Follow Us @soratemplates

Tuesday, 14 August 2012

Baju versi Orang Tua


Ketika seseorang mengenakan baju, dia bisa merasa nyaman dengan melihat dua sudut pandang. Yang pertama, asal dia suka. Yang kedua, asal orang lain enak melihatnya. Tak jauh berbeda, demikian juga dengan seseorang dan pasangannya. Dia bisa mengambil opsi pertama dengan mengatakan asal dia nyaman. Ada pula yang memilih opsi kedua, asal orang lain enak memandang mereka.

Jikalau mengambil opsi kedua, salah satu sudut pandang orang lain yang begitu berpengaruh adalah pandangan orang tua. Boleh saja orang mengelak, “Yang mau menikah aku atau orang tuaku?”, tetapi tetap saja pandangan orang tua tak bisa dilepas begitu saja.

Alasan yang pertama, jelas orang tua menjadi syarat mutlak untuk mendapat restu. Untuk laki-laki mungkin bisa saja seenaknya ‘kawin lari’ tanpa sebelumnya woro-woro pada orang tuanya. Meskipun kasus itu sangat jarang terjadi. Tetapi bagi wanita, harus ada syarat mutlak restu dari walinya untuk bisa melakukan pernikahan. Artinya, mau tak mau sudut pandang ‘nyaman’ versi orang tua atau wali tetap tak bisa dipungkiri.

Seringkali orang tua membelikan baju yang mutlak harus dipakai oleh anaknya. Terkadang si anak tidak terlalu suka dengan model atau warnanya. Tetapi ketika baju itu disodorkan dan berkali-kali ditanyakan kenapa jarang dipakai, bukan tidak mungkin baju itu akhirnya dipakai pula.

Demikian halnya dalam pasangan. Boleh jadi orang tua menyodorkan satu nama kepada kita. Tentu saja tidak semua anak akan serta merta menganggukkan kepala. Terkadang ada masa anak akan menolak, mendiamkan di ‘lemari’, atau bentuk sikap lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan dorongan sisi kepantasan dari sudut pandang orang tua akan membuat nama itu muncul dari kotak persembunyian dan benar-benar akan kita kenakan.

Ini memang bukan jaman Siti Nurbaya lagi yang kental dengan nuansa perjodohan. Mungkin memang tidak seekstrem sebuah perjodohan. Namun, upaya mengenalkan seseorang dengan anaknya boleh jadi kita temui saat ini. Ya, hanya sebatas perkenalan dan selanjutnya terserah pada ‘sengatan listrik’ dari masing-masing anaknya.

Kejadian ini bukan suatu hal kejahatan atau pemaksaan dari orang tua. Lebih-lebih jika dianggap proses perkenalan itu dimaksudkan dengan tujuan tertentu. Tetapi, diakui atau tidak, orang tua sering menjadi orang yang paling tau keadaan atau kebutuhan yang sesuai dengan diri kita. Bagaimana tidak, mereka adalah orang terdekat yang ada sejak pertama kali kita lahir di dunia.

Dengan faktor kedekatan itu pulalah, orang tua barangkali merasa berhak menilai ‘baju’ yang baik untuk anaknya. Entah dalam arti membelikannya secara langsung dan menyodorkan pada anaknya. Atau dengan memberikan penilaian di akhir terhadap baju yang sudah dipilih oleh anaknya.

Dengan mekanisme apapun, penilaian mereka tetap akan ada. Karena hanya dengan penilaian itulah restu itu akan ada, dan dengan restu itulah pernikahan akan terlaksana.

No comments:

Post a Comment