Follow Us @soratemplates

Monday 13 August 2012

Jika Tiba Saatnya


Sesuatu harus dilakukan sesuai dengan waktunya. Ibarat sholat, serajin apapun jika terlalu rajin tetap tak sah karena belum masuk waktunya.

Itulah yang kami alami beberapa waktu lalu. Ketika menunaikan ibadah sholat ashar, kami terlalu cepat sekitar 10 menit. Akibatnya, setelah salam ditunaikan, hati justru menjadi gelisah. Dan diulangilah sholat ashar itu.

Barangkali demikian pula dalam hal pernikahan. Bukan berarti pernikahan itu terlalu cepat, lalu gelisah, dan terpaksa diulang. Tetapi, bagaimanakah menentukan waktu untuk pernikahan itu sendiri. Mungkin pernikahan dini memang indah. Tapi, pernikahan dini yang seperti apa? Mungkinkah itu terlalu dini hingga justru berujung gelisah?

Jika dihadapkan pada pertanyaan demikian, yang terpikirkan adalah kriteria kesiapan. Seorang lelaki pernah bertanya kepada sahabat saya yang kala itu baru semester 3, “Apa yang dibutuhkan untuk bisa melakukan suatu pernikahan?” Dan sahabat saya itu menjawab, “ilmu dan maisyah”. Berhubung sang lelaki sudah memiliki maisyah dan ilmu selalu berproses, maka menikahlah mereka.

Kembali ke masalah sholat tadi, semua orang bisa melakukan sholat. Tetapi orang itu harus punya ilmu agar sholatnya sah. Dari ilmu itulah dia akan menghafal bacaan wajib dalam sholat, dengan ilmu itulah ia akan belajar niat ikhlas demi sahnya sholat, dan dengan ilmu itu pula ia akan tahu kapan tiba waktu sholat.

Tetapi ilmu saja tak cukup. Dia juga butuh maisyah, dalam hal ini perlengkapan untuk sholat yang sah. Seorang wanita kadang ragu jika tidak memakai mukena, atau masalah-masalah perlengkapan lainnya.

Barangkali mungkin demikian pula dalam hal menikah. Orang bisa saja sewaktu-waktu menikah. Sejak lahir manusia sudah dibekali nafsu, artinya bisa saja lelaki dan perempuan dipasangkan sejak saat itu. Tetapi kenyataannya tidak demikian.

Orang butuh ilmu untuk menikah dan orang butuh maisyah untuk menikah.

Barangkali ada yang berkata maisyah boleh dicari selama menikah. Ya, itu seratus persen benar. Bahkan menikah itu justru memperlancar rejeki itu sendiri. Namun, pertanggungjawaban nafkah tidak boleh dilupakan. Entah, dengan sudut pandang masing-masing yang memang berbeda-beda.

Dan ilmu juga menjadi kunci. Pernikahan bukan semata-mata bersenang-senang, tetapi membangun sebuah rumah tangga, rumah yang diharapkan menjadi tangga untuk mencapai surga. Pernikahan bukan sekedar bermain-main, tetapi bagaimana bisa mengajak bermain anak-anak yang hadir nantinya. Pernikahan bukan sekedar bersantai-santai, tetapi bagaimana bisa serius mengemban amanah yang satu demi satu bertambah setelahnya.

Perintah sholat bagi Rasul dahulu dianggap mungkin memberatkan umatnya, padahal sejatinya itu hal yang indah. Menikah mungkin dianggap berat, padahal seharusnya menjadi hal indah. Atau sebaliknya, menikah mungkin dalam bayangan indah, tetapi tak selamanya menakjubkan seperti dalam dunia dongeng.

Sekalipun keduanya sama-sama ibadah, barangkali perumpaan waktu sholat dan waktu menikah memang kurang tepat. Namun pertimbangan menentukan waktu apapun kurang lebih tak jauh berbeda. Semuanya harus siap, harus masuk waktu. Sekedar mencoba merenuhi ilmu dan maisyah. Apakah kedinian itu justru terlalu dini hingga berujung gelisah? Wallahua’lam.


No comments:

Post a Comment