Ketika seorang lelaki mencintai seorang wanita, bisa jadi dia akan mencari info tentang wanita tersebut. Dalam proses itu, bukan tidak mungkin dia akan mendapati bahwa wanita tersebut sudah tidak available lagi. Mungkin memang belum dipersunting oleh orang lain, tapi boleh jadi dia sudah ‘dipesan’ oleh orang lain.
Jika lelaki itu tahu diri, mungkin ia akan mundur. Tetapi,
kalau lelaki itu keras kepala, bukan hal mustahil dia akan tetap berharap juga.
Ibaratnya seperti transaksi jual beli. Orang memiliki sebuah
barang yang akan dijual. Pembeli bisa saja melakukan pre-order dan baru ‘dibentuklah’
barang itu sesuai dengan pesanan sang pembeli. Untuk kasus ini, barang memang
hanya bisa menurut sesuai permintaan pembeli karena memang sudah ada ikatan
antara penjual pembeli.
Bisa juga barang itu sudah ada, namun hanya sebatas
dibooking saja. Seperti halnya membooking rumah makan ketika akan berbuka
puasa. Karena takut rumah makan akan penuh dan tak kebagian tempat, maka
booking tempatnya dulu saja.
Dipandang dari segi pembeli, harusnya rumah makan yang sudah
dibooking murni menjadi hak pembeli. Bahkan penjual akan dianggap tidak
bertanggung jawab dan tidak bisa dipercaya jika pada akhirnya tempat yang dibooking
itu diserahkan kepada orang lain. Namun, belum tentu hal ini sama dengan apa
yang dipikirkan penjual.
Dalam teori produksi, barang yang terlalu disimpan bisa
menghambat kelancaran ekonomi. Demikian pula barang itu. Jika terlalu lama disimpan,
barang tertentu bisa kadaluarsa. Karena dalam proses pemesanan pun ada jangka
waktu, sampai kapan barang itu masih layak disimpan juga dipertimbangkan. Apalagi
jika ternyata ada pembeli baru yang lebih berprospek dengan menawarkan
keuntungan lebih dan jangka waktu lebih cepat pula. Maka wajar saja jika
penjual dengan rela menyerahkan kepada pembeli baru.
Demikian juga dengan wanita. Dia bisa saja tidak tahu bahwa
dirinya dijodohkan dengan seorang lelaki. Bahkan secara ekstrem, dia bisa saja
sudah dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki. Dalam keadaan ini, ia
apa akhirnya hanya bisa menurut kepada sang lelaki.
Dalam contoh kedua, seorang wanita bisa saja sudah dibooking
tempatnya. Anggaplah proses pembookingan tersebut dengan berkata, “Aku akan
menikahimu selepas wisuda”. Wali wanita tersebut boleh saja benar-benar
menunggu hingga wisuda. Namun, bisa saja ada lelaki lain yang menemui tanpa
perlu proses booking dan langsung transaksi jual beli.
Wali boleh menolak karena menghargai lelaki yang sudah
memesan, tetapi wali juga boleh saja menerima. Mengapa? Karena ‘selepas wisuda’
bukanlah harga mati. Bahkan usia 60 tahun pun tetap saja bisa dibilang selepas
wisuda. Padahal, wanita tertentu bisa jadi terlanjur ‘kadaluarsa’ jika harus
menunggu selama itu.
Mungkin terkesan tidak adil bagi orang yang sudah memesan. Tapi,
adakah hal yang pasti di dunia ini? Tidak ada.
Seorang lelaki yang masih berharap bisa saja berkata, “Tak
ada yang pasti hingga akad selesai terucap”. Atau bahkan selepas akad pun masih
saja ada lelaki keras kepala dengan slogan ‘kutunggu jandamu’ yang berkata, “Tak
ada yang pasti hingga ia benar-benar mati”.
Lagi-lagi, ini misteri Illahi.
No comments:
Post a Comment