Sesuatu harus dilakukan sesuai dengan waktunya. Ibarat sholat, serajin apapun jika terlalu rajin tetap tak sah karena belum masuk waktunya.
Itulah yang kami alami beberapa waktu lalu. Ketika
menunaikan ibadah sholat ashar, kami terlalu cepat sekitar 10 menit. Akibatnya,
setelah salam ditunaikan, hati justru menjadi gelisah. Dan diulangilah sholat
ashar itu.
Barangkali demikian pula dalam hal pernikahan. Bukan berarti
pernikahan itu terlalu cepat, lalu gelisah, dan terpaksa diulang. Tetapi,
bagaimanakah menentukan waktu untuk pernikahan itu sendiri. Mungkin pernikahan
dini memang indah. Tapi, pernikahan dini yang seperti apa? Mungkinkah itu
terlalu dini hingga justru berujung gelisah?
Jika dihadapkan pada pertanyaan demikian, yang terpikirkan
adalah kriteria kesiapan. Seorang lelaki pernah bertanya kepada sahabat saya
yang kala itu baru semester 3, “Apa yang dibutuhkan untuk bisa melakukan suatu
pernikahan?” Dan sahabat saya itu menjawab, “ilmu dan maisyah”. Berhubung sang
lelaki sudah memiliki maisyah dan ilmu selalu berproses, maka menikahlah
mereka.
Kembali ke masalah sholat tadi, semua orang bisa melakukan
sholat. Tetapi orang itu harus punya ilmu agar sholatnya sah. Dari ilmu itulah
dia akan menghafal bacaan wajib dalam sholat, dengan ilmu itulah ia akan
belajar niat ikhlas demi sahnya sholat, dan dengan ilmu itu pula ia akan tahu
kapan tiba waktu sholat.
Tetapi ilmu saja tak cukup. Dia juga butuh maisyah, dalam
hal ini perlengkapan untuk sholat yang sah. Seorang wanita kadang ragu jika tidak
memakai mukena, atau masalah-masalah perlengkapan lainnya.
Barangkali mungkin demikian pula dalam hal menikah. Orang
bisa saja sewaktu-waktu menikah. Sejak lahir manusia sudah dibekali nafsu,
artinya bisa saja lelaki dan perempuan dipasangkan sejak saat itu. Tetapi
kenyataannya tidak demikian.
Orang butuh ilmu untuk menikah dan orang butuh maisyah untuk
menikah.
Barangkali ada yang berkata maisyah boleh dicari selama
menikah. Ya, itu seratus persen benar. Bahkan menikah itu justru memperlancar
rejeki itu sendiri. Namun, pertanggungjawaban nafkah tidak boleh dilupakan.
Entah, dengan sudut pandang masing-masing yang memang berbeda-beda.
Dan ilmu juga menjadi kunci. Pernikahan bukan semata-mata
bersenang-senang, tetapi membangun sebuah rumah tangga, rumah yang diharapkan
menjadi tangga untuk mencapai surga. Pernikahan bukan sekedar bermain-main,
tetapi bagaimana bisa mengajak bermain anak-anak yang hadir nantinya.
Pernikahan bukan sekedar bersantai-santai, tetapi bagaimana bisa serius
mengemban amanah yang satu demi satu bertambah setelahnya.
Perintah sholat bagi Rasul dahulu dianggap mungkin
memberatkan umatnya, padahal sejatinya itu hal yang indah. Menikah mungkin
dianggap berat, padahal seharusnya menjadi hal indah. Atau sebaliknya, menikah
mungkin dalam bayangan indah, tetapi tak selamanya menakjubkan seperti dalam
dunia dongeng.
Sekalipun keduanya sama-sama ibadah, barangkali perumpaan
waktu sholat dan waktu menikah memang kurang tepat. Namun pertimbangan
menentukan waktu apapun kurang lebih tak jauh berbeda. Semuanya harus siap,
harus masuk waktu. Sekedar mencoba merenuhi ilmu dan maisyah. Apakah kedinian
itu justru terlalu dini hingga berujung gelisah? Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment