Follow Us @soratemplates

Monday, 6 August 2012

Aku Rela


Seseorang bebas mencintai orang lain, sayangnya ia belum tentu bebas untuk dicintai. Bukan berarti karena ia sudah memiliki orang lain, tapi karena memang tidak ada rasa yang tertuju padanya. Istilahnya cinta satu arah, jika tidak ingin disebut sebagai bertepuk sebelah tangan.

Keadaan ini tidak bisa kita kendalikan. Mengapa? Karena untuk membuat diri kita dicintai, kita butuh ACC dari perasaan orang lain. Sayangnya, tak semua orang akan rela memberikan ACC untuk mencintai diri kita karena lagi-lagi, tidak menutup kemungkinan satu orang dicintai oleh banyak orang. Artinya, dia memang tidak bisa meng-ACC semuanya.

Salah satu hal yang ‘menyakitkan’ adalah ketika kita mencintai seseorang bersamaan dengan orang yang sangat kita kenal. Taruhlah contoh kita dan sahabat karib kita ‘mengincar’ wanita yang sama. Boleh jadi dalam hal ini kita pintar menutup rapat perasaan kita dan kita tahu bahwa sahabat kita mencintainya pula. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika kita tahu bahwa wanita yang kita incar itu mencintai sahabat kita dan bukan diri kita.

Sebagai makhluk yang mengharap apresiasi, pun orang yang kebutuhannya ingin selalu dipenuhi, tentu kita boleh saja berharap wanita itu akan mengubah perasaannya dan berpaling pada diri kita. Tetapi, apakah kita sudah memikirkan dampak setelahnya?

Pertama, kita bisa dianggap sebagai sahabat yang berkhianat. Anggaplah kita dimintai tolong oleh sahabat kita untuk menjadi perantara dalam proses khitbah dengan wanita tersebut. Tetapi kenyataannya, justru kita yang memuluskan proses khitbah untuk diri kita sendiri.

Boleh jadi hubungan kita dengan wanita tersebut menjadi lancar, tetapi hubungan kita dengan sahabat menjadi renggang. Dan persahabatan yang renggang itu bisa memiliki efek domino merenggangkan persahabatan lainnya. Jika ditimbang-timbang ibarat perdagangan, kita untung mendapat satu wanita, tapi banyak rugi melepas beberapa sahabat lainnya.

Pikirkan pula ada berapa banyak hati yang terlukai. Pertama, jelas kita melukai hati sahabat sendiri. Cintanya kepada sang wanita terpaksa pupus karena telah dimenangkan oleh kita. Kedua, kita mungkin melukai hati sang wanita pula. Mengapa? Bisa jadi awalnya dia lebih memilih sahabat kita, tetapi karena kita yang jauh lebih ‘gantle’ untuk datang lebih dulu, maka kitalah pemenangnya. Padahal dalam proses pergantian rasa dalam diri wanita pastilah ada masa menyakitkan, suatu rasa sakit untuk melepas pria pertama dan mengganti dengan diri kita. Bahkan, bisa jadi diri kita pun terluka. Terluka sesaat karena menyadari bahwa sang wanita sedang berusaha mengganti posisi sahabat kita di hatinya.

Maka benar adanya perintah Rasul untuk tidak mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah oleh orang lain. Karena memang, terlalu banyak rasa yang harus dikorbankan jika hal itu terjadi. Dalam hal ini, wanita memang belum tentu sudah resmi dikhitbah. Namun, mengatur strategi untuk mempertimbangkan apakah wanita tersebut menyukai seseorang dan orang itu juga menyukainya patut menjadi acuan.

Aku rela sakit demi sahabatku. Mungkin kalimatnya memang tidak seekstrim itu. Tetapi, kurang lebih memang demikian adanya. Lebih baik satu hati yang teredam, daripada banyak hati yang bergelimpangan.

Aku rela asalkan dia bahagia. Mungkin kalimatnya memang tidak seromantis itu. Tetapi, kurang lebih memang demikian adanya. Keikhlasan kita merelakannya, bisa jadi berbuah pahala karena kita menunjukkan sikap penghambaan yang luar biasa. Bahkan diri kita yang menumbalkan diri sebagai sarana kebahagiaan orang lain bisa pula dibalas dengan pahala.

Masalahnya, sekalipun dibalas pahala, apakah kita rela?


No comments:

Post a Comment