Ketika seseorang mengenakan baju, dia bisa merasa nyaman dengan melihat dua sudut pandang. Yang pertama, asal dia suka. Yang kedua, asal orang lain enak melihatnya. Tak jauh berbeda, demikian juga dengan seseorang dan pasangannya. Dia bisa mengambil opsi pertama dengan mengatakan asal dia nyaman. Ada pula yang memilih opsi kedua, asal orang lain enak memandang mereka.
Jikalau mengambil opsi kedua, salah satu sudut pandang orang
lain yang begitu berpengaruh adalah pandangan orang tua. Boleh saja orang
mengelak, “Yang mau menikah aku atau orang tuaku?”, tetapi tetap saja pandangan
orang tua tak bisa dilepas begitu saja.
Alasan yang pertama, jelas orang tua menjadi syarat mutlak
untuk mendapat restu. Untuk laki-laki mungkin bisa saja seenaknya ‘kawin lari’
tanpa sebelumnya woro-woro pada orang tuanya. Meskipun kasus itu sangat jarang
terjadi. Tetapi bagi wanita, harus ada syarat mutlak restu dari walinya untuk
bisa melakukan pernikahan. Artinya, mau tak mau sudut pandang ‘nyaman’ versi
orang tua atau wali tetap tak bisa dipungkiri.
Seringkali orang tua membelikan baju yang mutlak harus
dipakai oleh anaknya. Terkadang si anak tidak terlalu suka dengan model atau
warnanya. Tetapi ketika baju itu disodorkan dan berkali-kali ditanyakan kenapa
jarang dipakai, bukan tidak mungkin baju itu akhirnya dipakai pula.
Demikian halnya dalam pasangan. Boleh jadi orang tua
menyodorkan satu nama kepada kita. Tentu saja tidak semua anak akan serta merta
menganggukkan kepala. Terkadang ada masa anak akan menolak, mendiamkan di
‘lemari’, atau bentuk sikap lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan dorongan
sisi kepantasan dari sudut pandang orang tua akan membuat nama itu muncul dari
kotak persembunyian dan benar-benar akan kita kenakan.
Ini memang bukan jaman Siti Nurbaya lagi yang kental dengan
nuansa perjodohan. Mungkin memang tidak seekstrem sebuah perjodohan. Namun,
upaya mengenalkan seseorang dengan anaknya boleh jadi kita temui saat ini. Ya,
hanya sebatas perkenalan dan selanjutnya terserah pada ‘sengatan listrik’ dari
masing-masing anaknya.
Kejadian ini bukan suatu hal kejahatan atau pemaksaan dari
orang tua. Lebih-lebih jika dianggap proses perkenalan itu dimaksudkan dengan
tujuan tertentu. Tetapi, diakui atau tidak, orang tua sering menjadi orang yang
paling tau keadaan atau kebutuhan yang sesuai dengan diri kita. Bagaimana
tidak, mereka adalah orang terdekat yang ada sejak pertama kali kita lahir di
dunia.
Dengan faktor kedekatan itu pulalah, orang tua barangkali
merasa berhak menilai ‘baju’ yang baik untuk anaknya. Entah dalam arti
membelikannya secara langsung dan menyodorkan pada anaknya. Atau dengan
memberikan penilaian di akhir terhadap baju yang sudah dipilih oleh anaknya.
Dengan mekanisme apapun, penilaian mereka tetap akan ada.
Karena hanya dengan penilaian itulah restu itu akan ada, dan dengan restu
itulah pernikahan akan terlaksana.
No comments:
Post a Comment