Ketika cinta bertepuk sebelah tangan, mungkin akan terasa menyakitkan. Bisa jadi seseorang yang tertolak itu akan mengumpat keras. Atau mungkin belum benar-benar tertolak, tetapi orang yang dijatuhi cinta sama sekali tidak menyadarinya.
Bukan tidak jarang seseorang mengirimkan sinyal-sinyal
tertentu kepada orang lain. Entah itu dipandang dari sisi syar’i ataupun tidak.
Tapi sinyal dalam bentuk apapun bisa jadi tidak segera terlacak. Ada orang
tertentu yang sangat peka (kalau tidak mau dibilang ge-er), tetapi ada juga
yang sangat tidak sensitif (kalau tidak mau dibilang bebal).
Jika pihak yang tertolak berpikir positif, dia bisa
beranggapan bahwa orang itu pastilah pandai mengelola hatinya. Pintar menjaga
sikap, menjaga rasa. Tapi, jika sang tertolak tidak terima dan berpikir negatif,
bisa jadi dia menganggap bahwa orang itu sangatlah angkuh, terlalu sombong
untuk sekedar peduli dengan sang tertolak.
Dilihat dari sudut pandang penolak, bisa jadi dia memang
tidak merasakan sinyal-sinyal itu. Ibaratnya gelombang radio. Ketika sudah
disetel chanel A, maka walaupun sinyal B juga sampai ke pasawat radionya, tetap
saja tidak akan bisa didengarkan. Mengapa? Karena sudah ada A yang lebih dulu
diterima oleh pesawat radio.
Demikian juga dengan hati seseorang. Orang bisa jadi tidak
menangkap sinyal dari orang lain karena hatinya sudah terisi dengan sinyal
lainnya. Bisa jadi ia sudah bersuami atau sudah beristri sehingga cintanya
benar-benar tertujukan pada pasangannya. Jadi walaupun ada sinyal-sinyal
lainnya, tak akan mungkin bisa masuk ke hatinya karena sudah tertutup oleh
begitu besarnya gelombang cinta pada pasangannya.
Tetapi, bagaimana dengan yang belum menikah? Mengapa tetap
saja ada seseorang yang demikian bebal terhadap sinyal yang diberikan?
Pasti tetap ada cinta di hatinya. Perkaranya, untuk siapa?
Mungkin dia punya dambaan rahasia. Tapi terlepas dari itu, ada cinta utama yang
ia punya. Bisa jadi dia telah mengisi hatinya dengan cinta luar biasa yaitu
cinta kepada Tuhannya.
Buah dari cinta yang spesial itu maka ia tak akan berpaling
dengan cinta lainnya. Gelombang cintanya pada Sang Pencipta lebih besar
daripada sinyal pancaran cinta lainnya. Maka wajar saja jika ia bergeming.
Dalam kondisi inilah orang akan terkategorikan sebagai orang yang pintar
mengelola hati, menjaga sikap, menjaga rasa.
Tapi, kecintaan kepada Rabb-nya tentunya bukan sebuah cinta
yang dianggap angkuh oleh orang lain. Bukan karena cinta buta yang demikian
agung lantas orang menjadi sok suci dan benar-benar mengesampingkan cinta
lainnya. Mengapa? Karena cinta pada sesame makhluk pun juga tak kalah
pentingnya. Bukankah Rasulullah mendambakan ummat yang banyak? Tentu saja itu
akan terwujud karena ada cinta antar sesama makhluk-Nya. Bahkan cinta ini
menjadi separuh dien yang harus dicari.
Yang terpenting adalah bagaimana membungkus cinta itu.
Apakah memang masih saatnya untuk menolak demi cinta yang mulia, atau sudah
waktunya menciptakan cinta luhur yang baru dengan melibatkan Allah sebagai
pihak ketiga. Jika memang belum saatnya, semoga itu karena menjaga, dan bukan
karena keangkuhan semata.
No comments:
Post a Comment