Buat teman-teman berumur yang belum juga memiliki pasangan, galau menikah agaknya menjadi topik umum yang tak perlu dirahasiakan lagi. Melihat satu demi satu temannya melepas masa lajang, bukan tak mungkin kadar kegalauan itu meningkat pula. Tetapi jika pada akhirnya mereka telah menikah, barangkali mereka akan tersenyum dan menghela nafas, “Legaaa…”.
Ya, mungkin mereka lega karena kegalauan mereka berakhir.
Mungkin mereka lega karena akhirnya mereka laku juga (hm, lagi-lagi disamakan dengan sebuah barang).
Tetapi, sebenarnya ada sebuah kelegaan yang memang pantas untuk dibarengi
dengan hembusan nafas. Mereka layak lega karena telah mendapat separuh diennya.
Mencari agama bukanlah hal yang mudah. Memiiki seorang ayah
kyai, belum tentu anaknya akan ikut mumpuni. Bahkan tak jarang orang
gonta-ganti agama demi mendapatkan kepuasaan di manakah ia merasa nyaman untuk
benar-benar menghamba. Dan tanpa basa-basi, Allah Subhanahu wa ta’ala
menghadiahkan separuh dien hanya dengan menikah. Bukankah sangat melegakan?
Tetapi masih ada saja orang yang tak bersyukur dengan
separuh dien itu. Ada yang protes, “kenapa hanya separuh?” Serakah mungkin.
Tetapi, apa jadinya jika ternyata seratus persen dien diperoleh dengan menikah?
Bayangkan jika kita menikah dengan orang yang salah.
Naudzubillah. Apa akibatnya jika demikian? Agama kita kemungkinan besar bisa
rusak seratus persen pula. Memang jika ternyata orang yang kita pilih adalah
orang yang ‘benar’, boleh jadi seratus persen agama itu akan didapatkan.
Tetapi, adakah yang bisa menjamin bahwa ia akan benar hingga akhir hayatnya?
Sedangkan Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri adalah sang maha pembolak-balik
hati.
Maka, bersyukur kiranya menikah cukuplah separuh dien saja.
Dengan demikian ada separuh dien lagi yang harus diupayakan sendiri-sendiri.
Bukan berarti egois atau Allah kejam dan pelit. Tetapi, proses pencarian
separuh dien selanjutnya itulah yang dinantikan Allah. Bagaimanapun Allah
Subhanahu wa ta’ala menyukai hamba yang selalu menuju-Nya. Jikalau ternyata
dien itu cukup hanya dengan menikah saja, apakah masih ada yang akan tetap
menuju-Nya? Andai semuanya terpenuhi, bisakah dibayangkan berapa banyak orang
tak butuh beribadah lagi?
Padahal sejatinya proses perpaduan itu dilakukan untuk
menentukan ke depannya. Maka, bagaimanakah separuh dien yang lainnya itu dicari
bersama. Bukan dengan bersantai-santai selepasnya karena merasa aman setidaknya
sudah mengantong separuh diennya.
Silakan berteriak lega karena sudah menikah, asal jangan
sampai terlena. Karena iblis tak kan berhenti melenakan manusia hingga ajal
menutup mata.
A’udzubillahiminassyatihonnirrajim…
No comments:
Post a Comment