Sore masih menyisakan semburat sinar sang surya. Dari balik kereta prameks jurusan Kutoarjo-Solo, aku menatap jendela yang terdapat jejak hujan yang turun mengguyur deras sejak siang tadi. Sudah tidak hujan lagi, tapi gerimis masih menemani. Masih cukup jauh perjalanan untuk bisa sampai di Solo Balapan. Tapi Insya Allah tidak kemalaman. Magrib Insya Allah sudah bisa sampai rumah.
Kereta prameks kali ini penuh seperti biasanya. Tapi tidak sampai sesak berjubel layaknya akhir pekan. Tengah asyiknya mengamati sekitar, handphone di dalam kantong coklat yang aku genggam berdering. Dari ibu. Ada apa? Bukankah aku tidak pulang kesorean?
"Assalamu'alaikum, napa bu?" kataku.
"Wa'alaikum salam. Kak kamu di mana?" tanya ibuku.
"Masih di prameks, Bu. Nanti jam 5 baru sampe Balapan. Lha kenapa, Bu?" Perasaan, dari kemarin aku sudah ijin kalau mau main ke Jogja. Kok masih dicariin juga. Apa aku pulang kesorean ya.
"Kak, laptopmu di mana?"
Oh, ternyata hanya tanya laptop. Mungkin ibu mau pinjam laptop untuk online seperti biasanya. "Di kamar, Bu. Di laci meja belajar yang untuk tempat keyboard komputer." Aku menjawab memberikan informasi.
"Nggak ada, Kak. Nggak mbok bawa tho?"
"Nggak, bu. Masa ya mau main bawa-bawa laptop."
"Kak, rumah itu dibobol maling. Laptopmu dibawa berarti. Ini ibu baru aja pulang. Gek rumah berantakan diorak-arik ini."
Hah? Aku langsung diam. Laptopku? Aku diam sejenak, tapi kemudian berkata.
"Yang hilang apa aja, Bu?"
"Ibu ya belum tau. Ini masih sambil nata-nata."
"Oh, ya udah nggak apa-apa, Bu. Sebentar lagi aku pulang."
Lantas telepon diputus. Aku masih hening sejenak. Ah, biarlah. Ayo coba ikhlas..ikhlas....
Saat itu aku bersama karib setiaku. Dia mencoba menenangkanku. "Sudah, tak apa-apa."
Aku sekuat tenaga terlihat biasa-biasa saja. "Ya, memang tidak apa-apa, kok."
"Meski kau bilang tak apa-apa, tapi tetap saja wajahmu itu tidak bisa bohong kalau kamu kecewa."
Hm, raut wajahku memang tak bisa menipu, tapi aku mencoba netral kembali. Menikmati sisa perjalanan menuju Solo Balapan. Memikirkan hal lain, mencoba mengikhlaskan, melupakan.
Sesampai di Balapan, gerimis masih menyambutku. Biarlah. Kali ini hujan-hujan dulu tak apa. Kulajukan sepeda motorku menembus tetesan air yang menusuk tubuh. Perlahan saja karena hujan membuyarkan pandanganku dan jalan yang tergenang air menyulitkanku untuk menambah kecepatan.
Begitu sampai rumah, suasana sepi. Aneh. Saat aku membuka pintu gerbang. Seseorang menyambutku dengan membukakan pintu garasi.
"Cepet masuk, Kak." kata Mbak Yatmi yang membukakan pintu buatku yang sedang menuntun sepeda motor memasuki garasi.
"Kok sepi mbak?" tanyaku.
"Udah tho, gek cepet."
Begitu aku masuk ke dalam rumah, semua berkumpul di ruang tamu. Bapak, ibu, adikku, dan Mbak Yatmi. Wajah bapak ibu terlihat masygul, duduk bersandar di kursi tamu. Mbak Yatmi pun terlihat masih shock. Aku yang kedinginan karena basah kuyup kehujanan justru tertawa melihat ekspresi mereka yang berbeda dengan ekspresi wajahku.
"Kak, laptopmu ilang lho." Adikku yang pertama memecah keheningan.
"Iya, nggak papa." jawabku masih dengan tawa yang sedikit tersisa.
"Lha kok malah ketawa. Data-datamu gimana?" tanya Bapak.
"Ya, nggak papa. Nggak ada data yang penting kok."
"Data kuliahmu?"
"Nggak papa. Kan juga udah selesai ujian. Udah nggak dipake lagi. Kalo sewaktu-waktu butuh bisa pinjem data ke temen."
"Cerpen-cerpenmu?" ganti ibu yang tanya.
"Udah nggak dipakai juga. Udah pada dikirim ke majalah." jawabku.
"Data-data pribadimu?" tanya bapak lagi.
"Apa ya? Nggak ada yang penting kok, Pak. Mpun, nggak papa." kataku menenangkan.
"Kakak..., karya tulisku piye?!" adikku berteriak histeris.
"Karya tulis apa?"
"Karya tulis kelulusan. Belum tak print..."
Benar-benar tertawa aku. Bukan aku yang sedih dengan hilangnya laptopku, tapi justru adikku yang menjerit karena harus mengulang membuat karya tulis dari awal.
"Ah, kakak. Laptope ilang malah seneng. Dari dulu mau diganti laptopnya belum kelakon-kelakon, sekarang dadi kelakon tenan." kata ibuku.
Aku benar-benar hanya bisa tertawa...
***********************
PS: Ada makna sabar dan ikhlas dalam kejadian itu.
Sabar dan ikhlas dalam menghadapi musibah. Ikhlaskan saja karena segala yang ada pada diri kita hanyalah titipan dari-Nya. Sewaktu-waktu bisa diambil kapan pun Dia mau. Meskipun cara mengambilnya dengan cara seperti itu.
Sabar dan ikhlas dengan kesungguhan. Tak hanya di mulut, tapi hati masih meratapi. Mengikhlaskan semua, mulai dari hati dan seluruh anggota tubuh. Entah itu dari mulut yang mengeluh, atau mata yang menangis, atau raut muka yang kecewa.
Sabar dan ikhlas pula dalam penantian. Tentunya diiring do'a karena setiap penantian dengan do'a tidak akan sia-sia. Seperti diriku yang menantikan laptop baru dan akhirnya terlaksana juga. Hehe... (tapi ya jangan melalui proses kehilangan juga ding...^_^)
Wednesday, 3 February 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
like this...(ini bukan facebuk ya..)
ReplyDeleteasal bukan berarti 'like' kehilangannya...
ReplyDelete