ketika digunakan sesuai dengan fungsi dan porsinya, maka ia akan membantu manusia.

Dari kasus di atas, kita akan tergiring bahwa gunakan api untuk memasak dan menghangatkan badan saja, bukan untuk main-main karena itu bahaya. Tapi, benarkah demikian? Benarkah bermain api itu buruk dan menakutkan?

Saya jadi teringat dengan kembang api. Bukankah 'kembang' alias bunga itu indah dan menyenangkan? Sekalipun ia diberi embel-embel 'api', bukankah kembang api juga tetap indah dan menyenangkan? Dan penggunaan api untuk kembang api bukankah memang difungsikan untuk bermain-main semata? Bukan untuk memasak ataupun untuk menghangatkan badan. Jadi, tak bolehkah atau berbahayakah jika bermain-main api untuk kembang api?

Saya memang murni protes di sini. Bukan berarti lantas saya tetap ingin bermain api, hanya saja saya ingin mereka ulang definisi bermain api itu sendiri. Mungkin yang terpenting adalah kita tetap harus ingat segala konsekuensi. Ada aksi, pasti ada reaksi. Ada aksi bermain api, bisa jadi akan ada reaksi panas dan terbakar. Jika tahu itu, mudah-mudahan saja bisa selalu menjaga diri. Agar diri ini tak sampai hangus terbakar, karena kita sadar bahwa terkadang api itu indah dan menyenangkan.


Tuesday, 30 October 2012

Orientasi Blogging vs Social Media

18:55 0 Comments
Hm.., sudah lama sekali rasanya saya tidak posting di blog ini. Sekalipun ada postingan, itu pun naskah yang sudah ditulis untuk keperluan lainnya, bukan murni tulisan spesial untuk blog seperti biasanya. Dan tanpa sadar, rasa rindu dengan aktivitas bloging seperti dulu mulai muncul juga.

Kemarin, seorang teman berkata kepada saya, "Orang itu berubah-ubah orientasinya. Tahun lalu dia ingin ini, tahun ini ingin itu, dan entah tahun depan ingin apa". Saya mengiyakan perkataannya.

Saya tidak sedang ingin menceritakan tentang apa perubahan orientasi hidup saya. Tapi, kembali lagi dengan segala aktivitas blogging dulu, sepertinya dalam hal ini pun saya merasakan perubahan orientasi itu.

Tiga tahun lalu, ketika blog ini masih berumur hari atau bulan, orientasi waktu luang saya adalah blogging dan blogwalking. Saya akan membuka dasbor blog dan langsung menuliskan apa yang saya pikirkan pada saat itu. Lantas, berkunjung ke blog-blog teman dan blog-blog andalan yang memang sudah saya bookmark karena isinya menarik. Itulah aktivitas saya. Saya menulis dan saya membaca.

Tapi, jika flashback satu tahun lalu, rasanya aktivitas itu mulai meredup. Saya memang tetap menulis dan membaca. Sayangnya, itu lewat social media. Saya yang semula menganggap interaksi dunia maya lewat blog lebih baik daripada socmed lainnya, terjerumus ke sana. Karena tuntutan tugas, mulailah saya menulis di note fb. Karena desakan microblogging, mulailah saya tertarik dengan twitter. (Untungnya saya belum terjerumus dengan dunia fotografi sehingga tidak merambah ke instagram). Masalahnya adalah, social media adalah social media dan bukan murni wahana untuk melatih menulis dan membaca.

Seorang teman penulis pernah berkata, "Apa mau jadi penulis facebook? Yang ditulis hanya note atau status. Ya kalau setenar presiden, status facebook bisa dibukukan atau tweet di twitter bisa diperjualbelikan. Nah kita?"

Secara tidak langsung teman penulis itu berkata, social media hanyalah pembuang waktu semata. Sekalipun bisa untuk latihan menulis, itupun akan tenggelam dengan timeline lainnya. Seorang teman yang 'aktivis' blogging berkata, "Daripada di social media, nulis serius lebih bisa ditunjukkan dari postingan blognya. Sebulan ada berapa postingan, dan seterusnya".

Nah, saya sepertinya sependapat dengan teman yang kedua. Keseriusan menulis memang lebih bisa terlihat dari postingan blognya dan bukan dari seberapa sering dia menulis status, note, atau tweet. So?

Sekalipun begitu, ada teman lain pula yang berkomentar, "Kamu ingin jadi penulis blog atau penulis buku? Kalau penulis buku, ya kerjakan buku, jangan blogging melulu."
Hm..., lagi-lagi ini masalah orientasi individu yang bisa berubah sewaktu-waktu. Mau lebih fokus ke mana, memang terserah Anda. Tapi sepertinya memang lebih baik lewat blogging untuk menjadi batu loncatan membuat buku selanjutnya.


So.., welcome to blogging again! I hope this is the right way to reduce social media.. :)


PS: Sekedar curhat penyemangat diri sendiri biar lebih rutin nulis dan ngurus blog.. :)


Monday, 22 October 2012

Mahasiswa Berprestasi?

06:09 0 Comments

Ditulis untuk memenuhi permintaan "Behind the scene mawapres FK"
 
Ada yang bertanya, untuk apa mencari ‘gelar’ mahasiswa berprestasi? Apakah sekedar untuk menaikkan gengsi? Atau untuk gaya-gayaan semata? Bukankah semua orang pada dasarnya berprestasi? Toh tanpa gelar mawapres pun kita tetap bisa kuliah dengan santai, tetap bisa aktif organisasi dengan damai. So, untuk apa?
Memang benar, gelar mawapres bukanlah segala-galanya. Demikian halnya dengan orang yang beranggapan bahwa IPK cumlaude bukanlah tujuan utama. Setiap orang memiliki standar mereka masing-masing termasuk dalam ukuran prestasi. Bahkan dengan masuknya kita sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS pun sudah termasuk sebuah prestasi. Entah di dalamnya akan berproses seperti apa, kita bisa saja tetap menjadi ‘mahasiswa berprestasi’ menurut kaca mata orang tua kita.
Lantas untuk apa repot-repot membuat seleksi mahasiswa berprestasi?
Justru karena beragamnya pandangan yang berbeda itulah maka dibutuhkan sebuah penyeragaman kriteria untuk layak disebut mahasiswa berprestasi. Setidaknya ada lima komponen yang menjadi pertimbangan Dikti untuk menentukan kriteria mawapres. Kriteria tersebut yaitu IPK, karya tulis ilmiah, keaktifan mengikuti organisasi, lomba, penelitian, maupun pengabdian masyarakat, kemampuan berbahasa Inggris, dan kepribadian.
Keberhasilan akademis seorang mahasiswa jelas dilihat dari IPK-nya. Jika IPK-nya baik dapat diasumsikan bahwa proses belajarnya baik. Maka layak jika ia disebut sebagai orang yang berprestasi. Namun, prestasi ini hanyalah prestasi akademis semata. Apakah salah orang yang mengejar IPK hingga menargetkan cumlaude atau bahkan summa cumlaude? Tentu saja tidak. Orang-orang demikian justru disebut sebagai orang yang bertanggung jawab karena mengemban amanah orang tuanya untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Tetapi, apakah orang yang ber-IPK tinggi saja cukup untuk memenuhi kebutuhan di luar sana? Belum tentu. IPK boleh saja tinggi, tetapi kriteria berprestasi lainnya harus ikut terpenuhi.
Sebagai orang intelektual yang diharapkan cinta dengan keilmuannya, maka seorang mahasiswa dituntut untuk sanggup menghasilkan karya dalam bentuk karya tulis ilmiah. Kriteria ini sering menjadi momok bagi sebagian besar mahasiswa, seakan frase ‘karya tulis ilmiah’ adalah sesuatu yang menakutkan dan terasa sangat berat. Padahal, karya tulis tak ubahnya tulisan biasa. Tak ada bedanya dengan menulis cerpen, puisi, atau curhatan di diary kesayangan. Hanya saja karya tulis ilmiah ditambahkan pustaka untuk menunjang data dan diatur dengan kaidah penulisan tertentu. Di luar dari itu, tak ada yang menakutkan dari sebuah karya tulis ilmiah.
Terlebih saat ini Dikti mewajibkan setiap mahasiswa yang lulus harus mempublikasikan naskah di jurnal ilmiah. Aturan Dikti ini bukan aturan yang memberatkan. Aturan ini justru mendukung mahasiswa untuk kritis dan mau meng-update berita terbaru mengenai keilmuannya. Terlebih menulis belumlah menjadi budaya di Indonesia. Padahal salah satu tanda seorang intelektual adalah orang yang menulis. Maka, wajar kiranya Dikti mengambil kemampuan menulis karya tulis ilmiah sebagai salah satu kriteria mahasiswa berprestasi.
Kriteria ketiga adalah keaktifan. Mahasiswa memang sering terjebak dengan keasyikan aktif di berbagai kegiatan, entah itu organisasi, penelitian, penyaluran minat bakat, atau pengembangan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan tersebut akan sedikit menyita jatah waktu untuk konsentrasi pada akademis. Namun, bukan berarti lantas mahasiswa dilarang untuk aktif. Justru sebaliknya, mahasiswa didorong untuk berkontribusi dan memberikan kebermanfaatan pada lingkungannya karena hal itu sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Maka keaktifan dalam berbagai kegiatan pun turut dipertimbangkan untuk mendapatkan gelar mahasiswa berprestasi.
Kemampuan berbahasa Inggris juga sangat dipertimbangkan dalam kriteria seorang mawapres. Di era globalisasi seperti sekarang ini, bahasa Inggris ibarat bahasa mutlak yang harus dikuasai. Dengan menguasai bahasa Inggris, maka akses informasi akan menjadi semakin luas. Artinya, mahasiswa pun akan semakin mudah untuk mencerdaskan dirinya. Dengan demikian wajar kiranya seorang mahasiswa yang capable dalam berbahasa Inggris dianggap sebagai mahasiswa berprestasi.
Kriteria terakhir adalah kepribadian mahasiswa tersebut. Kriteria ini justru dapat dikatakan sebagai kriteria yang paling penting. Mengapa? Karena kepribadian adalah kemudi sekaligus rem yang akan menemani mahasiswa tersebut dalam perjalanannya. Salah satu cara untuk menilai kepribadian seseorang adalah dengan melihat kualitas spiritualnya. Seseorang dengan spiritual yang baik, biasanya akan memiliki sikap yang baik pula.
Mahasiswa boleh saja ber-IPK tinggi, jago karya tulis, aktif, dan fasih berbahasa inggris, tetapi jika kepribadiannya buruk maka bisa jadi buruk pulalah kriteria lainnya. Kepintarannya yang diukur dari nilai IPK bisa saja diperoleh dari cara mencontek karena tak ada iman dalam hatinya. Karya tulis yang dibuatnya bisa saja tidak membawa kemanfaatan bagi orang lain karena hanya mengejar nafsu keilmiahan semata. Keaktifannya dalam berbagai kegiatan bisa jadi justru menjadi jurang dengan agamanya jika tidak direm dengan pengendalian yang baik. Dan kemampuan berbahasa Inggris yang baik dapat pula dimanfaatkan untuk akses informasi yang tak bermanfaat.
Maka, seorang mahasiswa yang berprestasi adalah seorang mahasiswa yang seimbang. Dia orang yang bertanggung jawab terhadap akademisnya yang dibuktikan dengan IPK. Dia mencintai keilmuannya dengan dibuktikan tergerak menuliskan karya tulis ilmiah. Dia peka pada lingkungan sosial dengan dibuktikan aktif di berbagai kegiatan. Dia terakses dengan informasi global yang dibuktikan dengan kemampuan berbahasa Inggris. Dan kuncinya, dia memiliki kepribadian yang kuat dengan dibuktikan oleh spiritualitasnya yang baik.
Apakah saya sudah sedemikian itu? Belum. Apakah seseorang dengan semua kriteria tersebut pasti menjadi mawapres? Belum tentu. Maka, kembali lagi pada statement di atas bahwa gelar mawapres bukan segala-galanya. Namun yang lebih penting adalah menjadi mahasiswa yang seimbang, antara akademis, ilmiah, sosial, global, dan spritualnya.
Bisakah? Semoga...

Kunci Cinta Menuju Cita

06:06 0 Comments
Ditulis untuk memenuhi permintaan "Mengapa memilih FK UNS"

Jika anak kecil ditanya, “Apa cita-citamu?” banyak yang akan menjawab, “Ingin menjadi dokter.”
Bermula dari jawaban klasik masa cilik, sebuah cita-cita pun menghujam erat dalam diri saya. Tentu bukan semata-mata karena tidak ingin menelan ludah sendiri atas jawaban yang sedari kecil didengung-dengungkan, tetapi lebih daripada itu. Ada sebuah daya pikat yang memang begitu mempesona sehingga saya berani bertaruh bahwa saya jatuh hati pada dunia kedokteran.
Dunia kedokteran adalah dunia berbau kesehatan. Diakui atau tidak, kesehatan termasuk sebagai salah satu hal pokok dalam aspek kehidupan manusia. Orang boleh berkata bahwa ekonomi yang paling penting, tapi apalah artinya kaya jika sehat tak punya. Bahkan sebaliknya tak jarang yang berkata “tak apa miskin, asal tetap hidup sehat dan bahagia”. Orang boleh berpendapat bahwa politik, lingkungan hidup, atau pendidikan adalah hal penting untuk diperhatikan. Tetapi, orang tak boleh lupa bahwa justru nikmat sehat dan sempat-lah yang melenakan, bukan nikmat kestabilan politik, kondusifnya lingkungan, atau pemerataan pendidikan.
Itulah kesehatan. Sesuatu yang penting namun melenakan dan bisa jadi justru berujung pada peremehan. Di sinilah kunci pertama itu. Mengapa saya tergila-gila pada kesehatan karena memang masyarakat harus dibangunkan dari buaian masalah kesehatan yang melenakan, di samping melek akan isu hukum, pertahanan, sosial, dan jutaan isu lainnya.
Berbicara mengenai kesehatan sama dengan berbicara mengenai kehidupan. Aspek yang dilingkupi oleh bidang kesehatan sangat luas sekali, mulai dari manusia sebelum lahir hingga manusia setelah mati. Sebuah ilmu yang mahaluas dan pasti akan semakin membuat haus ketika hanya meminum seteguk saja.
Memang ilmu Allah SWT tiada terhingga, bahkan tak kan selesai dituliskan dengan menggunakan tinta dari seluruh samudra. Ilmu kedokteran sendiri pastilah hanya secuil dari ilmu Allah Ta’ala. Tak ada artinya, tak berefek apa-apa. Namun ilmu tetaplah harus dipelajari. Sekalipun itu kecil di mata Allah SWT dan terlihat begitu kompleks di mata manusia, namun hasrat mencari percikan ilmu harus tetap diperjuangkan.
Dengan mempelajari kedokteran maka saya mempelajari ilmu kehidupan dari Sang Maha Pencipta. Bagaimana Allah SWT menciptakan manusia dengan sedemikian detailnya hingga tak ada satu bagian pun yang tidak menjalankan perannya. Sekalipun itu hanya pipi yang gembul pada bayi yang baru lahir ataupun rambut alis yang tak pernah tumbuh sangat memanjang.
Semuanya dikaji secara ilmiah dalam ilmu kedokteran. Jelas sebuah ilmu yang akan dapat mendekatkan diri pada Illahi Rabbi dan tentunya diharapkan dapat menjadi penjembatan untuk meningkatkan syukur dan keimanan pada Yang Maha Kuasa. Adanya hikmah yang terkuak dengan ilmu kedokteran itu tentunya menjadikan ilmu tak akan cukup sampai di situ. Rasa keingintahuan akan terasah dengan harapan dapat semakin memahami hikmah penciptaan dari Allah SWT. Secara tidak langsung, dengan sendirinya ilmu Allah pun akan semakin terkuasai sedikit demi sedikit. Inilah kunci kedua itu, sebuah harapan demi meningkatkan keimanan dengan memenuhi hasrat untuk menguasai ilmu Allah SWT.
Memang mempelajari ilmu Allah SWT tak harus dengan kedokteran. Atau perdebatan bahwa ilmu kesehatan tak melulu harus lewat jalur kedokteran. Dokter artinya orang yang bertugas mengobati orang yang sakit. Artinya ia hanya memperbaiki sesuatu yang sudah salah. Padahal kita tahu bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik menjaga orang sehat agar tak jatuh sakit dibandingkan mengurangi jumlah orang sakit dengan cara mengobati.
Saya sendiri menyepakati hal tersebut. Maka saya membenarkan program-program para penggerak kesehatan di lapisan masyarakat. Masyarakat sehat memang harus dijaga untuk sehat, tetapi masyarakat sakit harus segera diobati pula agar tidak bertambah sakit, bahkan diupayakan untuk menjadi sehat. Artinya, kesehatan memang tidak melulu tentang kuratif, tetapi ada fase preventif, promotif, maupun rehabilitatif.
Boleh jadi usaha itu dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat tanpa perlu repot-repot menghabiskan dana dan waktu untuk mengecap bangku kedokteran. Tetapi semua orang tak kan mampu untuk itu. Orang komunikasi bisa saja ahli melakukan usaha promotif, tetapi belum tentu tahu bagaimana tindakan rehabilitatif. Orang kesehatan masyarakan bisa saja mahir melakukan tindakan preventif, tetapi akan angkat tangan ketika harus melakukan tindakan kuratif. Memang semua memiliki porsinya masing-masing, tetapi seorang dokter dapat menjalankan keempat peran itu sekaligus.
Dokter yang peka dengan masalah masyarakat akan tergerak untuk melakukan upaya preventif dan promotif pada masyarakat sehat. Di satu sisi, dokter juga akan melakukan tindakan kuratif dan rehabilitatif untuk mengobati orang sakit dan mengubah statusnya menjadi orang sehat kembali. Artinya, seorang dokter dapat melakukan penekanan jumlah penderita suatu penyakit dari dua arah. Dengan demikian pewujudan masyarakat sehat pun terjadi beriringan. Inilah kunci ketiga dimana saya berharap dapat mewujudkan masyarakat sehat dengan aksi dua arah sekaligus, yaitu mencegah serta mengobati.
Mungkin ada yang meremehkan dengan kunci ketiga saya dengan berkata, “Dokter di Indonesia sudah banyak, tapi nyatanya masyarakat sehat tak tercapai juga.” Di sinilah tantangan yang saya ambil. Jumlah dokter memang banyak, namun berapa dokter yang mau membuka mata pada dunia sekitarnya? Berapa dokter yang memandang permasalahan kesehatan sebagai permasalahan masyarakat yang harus segera ditangani agar tidak menjadi masalah bangsa?
Padahal kembali ke bahasan semula bahwa ruang lingkup kedokteran sedemikian luasnya. Sebelum manusia lahir saja, sudah ada banyak kasus kesehatan yang melanda, mulai dari risiko kelahiran premature, tingginya angka kematian bayi dalam persalinan, dan lain sebaginya. Hingga akhirnya mendekati ajal pun ranah kedokteran masih ikut berbicara, mulai dari masalah penuaan yang mengganggu fungsi organ tubuh hingga jutaan masalah kesehatan kronik yang ditimbun sedikit demi sedikit. Semua masalah itu tak akan selesai jika hanya dipandang dengan kacamata satu orang pasien datang lantas diobati dan kemudian atas izin Allah diberikan kesembuhan. Melainkan bagaimanakah penanganan masalah penyakit tersebut jika terjadi di masyarakat secara luas. Itulah kunci keempat saya mencintai kedokteran, bahwa ladang kebermanfaatan masih membutuhkan tangan-tangan yang rela terulur, yang mau melihat masalah kesehatan secara komprehensif dan solutif. Dengan demikian kunci ketiga yaitu mewujudkan masyarakat yang sehat secara lebih efektif dan efisien pun semakin mudah untuk tercapai.
Setidaknya dengan keempat kunci itulah yang menutup rapat-rapat kobaran cita-cita dokter dalam diri saya. Harapan untuk mendekatkan diri pada Allah, membuat masyarakat melek akan kesehatan, menjadi problem solving bagi masalah kesehatan, dan mewujudkan masyarakat yang sehat insya Allah dapat tercipta dengan langkah awal menjadi mahasiswa fakultas kedokteran. Dengan kunci itu pulalah yang membuat hati tak akan berpaling pada ranah ilmu lain demi fokus mencintai dan nantinya akan memberi bukti.

Mengapa Kedokteran UNS?
Sekalipun rasa cinta pada kesehatan sudah demikian terpatri, pemilihan pelabuhan yang tepat agar cinta semakin bertaut tak bisa dianggap sebagai hal yang remeh. Salah pilih tempat mendarat, bisa-bisa rasa cinta pun akan menjadi kandas. Namun jika jatuh di landasan yang tepat, bisa jadi cinta itu akan melambung semakin tinggi. Pertimbangan itulah yang saya pakai sebelum melabuhkan cinta kesehatan itu. Dan pilihan saya pun jatuh pada Fakultas Kedokteran UNS.
Orang bilang, lakukanlah sesuatu mulai dari diri sendiri, mulai dari yang terkecil, mulai dari yang terdekat, dan seterusnya. Demikian pula dalam memilih pelabuhan cinta. Untuk mengaitkan kunci cinta kesehatan saya satu per satu, bisa saja saya memilih fakultas kedokteran di kota-kota provinsi atau kota besar lainnya. Namun atas dasar memulai sesuatu dari yang terkecil dan terdekat, tak ada salahnya saya mencoba mengunci cinta itu dari sebuah kota kecil bernama Solo.
Sebuah kota mungil bukan berarti mimpi hanyalah kecil. Sebuah kota yang dekat bukan berarti mimpi tak mungkin melesat. Justru bermula dari kota kecil inilah pijakan akan menjadi semakin kuat. Justru karena kota yang mungil pulalah menjadikan kami semakin dekat dengan masyarakat. Secara tidak langsung perwujudan pengikatan kunci cinta kesehatan semakin mudah untuk dilakukan.
Bisa jadi justru karena di kota besar lantas kurang akrab membersamai masyarakat. Terbukti dengan lulusan fakultas kedokteran di berbagai universitas. Tak jarang lulusan universitas tertentu tidak siap untuk terjun dalam masyarakat. Skill tidak terasah karena tidak ada kesempatan untuk mempraktikkan langsung selama mengenyam bangku pendidikan.
Namun, semua kekhawatiran itu dapat dicegah hingga seminimal mungkin di FK UNS. Kegiatan terjun ke daerah-daerah dengan membawa topik kesehatan tertentu setiap semester dapat menjadi wahana untuk benar-benar mengenal masalah kesehatan masyarakat. Di samping itu sekaligus mencari pemecahan masalah kesehatan dan mempraktikkan skill yang dimiliki. Semuanya terasah sediki demi sedikit dengan dukungan kurikulum dari fakultas maupun organisasi-organisasi medis yang bertebaran dan demikian dekat dengan kehidupan mahasiswa.
Dengan dukungan fakultas maupun organisasi kampus, kemampuan saya pun sedikit demi sedikit terasah. Artinya, kesempatan untuk menguatkan kunci-kunci cinta kesehatan pun makin terwujud. Dengan keempat kunci cinta saya yang ternyata didukung penuh dengan program fakultas maupun organisasi, makin kuatlah rasa cinta saya pada kesehatan. Dengan makin kuatnya rasa cinta saya pada kesehatan, makin kuatlah rasa cinta saya pada fakultas yang telah mendukung sedemikian tak terkiranya.
Maka, saya berani berkata, “Saya cinta kesehatan, saya cinta FK UNS.”