Follow Us @soratemplates

Monday, 22 April 2013

Tak Ada Ketiak

21:24 0 Comments

Di catatan yang sudah lalu saya menceritakan bahwa seorang dokter dituntut untuk pintar dan tahu segalanya. Ketika pasien tanya, dia harus paham. Di note itu saya menuliskan bahwa seorang dokter muda masih bisa berlindung di bawah ketiak residen dan residen mungkin masih bisa berlindung di bawah ketiak dokter staff. Lalu bagaimana dengan dokter staff yang sudah senior? Mau berlindung di ketiak siapa lagi?

Tadi pagi akhirnya saya menemukan jawabannya.

Tak ada ketiak siapapun di dunia kedokteran. Kami dituntut untuk bisa hidup mandiri. Sekedar berlindung boleh saja, tapi tetap harus mau maju perang juga. Apapun yang diujikan, dokter harus bisa menghadapi.

Seorang dokter tadi memberi tahu kepada kami, “Dua belas tahun saya belajar ilmu penyakit dalam, tetap saja ada ilmu yang belum saya ketahui. Apalagi dengan ilmu-ilmu spesialiasasi lain yang sudah tidak sempat untuk diikuti. Ilmu terus berkembang. Lalu bagaimana?”

Akhirnya, dokter itu berkata, “Buatlah PR untuk dirimu sendiri.” Ketika tidak tahu tentang sesuatu, langsung cari. Begitu juga ketika ada kasus pasien yang terkesan baru. Hadapi semampunya, catat, lalu balas dendam untuk dipelajari. Sekalipun residen atau dokter akan membantu menangani dan membuat kita aman, tapi puaskan rasa ingin tahu itu dengan terus belajar. Begitu pasien datang lagi maka kau akan merasa menang karena telah menaklukkan kasus pasien tersebut.

Lebih lanjut dokter itu berkata, “Selagi PR itu menggebu-nggebu dituliskan, segera cari. Mumpung mood sedang terbakar karena merasa tertantang untuk bisa menaklukkan. Jika menunggu, bisa jadi mood itu lenyap hingga akhirnya hanya akan menjadi tumpukan pertanyaan tak terjawab”

Dari cerita beliau di atas, saya disadarkan satu hal. Sampai kapanpun manusia memang tidak akan bisa seratus persen pintar. Bukan berarti karena manusia bodoh, tetapi karena ada beberapa penyebab. Salah satunya adalah karena ilmu yang sedemikian luasnya. Mencari ilmu tak akan pernah ada habisnya. Bahkan ilmu-ilmu yang diketahui manusia di dunia tak ada lebihnya dari satu tetes air di samudra.

Ilmu manusia sebanyak apapun tetap saja masih ada ilmu Allah yang menuntut untuk dicari. Maka, tak boleh ada kata lelah mencari ilmu. Tak boleh ada istilah berlindung di bawah ketiak siapapun demi bergantung karena malas menggali ilmu.



Ambil Suara

05:13 0 Comments

“Pilihlah intonasi terbaikmu, lalu pertahankan itu”

Pesan di atas saya dapatkan ketika menjalani pradik koas tiga minggu yang lalu. Apakah kita akan menyanyi? Tidak. Kita hanya diminta memilih nada dasar, intonasi, tempo, dan lain-lain sebagai modal seorang pemberi layanan jasa.

Sebagai makhluk sosial, tentu kita pernah menggunakan tenaga pemberi layanan jasa. Dari pemberi layanan jasa tersebut ada beberapa jasa yang memiliki ciri khas intonasi suara. Sebut saya pegawai bank atau operator telekomunikasi. Setiap kita menemui mereka, pasti intonasi suaranya sama. Tak peduli yang ditemui adalah orang muda, orang tua, atau anak-anak, mereka dipaksa ‘ramah’ dan menuruti pakem intonasi yang telah mereka pilih.

Demikian pula yang dipesankan kepada kami. Sebagai seorang dokter yang juga pemberi layanan jasa, kami juga diminta untuk mempunya standar intonasi suara. Tak peduli nanti yang dihadapi siapa dan dalam keadaan apa, intonasi suara keramahan itulah yang kita gunakan. Mungkin perkara ini terkesan remeh dan tidak penting, tapi hanya lewat suara yang ramah saja kadangkala bisa membuat pasien menjadi lebih nyaman.

Disadari atau tidak, manusia cenderung memiliki intonasi suaranya masing-masing. Ada yang suka berbicara dengan nada tinggi layaknya orang marah-marah. Padahal itu memang sudah kebiasaan. Ada pula yang suka berbicara pelan dan perlahan-lahan layaknya orang minder dan ketakutan. Padahal dia tidak merasa takut sama sekali. Begitu seterusnya.

Intonasi suara memang sering dikaitkan dengan emosi seseorang. Ketika orang itu senang, nada bicaranya pun cenderung lebih riang. Ketika orang marah, intonasinya menjadi lebih kasar. Ketika sedih, rasa duka itu juga seakan terpancar dari suaranya. Namun sebagai pelayan jasa, tetap saja yang diharapkan adalah intonasi stabil yang tidak membeda-bedakan dan tak terpengaruh mood sendiri.

Lalu bagaimana agar intonasi suara kita tidak berubah-ubah? Barangkali kita bisa belajar dari penyiar radio. Seorang penyiar radio yang mengandalkan audio tanpa visual jelas hanya menjual suaranya. Ketika dia larut terbawa emosi dan suaranya tak stabil, artinya tak laku juga barang dagangannya. Maka, apapun kondisi jiwa itu tetap harus disembunyikan. Salah satu cara menyembunyikan perasaan adalah dengan tersenyum.

Mungkin memang ada istilah senyum palsu. Namun bukan perkara murni atau tidaknya senyum itu yang kita bicarakan. Kita sedang mencoba mempertahankan intonasi suara dari senyum yang disunggingkan. Coba saja. Kata seorang teman penyiar, ketika kita berbicara sambil tersenyum maka nada suara kita akan menjadi lebih enak.

Barangkali memang harus demikian. Apakah kita pernah melihat teller bank yang melayani sambil menangis? Tentu tidak. Mereka selalu tersenyum, dan nada bicara mereka pun selalu stabil.

Maka, tersenyumlah dan milikilah intonasi suara terindah.



Sunday, 21 April 2013

Cuci Tangan

03:36 0 Comments

Satu hal yang sangat diwanti-wanti oleh bagian pendidikan kepada kami para koas adalah jangan lupa cuci tangan. Tentu saja ini bukan sekedar ucapan perhatian untuk cuci tangan sebelum makan atau sebelum beranjak tidur, melainkan ini adalah anjuran sebagai standar higinitas.

Ada lima waktu standar cuci tangan, antara lain adalah sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Prinsip cuci tangan ini adalah untuk melindungi diri. Sebelum kontak dengan pasien artinya dokter melindungi pasien dari kemungkinan kontak penyakit yang dibawa oleh dokter. Sebaliknya, cuci tangan setelah kontak dengan pasien memberi harapan agar dokter melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan tertular penyakit dari pasien. Dari sudut pandang dokter, prinsip cuci tangan ini memberi makna agar tindakan diawali dan diakhiri dengan bersih, serta tidak memberi maupun mendapat kerugian.

Kalau dipikir-pikir, konsep bermula dan berakhir dengan bersih itu memang seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Anggaplah ini adalah sebuah arena kehidupan manusia. Seorang manusia terlahir dalam keadaan bersih. Ketika meninggal pun ia dalam keadaan bersih. Dari segi fisik, memang demikian adanya. Mayat dimandikan, dikafani, suci. Bersih layaknya bayi. Namun tentunya yang diharapkan tidak sekedar bersih secara fisik. Alangkah indahnya jika hati pun kembali bersih.

Sayangnya, manusia bukanlah makhluk maksum yang terbebas dari kesalahan. Selalu ada khilaf dan dosa yang melekat di hati. Lalu, apakah lantas didiamkan saja karena fitrohnya hati akan kembali terkotori? Tentu saja tidak. Prinsipnya hampir sama dengan cuci tangan tadi.

Dokter yang cuci tangan pasti akan kontak dengan pasien lagi, pasti ada kemungkinan terjadi transmisi penyakit lagi. Apakah dokter lantas diam saja? Tidak. Lagi dan lagi, dokter akan kembali cuci tangan. Begitu seterusnya.

Demikian pula dalam arena kehidupan. Sekalipun kita memang tempatnya salah dan dosa, bukan tidak mungkin kita untuk selalu melakukan cuci tangan dalam bentuk minta ampun kepada Yang Maha Kuasa. Layaknya tim rumah sakit yang mewajibkan dokter untuk cuci tangan sebagai syarat higinitas, demikian pula Allah SWT yang selalu meminta hamba-Nya untuk bertaubat dan mohon ampun demi kesucian jiwanya.

Apakah lantas benar-benar suci? Wallaha’lam. Cuci tangan pun belum tentu membunuh 100% kuman. Mungkin masih ada bakter-bakteri resisten yang tak bisa hilang. Tapi, bukankah sudah cukup mengurangi? Demikian pula dengan hati. Barangkali memang ada noda membandel yang masih membuat hati pekat, tapi dengan istigfar bukankah lebih mengurangi?

Semua bertujuan untuk safety. Jika cuci tangan adalah safety untuk dokter sendiri, demikian juga istigfar bagi manusia sebagai safety untuk hidup kekal di akhirat nanti. Astagfirullah…




Saturday, 20 April 2013

Percaya Kamu?

01:04 0 Comments

Tadi siang saya berdiskusi dengan seorang teman setelah menonton sebuah film. Pesan dari film itu mengatakan, “Jangan percaya kepada siapapun karena dunia terlalu keras untuk bisa menaruh kepercayaan kepada seseorang”. Sedikit banyak pesan ini juga berlaku di rumah sakit.

Kami diajarkan untuk tidak pernah percaya kepada siapapun, bahkan pada senior sekalipun. Dalam arti begini. Ketika kami diberi informasi suatu keadaan dari seorang pasien, kami tidak boleh langsung menerimanya. Kami harus mengecaknya sendiri, memastikan bahwa keadaan itu memang benar-benar terjadi.

Barangkali konsep ini seharusnya berlaku dalam semua hal. Contohnya ketika menerima ilmu atau informasi dalam hal apapun. Misal kita mendapat mendapat ilmu dari seorang ustadz, kita boleh-boleh saja untuk tidak percaya. Bukan berarti tidak percaya dalam arti mengingkari ilmunya, melainkan tidak percaya dengan dasar agar terus belajar lagi dan menemukan kebenaran yang sejati. Bukankah jika teralu percaya justru ibarat kerbau yang dicocok hidungnya? Miriplah kiranya seperti taklid buta. Padahal jelas-jelas taklid buta itu tidak diperkenankan.

Namun tidak semua hal memang bisa disetting dengan dalih tidak percaya. Dalam hal iman kita tetap harus percaya. Buktinya bisa secara kauniyah dan juga qauliyah. Demikian juga dalam pemeriksaan pasien. Ada batas-batas tertentu yang kita harus mengimaninya. Pun dalam teori-teori ilmu dunia lainnya. Mungkin kita tak bisa memahami bagaimana Edison menemukan teorinya, bagaimana Einsten menemukan rumus-rumusnya. Karena kita tidak tahu atau belum tahu, dalam kadar tertentu mau tak mau kita ‘terpaksa’ untuk menerima mentah-mentah teori itu.

Asas ketidakpercayaan bersahabat erat dengan prinsip kepo. Bukan bermaksud skeptis, hanya saja manusia memang harus terus belajar. Bukankah kepuasan dari mencari tahu jauh lebih menarik daripada sekedar menjadi teko yang hanya menampung ilmu?




Thursday, 18 April 2013

Dek Koas…!!!

01:00 0 Comments

Ada sebuah kisah lucu buatan kakak-kakak tingkat 2006. Ketika mereka lulus beberapa bulan yang lalu, mereka membuat sebuah video berjudul Catatan Akhir Koas. Video itu menceritakan sekelumit kisah warna-warni semasa koas. Salah satu scene dari video itu adalah panggilan sayang dari para civitas rumah sakit, “Dek koas”. Meskipun panggilan sayang, tentu saja panggilan ini tidak diucapkan dengan nada merayu. Seratus delapan puluh derajat daripada itu, panggilan itu justru diteriakkan. Bahkan dalam video itu dibuat sangat hiperbol dengan menggema dan menggaung hingga pelosok sudut rumah sakit.

Yah, namanya juga koas, singkatan dari co assistance, alias asistennya asisten. Maka saya bilang di catatan pertama saya, kami adalah kasta terendah di civitas rumah sakit. Seorang dokter mengilustrasikan kami adalah keset alias alas kaki. Yang namanya alas kaki pastilah diinjak-injak. Siapa yang menginjak? Bisa jadi yang menginjak adalah sepatu, yang dalam hal ini adalah para residen, atau yang menginjak adalah kaki itu sendiri yang diibaratkan sebagai dokter konsulen alias dokter spesialis. Meskipun miris, waktu itu kakak tingkat berkata, “Setidaknya alas kaki lebih baik daripada tanah di bawahnya, yaitu para preklinik”.

Percaya atau tidak percaya, kenyataan ini sepertinya akan lebih baik jika dihadapi dengan lapang dada. Tentu tidak semua civitas rumah sakit bersikap seperti itu. Layakny panggung sandiwara, ada peran antagonis dan ada pula peran protagonist.

Salah satu peran antagonis yang akhirnya berdamai dengan saya pernah berkata, “Saya bersikap seperti ini bukan karena mau membunuh kamu, tapi biar kamu kuat. Masak mau jadi dokter lembek?”

Lalu seorang perang protagonist juga berkata, “Saya sih percaya saja, siapa yang membantu orang lain pasti suatu saat akan dibantu. Kalau sekarang saya memudahkan kamu, saya berharap saya suatu saat juga dimudahkan sama Yang Di Atas”.

Pilihan mau menjadi peran antagonis atau protagonist, itu terserah mereka. Yang jelas sejak awal pak direktur sudah berpesan, “Kalian tidak sendiri. Jalin kerja sama dengan civitas yang lain mulai dari pegawai, perawat, residen, dokter, konsulen, atau koas lain.”

Yup, kerja sama. Ini bukan rumah sakit milik satu orang. Jadi mau tak mau memang harus kerja sama. Sebagai asistennya asisten, koas memang harus membantu. Sekalipun ada makna yang perlu ditinjau ulang tentang konsep membantu, suka atau tidak suka peran koas harus dijalankan.

Layaknya peran pembantu yang harus siap dalam keadaan apapun dalam pertunjukan, koas pun harus siap dalam kondisi apapun untuk berkerja sama dengan semua orang. Entah peran antagonis atau protagonist yang dihadapai di depan, the show must go on!


Tuesday, 16 April 2013

Kau Tak Kan Ku Tolak

22:10 2 Comments

Apabila datang kepadamu seorang laki-laki untuk meminang yang engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila tidak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad).

Mungkin agak kurang tepat jika saya menyitir hadits di atas. Inti yang ingin saya angkat sebenarnya hanyalah untuk mengambil bahwa adanya keharusan untuk menerima dan pantangan untuk menolak laki-laki yang diridhai agama dan akhlaknya. Mengapa? Karena tak ada alasan yang lebih baik daripada agama, karena justru akan terjadi kemadharatan jika menolak kebaikan suatu agama.

Sedikit serupa, itu pulalah yang didengung-dengungkan oleh manajemen Moewardi. “Jika datang kepadamu seorang pasien, maka rawatlah dia. Bila tidak kau lakukan, akan terjadi fitnah di masyarakat dan timbul kerusakan bagi Moewardi”

Bukan hal asing lagi di masyarakat kalau terdengar kabar rumah sakit tertentu menolak pasien. Hal-hal yang bersifat individual ini bisa menjadi isu yang tersebar dan memberikan citra buruk bagi pelayanan rumah sakit itu sendiri. Masyarakat hanya tahu, betapa kejam rumah sakit itu yang tidak mau menerima pasien yang membutuhkan. Padahal boleh jadi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kasus pertama, rumah sakit itu benar-benar penuh. Salah satu masalah klasik dari rumah sakit milik pemerintah adalah rumah sakit itu selalu penuh. Kenapa? Karena masyarakat berbondong-bondong datang ke sana untuk mendapat keringanan atau klaim asuransi. Jika diasumsikan banyak orang datang ke rumah sakit pemerintah, tentu rumah sakit akan semakin penuh. Daftar antrian layanan akan semakin panjang. Maka wajar kiranya orang yang berduit lantas mampir ke rumah sakit swasta dan mendapat penanganan lebih segera karena daftar antrian jauh lebih sedikit.
Kasus kedua, rumah sakit daerah merujuk pada rumah sakit pemerintah lainnya yang lebih canggih. 

Permasalahan yang muncul terletak pada komunikasi. Pasien yang kurang bisa menangkap boleh jadi menganggap bahwa rumah sakit pertama menolak dirinya dan melempar ke rumah sakit rujukan. Jika terjadi sesuatu dalam perjalanan menuju rumah sakit rujukan, bukan tidak mungkin jika pasien itu mengeluhkan rumah sakit pertama yang tidak memberikan tindakan. Masalah akan bertambah lagi seperti kasus pertama bahwa rumah sakit rujukan otomatis menjadi rumah sakit yang dituju lebih banyak pasien dan memiliki daftar antrian panjang.

Sayangnya, masyarakat tidak mau tahu itu. Yang namanya pasien pastilah hanya menginginkan dirinya dirawat dengan cepat, tepat, dan tentunya selamat. Mungkin tidak terpikir sama sekali bagaimana mekanisme manajemen yang terjadi. Tapi bagaimanapun juga yang namanya prinsip harus dijunjung tinggi. Haram hukumnya menolak pasien. Sekali menolak pasien, maka akan timbul satu kerusakan. Entah itu sakit hati pada diri pasien, ketidakpuasan, dan lain sebagainya yang bisa merata dan menyebar ke masyarakat lainnya.

Maka, benar adanya bahwa dilarang menolak pasien yang datang kepada kita. Demi kebaikan bersama, demi menjaga tak ada kerusakan selanjutnya.




Monday, 15 April 2013

Kepo

20:09 1 Comments

Ada yang tahu apa itu kepo? Kata teman-teman saya yang gaul, kepo maksudnya adalah selalu mencari tahu akan sesuatu hal. Biasanya pencarian info itu dicari sendiri dan dengan diam-diam. Kurang lebih begitu yang saya tahu.

Orang yang kepo memang orang yang ingin tahu tentang sesuatu. Rasa ingin tahunya itu sedemikian besar, sampai-sampai dia rela buang-buang waktu untuk puas mencari info yang dia dapatkan. Seandainya ada satu orang yang memberi tahu sesuatu, dia tidak sepenuhnya langsung percaya. Ia akan merasa puas ketika terus berusaha mencari sendiri dan menemukan fakta baru dari hasil pencariannya.

Orang bilang jangan pernah kepo. Mengapa? Karena kepo itu melelahkan dan menyakitkan. Tapi, ternyata seorang dokter dituntut untuk selalu kepo.

Seorang dokter pernah berkata, “Jangan langsung percaya dengan data dari mulut pasien.”

Ya, dokter tidak boleh langsung percaya. Dia harus rela untuk kepo. Andai pasien mengeluhkan A, dokter harus menanyakan pada keluarganya apakah benar pasien itu menderita A. Seorang dokter juga tidak boleh puas dengan data keluhan A saja. Dia harus tetap kepo, terus menanyakan hingga barangkali akan muncul keluhan B, C, D, dan seterusnya.

Seandainya daftar keluhan itu sudah ditangan, lagi-lagi dokter tidak boleh langsung percaya. Dia harus tetap kepo dan baru boleh merasa puas ketika sudah menemukan bukti. Maka ia pun melanjutkan aktivitas keponya dengan pemeriksaan fisik plus ditambah pemeriksaan penunjang bila perlu. Hingga ia akan puas dan tersenyum sendiri ketika mendapatkan data yang mungkin tidak pernah terlontar dari mulut pasien.

Itulah asyiknya kepo. Ketika kita mampu mendapatkan info lebih dan menunjang penilaian kita. Maka tidak aneh jika ada orang suka buka-buka dan cari info tentang orang lain atau sesuatu.

Coba saja jika semangat kepo ini diterapkan dalam banyak hal. Tidak hanya konsep dokter – pasien di atas, misalkan saja kepo ketika belajar atau saat kuliah. Andai seseorang punya sifat kepo yang sedemikian besar, pasti ia tak akan puas sampai menemukan jawaban atau info yang dia butuhkan. Jika ini benar-benar terjadi, sungguh betapa banyak ilmu yang akan dia dapatkan.

Sayangnya, semua orang memang tidak tertarik untuk kepo. Karena itu tadi, kepo itu kadang menyakitkan dan melelahkan. Buang-buang waktu dan mungkin tidak ketemu. Makanya, wajar juga jika hanya sedikit orang benar-benar paham ilmu dengan kekepoannya.

Terlepas dari itu semua, kepolah sesuai situasi dan kondisi. Jika itu kepo baik, pasti tak akan rugi. Insya Allah.



Harus Pintar

09:33 0 Comments

Kemarin, saya melakukan refleksi dengan teman-teman saya. Kami mengingat-ingat ilmu apa saja yang sudah kami dapatkan selama belajar di preklinik, saat hanya duduk manis di dalam ruang kelas menerima kucuran ilmu dari para dosen. Bisa dikatakan ilmu itu sering hanya numpang lewat. Lewat selama beberapa hari, mengendap sebentar, dikeluarkan saat ujian, lantas menghilang, tertumpuk dengan materi ilmu baru.

Rasanya menyedihkan. Ilmu dari semester satu mungkin tak sekuat ilmu ketika semester tujuh. Apakah ada yang salah?

Mekanisme lupa dan mengingat yang baru sebenarnya adalah mekanisme yang normal dan sangat wajar. Hanya saja, tidak semua orang menerima faktor lupa yang kita miliki. Misal, ada seorang pasien datang dan bertanya, “dok, penyakit ini maksudnya gimana ya?” lantas dokter tersebut hanya diam dan dalam hati berkata, “duh, saya lupa”.

Saat preklinik dulu orang-orang masih sering memaklumi, “Ya maklum lah, masih kuliah. Mungkin belum dapat materi itu”. Ketika koas, pemakluman itu sedikit berkurang, tetapi setidaknya kita masih bisa berlindung di bawah ketiak residen atau dokter dan berkata, “Nanti dikonsulkan dengan dokter saja”. Tapi, jika sudah menjadi dokter kelak, rasanya tak ada lagi tameng untuk kita. Mau tak mau kita harus menjawabnya. Bahkan bisa jadi kitalah yang dijadikan tameng selanjutnya dan harus melindungi orang lain di bawah ketiak kita.

Lalu bagaimana jika lupa? Padahal orang lain terus menuntut dan menuntut. Masyarakat menganggap bahwa dokter tahu segalanya. Ya, segalanya. Dan jika dokter tidak tahu, cap bodohlah yang melekat. Jika cap bodoh terlanjur melekat, pergilah pasien-pasien itu.

Seorang kakak tingkat pernah berkata, “Kuncinya adalah ulang-ulang, ulang-ulang, ulang-ulang.” Persis ketika seseorang akan menghafal Al-Qur’an. Proses menghafalnya mungkin mudah saja, tetapi proses membuat hafalan itu mengendap dan tak kan terlupalah tantangannya. Maka perlu muroja’ah.

Pak Dekan sendiri pernah berkata, “Jadilah orang yang paling pintar. Jika tidak pintar, jadilah orang yang paling rajin. Saya tidak pintar, maka saya harus rajin. Kalau teman saya membaca buku satu kali, saya harus membaca buku itu mungkin sampai sepuluh kali.” Hm…, barangkali memang harus begitu. Menyadari jika kemampuan sedikit di bawah, lantas memberikan usaha lebih agar bisa tetap berdiri sama tinggi.

Prinsipnya tetap sama. Ulang-ulang, ulang-ulang, ulang-ulang. Maka, tak ada kata berhenti untuk belajar. Tak ada alasan untuk tidak tahu. Tak ada toleransi untuk dokter bodoh. Karena di depan mata sana ada pasien yang menunggu, ada pasien yang bertanya dan benar-benar butuh jawaban darimu.

Bisa? Insya Allah bisa…



Saturday, 13 April 2013

Lelah?

01:37 0 Comments

Beberapa teman yang sudah masuk stase koas mulai bercerita satu demi satu. Ada yang bersyukur bisa merebahkan badan di tempat tidur. Ada yang lega karena bisa mengistirahatkan kakinya. Ada pula yang tersenyum lebar karena bisa kembali mengisi perutnya. Semua komentar mereka mengisyaratkan satu hal, mereka lelah.

Ya, koas itu lelah. Begitu katanya. Tapi, pak dekan kembali mengingatkan, “Yang namanya koas memang harus lelah. Berlelah-lelah dahulu, bersenang-senang kemudian.”

Mungkin terkesan menyebalkan kata-kata itu, tapi anggapan menyebalkan itu muncul karena kita hanya melihat satu sisi saja.

Lantas seorang dokter berkata, “Saya nggak habis pikir kalau koas zaman sekarang itu banyak mengeluh. Kalian masih bisa tidur waktu jaga malam, sekalipun hanya setengah jam. Kalian ga perlu menangkap status pasien yang dibuang di depan muka kalian. Kalian tidak perlu meringis kesakitan karena dilempar spidol di jidat kalian. Lalu, kenapa kalian masih saja mengeluh?”

Kata-kata dokter itu menohok. Seorang teman saya juga pernah berkata ketika saya sempat mengeluh di suatu keadaan. Dia menyindir, “Buat apa kamu sholat setiap hari kalau masih saja mengeluh?”

Ya, benar. Sholat adalah bukti syukur. Seharusnya ketika seseorang sudah sholat, dia sudah pintar untuk bersyukur. Tapi tetap saja leher manusia itu terlalu kaku. Teman yang lain berkata, “Di atas langit memang masih ada langit. Tapi jangan lupa kalau di bawah juga ada bumi.” Dia mengajak kami untuk berpikir, bisa saja seseorang iri (dan jadi tidak bersyukur) karena melihat orang lain terasa lebih enak. Sayangnya, dia lupa kalau di bawahnya ada orang yang lebih tidak beruntung.

Ya, ada orang yang mungkin ingin jadi dokter tapi tidak diterima di fakultas kedokteran. Ada orang yang bahkan untuk membayar biaya SPP SD saja masih harus berjuang mati-matian. Itulah, karena leher manusia terlalu kaku sehingga tak mau menatap ke bawah.

Merasa lelah tentu boleh saja. Wajar, bahkan rasa lelah itu juga peringatan dari Allah agar kita tidak mendzalimi diri kita sendiri. Tapi, kelelahan yang jadi keluhan itu yang menjadi masalah. Apapun yang terjadi, minimalkan untuk mengajak lisan. Urusan perasaan (lelah, sedih, marah, ataua apapun itu) adalah perkara hati. Tak perlu mengajak lidah yang sering justru memperparah.


Friday, 12 April 2013

Boleh Minta Nomor HP?

06:15 0 Comments

Ada seorang dokter yang bercerita. Pernah suatu ketika seorang perawat menghubunginya. Perawat itu bertanya, “Dok, ada pasien ingin tahu no HP dokter. Boleh?”

Dokter itu mengernyitkan dahinya. Bukan karena terganggu karena diminta no HP-nya, tapi terganggu dengan pertanyaan perawat itu. Singkat cerita, dokter itu berkata, “Catat ya, kalau ada pasien yang minta no HP saya, serahkan saja tanpa perlu bertanya lagi”

Lalu dokter itu pun berkata pada kami, para dokter muda, “Jangan pernah pelit kalau dimintai no HP”.
Beliau adalah dr.Jusup, wakil direktur bagian pelayanan RSUD Dr. Moewardi. Menurut beliau, memberikan no HP kepada pasien itu banyak keuntungannya dan beliau tidak habis pikir jika ada dokter yang pelit dengan no HP-nya.

Pertama, pasien yang meminta no HP itu cenderung berpotensi untuk menjadi pasien setia. Mereka butuh kehadiran sang dokter, maka mereka meminta no HP-nya. Beberapa dokter yang anti memberi no HP memiliki pakem bahwa pasien harus menemui dia. Tapi, dr.Jusup berpikiran bahwa HP sebagai komunikasi bisa menjadi pengikat. Misal, ada pasien yang rumahnya jauh. Boleh jadi pasien itu mengontak sang dokter lebih dahulu, barulah berkesempatan untuk bertatap muka dan diperiksa oleh dokter.

Yang kedua, memberikan no HP kepada pasien juga bisa menjadi salah satu sarana follow up kesehatan. Bahkan dalam konsep dokter keluarga yang saat ini sedang digalakkan di Indonesia, seorang dokter hendaknya memiliki komunikasi intens dengan pasiennya. Ketika pasien sakit, mereka tak segan menghubungi dokter. Ketika pasien sudah diberi obat, dokter tak lupa pula untuk menanyakan kesehatan pasien beberapa hari setelahnya. Jika konsep dokter keluarga ini benar-benar dijalankan, artinya no HP dokter murni harus menjadi makanan umum para pasien.

Bagi kami dokter muda, memberikan no HP dapat menjadi faktor pelayanan tambahan. Tak jarang ada pasien yang bertanya secara pribadi dengan dokternya. Ketika banyak ditanya, mau tak mau semakin banyak pula materi yang harus dipelajari. Semakin banyak yang dipelajari, bukankah kita makin untung sendiri?

Barangkali ada yang khawatir juga jika asal memberikan no HP. Kekhawatiran pertama, takutnya no HP yang diberikan itu bukan sebagai pelayanan tapi justru sebagai ajang untuk menerima complain sebanyak-banyaknya. Jika dilihat dari sudut pandang ini, pasti tidak enak. Tapi coba jika complain ini dipandang sebagai sebuah masukan, lantas dokter bisa sekaligus mengklarifikasi lewat HP pula, bukankah bisa jadi pasien juga puas dengan pelayanan kita?

Kekhawatiran selanjutnya yaitu no HP yang tersebar itu bisa jadi justru mengganggu. Misal sedang sibuk dan asyik dengan keluarga, tiba-tiba ada panggilan atau SMS pertanyaan. Boleh saja seorang dokter menganggap waktu keluarga adalah murni dengan keluarga, tapi ada juga yang berpikiran bahwa dokter bekerja 24 jam dan harus siap sewaktu-waktu ada panggilan.

Perkara mau memberi no HP atau tidak, pasti ada untung ruginya tersendiri. Yang jelas, no HP tidak untuk disalahgunakan. Bukankah prinsip ambil manfaat dan tinggalkan madharat tetap harus dijunjung tinggi?


Wednesday, 10 April 2013

Sempurna

23:16 0 Comments

Manusia itu tidak sempurna, tapi dokter harus sempurna.

Mendengar kalimat di atas ketika di rumah sakit kemarin membuat saya bergidik. Quote itu sedikit mengusik saya.

Kita pasti tahu bahwa manusia itu tidak sempurna. Meskipun Allah menciptakan manusia sebagai makhluk dengan penciptaan sebaik-baiknya, tetap saja manusia tidak akan mencapai label sempurna tanpa cela. Barangkali ada kecacatan fisik yang dia punya. Barangkali ada kekurangan mental atau intelektual pada dirinya. Mungkin juga ada sifat-sifat yang membuatnya terlihat sama sekali tidak sempurna. Agaknya quote ini sudah banyak yang tahu dan bisa jadi hampir semua setuju

Tapi, dokter harus sempurna? Saya sedikit tidak terima. Kalau manusia saja secara aklamasi dibolehkan untuk tidak sempurna, mengapa dokter tidak?

Kita sedikit bermain-main dengan diagram venn di sini, atau permainan negasi di matematika dan bahasa Indonesia dulu. Kalimat pertama, dokter adalah manusia. Kalimat kedua, manusia tidak sempurna. Bukankah seharusnya jika digabungkan maka dokter tidak sempurnya? Jika dokter harus sempurna, sedangkan manusia boleh tidak sempurnya, memangnya dokter itu bukan manusia?

Dokter adalah manusia, bukan robot. Jika dokter adalah robot, tentu dia akan bisa menjalankan semua prosedur sesuai dengan settingannya. Kemungkinan kesalahan bisa saja lebih kecil, asalkan pengaturannya pun sudah benar.  

Tapi, dokter bukanlah robot. Dokter punya hati yang bisa merasakan. Dokter punya akal untuk berpikir dan mempertimbangkan. Sayangnya dokter yang punya hati dan punya akal adalah sesosok manusia yang katanya adalah gudang salah dan alpa. Lantas, jika memang tempatnya salah, bagaimana akan sempurna?

Mungkin kalimat quote di atas bukan semata-mata menuntut kesempurnaan dari seorang dokter. Jika dilihat dari sudut pandang lain, kalimat tersebut justru bisa jadi bermaksud untuk mengajak dokter agar berusaha semaksimal mungkin mendekati kesempurnaan. Seperti yang sudah dibahas di note sebelumnya, seorang dokter diminta menjamin keselamatan pasien dan dituntut untuk memberi manfaat dan bukan madharat. Maka, wajar kiranya jika kalimat itu sedikit mendesak para dokter agar mau berusaha lebih demi mendekati label sempurna.

Apakah itu suatu beban dan terkesan muluk-muluk? Rasanya tidak juga. Asalkan nawaitunya mengabdi dan motivasinya berkah, insya Allah mau dituntut seperti apapun akan ada kekuatan pertolongan Allah yang menyertai. Karena Allah maha sempurna, boleh jadi label mendekati sempurna itu melekat pada diri kita karena Allah membersamai kita. Insya Allah. Aamiin…



Tuesday, 9 April 2013

Bebas Moral Hazard, Bebas Fraud

23:59 0 Comments

Oke, petuah dari Pak Direktur yang terakhir adalah tentang bebas dari hal-hal buruk. Kedua sifat buruk tersebut adalah Moral Hazard dan Fraud. Moral hazard dapat diartikan sebagai sifat atau pembawaan yang menyebabkan kerugian di bandingkan risiko rata-rata, sedangkan Fraud diartikan sebagai kecurangan terhadap hukum.

Bisa saja kita sudah paham tentang filosofi-filosofi sebelumnya, mulai dari konsep manfaat dan madharat, serta hukum tertinggi. Namun, semuanya kembali kepada diri kita sendiri. Apakah kita termasuk orang yang akan menjalankan dengan baik, atau kita berusaha menjalankannya tapi sayangnya tidak bisa benar-benar baik?

Di sinilah moral hazard bermain. Mungkin kita sudah berniat untuk membantu dengan sungguh-sungguh. Kita berusaha memberikan manfaat dan seminimal mungkin mencegah adanya madharat, sayangnya kita tersandung oleh moral hazard. Pembawaan kita yang ceroboh bisa jadi menyebabkan kita ceroboh pula ketika menyuntikkan obat. Sifat kita yang pelupa boleh jadi menyebabkan kita lupa pula memberikan edukasi cara meminum obat kepada pasien. Begitu seterusnya.

Sepele memang, tetapi sifat-sifat sepele itu bisa jadi memberikan madharat yang tidak kita duga. Sesuatu yang sebenarnya tidak akan berisiko tetapi karena jatuh di tangan kita yang memeliki pembawaan tertentu, akibatnya justru jadi sangat berisiko.

Demikian juga dengan Fraud. Boleh jadi kita paham dengan konsep hukum tertinggi adalah keselamatan pasien, tapi sayangnya kita punya karakter Fraud yang suka melakukan kecurangan terhadap hukum. Aturan penanganan yang harusnya sesuai prosedur A, tetapi karena sulit lantas kita ubah sedikit menjadi aturan B. Pasien yang seharusnya baik-baik saja dan tertangani sesuai prosedur justru menjadi kenapa-kenapa karena kita member toleransi tersendiri pada hukum yang sudah ada patokannya.

Lagi-lagi toleransi hukum itu mungkin dianggap sepele. Contoh umumnya saja misal seseorang melanggar lampu merah. Sepele mungkin. Kita menganggap, “ah, ga papa hanya lewat sedikit saja”, tapi siapa yang tahu kalau dari arah berlawanan ada kendaraan yang memang sudah jatahnya untuk melaju. Bisa jadi terjadi kecelakaan. Perkaranya cuma satu. Kita ceroboh dan membuat toleransi sendiri dari hukum yang berlaku.

Moral hazard memang sebuah karakter dan pembawaan, tapi karakter bisa diubah jika memang diupayakan. Hukum yang ada memang sudah pakemnya untuk ditaati, bukan untuk dicurangi demi kepentingan sendiri. Bebas dari sifat buruk dan semua kecurangan hukum? Insya Allah…


Monday, 8 April 2013

Hukum Tertinggi

23:15 0 Comments

Dalam dunia kedokteran, terdapat sebuah hukum tertinggi. Agroti salus lex suprema. Keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi, demikian artinya. Begitulah prinsip ketiga yang disampaikan oleh Direktur RSUD Dr.Moewardi kepada kami.

Lihat, hukum tertinggi kami adalah keselamatan pasien. Apakah ini legal? Apakah ini lebai?

Oke, mungkin ada yang beanggapan bahwa hukum ini hanyalah hukum ilegal dalam arti sekedar hukum buatan manusia. Bukankah hukum tertinggi tetap peradilan-Nya? Ya, tentu saja. Tapi, coba bayangkan keadaan ini. Ketika kita menjadi dokter, maka kita diberi tanggung jawab akan kesehatan dan keselamatan pasien. Jika kita mengobati dan memberikan perawatan dengan baik, selamat dan sehatlah pasien itu.

Ingat, pasien adalah amanah kita. Bukankah segala yang menjadi amanah akan dipertanggungjawabkan kelak? Jika kita aman dengan amanah ini di dunia karena pasien selamat dan sehat, bukankah Insya Allah akan aman pula dengan pertanggungjawaban di akhirat kelak? Jadi, tidak sepenuhnya salah juga jika disebut hukum tertinggi adalah keselamatan pasien. Karena dengan keselamatan pasien itulah, hukum tertinggi dari Allah kelak akan menyelamatkan kita saat pertanggungjawaban di akhirat.

Tak perlu jauh-jauh hingga ke negeri akhirat, di dunia pun keselamatan pasien memang menjadi hukum yang tertinggi. Anggaplah kita memberikan pelayanan kepada pasien. Jika pasien sehat dan selamat, tentu mereka akan merasa senang. Coba bayangkan jika pasien justru semakin parah karena kita melakukan malpraktik, tentu kita pun tidak dalam posisi aman. Artinya, keselamatan pasien memang kunci dari ‘nasib’ seorang dokter. Jika pasien selamat, dokter juga selamat. Jika pasien tidak selamat dengan catatan karena kesalahan dokter, tidak selamat pulalah nasib sang dokter. Maka, benar pula kiranya jika dikatakan bahwa kesalamatan pasien merupakan hukum tertinggi.

Tentu saja konsep ini tidak hanya berlaku pada profesi dokter saja. Konsep totalitas dan tanggung jawab dalam menjalankan amanah berlaku dalam semua hal. Seorang pilot tentu memiliki hukum tertinggi berupa keselamatan penumpang. Seorang koki barangkali memiliki hukum tertinggi berupa hidangan yang halal dan thayib. Demikian juga degan segala aktivitas lainnya.

Apapun itu aktivitasnya, hukum tertinggi itu memang benar-benar berlaku. Adanya hukum ini bukan berarti menambah hukum baru dari hukum yang telah diatur Sang Pencipta, melainkan hukum ini sekedar subhukum tertinggi sebelum berhadapan dengan hukum tertinggi sesungguhnya di akhirat nanti.



Sunday, 7 April 2013

Primum Non Nocere

23:42 0 Comments

Masih kelanjutan dari petuah wajib pak direktur, petuah kedua yang beliau pesankan kepada kami adalah filosofi primum non nocere. Kalimat ini jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah: pertama, jangan merugikan.

Agaknya petuah yang kedua ini berkaitan dengan petuah sebelumnya. Jika di pesan yang pertama pak direktur meminta agar kami mementingkan kepentingan orang lain, prinsip selanjutnya adalah tidak merugikan orang lain.

Bukankah kedua prinsip ini hampir sama? Ya, memang. Tetapi sebenarnya berbeda.

Di prinsip yang pertama, kita diajarkan untuk mau berbagi dan berkorban untuk kepentingan orang lain. Intinya adalah kita diharapakan menjadi orang yang banyak memberikan manfaat bagi orang lain. Namun berbeda dengan prinsip kedua, kita diminta untuk tidak merugikan orang lain.

Kalimat ini bisa memberi dua makna. Yang pertama, ketika kita mementingkan kepentingan orang lain, jangan sampai pengorbanan yang sudah kita lakukan itu justru merugikan orang lain. Mungkinkah? Mungkin saja. Misal kita sudah bersedia membantu, tetapi karena kita tidak mampu lantas kita justru melakukan tindakan malpraktik.

Makna yang kedua bisa jadi konsep merugikan di sini adalah merugikan bagi kedua belah pihak. Bisa jadi niat kita adalah mengutamakan kepentingannya tetapi ternyata justru berdampak lebih buruk baginya. Atau jangan sampai ketika kita berkorban, kita justru merugikan diri sendiri. Tertular penyakit misalnya.

Kalau saya analogikan, kedua filosofi ini mirip dengan teori manfaat dan madharat. Sebisa mungkin, kita harus memberikan manfaat. Namun sekiranya justru menimbulkan madharat, maka jangan diambil. Begitu jika suatu hal tersebut memiliki manfaat dan madharat. Maka, berikan manfaatnya dan jangan torehkan madharat.

Yup, itulah filosofi altruisme dan primum non nocere yang bisa saya tangkap, memberi manfaat tanpa ada madharat.


Saturday, 6 April 2013

Altruisme

23:43 0 Comments

Setelah petuah dari pak dekan, giliran pak Direktur RSUD Dr. Moewardi yang memberikan petuah. Menurut kakak tingkat, ada empat petuah yang selalu beliau jadikan tugas ketika memberi wejangan kepada para dokter muda.

Petuah yang pertama adalah tentang altruisme atau sikap altruistik. Jika dicari arti kata tersebut dalam kamus, akan kita dapati bahwa altruisme atau altruistik adalah sikap yang lebih mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri. Secara mudahnya, pemahaman ini bertolak belakang dengan sikap egoisme.

Barangkali jika diibaratkan, sikap altruisme ini mirip dengan filosofi sebatang lilin. Lilin bersedia berkorban untuk menerangi sekitarnya. Dia lebih mementingkan keadaan sekitar yang terang, dibandingkan kepentingan dirinya sendiri agar tetap utuh dan tak terbakar. Namun filosofi di sini mungkin kurang tepat, karena bagaimanapun konsep pertama menolong adalah diri kita sendiri harus dalam kondisi aman. Bagaimana kita bisa meyakinkan orang lain kalau dia aman jika diri kita sendiri tidak aman?

Petuah pak direktur ini sejalan dengan petuah yang saya dapat dari bagian diklit Moewardi ketika akan penelitian skripsi dulu. Beliau berpesan, “Besok kalau jadi dokter harus siap mengabdi untuk pasien. Harus sedia 24 jam jika sewaktu-waktu dibutuhkan masyarakat sekitar.”

Ya, memang demikian adanya. Mungkin terkesan lebay jika dibayangkan zaman sekarang ada orang tengah malam mengetuk pintu rumah seorang dokter. But, who knows? Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin saja hal itu memang terjadi suatu saat nanti. Jika memang terjadi, pemahaman pertama inilah yang diwanti-wanti oleh pak direktur yaitu mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri.

Sebenarnya konsep ini sangat baik jika dilihat dalam sudut pandang Islam. Pernah mendengar kisah kaum Muhajirin ketika pertama kali datang ke Madinah? Kaum Anshor dengan senang hati memberikan apapun miliknya untuk kaum Muhajirin. Mengapa? Karena mereka bersaudara. Karena anggapan saudara itulah mereka rela mengorbankan kepentingan dirinya untuk kepentingan saudaranya.

Bukankah hal itu indah? Karena sebenarnya kita dengan muslim yang lain adalah satu. Jika dia butuh, tak ada bedanya dengan kita yang butuh. Jika mementingkan kepentingan mereka, boleh jadi suatu saat Allah mementingkan kepentingan kita. Saya sendiri percaya dengan konsep itu. Siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolong dirinya. Siapa yang memudahkan atau menolong orang lain, suatu saat dia pasti juga mendapat kemudahan dan pertolongan.

Karena siapa yang menebar benih, pasti suatu saat akan menuai buahnya. Jadi, tak ada salahnya menebar benih kebaikan kepada semua karena suatu saat akan ada buah yang kita terima. Minimal, pahala kelak di surga. Insya Allah.




Friday, 5 April 2013

Motivasi Berkah

23:44 0 Comments

Orang bagaikan mayat hidup ketika tidak memiliki motivasi. Semua dijalani mengalir saja, tanpa ada letupan-letupan semangat sehari-harinya. Begitu juga ketika memasuki dunia perkuliahan atau dunia kerja.

Sedikit menyambung dengan niat yang sudah dibahas kemarin, motivasi ibarat saudara kembar yang tak bisa dipisahkan dengan niat. Ketika orang memiliki suatu niat, tentu dia juga memiliki motivasi untuk meraihnya. Sebaliknya, ketika orang memiliki motivasi terhadap sesuatu, pasti dia memiliki niat di balik semua itu.

Lalu, apa motivasi kita untuk masuk ke dunia dokter muda? Masih kelanjutan dari petuah dekan saya, beliau mengatakan motivasi menjadi koas adalah berkah.

Kalau dipikir-pikir, petuah beliau memang ada benarnya. Setelah diniatkan mengabdi alias beribadah, maka motivasi untuk menjaga agar tetap berniat ibadah adalah dengan mengharap keberkahan. Mungkin bahasa lebih familiarnya adalah mengharap ridha semata.

Bukankah memang demikian adanya? Suatu ibadah akan diterima oleh Allah SWT jika memiliki dua syarat yaitu ikhlas lillahi ta’ala atau hanya mengharap ridha Allah semata dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Artinya, niat beribadah memang harusnya dengan motivasi mengharap ridha Allah. Niat mengabdi di koas harusnya memang untuk mengharap berkah.

Untuk apa nilai tinggi jika ternyata Allah tidak meridhai. Untuk apa punya skill bagus kalau ternyata dengan kemampuan itu justru membuat Allah murka. Untuk apa setelah lulus langsung dapat kerja kalau ternyata tak ada ridha Allah di sana. Untuk apa pula memiliki banyak pasien setia kalau ternyata tak ada keberkahan dari Allah di setiap pasien-pasien kita.

Maka, memang kunci utama hidup adalah mencari ridha atau berkah Allah. Kalau Allah ridha, nilai-nilai yang kita peroleh pun adalah berkah dari-Nya. Kalau Allah ridha, kemampuan yang kita miliki akan menjadi keberkahan tersendiri. Kalau Allah ridha, pekerjaan pun akan datang dengan sendirinya. Dan kalau Allah ridha, rizqi yang Allah titipkan lewat pasien-pasien yang datang juga merupakah keberkahan sendiri bagi kita.

Tahu itu berkah atau tidak, tergantung hati kita yang mengimani. Apakah niat kita memang untuk mengabdi? Apakah motivasi kita memang untuk mencari keberkahan itu sendiri?

Semoga saja langkah ke depan memang semata-mata untuk mengabdi dan mencari keberkahan. Demikian juga untuk kehidupan secara keseluruhan. Semoga dapat menjadi hamba Allah yang berhasil menjalankan amanah untuk senantiasa beribadah, dan semoga mendapat apa yang benar-benar kita cari yaitu ridha Illahi Rabbi.


Thursday, 4 April 2013

Nawaitu Mengabdi

07:51 0 Comments

“Luruskan niat. Nawaitunya adalah mengabdi”

Petuah ini saya dapat dari dekan saya, Prof. Zainal. Lagi-lagi beliau mengetuk hati kami. Untuk apa kamu niat masuk koas? Tanpa menunggu jawaban dari kami, beliau lantas menjawab agar kami meluruskan niat untuk murni mengabdi.

Tentu kita sudah tidak asing dengan penggalan salah satu hadits arba’in Innamal a’malu binniyat. Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dalam kelanjutan hadits itu disebutkan, siapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan Allah dan Rasul-Nya. Namun siapa yang hijrah karena dunia atau wanita yang ingin dinikahinya maka ia memang sebatas mendapatkan dunia dan wanita yang dinikahi itu saja.

Demikian pula ketika kita memasuki dunia akademis atau dunia kerja. Dokter muda yang notabene adalah urusan akademis memiliki cabang-cabang niat yang cukup banyak. Ada yang berniat agar mendapat nilai bagus. Ada yang berniat agar lulus terus seperti jalan tol tanpa ada hambatan. Ada pula yang berharap asal bisa mendapat skill untuk menjadi dokter sungguhan kelak.

Dalam ranah dunia kerja pun dokter muda yang dituntut untuk latihan bekerja juga memiliki beberapa peluang niat. Ada yang berniat mencari link ke dokter konsulen atau dokter residen agar begitu lulus langsung dapat kerja. Ada juga yang berniat mencari pasien sebanyak-banyaknya untuk membentuk aliansi pasien setia.

Di samping semua niat yang mungkin muncul itu, niat yang jauh lebih penting adalah niat untuk mengabdi.  Ya, pengabdian.

Ketika mendengar kata abdi, saya terpikirkan oleh kata lain yang memiliki makna serupa. Kata itu adalah kata hamba. Seseorang yang mengabdi adalah seorang yang menghamba. Contohnya abdi dalem, dia adalah orang yang menghamba pada sultan atau raja di keraton. 

Demikian juga kita sebagai manusia. Kita adalah hamba Allah, maka kita mengabdi pada Allah. Salah satu bentuk penghambaan itu adalah dengan beribadah. Artinya, seorang yang mengabdi dan menghamba adalah orang yang beribadah.

Maka, jika dekan saya mengatakan agar diniatkan untuk mengabdi, sama saja artinya dengan mengingatkan kami agar kami meniatkan aktivitas koas kami untuk ibadah. Kalau dipikir-pikir, bukankah tugas manusia memang hanya untuk beribadah? Manusia yang menjadi dokter muda artinya beribadah dengan dokter mudanya. Manusia yang menjadi guru artinya beribadah dengan keguruannya. Demikian seterusnya hingga status apapun memang selayaknya diniatkan untuk mengabdi, menghamba, beribadah.

Jadi, mari luruskan niat dan selamat beribadah….


Wednesday, 3 April 2013

Keluar Masuk dengan Benar

21:54 0 Comments

Robbi adkhilni mudkhala shidqin wa akhrijni mukhraja shidqin waj’alli milladunka sultanannashira.
Ya Allah masukkanlah aku dengan masukan yang benar dan keluarkanlah aku dengan keluaran yang benar dan berilah aku kekuatan yang menolong (Q.S. Al-Isra’: 80).

Kali ini, inilah sambutan yang sesungguhnya ketika memasuki belantara Moewardi kemarin. Kalimat doa ini meluncur sebagai petuah dari dekan saya, Prof. Zainal.

Beliau mengajarkan agar kami berdoa supaya bisa masuk dengan cara yang baik. Namun tidak hanya masuk saja. Bukan hal baru jika ada koas yang bisa masuk namun tak bisa keluar. Maka, beliau melanjutkan petuahnya dengan doa agar kami bisa keluar dengan cara yang benar. Lagi-lagi untuk menghadapi belantara Moewardi dengan masuk dan keluar benar perlu proses yang benar pula. Maka, lanjutkan doanya dengan harapan agar selalu diberikan kekuatan yang menolong.

Petuah doa di atas seakan menjadi penyejuk yang menyambut jiwa-jiwa kami. Ya, jika sudah berdoa, untuk apa takut lagi? Mau sebelantara apapun Moewardi di hadapan kami, asal ada kekuatan yang menolong maka habis sudah semua perkara. Mau sesulit apapun semak belukar yang harus kami terjang dan masuki, asal kami dimasukkan dengan cara yang benar maka tak ada lagi kendala. Mau sebuas apapun rintangan untuk bisa keluar, asal kami dikeluarkan dengan cara yang benar maka tak ada lagi kekhawatiran.

Orang sering sulit untuk masuk ke lingkungan tertentu. Begitu sudah berhasil susah payah masuk, dia mungkin bernafas dengan lega. Ternyata, masih ada saja rintangan yang harus dia lalui selama prosesnya. Hingga akhirnya ia pun kembali bersusah payah untuk bisa keluar. Alhamdulillah jika dia keluar dalam keadaan layak dan selamat. Bisa jadi dia harus keluar dalam keadaan cacat atau malah dikeluarkan secara paksa. Na’udzubiillah.

Maka, alurnya memang benar demikian. Masuk benar lalu keluar benar, dan tentunya dengan pertolongan yang benar pula selama prosesnya. Bahkan Allah telah menuliskan doa ini dalam firman-Nya. Artinya Allah telah memberikan kunci agar kita tak perlu khawatir untuk masuk, berproses, dan keluar dari dunia tertentu.

Doa di atas juga mengingatkan saya bahwa berdoa itu sepanjang masa. Berdoa bukan hanya agar bisa masuk koas, bukan pula agar segera lulus koas, melainkan agar masuk dengan cara benar, keluar dengan benar, dan diberi kekuatan pertolongan. Artinya, doa ini berlaku sepanjang masa. Bahkan selesai koas sekalipun, doa ini masih terus berlaku. Bukankah masih ada episode kehidupan selanjutnya? Masih ada permohonan agar dimudahkan untuk masuk ke dunia yang lain, dikeluarkan dari kehidupan tertentu, dan selalu mendapat limpahan kekuatan pertolongan.

Maka, lafadzkan terus doa ini tanpa jemu. Jika kita percaya janji Allah itu pasti, tagih saja janji-Nya lewat doa. Bukankah Allah menyukai hamba-Nya yang selalu meminta? Semakin banyak kita meminta, semakin Allah akan suka. Semakin Allah suka, makin besar pula peluang Allah mengabulkan doa kita. Jika doa kita terkabul, adakah sesuatu yang perlu ditakutkan lagi?

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.


Welcome to The Jungle

21:53 0 Comments

Welcome to the jungle. Kalimat itulah yang saya terima satu minggu lalu ketika melangkahkan kaki ke RSUD Dr. Moewardi dengan status baru sebagai dokter muda. Tentu saja kalimat itu tidak diucapkan oleh para dokter, tetapi diucapkan sebagai bentuk penyambutan dari kakak tingkat yang kebetulan saya kenal.

Ngeri? Mungkin. Bayangkan saja, mereka menyebutnya jungle, bukan forest. Ada perbedaan antara forestdan jungle. Secara mudahnya, forest identik dengan hutan yang memang ditata, dirawat, dan murni pepohonan saja. Namun jungle lebih liar daripada forest. Jungle lebih identik dengan hutan belantara, lengkap dengan asesoris semak belukar dan mungkin hewan buas.

Akankah artinya ada banyak semak belukar yang menyambut saya di Moewardi? Apakah berarti sewaktu-waktu saya akan bertemu dengan hewan yang siap menerkam dibandingkan burung-burung hutan yang berkicau dengan riang? Sedemikian buaskah Moewardi nanti? Saya tidak tahu, tapi saya ingin mengubahmind set saya jauh-jauh hari, mulai saat ini.

Di hutan yang demikian belantara, seseorang mungkin sekali untuk berubah. Sebelum akhirnya saya tergerus dengan rutinitas Moewardi dan terpengaruh memandang pasien dengan tatapan mata lelah dibandingkan mata menyambut, saya harus antisipasi lebih dulu. Sebelum akhirnya saya termakan putaran sistem bisnis rumah sakit yang mempertimbangkan sosial ekonomi, saya harus mengantisipasi lebih dulu. Sebelum akhirnya saya mati hati karena menjadi kasta terbawah dari jajaran civitas rumah sakit, saya harus mengantisipasi lebih dulu.

Hutan belantara bukanlah hutan yang mematikan. Ketika seseorang sanggup keluar dari hutan belantara, bukankah ia menjadi pribadi yang tangguh? Dia memiliki mental yang kuat menghadapi hewan yang buas. Dia memiliki kekebalan tubuh lebih kuat karena terbiasa terluka tergores semak belukar. Sayangnya, manusia hanya melihat seputar waktu saat ini saja. Dia tidak membayangkan betapa hebatnya dia jika keluar kelak.

Maka, saya kembali menulis kali ini. Bukan untuk berkeluh kesah tentang merananya hidup di hutan belantara ini, melainkan untuk mengambil satu saja sisi indah dari setiap perjalanan yang terlewati setiap harinya. Agar yang terlihat tidak hanya keindahan ketika keluar nanti, tetapi juga keindahan berputar-putar di hutan belantara itu sendiri.