Follow Us @soratemplates

Tuesday, 28 August 2012

Setimbang bimbang

19:47 0 Comments


 
Ini bukan kisah kelinci yang berbagi roti
Yang ditimbang-timbang berat yang kanan
Dimakan
Ditimbang-timbang berat yang kiri
Dimakan
Lama-lama roti habis
Kelinci menangis

Ini neraca kehidupan

Bandul kanan mengatakan
Dosa memanipulasi timbangan
Biarkan sesuai kadar
Lakukan dengan sadar
Nurani turut berontak
Biar aku hidup enak

Bandul kiri menyadari
Tak mengapa tak murni
Biar tak ada lagi pembeli
Coba-coba mengakali
Cukup pelanggan setia
Meski datang sekali dua

Tapi pedagang bukan pemasok
Yang terus menanti hingga besok
Sesekali ingin spekulasi
Beradu opini dengan pembeli

Bangkrut
Mungkin
Untung
Barangkali

Ditimbang bimbang
Berikan
Tahan
Karena pedagang bukan kelinci
Yang ingin menangis kalau roti habis


Saturday, 18 August 2012

Untuk Apa Nikah?

07:40 2 Comments

A’udzubillahiminassyaithonnirajim..

Ini bukanlah sebuah tulisan provokator yang mengajak orang agar tidak usah menikah. Bukan pula tulisan yang sarat benci dengan menganggap bahwa nikah itu tak penting. Semata-mata bukan itu, maka saya mengucap ta’awudz terlebih dahulu.

Lagi-lagi hanya merenungi esensi dari penikahan. Ketika seseorang akan melakukan ijab qabul, seorang petugas KUA bertanya, “Kenapa mau menikah dengan mas A?” Dan dengan malu-malu wanita itu menjawab karena cinta.

Lantas saya bertanya, untuk apa nikah? Apakah sekedar untuk melegalkan cinta?

Saya teringat komentar ibu ketika mengobrol jauh-jauh hari dulu. “Jika seseorang belum mampu dari segi maisyah dan ilmu, lebih baik ditunda dulu. Kalau terburu-buru, jangan-jangan nikahnya hanya karena nafsu.”
Mungkin terkesan begitu sarkasme. Tetapi jika ditelaah memang demikian adanya.

Tak ada keraguan bahwa menikah dapat mengendalikan nafsu. Tetapi menikah yang bagaimana? Tentu saja menikah yang telah diiringi dengan kesiapan. Artinya, dalam kasus ini mereka memang telah wajib untuk menikah. Namun, jika ternyata nafsu itu sudah ada tetapi kemampuan belum mengiringi juga, mungkinkah bahwa pernikahan itu hanya didasari nafsu semata?

Memang benar bahwa untuk menikah harus ada nafsu. Setidaknya rasa tertarik dengan pasangan yang akan dinikahi. Tetapi, jika hanya berlandaskan nafsu dan tak ada kesiapan lainnya, apakah hidup ke depannya hanya akan bermodalkan cinta?

Bisa saja sebenarnya hidup dengan modal cinta. Bukan dalam arti semua selesai dengan dibayar cinta, tetapi menggunakan cinta sebagai spiritnya. Misal, karena belum memiliki penghasilan tetap, maka menggunakan modal cinta sebagai spirit untuk mencari pekerjaan lainnya. Pun ketika merasa bahwa ilmu belum mencukupi, karena ada dorongan cinta yang demikian kuat untuk memberikan yang terbaik, maka belajarlah ia dengan sebaik-baiknya.

Sayangnya, cinta saja tak cukup. Ekstrimnya, cinta tak membikin perut menjadi kenyang. Lebih-lebih pernikahan seharusnya bukan semata-mata karena cinta. Akan lebih mulia kiranya jika menikah itu dijadikan sebagai sebuah ibadah. Dan tentunya sebuah ibadah bukan main-main belaka, yang asal membuat perhelatan tetapi diikuti dengan masa depan yang masih diawang-awang.

Seperti kata seorang ustadz, lihat untuk apa engkau mencari pasangan. Apakah ia cukup untukmu, ataukah seseorang yang siap untuk mendidik anakmu. Apakah menikah hanya kesenangan dunia, ataukah bekal untuk menggapai surge.

Maka, tanyakan lagi. Untuk apa kita menikah nanti?


Thursday, 16 August 2012

Jatuh Cinta dan Cinta Dijatuhkan

07:37 0 Comments

Ada sebuah pilihan yang sudah sangat akrab di telinga kita, apakah kau akan menikahi orang yang kau cintai atau mencintai orang yang kau nikahi? Meski sedikit berbeda konteksnya, ada pula tawaran pilihan yang lain, apakah kau akan jatuh cinta atau menjatuhkan cinta?

Dalam konteks yang pertama, cinta dihadirkan dengan sebuah batasan perbedaan. Opsi pertama menunjukkan bahwa sebelum menikah, mereka sudah saling jatuh cinta terlebih dahulu. Maka, atas dasar cinta itulah mereka memberanikan diri melangkah menuju tahap selanjutnya. Rasanya, pilihan tipe ini sudah sangat umum dan banyak yang melakukan.

Opsi kedua dalam konteks pertama mengindikasikan bahwa cinta itu muncul setelah pernikahan. Beberapa orang mengatakan, justru cinta inilah yang lebih baik. Bagaimana mungkin kita berani-beraninya memberikan cinta jika sang penerima belum sah menjadi milik kita. Kurang lebih demikian alasannya.

Namun, sebagian yang lain mengatakan ini cinta yang menyakitkan. Bisa saja pernikahan itu terjadi karena sebuah perjodohan. Barangkali awalnya belum ada cinta, atau justru mungkin terpaksa. Tapi, witing tresno jalaran saka kulina, karena menikah dan selalu bersama, maka muncullah benih-benih rasa cinta itu.

Agaknya, untuk konteks pertama ini semua orang sudah sangat memahami. Sedangkan dalam konteks lainnya, pilihan terjadi justru sebelum ada pernikahan itu. Kurang lebih konteks kedua ini mendukung opsi menikahi orang dicintai. Artinya, bagaimana menemukan cinta itu yang kemudian mengajaknya untuk memasuki jenjang pernikahan.

Opsi pertama adalah jatuh cinta. Adakah yang belum pernah mengalami jatuh cinta? Rasanya tidak mungkin. Maka, demikianlah mekanismenya. Tanpa ada ujung pangkal yang kadang kita pahami, kita mulai mencintai seseorang. Rasa itu muncul dengan sendirinya. Dan dengan rasa itulah, mereka melangkah ke pernikahan.

Opsi kedua, mereka menjatuhkan cinta. Barangkali agak terlalu kasar istilahnya, tetapi memang demikian adanya. Seseorang sejak awal sudah memiliki kriteria-kriteria pasangan yang jauh-jauh hari sudah ditentukan. Lantas mereka mencari orang dengan kriteria tersebut. Hingga akhirnya suatu ketika mereka menemukannya, maka ia pun mulai menjatuhkan cinta padanya. Dan setelah jatuh cinta, barulah mereka melangkah ke pernikahan.

Meskipun keduanya berujung pada mencintai terlebih dahulu sebelum menikahi, tetapi mekanisme berbeda tersebut sedikit banyak menyinggung masalah kriteria. Opsi pertama bisa diartikan menerima pasangan apa adanya, sedangkan opsi kedua parahnya bisa didefinisikan ‘menuntut’ pasangan untuk tetap sesuai dengan kriteria kita.

Mau memilih mekanisme yang mana atau justru menikahi dulu baru mencintai, itu terserah Anda.


Wednesday, 15 August 2012

Legaaa

07:33 0 Comments

Buat teman-teman berumur yang belum juga memiliki pasangan, galau menikah agaknya menjadi topik umum yang tak perlu dirahasiakan lagi. Melihat satu demi satu temannya melepas masa lajang, bukan tak mungkin kadar kegalauan itu meningkat pula. Tetapi jika pada akhirnya mereka telah menikah, barangkali mereka akan tersenyum dan menghela nafas, “Legaaa…”.

Ya, mungkin mereka lega karena kegalauan mereka berakhir. Mungkin mereka lega karena akhirnya mereka laku juga  (hm, lagi-lagi disamakan dengan sebuah barang). Tetapi, sebenarnya ada sebuah kelegaan yang memang pantas untuk dibarengi dengan hembusan nafas. Mereka layak lega karena telah mendapat separuh diennya.

Mencari agama bukanlah hal yang mudah. Memiiki seorang ayah kyai, belum tentu anaknya akan ikut mumpuni. Bahkan tak jarang orang gonta-ganti agama demi mendapatkan kepuasaan di manakah ia merasa nyaman untuk benar-benar menghamba. Dan tanpa basa-basi, Allah Subhanahu wa ta’ala menghadiahkan separuh dien hanya dengan menikah. Bukankah sangat melegakan?

Tetapi masih ada saja orang yang tak bersyukur dengan separuh dien itu. Ada yang protes, “kenapa hanya separuh?” Serakah mungkin. Tetapi, apa jadinya jika ternyata seratus persen dien diperoleh dengan menikah?

Bayangkan jika kita menikah dengan orang yang salah. Naudzubillah. Apa akibatnya jika demikian? Agama kita kemungkinan besar bisa rusak seratus persen pula. Memang jika ternyata orang yang kita pilih adalah orang yang ‘benar’, boleh jadi seratus persen agama itu akan didapatkan. Tetapi, adakah yang bisa menjamin bahwa ia akan benar hingga akhir hayatnya? Sedangkan Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri adalah sang maha pembolak-balik hati.

Maka, bersyukur kiranya menikah cukuplah separuh dien saja. Dengan demikian ada separuh dien lagi yang harus diupayakan sendiri-sendiri. Bukan berarti egois atau Allah kejam dan pelit. Tetapi, proses pencarian separuh dien selanjutnya itulah yang dinantikan Allah. Bagaimanapun Allah Subhanahu wa ta’ala menyukai hamba yang selalu menuju-Nya. Jikalau ternyata dien itu cukup hanya dengan menikah saja, apakah masih ada yang akan tetap menuju-Nya? Andai semuanya terpenuhi, bisakah dibayangkan berapa banyak orang tak butuh beribadah lagi?

Padahal sejatinya proses perpaduan itu dilakukan untuk menentukan ke depannya. Maka, bagaimanakah separuh dien yang lainnya itu dicari bersama. Bukan dengan bersantai-santai selepasnya karena merasa aman setidaknya sudah mengantong separuh diennya.

Silakan berteriak lega karena sudah menikah, asal jangan sampai terlena. Karena iblis tak kan berhenti melenakan manusia hingga ajal menutup mata.

A’udzubillahiminassyatihonnirrajim…


Tuesday, 14 August 2012

Baju versi Orang Tua

07:31 0 Comments

Ketika seseorang mengenakan baju, dia bisa merasa nyaman dengan melihat dua sudut pandang. Yang pertama, asal dia suka. Yang kedua, asal orang lain enak melihatnya. Tak jauh berbeda, demikian juga dengan seseorang dan pasangannya. Dia bisa mengambil opsi pertama dengan mengatakan asal dia nyaman. Ada pula yang memilih opsi kedua, asal orang lain enak memandang mereka.

Jikalau mengambil opsi kedua, salah satu sudut pandang orang lain yang begitu berpengaruh adalah pandangan orang tua. Boleh saja orang mengelak, “Yang mau menikah aku atau orang tuaku?”, tetapi tetap saja pandangan orang tua tak bisa dilepas begitu saja.

Alasan yang pertama, jelas orang tua menjadi syarat mutlak untuk mendapat restu. Untuk laki-laki mungkin bisa saja seenaknya ‘kawin lari’ tanpa sebelumnya woro-woro pada orang tuanya. Meskipun kasus itu sangat jarang terjadi. Tetapi bagi wanita, harus ada syarat mutlak restu dari walinya untuk bisa melakukan pernikahan. Artinya, mau tak mau sudut pandang ‘nyaman’ versi orang tua atau wali tetap tak bisa dipungkiri.

Seringkali orang tua membelikan baju yang mutlak harus dipakai oleh anaknya. Terkadang si anak tidak terlalu suka dengan model atau warnanya. Tetapi ketika baju itu disodorkan dan berkali-kali ditanyakan kenapa jarang dipakai, bukan tidak mungkin baju itu akhirnya dipakai pula.

Demikian halnya dalam pasangan. Boleh jadi orang tua menyodorkan satu nama kepada kita. Tentu saja tidak semua anak akan serta merta menganggukkan kepala. Terkadang ada masa anak akan menolak, mendiamkan di ‘lemari’, atau bentuk sikap lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan dorongan sisi kepantasan dari sudut pandang orang tua akan membuat nama itu muncul dari kotak persembunyian dan benar-benar akan kita kenakan.

Ini memang bukan jaman Siti Nurbaya lagi yang kental dengan nuansa perjodohan. Mungkin memang tidak seekstrem sebuah perjodohan. Namun, upaya mengenalkan seseorang dengan anaknya boleh jadi kita temui saat ini. Ya, hanya sebatas perkenalan dan selanjutnya terserah pada ‘sengatan listrik’ dari masing-masing anaknya.

Kejadian ini bukan suatu hal kejahatan atau pemaksaan dari orang tua. Lebih-lebih jika dianggap proses perkenalan itu dimaksudkan dengan tujuan tertentu. Tetapi, diakui atau tidak, orang tua sering menjadi orang yang paling tau keadaan atau kebutuhan yang sesuai dengan diri kita. Bagaimana tidak, mereka adalah orang terdekat yang ada sejak pertama kali kita lahir di dunia.

Dengan faktor kedekatan itu pulalah, orang tua barangkali merasa berhak menilai ‘baju’ yang baik untuk anaknya. Entah dalam arti membelikannya secara langsung dan menyodorkan pada anaknya. Atau dengan memberikan penilaian di akhir terhadap baju yang sudah dipilih oleh anaknya.

Dengan mekanisme apapun, penilaian mereka tetap akan ada. Karena hanya dengan penilaian itulah restu itu akan ada, dan dengan restu itulah pernikahan akan terlaksana.