A’udzubillahiminassyaithonnirajim..
Ini bukanlah sebuah tulisan provokator yang mengajak orang
agar tidak usah menikah. Bukan pula tulisan yang sarat benci dengan menganggap
bahwa nikah itu tak penting. Semata-mata bukan itu, maka saya mengucap ta’awudz
terlebih dahulu.
Lagi-lagi hanya merenungi esensi dari penikahan. Ketika
seseorang akan melakukan ijab qabul, seorang petugas KUA bertanya, “Kenapa mau
menikah dengan mas A?” Dan dengan malu-malu wanita itu menjawab karena cinta.
Lantas saya bertanya, untuk apa nikah? Apakah sekedar untuk
melegalkan cinta?
Saya teringat komentar ibu ketika mengobrol jauh-jauh hari
dulu. “Jika seseorang belum mampu dari segi maisyah dan ilmu, lebih baik
ditunda dulu. Kalau terburu-buru, jangan-jangan nikahnya hanya karena nafsu.”
Mungkin terkesan begitu sarkasme. Tetapi jika ditelaah
memang demikian adanya.
Tak ada keraguan bahwa menikah dapat mengendalikan nafsu.
Tetapi menikah yang bagaimana? Tentu saja menikah yang telah diiringi dengan
kesiapan. Artinya, dalam kasus ini mereka memang telah wajib untuk menikah.
Namun, jika ternyata nafsu itu sudah ada tetapi kemampuan belum mengiringi
juga, mungkinkah bahwa pernikahan itu hanya didasari nafsu semata?
Memang benar bahwa untuk menikah harus ada nafsu. Setidaknya
rasa tertarik dengan pasangan yang akan dinikahi. Tetapi, jika hanya
berlandaskan nafsu dan tak ada kesiapan lainnya, apakah hidup ke depannya hanya
akan bermodalkan cinta?
Bisa saja sebenarnya hidup dengan modal cinta. Bukan dalam
arti semua selesai dengan dibayar cinta, tetapi menggunakan cinta sebagai
spiritnya. Misal, karena belum memiliki penghasilan tetap, maka menggunakan
modal cinta sebagai spirit untuk mencari pekerjaan lainnya. Pun ketika merasa
bahwa ilmu belum mencukupi, karena ada dorongan cinta yang demikian kuat untuk
memberikan yang terbaik, maka belajarlah ia dengan sebaik-baiknya.
Sayangnya, cinta saja tak cukup. Ekstrimnya, cinta tak
membikin perut menjadi kenyang. Lebih-lebih pernikahan seharusnya bukan
semata-mata karena cinta. Akan lebih mulia kiranya jika menikah itu dijadikan
sebagai sebuah ibadah. Dan tentunya sebuah ibadah bukan main-main belaka, yang
asal membuat perhelatan tetapi diikuti dengan masa depan yang masih
diawang-awang.
Seperti kata seorang ustadz, lihat untuk apa engkau mencari
pasangan. Apakah ia cukup untukmu, ataukah seseorang yang siap untuk mendidik
anakmu. Apakah menikah hanya kesenangan dunia, ataukah bekal untuk menggapai
surge.
Maka, tanyakan lagi. Untuk apa kita menikah nanti?
aaaaaaaaaah ,
ReplyDeleteaku suka banget tulisanmu ini vi .
*dan beberapa yang lain*, pengobat galau banget..
hehe.. jangan galau lah dez.. :D
ReplyDelete