"Mau ke mana kita?" seorang teman bertanya kepadaku.
Aku melirik arloji yang melingkar manis di tangan kiriku. Hanya ada waktu 1,5 jam lagi sebelum jam kuliah berikutnya. Waktu yang ada bisa menjadi sangat membosankan jika hanya digunakan untuk menunggu tapi jika harus pulang ke rumah, justru terlalu membuang-buang waktu.
Seorang teman yang lain berkata, "Duduk di sini aja yok. Belajar buat pretest besok."
Hm, ide yang bagus. Kami pun duduk di sudut gedung kampus yang dinaungi rimbunnya pepohonan. Belajar pun dimulai, saling menjelaskan, saling mengomentari.
Tengah asyiknya kami berdiskusi, sesosok manusia menarik perhatianku. Bapak tua yang tertatih berjalan menuju ke arah kami. Dia adalah pengemis yang 'beroperasi' di kampus ini. Tidak sekali dua kali ini saja aku melihatnya. Bahkan jika pagi hari aku berangkat lewat gerbang belakang kampus, tak jarang aku bertemu pengemis itu yang juga baru saja berjalan masuk ke dalam kampus. Hm, serasa dinas di kampus saja dia.
Pengemis itu berperawakan kecil, hitam. Wajahnya tua dan rambutnya putih dimakan usia. Dia selalu memakai baju kemeja yang sudah lusuh dan tak jelas warnanya dengan celana pendek selutut yang tak kalah lusuhnya. Di bahu kirinya tergantung kantong tas yang ikut lusuh pula. Setiap orang yang melihatnya mendekat, rasanya tak sampai hati untuk tidak memberinya sekeping atau selembar uang. Demikian pula kali ini.
Bapak pengemis tua itu makin mendekat ke arah kami. Dia berhenti sejenak di segerombolan orang yang sedang duduk tak jauh dari kami. Kulihat semua orang mengulurkan tangannya ke arah pengemis itu. Dengan kembali tertatih, dia berjalan menuju kami.
Aku dan teman-temanku segera meraih dompet yang ada di dalam tas. Tepat saat pengemis itu berada di depanku, aku mendengar sayup-sayup dering HP. Keningku berkerut saat kuraih selembar uang dan kuberikan pada pengemis itu. Pengemis itu meraih uangku dengan tangan kanannya.
Aku masih penasaran dengan dering HP yang kudengar. Kulihat teman-temanku tak ada yang bereaksi dengan HP-nya. Mereka masih sibuk mengambil uang dari dompet mereka. Kulirik bapak pengemis tua yang kini sudah beralih ke hadapan temanku. Pengemis itu menunduk. Refleks, aku melihat ke arah kantong tas yang ia kalungkan di bahu kirinya. Aku menahan nafas. Pengemis itu mendekap kantong tasnya erat-erat.
Saat pengemis tua itu berlalu, teman-temanku saling pandang.
"Itu tadi suara HP...?" tanya temanku dengan nada menggantung tak yakin.
Aku mengangguk.
Seorang teman berkata dengan nada sebal, "Wah, ternyata! Kalau tau gitu besok kapan-kapan aku mau tanya ke bapaknya. Pak, nomor HP-nya berapa. Biar nanti kalau saya ada rejeki bisa menghubungi bapak untuk ngasih sedekah."
Aku pun tersenyum.
****************************************
PS :
Bukan pengemis ini yang aku komentari, tapi sikap kita. Pengemis ini memberiku setidaknya dua pelajaran.
Pertama, jangan menjadi peminta-minta dan bermental peminta-minta. Jika kita tak suka dengan pengemis berpunya yang tetap meminta-minta, apakah orang lain juga tidak berpikir begitu jika kita hanya bisa meminta-minta padahal kita pun masih berpunya? Satu kuncinya, syukur dan qonaah dengan apa yang ada.
Kedua, belajar untuk lebih ikhlas. Tidak usah lah kita memilih-milih orang yang berhak kita bantu. Sebanyak mungkin, asal kita ikhlas dan berniat baik, insya Allah, Allah yang akan memberikan gantinya.
Saturday, 23 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ass,nice artikel. Setuju mba kuncinya memang harus ikhlas. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah...
ReplyDeleteWa'alaikumussalam...
ReplyDeleteYa..., ayo menjadi pemberi dan bukan peminta...