Seseorang bebas mencintai orang lain, sayangnya ia belum tentu bebas untuk dicintai. Bukan berarti karena ia sudah memiliki orang lain, tapi karena memang tidak ada rasa yang tertuju padanya. Istilahnya cinta satu arah, jika tidak ingin disebut sebagai bertepuk sebelah tangan.
Keadaan ini tidak bisa kita kendalikan. Mengapa? Karena
untuk membuat diri kita dicintai, kita butuh ACC dari perasaan orang lain.
Sayangnya, tak semua orang akan rela memberikan ACC untuk mencintai diri kita
karena lagi-lagi, tidak menutup kemungkinan satu orang dicintai oleh banyak
orang. Artinya, dia memang tidak bisa meng-ACC semuanya.
Salah satu hal yang ‘menyakitkan’ adalah ketika kita
mencintai seseorang bersamaan dengan orang yang sangat kita kenal. Taruhlah
contoh kita dan sahabat karib kita ‘mengincar’ wanita yang sama. Boleh jadi
dalam hal ini kita pintar menutup rapat perasaan kita dan kita tahu bahwa
sahabat kita mencintainya pula. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika kita
tahu bahwa wanita yang kita incar itu mencintai sahabat kita dan bukan diri
kita.
Sebagai makhluk yang mengharap apresiasi, pun orang yang
kebutuhannya ingin selalu dipenuhi, tentu kita boleh saja berharap wanita itu
akan mengubah perasaannya dan berpaling pada diri kita. Tetapi, apakah kita sudah
memikirkan dampak setelahnya?
Pertama, kita bisa dianggap sebagai sahabat yang berkhianat.
Anggaplah kita dimintai tolong oleh sahabat kita untuk menjadi perantara dalam
proses khitbah dengan wanita tersebut. Tetapi kenyataannya, justru kita yang
memuluskan proses khitbah untuk diri kita sendiri.
Boleh jadi hubungan kita dengan wanita tersebut menjadi
lancar, tetapi hubungan kita dengan sahabat menjadi renggang. Dan persahabatan
yang renggang itu bisa memiliki efek domino merenggangkan persahabatan lainnya.
Jika ditimbang-timbang ibarat perdagangan, kita untung mendapat satu wanita,
tapi banyak rugi melepas beberapa sahabat lainnya.
Pikirkan pula ada berapa banyak hati yang terlukai. Pertama,
jelas kita melukai hati sahabat sendiri. Cintanya kepada sang wanita terpaksa
pupus karena telah dimenangkan oleh kita. Kedua, kita mungkin melukai hati sang
wanita pula. Mengapa? Bisa jadi awalnya dia lebih memilih sahabat kita, tetapi
karena kita yang jauh lebih ‘gantle’ untuk datang lebih dulu, maka kitalah pemenangnya.
Padahal dalam proses pergantian rasa dalam diri wanita pastilah ada masa
menyakitkan, suatu rasa sakit untuk melepas pria pertama dan mengganti dengan
diri kita. Bahkan, bisa jadi diri kita pun terluka. Terluka sesaat karena
menyadari bahwa sang wanita sedang berusaha mengganti posisi sahabat kita di
hatinya.
Maka benar adanya perintah Rasul untuk tidak mengkhitbah
wanita yang sudah dikhitbah oleh orang lain. Karena memang, terlalu banyak rasa
yang harus dikorbankan jika hal itu terjadi. Dalam hal ini, wanita memang belum
tentu sudah resmi dikhitbah. Namun, mengatur strategi untuk mempertimbangkan
apakah wanita tersebut menyukai seseorang dan orang itu juga menyukainya patut
menjadi acuan.
Aku rela sakit demi sahabatku. Mungkin kalimatnya memang tidak
seekstrim itu. Tetapi, kurang lebih memang demikian adanya. Lebih baik satu
hati yang teredam, daripada banyak hati yang bergelimpangan.
Aku rela asalkan dia bahagia. Mungkin kalimatnya memang
tidak seromantis itu. Tetapi, kurang lebih memang demikian adanya. Keikhlasan
kita merelakannya, bisa jadi berbuah pahala karena kita menunjukkan sikap
penghambaan yang luar biasa. Bahkan diri kita yang menumbalkan diri sebagai
sarana kebahagiaan orang lain bisa pula dibalas dengan pahala.
Masalahnya, sekalipun dibalas pahala, apakah kita rela?
No comments:
Post a Comment