Follow Us @soratemplates

Saturday, 18 December 2021

Kode dari Allah

20:59 0 Comments



Pernah ga kamu merasa berada di sebuah fase kehidupan, ketika semua terasa serba sulit namun tetap saja ada kemudahan? Rasanya sudah mau nangis-nangis, tapi ternyata adaaa aja jalan dan bisa kesampaian. Ketika berada di titik finish itu lantas kamu amaze sendiri dengan fase yang sudah kamu lalui. Lho, ternyata sudah kelewat ya masa-masa sulit tadi. Pernah?


Misalnya ketika kamu sedang mengikuti sebuah kelas. Mungkin kamu sudah mau melambaikan bendera putih. Di pelupuk mata ini yang terbayang hanya tentang beratnya, lalu seolah merasa diri tidak mampu. Eh ternyata di tengah jalan ada banyak keringanan. Kita mendapat banyak kelonggaran tanpa pernah terduga sebelumnya, dan ternyata kita beneran bisa sampai lulus kelasnya. 


Di fase kelulusan itu, berasa Allah mau ngasih tahu: jangan menyerah dulu, ini ada banyak rukhsoh buat kamu karena kamu sejatinya layak untuk lulus di kelas itu.


Atau case lain, ketika kamu mengikuti sebuah komunitas atau suatu program. Namun seiring dengan berbagai kesibukan dan fase hidup berikutnya, di tengah jalan kamu mulai tertatih dengan ritme komunitas itu. Rasanya seperti sudah tidak seiring sejalan, seolah sudah ingin say good bye dan melambaikan tangan. Tapi tiba-tiba kamu seperti diberi ruang untuk mengambil jeda. Lalu diberi keleluasaan untuk balik kapan saja. Dan pas balik, seolah tidak ada yang berubah dengan dirimu atau komunitasmu. Kamu tetap familiar dan bisa kembali membersamai ritmenya.


Rasanya seperti ditunjukkan jalan sama Allah: Ini memang wadah yang pas buat kamu, dan memang kamu sengaja Aku tempatkan di sini, maka jangan coba-coba melarikan diri.


Ah, Allah itu sejatinya pasti sudah banyak memberi kode. Hanya kita saja yang mungkin kurang peka dengan maksud Allah dari setiap skenario yang diberikan pada kita. Kenapa Allah menggerakan hati kita untuk terus bertahan hingga kelulusan kelas. Kenapa Allah membuat kita terjun dan menetap di sebuah komunitas. Semuanya jelas ada campur tangan Allah untuk memberikan kita makna. Simpelnya, Allah tahu yang terbaik buat kita dan membuat kita tetap berada di jalan terbaik itu. 


Misal terkadang kita ingin memulai bisnis di bidang A. Kita sudah mempunya konsep, sudah membuat sistemnya, sudah tersedia semua tetek bengek bisnis itu. Tapi ternyata ketika sudah jalan, bisnis itu berjalan begitu-begitu saja. Bukan karena tidak mau berusaha, atau tidak mau mengembangkan bisnis untuk menemukan solusi, tetapi karena memang jatahnya cukup segitu saja.


Lalu di waktu yang bersamaan itu, tiba-tiba dengan sendirinya kita mendapat tawaran bisnis B tanpa pernah kita duga sebelumnya. Bahkan mungkin membayangkan akan berbisnis B pun tidak pernah ada dalam rencana hidup kita. Tapi ketika akhirnya kita mencoba mencicipi bisnis itu, ternyata seolah dibukakan pintu kemudahan satu demi satu. Rasanya semacam dituntun sama Allah dan ditunjukkan "ini lho ladang usaha yang tepat buatmu".


Kalau kata coach saya, pertajam lagi mata hati. Ada banyak kesempatan yang mungkin memang sudah Allah tunjukkan pada kita. Hanya saja apakah kita bisa menangkapnya sebagai peluang atau membuatnya berlalu dan menjadi sia-sia belaka.


Kalau kata ust harry rahimahullah, perbanyak lagi tazkiyatun nafs-nya. Karena hanya dengan hati yang suci kita bisa menangkap sinyal-sinyal Illahi. Nanti dengan sendirinya kita akan paham, mana jalan yang paling diridhai oleh Allah SWT. Sebuah jalan yang seolah mestakung alias semesta mendukung karena segalanya memberikan kemudahan demi kemudahan.


Apakah jalan itu ada? Ada, insya allah.


Friday, 17 December 2021

Hanya Pembantu

20:43 0 Comments



"Rewangku pulang". Rangkaian kata itu terngiang sejak beberapa hari yang lalu. Dia terlontar lewat direct message instagram dari seorang teman. Awalnya saya sekedar bersimpati, memberikan komentar sekenanya. Tapi kemudian saya justru berkontemplasi.


Bagaimana kiranya jika saya berada pada posisinya? Ketika rewang alias khadimat tiba-tiba minta pulang dan tak ada persiapan untuk mencari orang lain yang akan menggantikan.


Pun seorang teman beberapa bulan lalu juga mengalami kasus serupa. Waktu itu dia meminta tolong untuk mencarikan rewang. Bahkan permintaan tolongnya itu sudah dia sebar ke siapa saja, demi bisa segera mendapat asisten rumah tangga. Yah, tidak bisa dipungkiri kalau menemukan asisten yang awet memang tidak mudah lagi.


Saya jadi teringat dengan pengalaman saya sendiri. Beberapa waktu lalu, saya justru terpikir untuk mencari khadimat. Setelah enam tahun tidak punya asisten, rasanya tahun depan ingin mencari seseorang yang bisa bantu-bantu di rumah. Usulan itu saya sampaikan ke suami, dan langsung ditolak mentah-mentah oleh ibu mertua.


Kami punya sudut pandang berbeda. Bagi saya, kasihan kalau urusan rumah masih harus dikerjakan ibu. Biar bisa istirahat, biar tidak capek, dan yang pasti semua akan menjadi terkendali karena punya fokus pekerjaan sendiri-sendiri. Setidaknya itu yang saya pikirkan.


Namun, berbeda dengan ibu. Bagi ibu justru akan lebih merepotkan. Menjaga agar rewang bisa betah itu membutuhkan effort tersendiri. Tidak gampang mencari lalu mendidik asisten rumah tangga agar awet dalam bekerja. Alih-alih tidak cocok dan justru makan hati, lebih baik dikerjakan sendiri.


Awalnya seperti agak terasa berat, tapi saya kemudian justru teringat kata-kata bapak saat saya masih kecil dulu. Waktu itu, di rumah sedang ada acara. Entahlah saya agak lupa saking seringnya ada acara di rumah, entah pengajian, entah arisan RT, entah arisan RW. Sering. Karena diadakan di malam hari, kadang saya hanya bersembunyi di dalam kamar dengan dalih belajar atau mengerjakan tugas. Tapi di suatu waktu, entah mungkin karena umur saya sudah bukan anak-anak lagi, plus di dapur memang sedang ada kehebohan sendiri, besoknya bapak menegur saya.


"Mbak X itu statusnya di rumah sebagai pembantu"


Ups, ini bukan dalam konteks merendahkan statusnya. Lanjutan kalimat bapak berikutnya justru yang menjadi poin utama.


"Yang namanya pembantu, berarti tugasnya hanya membantu. Artinya, dia tidak mengerjakan tugas utama, tapi dia 'membantu' mengerjakan tugas itu. Sekedar memberikan bantuan saja, bukan menggantikan tugas itu sepenuhnya."


Maksud bapak waktu itu hanyalah agar saya pun ikut menyiapkan keperluan pertemuan malam sebelumnya. Tapi konsep bantu-dibantu itu cukup menarik dan membekas pada saya.


Jika memakai konsep bapak, berarti sebenarnya tanpa 'pembantu' pun sebuah tugas seharusnya bisa terlaksana. Kehadiran pembantu bukan untuk mengalihkan tanggung jawab tugas itu, namun sekedar 'membantu' penyelesaian tugas saja. Artinya, seandainya tidak ada yang membantu, pekerjaan juga tetap akan selesai kan?


Kalau dipikir-pikir, enam tahun ini nyatanya bisa terlewati juga. Mengurusi anak sendiri (dengan ibu mertua tentunya), masih sempat bekerja, dan melakukan aktivitas lainnya seolah menjadi bukti bahwa nyatanya bisa kok seandainya tidak ada pembantu.


Jelas tidak mudah, pun ekspektasi tidak bisa dipasang terlalu tinggi. Tapi menyesuaikan diri dan menjalani semampunya plus se-bahagia-nya menjadi standar yang perlu diatur untuk menjaga kewarasan diri.


Bukan berarti juga yang memiliki rewang adalah keluarga yang lemah, lantas tidak memperkenankan punya asisten rumah tangga. Boleh, tentu saja boleh. Bukankah zaman Rasul pun punya budak, meskipun dalam hal ini budak jelas berbeda dengan pembantu.


Apapun itu, yang terpenting adalah menemukan gaya kita sendiri. Mau dengan asisten atau tanpa asisten, monggo saja.


Wednesday, 15 December 2021

Newbie KLIP Lulus....!

21:23 0 Comments

Fyuh, akhirnya menuliskan ini juga

Di hari terakhir mengumpulkan skripsi KLIP, dengan segala rasa nano-nanonya akhirnya tercapai juga. Aliran rasa? Wow, terlalu banyak yang dirasakan.

Ah ya, buat yang baru tahu, KLIP adalah Kelas Literasi Ibu Profesional. Salah satu komponen di Kampung Komunitas Ibu Profesional ini memang menjadi wadah buat para perempuan untuk menulis bersama. Tantangannya adalah kami diminta untuk menulis minimal 10 kali dalam sebulan. Setidaknya sampai setahun minimal ada 120 naskah. Wow, lumayan kan.

Semula saya tertarik karena memang sudah lama tidak dikejar-kejar naskah. Rasa terdesak untuk menorehkan kata setiap hari itu seolah sirna. Demi membuat rasa itu muncul kembali itulah maka saya memilih bergabung dengan KLIP.

Tapi ternyata, yang dirasa jauh dari sekedar ingin menulis saja. Rasa frustasi ketika harapan bisa pecah telur menulis 30 hari dalam sebulan gugur hanya gara-gara ketiduran semalam cukup menohok juga. Dan itu lumayan berdampak membuat mood turun untuk mengejar 30 hari di bulan berikutnya.

Ah, tapi kemudian teringat lagi. Apa tujuanmu? Dan, ya, akhirnya terlalui juga sampai di bulan terakhir ini.

Yang jelas, saya belum merasa puas di tahun pertama ini. Di bulan-bulan terakhir saya baru sadar, sepertinya ada yang kurang dengan naskah curcol saya yang kebanyakan hanya mendekam di google document. Harusnya ada naskah-naskah yang lebih baik yang bisa dibagikan, atau bisa menjadi tunas untuk hasil karya berikutnya.

Hingga akhirnya ketika saya tersadar bahwa ada tugas menuliskan skripsi di akhir tahun, saya pun tertohok. Apa yang akan saya jadikan skripsi dari semua tulisan saya sepanjang tahun ini? Untungnya saya pernah membuat 30 hari bercerita. Untungnya juga saya pernah membuat serial mata lebah. Sekalipun memang belum sempurna dan harus tambal sulam dengan naskah lain demi mencapai syarat minimal, akhirnya jadi juga skripsi ebook sederhana yang saya beri judul 30 Hari Bercerita Mata Lebah.




Skripsi itu hanyalah kumpulan naskah yang menurut saya layak setahun ini. Saya mengambilnya dari instagram dan beberapa dari blog ini. Memang sederhana, dan bukan sebuah karya fenomenal yang sesuai ekspektasi saya sebenarnya.

Yah, tak apa. Setidaknya saya sudah mencoba di tahun pertama ini, dan setidaknya saya tahu apa yang akan saya lakukan untuk tahun berikutnya. 

Bismillah, insya Allah join lagi. Semangat !

Saturday, 16 October 2021

Yang Terakhir?

11:17 0 Comments

Ada pertanyaan menarik yang mengusik. Bisakah kita sebagai manusia menentukan sesuatu menjadi yang terakhir? Misalnya kita menentukan bahwa ini akan menjadi anak terakhir, atau menjadi cinta terakhir, atau untuk hal sepele misal melakukan cheating untuk yang terakhir kali? 


Mungkin bisa saja kita menjawab, “tentu saja bisa”, toh tinggal tergantung keteguhan hati kita untuk tidak melakukan kembali apa yang sudah diakhiri. Tapi, baru-baru ini saya menyadari kalau barangkali manusia memang tidak punya kuasa untuk menentukan apa-apa menjadi yang terakhir. Kok bisa?


Kehamilan yang Terakhir


Awal mulanya saya tergelitik ketika membaca status facebook dari Teh Kiki Barkiah. Beliau saat ini sedang hamil anak kedelapan, dan kehamilannya kali ini membuatnya payah, berbeda dengan hamil-hamil sebelumnya dimana dia masih bisa berenang, bepergian sendiri dan lain sebagainya. Melihat istrinya yang begitu kerepotan, sang suami pun berkata, “Ini yang terakhir saja ya,” Tapi buru-buru Teh Kiki meralat sembari berkontemplasi, bagaimana kita bisa tahu kalau ini yang terakhir? Bagaimana kalau Allah menitipkan lagi? Dan seterusnya. Yang pada akhirnya berujung pada kesimpulan, mereka tidak berniat untuk menentukan yang terakhir.


hamil terakhir



Kasus ini mengingatkan saya pada pengalaman artis Zaskia Adya Mecca. Bagaimana ketika dia hamil anak ketiga, dia berkata bahwa ini yang terakhir saja. Jarak anaknya dekat-dekat, toh sudah lengkap anak perempuan dan laki-laki. Tapi belum genap si anak berusia dua tahun, ternyata dia sudah hamil anak keempat. Waktu itu bilang lagi, “Oke ini yang terakhir”. Dan, tahu-tahu dia sudah mengumumkan hamil anak kelima yang usianya sudah 7 bulan. Hm, memang tidak dikabarkan dari awal, mungkin karena ada rasa “kok hamil lagi”, tapi bukan di poin itu yang saya cermati, melainkan poin bisakah memang yang terakhir?


Cinta Terakhir

Bukan hanya perkara takdir dalam kehamilan, dalam urusan cinta pun mulai muncul rasa skeptis pada makna terakhir. Sepasang sejoli boleh mengatakan kau cinta terakhirku, tapi apakah akan ada jaminan hubungan mereka langgeng? Berapa banyak orang yang sudah melakukan petualangan cinta akan selalu membual bahwa engkau adalah pemberhentian terakhirku. Tapi tetap saja ketika ada cekcok lantas hubungan kandas, dan mulai menemukan pelabuhan berikutnya. Bisakah orang tersebut menjadi yang terakhir juga?


Bahkan untuk urusan rumah tangga pun tidak ada kepastian yang terakhir. Sepasang suami istri yang begitu sangat saling mencintai tiba-tiba harus terpisah karena ajal menjemput. Awalnya mereka bagaikan sejoli, seolah cintanya adalah yang pertama dan terakhir. Tapi ketika satu pergi, apakah ada jaminan bahwa tidak akan mencari pengganti?


cinta terakhir



Terlebih dengan kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis, dan lain-lain, tak jarang dalam hitungan bulan pun sudah menemukan pendamping yang baru. Padahal puluhan tahun sebelumnya sudah mengarungi hidup bersama mendiang pasangannya. Tetap saja kemudian menemukan yang baru, dan mungkin tidak bisa menjadi jaminan bahwa akan menjadi yang terakhir. Bagaimana jika salah satu kemudian mati (lagi) lantas kembali mencari pujaan hati?


Last But Not Least

Agaknya akan lebih bijak jika kita berkata “last but not least”. Ya, boleh saja kita berkehendak menjadikan sesuatu sebagai yang terakhir. Tapi itu hanyalah sebatas rencana manusia. Yang namanya rencana tentu diikuti dengan usaha juga untuk mencapainya. Mungkin dengan melakukan KB untuk kasus hamil misalnya, atau dengan berusaha setia dan tidak main serong untuk perkara cinta, pun tergantung kondisi untuk kasus lainnya. Tapi kembali lagi, sebatas rencana dan usaha adalah ranah manusia, dan biarkan Allah yang menentukan apakah ini memang yang terakhir untuk kita.


Thursday, 17 June 2021

Teman Plus Plus

21:03 0 Comments

 



"Mas B survey sama tim nih?" tanya teman bisnis suami di sebuah acara zoom di malam hari. Waktu itu kami sedang melakukan perjalanan karena ada keperluan untuk eksekusi project baru. Padahal ada jadwal zoom rutin yang diikuti suami. Jadilah suami nyimak dan komen zoom sambil menyetir.


Dengan santai suami menjawab pertanyaan host zoom saat itu, "Iya ini sama tim mengarungi hidup." Saya pun menahan tawa.


Berhubung masih menunggu acara zoom dimulai, host pun melanjutkan pertanyaannya, "Gimana itu tim hidup bisa jadi tim bisnis?" Wah, pertanyaannya kok jadi serius begini, batin saya dalam hati. Suami pun menjawab, "Ya ada coaching khusus lah..." Kali ini saya beneran tertawa.


Saya teringat kejadian di hari pertama menikah dulu. Bada subuh, suami sudah berdiri memegang spidol dan menghadap papan tulis yang memang saya pasang di dinding kamar. Buat apa?  Di hari itu juga suami langsung mem-brain wash saya dan menyampaikan rencana-rencana bisnisnya. Saya hanya manggut-manggut menatapnya, menyimak dari atas tempat tidur. 


Apa yang disampaikan suami sedikit banyak mempengaruhi saya. Ya mau gimana, dia imam saya. Otomatis makmum harus mengikuti imamnya kan. 


Kadang kalau orang melihat kami, seperti sepasang suami istri yang seiring berjalan bersama. Sampai ada seorang teman yang berkomentar, "Kapan ya suamiku mau diajak ngembangin bisnis bareng, mau ikut kuliah bareng," dan seterusnya dan seterusnya. Padahal....


Lagi-lagi ini tentang sawang-sinawang. Saya pun pernah terbersit hal yang sama ketika melihat seorang senior suami istri hadir di acara parenting berdua. Lalu makin mupeng ketika ternyata beliau aktif membersamai sebuah komunitas ayah bunda. Tanpa saya sadar kalau ada orang lain yang menatap hal sama pada saya dan suami, meski di ranah yang berbeda.


Kalau menurut saya, ini hanya tentang mencari kesamaan passion yang serupa. Kami pun tidak selamanya berjalan seiring berdua. Suami yang hobi olahraga bela diri misalnya. Hanya sesekali saja saya hadir menemani latihan. Tapi selebihnya saya pilih di rumah dan suami latihan sampai berjam-jam. Pun begitu sikap suami. Saya yang suka menulis misalnya. Sepertinya bisa dihitung jari suami menemani saya di acara-acara literasi.


Tapi ya begitulah kehidupan. Kita tidak sedang memperbesar lembah kan. Meratakan lembah saja tidak dianjurkan apalagi makin memperbesarnya menjadi jurang.


Yang perlu dilakukan hanya meninggikan bukit. Fokus saja pada hal-hal yang menyenangkan. Lihat saja bahwa kami seiring berdua dalam wirausaha, meski sendiri-sendiri dalam menekuni hobi. Orang tak akan menilai, "Kok ga pernah hadir literasi ditemani suami?" Yang mereka lihat adalah kebahagiaan saat hadir berdua. So, tampakkan saja kebahagiaan itu dari diri kita.

Thursday, 10 June 2021

Hobi Belajar atau Hobi Jajan Kelas?

22:11 0 Comments



Beberapa waktu lalu saya posting tentang 'suka kompetisi'. Buat yang belum baca, boleh baca di tulisan berjudul Challenge Accepeted. Hehe ga penting juga sih. Ya siapa tahu aja pingin baca biar nyambung sama cuap-cuap saya kali ini.


Berhubung saya mau mengubah mind set untuk tidak berkompetisi menjatuhkan lawan, maka saya mulai kembali asyik menyelami diri sendiri. Yah semata-mata untuk mencari apa sih sebenarnya yang membuat mata saya berbinar? Alias, apa sebenarnya jalan yang bisa saya tempuh agar bisa lebih menikmati hidup dengan penuh warna.


Well, setelah merenungi serpihan-serpihan episode hidup, ternyata saya berbinar sekali ketika belajar. Weits? Ga salah baca nih?! Iya bener, ternyata saya suka belajar. Saya bahagia sekali ketika bisa join kelas ini kelas itu. Saya merasa tertantang sekali ketika ada ilmu baru dan ternyata ada sesuatu yang harus dikerjakan.


Tapi meski saya suka belajar, saya perlu berpikir dua kali untuk mendaftar di sebuah instansi. Yah maksudnya untuk menjadi seorang mahasiswa resmi. Alih-alih menyiapkan toefl atau surat rekomendasi, saya justru keranjingan ikut kelas online di sana-sini. Saking banyaknya, kadang dalam satu waktu saya mengikuti lebih dari satu kelas dalam durasi waktu yang bersamaan.


Cuma, beberapa waktu lalu saya tertohok oleh satu hal. Di era pandemi ini, orang zaman sekarang lebih gampang jajan kelas daripada jajan makanan. Eh, gimana maksudnya? Iya, tahu dong kalau akhir-akhir ini kelas online begitu merajalela. Nah saking banyaknya itu, kadang orang pingin ikut kelas A, kelas B, dan seterusnya. Biasanya sih yang punya aura-aura FOMO alias fear of missing out. Dia ngrasa takut ketinggalan kalau ga ikut kelasnya sekarang.


Then, mendaftarlah dia dan join kelasnya. Tapi, apa yang terjadi kemudian? Ternyata dia cuma numpang lewat. Dia cuma numpang daftar, trus numpang di kelas, trus tahu-tahu kelas berakhir. Kok gitu? Iya saking ga sempat karena sibuk ini itu. Jadi yang penting masuk dulu, dapet materi dulu, belajarnya nanti aja lagi. Yakin?


Nyatanya, mereka yang ngaku ntar saya pelajari sendiri ternyata ga dipelajari juga. Ups, itu sih saya kayaknya. Buktinya apa? Contoh aja nih, materi dalam bentuk pdf atau ebook kayaknya udah ngumpul banyak banget di hp. Tapi mau dikurangi kok belum dibaca. Nah itu sama juga tuh kayak syndrom sejak zaman kuliah. Yang penting ikutan fotocopy dulu, belajarnya belakangan. Yang penting ikut beli buku dulu, belajarnya nanti aja kalau mau ujian.


Duh, kalau gini sih berarti mentalnya yang perlu diperbaiki. Biar belajarnya memang murni haus akan ilmu, bukan sekedar euforia takut ketinggalan materi.


Yah semoga masih ada waktu. At least semoga niat menuntut ilmunya dicatat sebagai satu amalan kebaikan oleh Allah SWT. Aamiin

Tuesday, 8 June 2021

SR? No!

23:17 0 Comments



Ada yang tahu istilah SR? Hm..., SR apa dulu nih. Belum-belum kok udah main say no aja.


Di kalangan medis khususnya selama bekerja di klinik perusahaan ada istilah SR buat para pegawai yang sakit. Kalau ga salah maksudnya surat rehat. Sepertinya sih gitu, saya juga ga nanya soalnya haha. Yang jelas para karyawan yang sakit itu dikit-dikit sering minta SR. Dan yaaa ternyata tanpa sadar saya berkata juga, "SR? No!" Hehe bukan apa-apa sih, karena bagaimanapun klinik punya standar kesehatana ala ketenagakerjaan. Kalau dikit-dikit memberi izin pulang karena sakit padahal masih dianggap aman ya jelas mempengaruhi produktivitas pabrik. Well ternyata SR No pun berlaku di sini.


Tapi bukan SR itu yang saya maksud. SR di sini adalah kependekan dari silent reader. Tahu dong fenomena ini di setiap whatsapp grup yang memang sudah menjamur. Orang-orang tipe ini seakan antara ada dan tiada. Mau dia di grup itu atau dia keluar dari grup pun ga berpengaruh apa-apa pada jalannya grup. Fyuh, so sad.


Beberapa waktu lalu saat mengikuti salah satu program di Ibu Profesional, saya baru menyadari ternyata urusan SR itu ga bisa dianggap dengan sekedar masa bodoh aja. "Ya udah lah biarin aja SR", buat orang muka badak kayak saya sih ga bakal dianggap pusing. Tapi, buat manajemen atau orang yang bertanggung jawab dengan program di grup itu rasanya akan amat sangat gatal. Duh ini mau diapain lagi grupnya, diajak begini sunyi, ditawarin begitu sepi. Kan jadi sedih sendiri.


Ketika akhirnya kami ditantang untuk mengatasi perkara per-SR-an ini, ternyata saya tertohok sendiri. Lhah saya kan juga bukan orang yang selalu bikin kehebohan di semua grup whatsapp yang saya punya. Memang di grup tertentu saya ramai luar biasa, tapi di grup lain ada juga yang bahkan sejak masuk belum pernah unjuk nama. Bisa kelihatan kan kalau di anggota grup tidak tertampil nama profil wa-nya haha.


Lalu seperti biasa saya asyik berkontemplasi sendiri. Kenapa ya untuk tipikal kepribadian yang sama bisa-bisanya saya memberi perlakuan yang berbeda pada grup whatsapp itu? Setelah saya renungi, sepertinya saya kurang aktif di beberapa grup karena tidak merasa memiliki. Rasa asing atau sungkan itu muncul karena seakan belum satu frekuensi dengan orang-orang di dalamnya.


Tapi setelah dipikir lagi, bagaimana bisa membaur dan merasa sefrekuensi kalau kita sendiri cuma diam-diam saja. Kalau mau ikut dalam asyiknya arus yang mengalir, jangan cuma berdiri menonton di tepi dan berharap arus akan menyeret dengan sendirinya. Tapi ceburkan saja diri kita ke dalam arus, maka kita akan ikut berenang mengikuti arus.


So, membaurlah dengan grup yang kamu miliki. Bukan karena mereka sok asyik lalu kamu tak dianggap. Tapi karena kamu sendiri yang tak mau menggabungkan diri. Jadi, apakah tetap akan menjadi tim SR? No!

Saturday, 5 June 2021

Masih Mau Nulis? Kenapa?

20:57 0 Comments



Menulis menulis menulis. Oh, no! Bahasan ini hits lagi di beberapa hari terakhir episode hidupku.


Ngikutin obrolan di wag KLIP jadi bikin merem melek sendiri. Ada hawa-hawa tak diundang yang tiba-tiba menelusup di kalbu. Rasanya sudah hampir-hampir insecure. Tapi buru-buru menarik diri. No! Aku punya jalan sendiri, dan saatnya melakukan JOMO alias joy of missing out.


Awalnya ngomongin tentang orang yang bisa kelar nulis buku atau novel dalam sebulan. Masya Allah keren banget kan. Tapi ya gimana kalau habis itu trus jadi vacuum cleaner alias vakum bin super bersih ga ada karya yang ditorehkan lagi. Ya tetap keren sih dengan pencapaian bukunya, cuma jadi ga keren paripurna gitu lho karena macet dan mogok seketika.


Lalu mulai ngomongin duit. Aih, ternyata yang punya pengalaman menjelajah media tuh banyak juga. Ada yang bisa dapat cuan belasan juta dari naskahnya. Ada yang sekali kirim media langsung publish hari itu juga. Ada yang berkali-kali lolos di media yang sama. Aih, bikin mupeng kan? Iya sih bener, tapi kalau cuma mupeng doang trus jadi bikin insecure ya buat apa.


Ditambah lagi kebetulan juga nengok sosial media. Eh, lihat teman makin bersinar dengan kiprah menulis di sebuah media bonafide di Indonesia. Mupeng lagi? Yah, wajar lah namanya juga manusia. Tapi apakah iri? Ga juga sih. Gampangnya gini, kalau posisi itu diberikan padaku, apakah aku juga akan mau dan mampu? Hm, ternyata dengan logika dan hati kecilku, aku langsung bisa menjawab tidak. So, biarkan peran itu keren untuk dirinya yang belum tentu keren untuk diriku.


Lalu teman yang lain memposting karya baru antologinya. Mupeng lagi? Ga juga lah kali ini. Toh, bukankah aku juga beberapa waktu lalu membuat naskah antologi dan ternyata rasanya cuma gitu-gitu aja. Lagi-lagi aku balik bertanya pada diri sendiri, apa aku mau di posisi itu? Mupeng punya karya baru tentu iya, tapi kalau untuk berada di posisinya sepertinya aku akan sontak menjawab, "Tidak, terima kasih, lain kali saja."


Pun bahasan kemarin tentang orang-orang yang hits dengan naskah fiksinya lewat platform menulis online. Mupeng lagi? Duh, hidupku ya mupeng mulu. Iya sih gimana ga happy kalau karyanya tenar dan dibaca banyak orang. But, lagi-lagi apakah aku akan tertarik untuk mencoba? Sepertinya sebelum memulai pun aku sudah melambaikan bendera ke kamera.


Yup, semua orang punya jalannya masing-masing. Sama-sama penulis fiksi, ada yang menulis di aplikasi nulis, ada yang berwujud karya cetak hingga berjilid-jilid. Sama-sama penulis nonfiksi, ada yang bisa kirim naskah ke media, ada yang jadi buku hits di kalangan pembaca. Sama-sama blogger, ada yang dapat cuan dari tulisannya, ada yang hepi sekedar bisa mengalirkan rasa.


Ah, semua punya jalannya sendiri. Mupeng dengan jalan orang lain boleh saja, tapi bahagia dengan jalan pilihan kita jauh lebih utama. Dan itulah alasan terpendamku kenapa aku masih mau menulis: bahagia!

Thursday, 3 June 2021

Hurry Up, Tim Anti Deadline

22:26 0 Comments



Ada yang tahu jatah waktu kita? Ups, pertanyaan retoris. Memang tidak butuh jawaban sih. Saya bertanya hanya karena sedang berandai-andai saja.


Kadang manusia meremehkan sesuatu karena merasa masih punya waktu. Hm, apalagi untuk tim deadliner macam saya begini. Ketika tahu bahwa deadline masih beberapa hari lagi, lantas merasa "Oh, besok masih bisa mengerjakan". Kadang baru terasa ketika batas waktu itu sudah sampai di penghujungnya. Satu per satu seolah dikebut untuk bisa dicapai semuanya. Parahnya kadang ujung-ujungnya menyalahkan waktu. Kok sedikit sih waktunya, dan sebagainya. Padahal sebenarnya sudah disediakan waktu sejak beberapa saat sebelumnya.


Taruhlah contoh pembayaran pajak tahunan. Zaman belum serba online begini, kantor pajak kelihatan sekali kalau menjadi tolok ukur mental manusia Indonesia yang menjadi deadline. Di bulan Februari misalnya, kantor pajak seolah beraktivitas seperti biasa. Tapi begitu memasuki bulan Maret apalagi di minggu terakhir, pengunjung begitu padat mendatangi kantor. Lantas karena terlalu banyak pengunjung berdampak pada antrian yang melebihi jam kerja. Ujung-ujungnya protes minta tambahan waktu. Padahal, salah sendiri baru datang dan antri di hari terakhir. Kenapa tidak datang di bulan sebelumnya?


Lalu saya merenungi hal itu. Sepertinya masih untung para wajib pajak itu tahu batas waktu kapan pengiriman SPT. Nah gimana kalau zakat? Untuk kasus yang hampir sama, bukankah zakat juga seolah melaporkan keuangan dan mengeluarkan haknya di setiap tahun juga?


Okelah kita tahu batas waktunya adalah haul. Hanya saja, tak ada deadline untuk pembayarannya. Begitu sudah masuk nishab dan haul, maka sudah wajib membayar zakat. Tapi mau dilakukan di hari itu atau seminggu kemudian, kembali lagi ke personnya itu.


Sayangnya, kita tidak tahu kapan batas waktu itu. Ketika ditunda dengan dalih "Ah, minggu depan saja, minggu ini repot sekali banyak meeting dan keluar kota". Hm, gimana kalau seandainya saat di luar kota itu jatah waktunya sudah habis. Dia tidak bisa meminta perpanjangan waktu. Lalu dia pergi meninggalkan dunia dalam kondisi tidak membayar zakat yang seharusnya sudah bisa dibayarkan sejak beberapa saat sebelumnya.


Tak perlu muluk-muluk tentang zakat lah, bahkan urusan sepele tentang menyegerakan sholat pun bisa berlaku hukum begini. Misal kita sudah mendengar adzan pukul 12.00 lalu kita belum sholat, dan qodarullah kita mendadak tiba-tiba harus menghadap Allah di pukul 13.00, bagaimana dengan hutang sholat kita?


Saya sedang merenungkan saja makna bersegeralah. Bukan berarti kita tergesa-gesa yang seolah tak tenang dan serabutan. Tapi ini bagaimana kita tidak menyiakan waktu untuk sesuatu yang berharga. Semoga dengan segala yang di awal waktu itu akan menjadi keberkahan tersendiri bagi kita. Aamiin

Wednesday, 2 June 2021

Pencapaian Diri, Sudah Sampai Mana Saat Ini?

03:47 0 Comments

 


Ada yang mengusik saya beberapa waktu ini. Bukan orang, bukan benda, atau apapun, melainkan tentang pencapaian diri. Awalnya karena menonton sebuah sharing dari seorang teman. Dia bisa hebat dan tampak begitu kuat. Pun pagi buta ini saya membuka sharing lainnya dan tampaklah sosok memukau berikutnya. MasyaAllah.


Rasanya saya sudah khatam tentang pepatah rumput tetangga akan selalu tampak lebih hijau daripada rumput sendiri. Syukur Alhamdulillah, saya tidak sedang iri pada mereka. No, tidak sama sekali. Saya paham betul bahwa itu memang rumput mereka, dan jelas-jelas rumputnya tak akan indah jika ditanam di rumah saya. Pun saya sadar pula bahwa saya juga punya rumput sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah rumput saya sudah tumbuh baik layaknya rumput mereka?


Saat menyimak kisah teman, ada statement menarik di sana. "Saya menjejakkan KM 0 saya 14 tahun yang lalu." Jalannya tak mudah. Bahkan sepuluh tahun pertama seperti jalan santai saja. Namun karena berada di tempat yang tepat, dia pun menghebat di empat tahun terakhir.


Begitu pula dengan teman yang satunya. Dia juga tak menyangka akan berada di pencapaiannya saat ini. Awalnya hanya sekedar menekuni hobi, sharing, dan ternyata tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, lantas tanpa sadar berdampak begitu saja. Semula pun hanya jalan di tempat setahun lamanya, sampai akhirnya melejit karena lagi-lagi menemukan tempat yang tepat.


Lalu saya merenung, bagaimana dengan saya? Apa pencapaian saya? Atau apakah sebenarnya yang ingin saya capai?


Dari dua obrolan kawan saya tersebut ada dua poin yang saya garis bawahi. Pertama tentang memulai titik nol. Semua keahlian pasti dimulai dengan langkah awal. Saya bahkan pernah menuliskannya di blog ini saat masih kuliah dulu bahwa semua yang mahir bermula dari amatir. Tak ada anak yang tahu-tahu bisa berjalan, tak ada musisi yang saat memegang alat langsung bisa menghasilkan melodi.


Semua berangkat dari titik nol. Tinggal bagaimana titik nol ini dikembangkan hingga menjadi pencapaian tersendiri. Artinya di sini butuh konsistensi, karena jika tidak konsisten bagaimana mungkin kita bisa segera mencapai kilometer tertentu yang akan kita tuju. Contoh, bagaimana mungkin seseorang akan dikatakan penghafal alquran kalau dia hanya hafalan seminggu sekali. Bagaimana bisa dia akan hafal 30 juz kalau hanya ziyadah dan murojaah setahun sekali saat Ramadhan? It's impossible.


Poin kedua setelah menentukan titik nol dan konsisten on track sesuai tujuan adalah dengan menemukan tempat yang tepat. Boleh jadi perjalanan kita mencapai tujuan akan terasa jauh dan membosankan. Maka teman-teman seperjalanan yang seritme akan memberi warna yang membahagiakan. Bahkan boleh jadi teman-teman ini akan saling 'memberikan boncengan' hingga tanpa sadar kita sampa di tujuan lebih cepat dari prediksi semula.


Ya, dua poin itu yang saya renungi pagi ini. Ada di kilometer berapa saya saat ini dan dengan siapa saya akan melangkah bersama?



Tuesday, 1 June 2021

Challenge Accepted

18:46 0 Comments




Beberapa tahun lalu saat harus memperkenalkan diri di sebuah komunitas, tanpa sadar saya menuliskan "suka berkompetisi" sejak kecil. Awalnya saya mengira itu adalah hal keren. Yah, siapa sih yang ga merasa wah dengan segudang prestasi sejak dini. Lihat saja mamak-mamak millennial zaman sekarang. Anaknya pasti pernah mencicipi lomba ini lomba itu, entah karena si anak suka atau tuntutan sekolah, atau jangan-jangan karena orang tua yang berambisi. Ups.


Namun beberapa waktu berselang, saya justru tertohok dengan kata-kata "Sekarang bukan zamannya kompetisi, tapi kolaborasi". Terlebih lagi ketika dalam perkuliahan parenting dibahas bahwa kompetisi sejak dini justru membawa mental yang tak baik. 


Anak kecil tak paham apa itu menang dan kalah. Ketika menang dia hanya memburu hadiah, lalu lagi lagi dan lagi hingga seolah mengejar nafsu yang tak ada habisnya. Dalam otaknya adalah bagaimana dia menang dan bagaimana yang lain kalah. Ya memang begitu adanya, karena jika orang lain tidak kalah artinya dia bukan pemenang. Rasanya seperti ada hawa kebencian yang saling merendahkan di sana. 


Beda halnya dengan kolaborasi, orang akan menghebat bersama. Dia akan mengakui kelebihan orang lain, makanya mereka saling bekerja sama. Katanya orang lemah yang bergabung dengan orang lemah bisa menjadi orang yang kuat. Konsep di sini berlaku juga di kolaborasi. Tak akan ada pihak yang kalah, karena sesama 'calon kalah' akan saling bekerja sama sehingga kemenangan menjadi milik semuanya.


Tapi, sepertinya hidup akan membosankan jika tak ada kompetisi. Ah, mungkin alam bawah sadar saya memang menunjukkan bahwa saya suka kompetisi. Atau mungkin saya terbawa film 3 idiots yang mengatakan bahwa hidup sejatinya adalah kompetisi. Bahkan bukankah pepatah Islam juga mengatakan agar kita saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Lalu, benarkah memang kita harus berkompetisi, atau tak perlu kompetisi dan memang pure saling berkolaborasi?


Baru-baru ini saya menyadari bahwa kompetisi mungkin memang masih perlu, tapi bukan untuk menjatuhkan lawan. Kita seharusnya berkompetisi tapi dengan diri kita sendiri. Lawan kita adalah diri kita sendiri di masa lalu. Bukankah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini? Artinya, pembanding itu akan tetap ada. Dan pembanding itulah barometer kompetisi diri sendiri.


So, saya berkata pada setiap tantangan yang datang "Challenge accepted". Semata-mata untuk memenuhi nafsu kompetisi saya, bukan untuk menjatuhkan lawan tapi untuk menjadi versi terbaru diri saya yang lebih baik lagi dan lebih baik lagi.

Sunday, 23 May 2021

Kenapa Tidak Kerja di Rumah Sakit?

06:05 0 Comments



Postingan tentang ini pernah saya unggah di sosial media. Judulnya "Kerja di Rumah Sakit mana?" Yah, sebagai dokter memang sangat wajar kalau mindsetnya adalah bekerja di rumah sakit. Sayangnya tidak semua dokter harus bekerja di sana kan? Di postingan itu saya memberikan jawaban secara general, tapi di sini saya ingin sedikit mengalirkan rasa.


Awalnya sejak memasuki periode koas saya cukup excited mendapat pasien dengan kasus rumit. Adrenalin saya terpacu ketika melihat pasien emergency. Ritme kerja yang harus cepat tanggap juga membuat saya lebih bergairah. Namun semua sirna ketika gelar dokter tersemat di nama saya dan mulai menjalani program internship.


Banyak yang bilang masa internship adalah masa yang paling menyenangkan. Gimana tidak, seorang dokter fresh graduate bisa bekerja 'amatir' tapi sudah mendapat income meski judulnya sekedar bantuan hidup dasar. Sayangnya itu tidak berlaku di saya. Bukan karena tempat internship saya yang kurang menyenangkan, tapi karena saya sudah memiliki peran yang berbeda.


Saat internship saya sudah berstatus sebagai seorang istri dan ibu. Kak A yang berusia 9 bulan waktu itu saya boyong ikut merantau keluar Solo. ART? Tentu saja tidak ada. Untuk keluarga mungil seperti kami rasanya terlalu lebay untuk menghire asisten di perantauan. Terlebih saya punya dalih ingin memantau sendiri setiap tumbuh kembang anak.


Nyatanya itu tidak mudah. Bekerja dengan sistem shift dan meninggalkan anak dengan jam yang berbeda-beda itu memberi tantangan tersendiri. Shift pagi mungkin masih aman. Sejak subuh anak dikondisikan, rumah beres, tinggal berangkat. Sayangnya kadang itu tidak berlaku saat shift siang atau malam. Anak sudah tidur di malam hari misalnya, lima menit sebelum berangkat ternyata rewel dan minta dininabobokan dsb. Tentu itu akan memakan waktu sendiri.


Padahal sistem kerja shift mengharuskan ada operan dengan shift sebelum dan sesudahnya. Jika saya terlambat datang lima belas menit saja, pasti sudah membuat resah shift sebelumnya. Saya terkesan dzalim pada rekan sejawat karena dalam lima belas menit itu bisa saja ada beberapa pasien yang masuk dan harus ditangani. Begitu pula ketika jam pulang. Ketika shift berakhir dan ternyata ada pasien yang sudah terpegang dan belum selesai dilakukan rumatan, maka ada penambahan waktu untuk menuntaskan. Dampaknya mungkin akan terlambat pulang setengah jam, atau bahkan bisa sampai satu atau dua jam.


Bukankah memang harus begitu risikonya? Yah, tentu saja. Saya paham betul bahwa memang demikian tugas seorang dokter. Sayangnya itu tidak sesuai dengan hati nurani saya. Bukan karena saya tidak pantas menjadi dokter, tapi karena peran sebagai istri dan ibu terusik dengan cara kerja yang demikian.


Maka saya memilih bekerja di klinik semacam praktik pribadi dengan jam buka dari jam sekian hingga sekian. Pasien datang akan saya layani, begitu selesai maka klinik tutup. Kalaupun ada penambahan waktu karena pasien datang di injury time, paling hanya menambah waktu lima atau sepuluh menit.


Dengan begitu, ritme hidup saya lebih teratur. Saya tahu jam berapa saya akan fokus menjadi dokter. Saya juga tahu mulai jam berapa saya akan berganti peran menjadi seorang ibu dengan sadar penuh membersamai anak.


Yah, ini hanya kasus pada diri saya saja. Dokter wanita yang tetap prima dengan segala perannya meski bekerja di rumah sakit juga ada. So, tidak selayaknya setiap dokter dipukul rata.

Tuesday, 18 May 2021

I'm Back

20:07 0 Comments



Aku kembali di sini, setelah beberapa hari kemarin bermain-main di instagram dan facebook. Aku bilang di sana bahwa aku butuh menepi, butuh sepi, butuh bebas bermain-main dengan sudut pandang, pun bebas untuk merayakan cerita. Yah, semua itu benar adanya.


Aku memang butuh menepi. Bagiku sosial media terasa begitu menjadi pusat perhatian. Terlalu banyak orang yang mencetak personal brandingnya dan sengaja membuat dirinya menjadi poros utama. Ah, aku memang tak nyaman dipandang banyak orang. Maka aku memilih di sini, yang tak terlalu mencolok mata dan hanya orang tertentu saja yang memang menyengaja untuk berkunjung di sini.


Aku memang butuh suasana sepi. Bagiku sosial media begitu bising dan riuh. Sekali waktu akan ada banyak yang berkomentar, atau memberikan tanda love pada postingan. Ah, padahal ternyata tidak semua benar-benar dibaca. Tak sedikit yang sekedar formalitas atau semacam solidaritas, atau malah sekedar boom like agar postingan miliknya sendiri akan muncul di beranda. Yah, semacam meningkatkan engegament begitulah. Maka aku memilih di sini yang sepi, yang tak banyak orang saling bersahut-sahutan menimpali atau berbasa-basi membubuhkan tanda cinta di sana-sini.


Aku memang masih butuh bermain-main dengan banyak sudut pandang. Instagram bagiku terlalu membatasi diri. Yah, meskipun menjadi tantangan tersendiri untuk bisa menulis di atas 300 kata tapi di bawah 2200 karakter. Tapi bagiku ini nanggung. Jika ingin lepas memainkan sudut pandang, seharusnya aku mengambil ruang tanpa batas. Dan di sinilah pilihanku, tanpa aku perlu memikirkan apakah space masih tersedia. Aku bebas berekspresi sejauh apa yang aku mau.


Aku pun ingin bebas merayakan cerita. Yah, bagiku ada hal-hal tabu untuk dishare di sosial media. Pun ada banyak hati yang perlu dijaga. Tentang relasi suami istri misalnya, sungkan untuk dibaca teman yang sudah kenal. Tentang keseruan bersama anak barangkali, padahal ada beberapa yang sedang mendamba hadirnya buah hati. Yah, bisa saja sebenarnya saya memposting apapun sesuai keinginan saya, toh itu media sosial saya sendiri. Tapi tetap saja rasa sungkan dan filter itu perlu dijaga. Maka kembali lagi pada alasan pertama dan kedua. Di sini lebih sepi dan tak terlalu menjadi pusat perhatian. Aku tak mengganggu suasana hati mereka yang perlu dijaga. Toh mereka bisa saja tak perlu repot-repot mampir ke sini.


Yah, inilah jalan yang kupilih saat ini. Meski sempat beranggapan masa iya mau jadi blogger, tapi aku memilih sebatas sebagai jalan yang paling nyaman untuk dilalui. Apakah ini bearti aku akan beralih dari penulis media atau penulis buku menjadi penulis blog? Wallahua'lam.


Friday, 9 April 2021

Semua Anak Adalah Bintang (Tantangan Zona Semua Anak Bintang)

03:13 0 Comments



Fyuh, akhirnya tertuliskan juga. Semula niatnya sudah mau menyerah saja di zona ini. Tapi kok rasanya ada yang gatel. Wong ya kemarin-kemarin sempat mau menyerah tapi berhasil lanjut meski badge dasar, masak iya yang sekarang mau beneran nyerah gitu aja? Ya sudah, semangat rapelan lagi kalau gitu.


Di zona ini saya diajak untuk melihat bahwa semua anak adalah bintang. Nggak boleh membanding-bandingkan. Ah, khatam banget lah kalau ini. Kayaknya pernah ditulis juga di postingan sebelumnya. Cuma, kenyataannya ya gitu deh.


Sebenarnya zona ini termasuk yang saya tunggu-tunggu. Kenapa? Soalnya saya udah tahu ilmu ini sejak zaman kapan, tapi tetap aja realitanya nol besar. Udah tahu sejak zaman matrikulasi dapat ebook Pandu 45. Aturan harusnya segera bikin pengamatan ke anak. Eh, ternyata cuma anget-anget tahi ayam aja. Berapa hari doang, habis itu adem.


Gitu juga pas acaranya Ustadz Harry untuk bikin framework kegiatan bersama anak. Berlaku berapa minggu doang, habis itu yaaaa bablas. Oke lah karena ini tugas pengamatan, mulai lagi sekarang. Walaupun entahlah apakah berakhir seiring tantangan usai? Semoga saja kali ini tidak.


Oke, prolognya kepanjangan. Jadi, apa tantangan di zona ini? Kami diminta untuk membuat pengamatan dari beragam aktivitas anak-anak. Dilihat apakah anak merasa enjoy, easy, excellent, dan earn. Masing-masing poin mendapat satu bintang. Tapi khusus di hari pertama, kami mendapat tambahan tantangan yaitu untuk menilai tentang anak dan memberi semacam surat cinta.


Baiklah...., seperti biasa target saya adalah Kak A. Dulu saat tugas Ustadz Harry, Kak A saya juluki sebagai sang berkeinginan kuat. Tapi beberapa hari ini mengamati, rasanya saya ingin menjuluki Kak A sebagai server atau sang pengayom. Yah, mata saya baru bisa menangkap kalau ternyata Kak A senang membantu orang lain, dia suka sekali melayani adiknya. MasyaAllah...ke mana saja saya selama ini.


Kak A antusias jika diberi kesempatan untuk membersamai Adik Z. Tandanya adalah ketika dia mau berinisiatif sendiri, tanpa saya memberi intruksi. Niat saya nantinya akan memberi kesempatan lebih banyak pada Kak A untuk menunjukkan sifat 'kekakakannya' sebagai pengayom sang adik.


Tiga hal yang sudah dilakukan Kak A terkait ini seperti, beberapa waktu lalu saat Adik Z makan es krim dan belepotan, Kak A mengambil tisu dan mengelap mulut adik Z. Lain waktu ketika akan bepergian, Kak A mengambil sandal untuknya dan Adik Z. Dia 'menata' sandal itu sehingga Adik Z tinggal memasukka kakinya saja. Atau ketika di mobil Adik Z mengantuk, Kak A mengambilkan bantal dan menyuruh Adik Z buat berbaring. MasyaAllah..., ternyata hal-hal begini kalau tidak benar-benar menyengaja untuk diamati bakal terlewat begitu saja. Lantas lupa mensyukuri bahwa sebenarnya Kak A sayang pada Adik Z.


Dan surat cintaku untuk Kak A, terima kasih banyak Kak A untuk semua sikap baik Kak A. Maafkan mami yang terkadang lupa mengamati, lupa mengapresiasi, lupa mensyukuri. Tumbuh dan berkembanglah dengan sifat baikmu. Ya, Kak A unik dan Kak A adalah bintang. Aamiin




PS: Setiap harinya ada tugas juga untuk membuat pengamatan di tabel, jika memungkinkan akan dishare di sini atau dirapel via google drive saja hehe


#harike1

#tantangan15hari

#zonasemuaanakbintang

#kelasbundasayang

#institutiburpofesional

Monday, 29 March 2021

To Do List Serba Salah

10:23 0 Comments




Kangen nulis lagi. Beberapa hari skip karena ada pekerjaan yang lebih urgent. Padahal sebenarnya ide datang bertubi-tubi. Seringnya sih saat naik motor, atau di perjalanan bareng suami. Tapi sayangnya ketika sudah di tempat tidak bisa segera meluapkan ide, then blllaaaar hilang sudah menguap entah ke mana.


Lalu kini saya merindu menumpahkan kata. Semata-mata hanya demi mengalirkan rasa. Ide-ide kemarin seolah berjejalan untuk ditorehkan, sekan menagih "Aku dulu... aku dulu... aku yang ditulis dulu". Fyuh, lalu akhirnya tak jelas begini nulisnya.


Baiklah, ini free writing saja. Sekedar mengeluarkan apa yang ingin dikeluarkan. Biar hati loss dan tidak mbundet dengan segala hal. Kalau kata orang, free writing ini bagus sekali untuk mengurai rasa. Plus bagus juga untuk melatih ketahanan menunangkan kata-kata dalam durasi waktu tertentu. Tanpa perlu peduli, apakah tulisannya benar ejaannya atau benar susunan ide dan topiknya. Biarkan saja menulis bebas.


Pagi ini saya sedang terpikirkan dengan to do list. Sejak beberapa waktu terakhir, saya terbiasa dengan menuliskan to do list harian. Kadang saya merasa hidup bagai kejar-kejaran dengan waktu ketika to do list hari itu begitu padat. Rasanya banyak sekali urusan yang harus dilakukan. Bahkan sering sampai begadang, sering sampai curi-curi waktu untuk bersemedi sendirian. Tapi ketika list itu berhasil dicoret, rasanya puas luar biasa.


Nah pagi ini saya merasa tidak tenang lagi. Tapi bukan karena over job list harian, melainkan karena saking tidak ada to do list yang kudu dilakukan hari ini. Then, saya merasa sepertinya kok ada yang kurang, ada yang berbeda dalam hidup saya. Dan dalam kondisi begini, bahaya sekali kalau saya terpikirkan untuk menambah job list. Yang ada nanti lain waktu bakal kewalahan lagi. Haha


Cuma jadi berasa aneh kan. Ketika kebanyakan kerjaan, kelimpungan. Ketika tidak ada gawean, juga jadi tak bersemangat dan merasa kehilangan. Mau dibikin kegiatan rutin, berasa bosan. Mau dibikin insidental, berasa banyak kejutan tak terencana. Ah, namanya juga manusia. Mau kayak gimana juga ada aja salahnya. 


Fyuh, selamat menjalani hari saja lah ya. Semangat....!



Thursday, 18 March 2021

Meleleh Oleh Mereka

22:21 0 Comments



Malam ini kembali menghangat. Saya kembali tersenyum sepanjang malam. Apakah ada perlakuan baru dari suami? Oh, tidak. Bukan tentang suami, tapi tentang anak-anak. 


Ya, ini tentang Kak A dan Adik Z, dua orang berbeda dan tentunya tak bisa sama. Ah, pastinya saya sudah paham betul tentang itu. Bahkan orang kembar pun tak ada yang seratus persen sama kan. Apalagi Kak A dan Adik Z. 


Malam ini saya menghangat karena mereka memiliki cara berbeda untuk menganghangat hati saya. Saya rasa karena bahasa cintanya berbeda pula. Kak A yang word of affirmation dan Adik Z yang physical touch.


Saya selalu dibuat meleleh dengan sikap Adik Z. Alih-alih minta dikeloni sebelum tidur, Adik Z justru yang akan memeluk saya dan 'ngeloni' saya. Biasanya dia akan memeluk leher dan berkata, "Ayangku....", atau "Intaku....". Ah, meski kosa katanya belum full benar, sudah bisa terbaca kan?


Lain waktu dia yang akan memeluk lalu mengelus kepala saya sambil berkata, "Mami bobok...., mami bobok...." menyuruh saya untuk tidur. Hm, gimana tidak bablas sampai pagi kalau begini. Atau seperti kemarin siang ketika dia tiba-tiba memeluk dan berkata, "Mami antik...." 


Saya membayangkan, kalau saya seorang wanita pasti sudah meleleh diperlakukan begitu oleh Adik Z. Ups, salah bahkan sebagai maminya pun saya meleleh juga. Tapi ternyata, meski dengan cara tak sama, Kak A juga melelehkan hati saya.


Kak A bukan tipikal yang sedikit-sedikit menghujani saya ciuman atau pelukan seperti Adik Z. Tapi, sambutannya malam ini ketika saya pulang kerja membuat saya terharu, "Mi, lihat. Mas A sudah beresin mainnya. Biar cepet, mami tinggal nyapu trus tidur."


Ya, Kak A tipikal yang butuh apresiasi. Dia menceritakan pencapaian-pencapaian dan senang kita saya mengapresiasinya. Tapi dari 'laporannya' tadi, saya melihat celah bahwa dia begitu perhatian pada saya. Dia sengaja membereskan mainannya sendiri dan kamar sudah rapi. Saya tidak perlu beres-beres lagi, tinggal menyapu lantai lalu beristirahat tidur.


MasyaAllah....

Ya, saya menghangat malam ini. Saya kembali menata dan memaklumi bahwa mereka berbeda dan memiliki cara yang berbeda. Namun yang jelas sama adalah bahwa mereka mencintai saya sebagai maminya. Alhamdulillah...

Wednesday, 17 March 2021

Penyimpangan dan Kejahatan Seksualitas (Tantangan Bunda Sayang Pendidikan Seksualitas)

22:47 0 Comments



Oke, demi rapelan tugas tantangan bunda sayang, di hari terakhir ini saya langsung menjadikan satu topik penyimpangan seksualitas dan kejahatan seksualitas. Well, saya teringat pada satu pengalaman saya.

Dulu, ada teman yang bercerita kalau saat dia SMP ada orang gila yang biasa masturbasi di gang pojokan dekat sekolahnya. Kelihatan banget, dan sampe bikin risih. Ternyata, saya mengalaminya sendiri. Suatu ketika ada orang gila lewat di depan rumah dan iya benar, dia juga sedang melakukan masturbasi tepat di hadapan saya. Astagfirullah

Waktu itu saya buru-buru lari masuk ke dalam rumah. Malamnya ketika suami pulang, langsung saya ceritakan ke suami. Asli itu bikin trauma dalam beberapa hari. Bener-bener bikin nengok-nengok dulu khawatir kalau ada orang gila lagi.

Lalu saya membayangkan, saya yang sudah menikah saja bisa se-shock itu menghadapi peristiwa tadi. Gimana ceritanya kalau itu dialami anak-anak yang masih awam. Apa tidak lebih shock? Nau'dzubillah.

Iya, balik lagi ke kita sebaga orang tua untuk melakukan proteksi. Tapi, jangan lupa satu hal bahwa sebaik-baik penjagaan adalah milik Allah Ta'ala. Maka, titipkan saja diri kita, anak-anak kita, keluarga kita pada-Nya. Biar Allah langsung yang menjaganya. Aamiin


#harike10
#tantangan15hari
#zonapendidikanseksualitas
#institutibuprofesional

Ketika Anak Bertanya (Tantangan Pendidikan Seksualitas)

22:37 0 Comments




Topik terakhir adalah ketika anak bertanya tentang seksualitas. Huwaw, saya sendiri belum bisa bayangin sih kalau berada di posisi itu. Kira-kira akan berekspresi apa dan mau menjawab apa.

Cuma, saya inget banget dulu Bu Elly Risman pernah cerita buat konfirmasi dulu. Misal, si anak tanya seks itu apa sih. Hm..., jangan shock dulu, tapi tanya balik aja dulu, yang kamu tahu apa? Lucunya saya pernah dapat meme di medsos gitu. Ada anak kecil bertanya pada orang dewasa, apa itu seks. Lalu si orang dewasa itu menjelaskan dengan belepotan tapi benar-benar berusaha menjelaskan. Si anak cuma melongo, padahal dia cuma ingin mengisi formulir dalam bahasa Inggris di mana ada kata sex di situ yang artinya kudu dijawab laki atau perempuan. Nah lho, malah salah kaprah kan?

Ini bisa jadi senjata sih. Ketika si anak sudah sedikit tahu, orang tua tinggal mengonfirmasi saja. Pun jadi bisa menilai sejauh mana yang kira-kira bisa disampaikan pada anak. Yang jadi PR adalah, gimana biar tetap tenang dan tidak terkesan kaget ketika ditanya. Bukankah kesan pertama begitu menggoda. Khawatirnya si anak udah notice duluan nih kenapa kok ekspresi orang tuanya udah beda padahal ditanya gitu doang.

Oke, mudah-mudahan nanti siap menjawab pertanyaan seperti ini. Bismillah

#harike9
#tantangan15hari
#institutibuprofesional
#kelasbundasayang

Ketika Aqil dan Baligh Berjalan Tak Beriringan (Tantangan Zona Pendidikan Seksualitas)

22:07 0 Comments



Masya Allah sudah hari terakhir di zona ini dan saya masih punya hutang nyimak video plus hutang bikin laporan tantangannya. Bismillah....

Ini tentang topik ke lima yang disampaikan oleh teman-teman sobatualang yaitu tentang aqil dan baligh. Yup, aqil dan baligh itu dua kata saudar-saudara. Means, ada kalanya aqil datang pun baligh datang. Harapannya sih aqil datang duluan atau barengan dengan si baligh. Tapi kenyataannya?

Saya jadi teringat materi tentang ini juga yang disampaikan oleh Ustadz Hary Santosa. Saya ngeri sendiri ketika beliau mengatakan, "Bagaimana jadinya anak-anak yang sudah baligh di usia 10-12 tahun padahal mereka baru boleh/bisa menikah di usia 25 tahun" Wow, iya juga ya. Dan itu tantangan berat buat orang tuanya juga. Artinya memang PR aqil bersama baligh itu perlu diupayakan.

Cuma yang masih jadi pertanyaan saya adalah bagaimana untuk memulainya. Iya, kemarin sudah disampaikan oleh pemateri kalau sejak usia 7 tahun sudah mulai dikenalkan dengan tanggung jawab. Ah, PR sih buat saya untuk tidak sungkan mengutarakan duluan. Persis seperti yang dikatakan pemateri, buat anak untuk nyaman dulu dengan orang tuanya. Karena dengan mereka nyaman, maka mereka akan bercerita pada orang tuanya ketika akhirnya nanti mengalami menstruasi atau mimpi basah. Kalau saya sendiri sebagai orang tua risih untuk memulai ngobrolnya, gimana nanti anak mau nyaman dan cerita ke saya ketika mengalaminya?

Mungkin juga yang bisa dilakukan adalah dengan menunda si baligh datang buru-buru. Caranya? Meminimalisir media, menjaga asupan makanan, setidaknya itu yang saya ingat. Setuju banget sih, ketika zaman sekarnag semua makanan serba cepat saji, ya wajar kalau tumbuhnya cepat juga. Padahal ada makanan alami yang benar-benar clean eat yang bisa menjaga fitrah kita. Iya sih, makan dan makanan yang sesuia fitrahnya insyaAllah diri pun akan tumbuh sesuai fitrahnya kan. 

Plus media. Bener banget kalau perang media itu masyaAllah. Anak lihat akun yutub yang anak-anak saja kadang sliwer iklan yang pakaiannya terbuka. Lagi-lagi PR orang tuanya untuk mendampingi. Berat? Bismillah. Kalau Allah sudah mengamanahkan anak-anak di tangan kita, insyaAllah kita mampu untuk mendidiknya. InsyaAllah


#harike8
#tantangan15hari
#zonapendidikanseksualitas
#kelasbundasayang
#institutibuprofesional

Monday, 15 March 2021

Ini Cara Ayah Hadir dalam Pengasuhan (Tantangan Bunda Sayang Pendidikan Seksualitas)

03:55 0 Comments



Topik keempat di parade live bunda sayang ini menarik, tentang peran ayah dalam pendidikan seksualitas. Ah, saya tarik mundur dulu. Bukan cuma dalam hal pendidikan seksualitas sebenarnya, bahkan peran ayah sendiri dalam hal pengasuhan menjadi tema menarik yang selalu didengung-dengungkan di kelas parenting. Ya, pasalnya belum banyak ayah yang melek dengan parenting. Kelas-kelas pengasuhan selalu penuh dengan para ibu. Mirisnya adalah jangan-jangan muncul stereotype bahwa memang tugas ibu untuk mengasuh dan tugas ayah mencari nafkah. Hm...


Di sini saya tidak akan membahas suami. Saya justru tertarik dengan bapak dan bapak mertua rahimahullah. Saya ingat waktu kecil dulu sepertinya lebih dari tiga kali bapak saya bertanya, "Bapak seperti apa Kak? Kakak mau ganti bapak ndak?" Hm, agak awkward sih memang pertanyaannya. Kadang saya juga risih untuk menjawabnya, apalagi itu pernah ditanyakan saat saya sudah SMP, sudah bisa mikir kan hehe. Tapi ketika sudah dewasa begini saya baru memahami bahwa itu adalah salah satu upaya bapak untuk mendapat masukan dari anak. Itu adalah cara bapak untuk introspeksi plus tanpa sadar membuat saya belajar menerima bapak apa adanya.


Menariknya, dalam hal peran ayah salah satu kunci yang harus dipegang adalah bagaimana agar seorang anak bangga dan melihat sosok ayahnya sebagai pribadi yang baik. Baik itu LDM atau sesibuk apapaun ayahnya, pamali bagi seorang ibu untuk menjelek-jelekkan sosok ayah di depan anak. Persis seperti yang dilakukan Bunda Hajar pada Ismail lah. Sekalipun Nabi Ibrahim tidak 'hadir' secara fisik, tapi kekaguman itu diceritakan oleh Bunda Hajar sehingga ketika Nabi Ibrahim datang, Nabi Ismail merasa dekat dan kagum pula pada ayahnya.


Rasa kekaguman ini saya rasakan juga terjadi pada suami dan kakak-kakak ipar. Qodarullah, saya belum mengenal bapak mertua rahimahullah. Tapi, melihat bagaimana suami menempel kertas-kertas wejangan dari bapak di dinding kamarnya membuat saya paham betapa suami mengaguminya.


Saya tertarik dengan cara bapak mertua mendidik anaknya. Beliau serigkali menulis dalam sebuah kertas HVS berisikan pesan-pesan atau petuah dan diberikan kepada anaknya. Beberapa seperti rangkuman materi sebagai bahan bapak untuk mengisi pengajian. Tapi sebagian yang lain memang ditujukan langsung pada si anak karena di awal kertas itu dibuka dengan kalimat, "Anakku sayang". MasyaAllah.


Apa yang dilakukan bapak mertua itu mengingatkan saya pada buku Sabtu Bersama Bapak. Ya, meskipun bapak dalam buku tersebut sudah meninggal dunia, dia menyiapkan video yang rencananya akan diputar untuk anak-anaknya setiap hari Sabtu. Sekalipun bapak itu sudah tiada, namun sosoknya kembali hadir setiap hari Sabtu dan menjadi kedekatan sendiri bagi anak-anaknya.


Well, apapun upaya yang sudah dilakukan harapannya memang agar anak mengenal dengan sosok ayahnya. Yah, semoga makin banyak ayah yang melek dengan parenting, agar Indonesia tidak makin menjadi fatherless country. Aamiin


#harike7

#tantangan15hari

#pendidikanseksualitas

#kelasbundasayang

#institutibuprofesional

Quantity Time dan Quality Time demi Menumbuhkan Fitrah (Tantangan Bunda Sayang Zona Pendidikan Seksualitas)

03:33 0 Comments



Bismillah.. topik ketiga yang diangkat di parade live pendidikan seksualitas kelas bunda sayang adalah tentang mengenal fitrah seksualitas. Hm, bahasan ini sudah tidak asing bagi saya. Terlebih referensi yang dipakai oleh tim pemateri pun juga diambil dari Ustadz Harry Santosa. Berasa tinggal review saja jadinya.


Tapi PR-nya adalah bagaimana agar saya ingat dengan tahapan fitrah tersebut. Terlebih dengan kesibukan publik yang saya dan suami miliki. Kekhawatiran yang ada di benak adalah, apakah saya sudah dengan anak di fase usianya saat ini? Wallahua'lam.


Di fase usia Kak A dan Adik Z saat ini, mereka sedang dalam tahapan untuk dekat dengan ayah dan bundanya. Kak A tinggal 1 tahun lagi untuk lebih didekatkan pada papinya ketimbang pada saya. Sejujurnya saya paham konsep ini sejak dulu. Hanya saja, ya begitulah porsi waktu saya dan suami sepertinya memang tidak sebanyak porsi publik kami.


Tak apa, bismillah saja. Meskipun kualitas tak akan tercipta tanpa kuantitas, saya kembali diremider untuk memaksimalkan kuantitas yang ada saat ini. Semoga kuantitas yang secuil ini bisa menjadi ajang berkualitas untuk main bareng, ngobrol bareng, beraktivitas bareng demi menumbuh fitrah-fitrahnya. Tidak hanya fitrah seksualitas saja, tapi semua aspek fitrahnya. Aamiin...



#harike6

#tantangan15hari

#zona7pendidikanseksualitas

#kelasbundasayang

#institutibuprofesional

Saturday, 13 March 2021

Cegah Kekerasan Seksualitas dengan Pendidikan Seksualitas Sejak Dini (Tantangan Bunda Sayang Pendidikan Seksualitas)

06:10 0 Comments



Bismillah, materi kedua tentang pengenalan pendidikan seksualitas sejak dini. Sejak awal presentasi, tim sudah memaparkan tentang pentingnya poin ini karena di luar sana banyak terjadi kekerasan seksualitas pada anak kecil yang penyebabnya karena si anak tidak dipahamkan tentang pendidikan seksualitas terlebih dahulu.


Saya langsung teringat pada kejadian beberapa tahun lalu, saat masih belum punya anak. Sebut saja ada dua orang yang bertetangga bernama N dan Y, dengan anak perempuan mereka bernama D berusia 5 tahun dan I berumur 3 tahun. Karena usianya sepantaran, kedua anak ini selalu main bersama, bahkan kadang pun sampai berjam-jam main di rumahnya.


Suatu ketika saya bertanya pada Ibu Y, "Lho tumben I main sendiri, ga sama D" Barulah ibu Y bercerita. Dia memang melarang anaknya untuk main lain dengan D, pasalnya ada kejadian tak menyenangkan yang dialami I. Suatu ketika I main ke rumah sampai beberapa waktu. Lalu, I pun merasa ingin pipis. Karena D lebih besar dari I, maka dia pun mengantar I ke kamar mandi, membantu melepas celana, dan membantu menceboki. Sampai di sini sepertinya masih 'dimaklumi' kan. 


Sayangnya di sore harinya ketika I sudah pulang ke rumah, dia mengeluh area genitalnya sakit. Barulah Ibu Y ini 'menginterogasi' anaknya kenapa kok bisa sakit dan seterusnya. Hingga akhirnya Ibu Y tahu kejadian diantar pipis tadi. Usut punya usul ternyata saat menceboki itu D melakukannya dengan agak keras sehingga membuat I kesakitan. Ibu Y sempat panik, khawatir kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.


Waktu mendengar cerita itu, saya merinding juga. Di sini saya melihat dari sudut pandang orang netral ya. Di satu pihak, Mama N dan anaknya D tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Ketika I kebelet pipis dan sedang berada di rumahnya, wajar kan kalau dipersilakan buang air kecil sekalian saja. Di pihak lain dengan usia I yang baru tiga tahun, wajar juga kalau proses ini pun dia 'dibantu', meski harusnya bukan anak usia lima tahun juga yang membantunya.


Di sisi lain, saya setuju sekali kalau kejadian ini bisa dihindari jika anak diberi pendidikan seksualitas sejak dini. Dari sudut pandang Ibu Y, sebenarnya bisa saja dengan mensounding anak sejak kecil tentang bagian tubuh mana-mana saja yang boleh disentuh. Pun tentang kemungkinan kejadiana bagaimana kalau terasa ingin kencing padahal tidak sedang di rumah.


Well, dari pengalaman ini saya belajar cukup banyak. Semoga tidak ada lagi kasus seksualitas yang tidak diinginkan hanya karena terlambat memberikan pendidikan seksualitas sejak dini. Aamiin


#harike5

#tantangan15hari

#zona7pendidikanseksualitas

#kelasbundasayang

#intitutibuprofesional

Friday, 12 March 2021

Paham Gender: Aku Laki-laki (Tantangan Bunda Sayang Zona Pendidikan Seksualitas)

22:06 0 Comments


Bismillah, di FB grup Pantai Bentang Petualang sudah mulai jadwal presentasi topik. Syukurlah, tim Solo tidak terpilih. Eh gimana? Haha… Ya begitulah, saya bersyukur cukup jadi pemirsanya saja, lha wong ini aja juga telat nyimaknya haha.


Di topik pertama ini yang diangkat adalah tentang perbedaan gender. Yup, intinya bagaimana anak paham tentang gendernya, apakah dia laki-laki atau perempuan. Alhamdulillah, Kak A sudah paham tentang itu. Dia tak jarang berkata, “Aku kan laki-laki.”


Yang masih menjadi PR adalah Adik Z. Usianya memang baru dua tahun sih, dan dari pemaparan tim kemarin memang anak paham gender di usia mulai dua hingga empat tahun. Apakah Adik Z bingung gender? Oh, bukan begitu. Dia tahu kok dia laki-laki, Cuma mungkin karena kedekatan dengan figur perempuan saja makanya dia melihat bahwa dia mengambil peran perempuan.


Maksudnya? Haha, agak belibet ya. Jadi, Adik Z itu suka sekali dengan hewan. Kebetulan, di rumah ada boneka sisa maminya. Hahaha, iya boneka sejak zaman saya masih kecil masih ada. Salah satu favorit Adik Z adalah boneka beruang, hampir setiap saat bonek itu dia gendong. Nah, karena Adik Z sering menggendong beruang itulah dia menyebut dirinya ‘Mama Beruang’. Pernah saya mencoba meluruskan, “Papa Beruang”, tapi Adik Z menolak. Katanya, yang gendong kan Mama bukan Papa.


Oke, ini sih sepertinya bukan bingung gender ya, lebih ke kurang pengenalan aktivitas saja sepertinya. Tapi ngomong-ngomong tentang kurangnya pengenalan aktivitas, saya jadi teringat dengan kisah Irfan Hakim. Dulu banget waktu di acara Hafidz Indonesia, Irfan Hakim pernah cerita. Suatu kali dia baru di rumah dan sudah memasuki jam sholat. Dia pun mengajak sekeluarganya untuk sholat berjamaah. Fyi, Irfan Hakim punya beberapa orang anak dan yang paling kecil laki-laki.


Apa yang terjadi? Di saat akan sholat itu, si bungsu meraih mukena seperti kakak-kakaknya. Melihat itu Irfan Hakim menangis. Mungkin bagi sebagaian orang hal itu akan dianggap lucu, tapi tidak bagi Irfan Hakim. Dia menganggap bahwa dirinya kurang mengenalkan sosok laki-laki yang sholat dengan memakai sarung dan bukan dengan mukena layaknya kakak-kakaknya.


Yup, dari situ saya makin setuju dengan pemaparan tim bahwa pengenalan gender itu memang bisa dimulai dengan pencontohan dari orang tuanya. Ayah dan bundanya lah yang memberikan makna tegas bahwa saya laki-laki atau saya perempuan. Bismillah


#harike4

#tantangan15hari

#bundasayang

#zonapendidikanseksualitas

#institutibuprofesional



Sunday, 7 March 2021

Cwk Atau Cwk (Tantangan Zona Pendidikan Seksualitas)

06:26 0 Comments



Alhamdulillah, tugas kelompok zona bunsay sudah disetorkan. Ohiya, kami mendapat tema tentang Penyimpangan Seksual, Pencegahan, dan Solusi. Tema yang agak-agak gimana gitu buat saya pribadi, hihi. Tapi Alhamdulillah bisa selesai juga berkat orang-orang hebat di tim.


Kemarin saat diskusi final ada bahasan menarik yang diangkat. Seorang teman psikolog bercerita bahwa dia memiliki seorang teman wanita yang postur tubuhnya dari sananya seperti laki-laki. Hingga orang akan mengira bahwa dia laki-laki. Pun sampai sekarang, dia akan terlihat layaknya laki-laki.


Saya cukup tergelitik di sini. Statementnya adalah bahwa dasarnya Allah yang menciptkan bentuk tubuh seseorang kan. Bentuk dada yang bidang ibarat lelaki misalnya, boleh jadi akan diciptakan pada kaum wanita karena mungkin faktor genetik ayahnya berdada bidang juga. Tapi, apa iya untuk kasus begini akan berdampak ke psikologisnya sehingga nantinya berdampak pada penyimpangan seksual? Nah ini yang saya kurang paham.


Dalam benak saya, seadainya dia Muslim, tanpa melihat dia berdada bidang atau berotot kekar, kalau nurut sama perintah Allah SWT untuk menutup kepala dan menjulurkan kain ke dadanya bukankah sudah menjadi solusi? Setomboi apapun dirinya seandainya dia memakai hijab tetap akan dilihat sebagai seorang wanita kan. Ah, mungkin di sinilah maksud Allah memerintahkan kaum wanita berhijab dengan alasan agar kamu mudah dikenali. Bener banget kan kalau dengan berhijab maka kita dikenali sebagai wanita.


Poin kedua, seandainya secara fisik dia terlihat berbeda dengan jenis kelaminnya, apakah itu akan mempengaruhi pola asuh dari orang tuanya sehingga makin memantapkan perbedaan jenis kelamin itu. Misal, ketika sang mama melihat anaknya kekar, apakah dia akan berkata, "Wah Nak, ototmu kekar sekali. Yuk kita fitness dari sekarang, trus kita berburu dan ngebengkel dengan kekuatan ototmu." Kayaknya kok tidak ya.


Yang saya bayangkan, bukankah dengan sekekar apapun si anak, ketika dia kecil tetap akan dibelikan boneka dan perangkat masak-masakan. Pun seorang bayi wanita kecil, bukankah sang ibu akan tetap memakaikan baju-baju pink dan pernak-perniknya yang lucu. Sekalipun mungkin terlihat aneh dengan fisiknya yang kekar.


Dari situ saya jadi menganggap bahwa apapun bentuk ciptaan Allah, tetap saja fitrah yang baik tidak akan menyimpang. PR-nya adalah bagaimana tetap menjadi sesuai fitrahnya, sehingga dia tetap berlaku sesuai kodratnya dan tak perlu ada kasus penyimpangan seksual, Wallahua'lam


#harike3

#tantangan15hari

#zonapendidikanseksualitas

#pantaibentangpetualang

#kelasbundasayang

#institutibuprofesional