Kami bukan barang, yang bebas diperjualbelikan
Memang kami dimiliki lewat sebuah transaksi, tapi transaksi
kami sah dan suci. Kami tidak terbeli hanya dengan seikat bunga atau selembar
puisi, tetapi dengan sebuah mahar yang telah kami sepakati. Kami tidak terbeli
dengan tawar-menawar seenaknya, tetapi dengan lamaran gentle yang diikuti
musyawarah dan istikharah. Dan kami sah terbeli bukan dengan akad “Maukah kau
menjadi…”, tetapi dengan ijab “Saya terima nikahnya…”
Memang kami dibeli, tapi kami tak sehina ini. Kami punya
harga diri yang dinilai dengan kesungguhan sebuah mahar. Dan itu harga diri dan
hak kami. Artinya kami bisa menuntut dan mengembalikan mahar ini, sekalipun
kami berharap agar itu tak pernah terjadi. Na’udzubillah…
Kami bukan barang, yang sesuka hati dipesan
Memang kami bisa dipesan, tapi bukan dengan pesan
asal-asalan yang tak ada kepastian jaminan. Kami bisa saja dipesan dengan
selingkar cincin di sebuah jari, tapi kami tak ada jaminan bahwa mereka tak
akan membeli cincin baru lagi. Kami bisa saja dipesan untuk hari, tanggal, dan
jam tertentu, tetapi kami tak ada jaminan bahwa mereka tak akan melupakan itu.
Memang kami bisa dipesan dengan sebuah khitbah syar’i,
tetapi kami bukan seonggok daging mati. Boleh saja sekarang khitbah dan satu
jam lagi menikah. Tetapi, bagaimana jika menikah satu tahun lagi? Lagi-lagi
kami tak menjamin bisa berkompromi dengan sang waktu. Bahkan kami tak punya
jaminan untuk hidup kami sendiri.
Memang ketika kami sudah dipesan, kami tak berhak dipesan
oleh orang lain lagi. Tetapi jika mereka asyik berkelana dan lupa diri, kami
khawatir mereka lupa jalan untuk kembali. Kami boleh dipesan, tetapi ada batas
waktu yang tak boleh berkepanjangan. Karena setiap pemesanan ada batas waktu,
yang jika tak mampu berhak ditanyakan ulang, apakah tetap dipesan atau
dibatalkan. Dan lagi-lagi, kami tak punya jaminan bahwa saat itu kami belum
basi, alias mati.
Dan jika ternyata dibatalkan, bukan tak mungkin kami akan
dipesan orang lain lagi. Bahkan bisa jadi tanpa pesan, tapi langsung beli. Mereka
yang langsung memberikan bukti, bukan janji. Dengan prospek nyata sekarang
juga, yaitu sebuah ijab qobul yang suci. Sekalipun kami sama-sama tak tahu
apakah semenit setelahnya kami belum tentu mati.
Kami bukan barang, yang diciptakan untuk kepentingan
delivery
Memang kami bisa sah dibeli tanpa kehadiran kami. Selagi ada
wali dan saksi, maka sah sudah sebuah transaksi. Tetapi kami tak bisa seenaknya
di-delivery. Kami tak bisa menjadi barang yang dibentuk sebagai tebusan
melunasi hutang keluarga. Kami tak bisa dipesan sejak usia dini agar kelak menyatukan
bisnis orang tua dengan relasi. Kami tak bisa pula diarahkan sedemikian rupa
agar layak bersanding dengan putra mahkota demi memuluskan karir politik orang
tua. Kami belum tentu bisa.
Karena kami memang bukan barang, tetapi wanita yang punya
hati.
No comments:
Post a Comment