Malam lebaran, bulan di atas kuburan.
Wednesday, 31 August 2011
Malam lebaran, bulan di atas kuburan.
Sunday, 28 August 2011
Tapi, yang saya maksudkan tidaklah demikian. Ketiga rangkaian kata itu memiliki makna yang patut kita pahami. Agar kata-kata itu menjadi kebiasaan setiap hari. Kata apakah gerangan yang saya maksud? Kata ‘maaf’, ‘tolong’, dan ‘terima kasih’.
Maaf, sebuah kata yang sepertinya mudah saja untuk diucapkan. Tapi nyatanya, tidak semua bibir ini mampu untuk melafalkan. Apalagi diiringi dengan hati yang diliputi ketulusan.
Ya, kata maaf ini sangat penting. Ketika kita memiliki salah, atau bahkan jika hanya khawatir akan berbuat salah, tak ada salahnya jika kita meminta maaf. Yup, karena manusia tak akan luput dari salah. Maka, dengan ucapan maaf kita, diharapkan kesalahan kita ini akan ditoleransi oleh orang lain yang berinteraksi dengan kita.
Sebetulnya, kata maaf pun tak hanya berlaku untuk kehidupan sesame manusia saja. Dalam hubungan vertical, kata maaf harusnya tak luput untuk selalu diungkapkan. Maaf memiliki arti mengakui kesalahan dan meminta untuk dihapus kesalahan tersebut. Dalam hubungan vertical pun, kita selayaknya juga terus sering-sering mengakui kesalahan dan mohon ampun untuk kesalahan itu. Sering-sering mengucap istigfar, sering-sering melakukan taubat. Bukankah begitu? Maka, kata maaf adalah kata penting dalam hidup kita.
Lalu, kata tolong. Kata ini juga tidak bisa diremehkan begitu saja. Ketika kita meminta bantuan orang lain, sudah selayaknya kita mengucapakan kata ini. Kalau tidak, permintaan tolong kita tak lebih seperti perinta saja. Coba bandingkan kalimat ini, “Ambilkan buku!” dengan “Tolong ambilkan buku!”. Nah, terasa beda kan.
Yup, kata tolong membuat kita lebih menghargai orang lain. Tanpa kata tolong, kita tak ubahnya orang yang berbuat semena-mena.
Nah, dalam hubungan vertical pun, kata tolong juga dianjurkan untuk diucapkan. Tolong difungsikan untuk melembutkan perintah. Ini pula yang kita lakukan ketika kita berdoa. Berdoa bukan suatu perintah pada Allah. Apa hak kita memerintah Allah. Berdoa juga bukan berarti menuntut Allah, hingga kita terkesan angkuh dan terlihat semena-mena. Berdoa adalah sebuah pengharapan. Merendahkan diri dengan berharap untuk dikabulkan. Redaksi katanya bisa bermacam-macam. Salah satunya dengan kata “hamba mohon”. Misalkan, “Ya Allah, hamba mohon beri kami makanan enak” akan lebih sopan dan tidak menuntut dibandingkan dengan “Beri kami makanan enak!”. Betul tidak?
Maka, kata tolong dalam hidup kita sama pentingnya dengan kita berdoa. Sama-sama berharap agar orang yang kita mintai tolong bersedia melakukan permohonan kita. Tentu akan lebih baik jika diucapkan dengan penuh pengharapan, penuh rasa memanusiakan. Bukan diliputi dengan rasa semena-mena dan tak mau dengan keadaan, merasa pokoknya harus dikabulkan.
Lalu yang ketiga adalah terima kasih. Kata ini tak kalah pentingnya. Ketika kita mendapatkan sesuatu, sudah selayaknya kita mengucapkan terima kasih. Ini sebagai bentuk penghargaan kita atas kebaikan orang lain. Lebih baik lagi jika teriring doa agar orang yang berbuat baik pada kita mendapatkan balasan kebaikan yang lebih berlipat ganda. Ini penting. Mengapa? Agar kita tidak dianggap sebagai orang yang tidak menghargai orang lain. Orang yang gelap mata, tak berterima kasih dengan kebaikan orang lain.
Dalam hubungan vertical, kata terima kasih juga tetap harus kita ucapkan. Wujudnya? Dengan banyak-banyak bersyukur. Terima kasih adalah ucapan untuk menghargai suatu pemberian orang lain, maka hamdalah adalah ucapan untuk menghargai segala rizqi yang telah Allah berikan.
Ya, Allah menyukai hamba-Nya yang senantiasa bertaubat, tak bosan untuk mengucap istigfar. Allah suka hamba-Nya yang senantiasa meminta, berdoa di sepanjang hidupnya. Allah pun cinta hamba-Nya yang senantiasa bersyukur. Istigfar, doa, syukur.
Maka, dalam kehidupan dengan manusia, bukan tak mungkin orang lain suka jika kita suka meminta maaf. Bukan tak mungkin orang lain suka jika kita berlemah lembut dengan mengucap kata tolong. Bukan tak mungkin orang lain juga suka jika kita banyak berterima kasih padanya. Maka, ucapkalah. Maaf, tolong terima kasih.
Friday, 26 August 2011
Setidaknya itu terbukti di keluarga saya. Bagi adik saya, sambal buatan ibu itu paling mak nyus. Bagi ibu, masakan simbah saya (ibunya ibu) tiada duanya. Bagi bapak saya, masakan simbah saya (ibunya bapak) pun tak kalah lezatnya. Sahabat sejati saya juga berkomentar begitu. Walaupun ibunya jarang masak, tapi begitu masak justru lebih enak daripada masakan pembantunya.
Hm, begitu jugakah dengan Anda?
Yup, waktu itu saya, adik, dan ibu sedang buka puasa bersama di rumah. Seperti biasa, kami bercanda, ngobrol ke sana ke mari. Waktu itu kami sedang mengomentari status facebook ibu yang menceritakan tentang pujian adik saya pada kehebatan sambal buatan ibu.
Kata teman-teman yang mengomentari status ibu, itu karena sang anak sudah bisa bersopan-santun. Memuji masakan ibunya semata karena sopan-santun. Tapi ada juga yang berkomentar, masakan ibu lebih lezat karena diramu dengan rasa sayang pada keluarganya.
Lalu, saya nyeletuk, “Bagi anak, masakan ibunya itu paling enak. Tapi seenak apapun, masakan itu akan dinilai tidak enak oleh ibu mertuanya. Iya atau nggak?”
Hm, hampir bisa dikatakan ya.
Contohnya ibu saya. Dulu waktu awal menikah, ibu saya pernah memasak sesuatu di rumah simbah saya (ibunya bapak). Begitu masakan selesai, simbah berkomentar, “Kok bagian ini dibuang? Padahal bapak (bapak saya) sukanya justru bagian itu.” Wah, ibu tidak tahu. Sejak saat itu ibu tidak pernah lagi masak di rumah simbah saya. Hehe…
Begitu pula dengan nasib pembantu saya. Mbak Yatmi namanya. Bagi saya dan adik saya, masakan mbak Yatmi itu udah sangat enak. Dia kreatif memasak bahan-bahan makanan tertentu menjadi masakan baru. Tapi, meski sudah selezat itupun, setelah menikah tetap saja tak luput dari kritikan ibu mertuanya. Waktu itu ibu mertuanya berkomentar, “Ini masakahnya udah bau”. Padahal beberapa menit yang lalu bapak mertuanya masih menyantap masakan itu dengan lahapnya. Hm…
Yup, mungkin memang begitu adanya. Masakan ibu tetap paling istimewa. Tapi masakan menantu selalu kurang di mata mertua. Mengapa bisa begitu?
Mungkin benar, masakan ibu terasa lebih lezat karena ada bumbu kasih sayang yang diramu dalam masakannya. Contoh kasusnya ibu saya. Sebelum masak dan setiap memasukkan bahan masakan, beliau selalu mengucap bismillah. Tujuannya agar masakannya lebih enak. Nyatanya memang lebih enak. Barangkali karena rasa sayang pada keluarga itulah yang membuat sang ibu mengupayakan untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya.
Tapi, mengapa ini tak berlaku antara menantu dan mertua? Apakah sang menantu tidak meramu masakan dengan kasih sayang pula jika akan disajikan pada mertua? Hm…, tidak begitu sepertinya. Menurut saya, ini lebih karena ego.
Sejak kecil, bagi si anak, masakan ibunya lah yang paling enak. Setiap hari dia memakan masakan ibunya. Tapi begitu menikah, masakan istrinya lah yang dimakan. Bisa jadi ini yang menyebabkan iri. Ketika anaknya akan lebih terbiasa dengan masakan istrinya daripada ibunya.
Di lain sisi, bisa juga karena perbedaan cara memasak itu sendiri. Karena ibu mertua juga memasak sejak dulu, pastinya beliau memiliki aturan pakem untuk bumbu-bumbu tertentu. Mulai dari kadarnya, cara memasaknya, dan lain sebagainya. Begitu ada orang baru, alias istri anaknya, belum tentu kadar bumbu dan cara masaknya sama. Tentu rasa pun akan berubah. Bisa jadi, inilah yang dicela. Karena bagi beliau, tidak ‘biasa’ dengan masakan yang beliau makan sehari-hari.
Okelah, tak perlu dipermasalahkan. Yang lebih penting, bagaimanakah solusinya?
Belajar masak tetap yang utama. Kalau perlu, belajar masak dengan ibu mertua. Biar tahu, bagaimana kebiasaan ibu mertua. Biar bisa belajar bagaimana selera ibu mertua dan anaknya. Bukankah anaknya pasti juga tetap merasakan masakan ibunya lebih lezat. Kalau bisa menyerupai masakan ibunya, paling tidak masakan kita pun akan mendekati kadar lezat menurut lidah anaknya.
Sepertinya, memang itu solusi terbaik. Bukan seperti solusi yang diberikan adik saya.
Waktu ngobrol itu, saya menggoda adik saya, “Berarti masakan istrimu ntar bakal dikritik sama ibu.”
Dengan enteng adik saya menjawab, “Ga bakal tak suruh masak,” adik pun melanjutan, “Tak bilangin, kalau masak jangan sampai ketahuan ibu.”
Hm, masa begitu solusinya?
Wednesday, 24 August 2011
Apa definisi orang aneh menurut Anda? Apakah orang yang memakai baju serba luar biasa, jauh dari kebiasaan umumnya? Atau orang yang memiliki sifat yang tak umum juga bagi kalangannya? Atau definisi yang lain?
Saya sendiri pernah ‘mengatai’ teman saya aneh. Saya punya seorang kenalan. Waktu itu kami saling ngobrol. Ketika ngobrol topik A, saya berusaha menimpali. Tapi begitu saya baru ngobrol panjang lebar tentang A, dia tiba-tiba menyela tentang Z. Belum saya menanggapi tentang Z, dia sudah balik lagi tentang B. Benar-benar bingung saya dibuatnya. Dan saya pun angkat tangan, menyerah untuk berteman dengannya. Saya mencapnya aneh.
Lain waktu, ada sahabat saya yang juga begitu. Bagi orang lain, dia itu juga sering dicap aneh. Mulai dari gaya bahasanya, sifatnya, kegemarannya, pokoknya aneh. Misalkan ketika dia berbicara, orang lain tak bisa menangkap. Kebanyakan orang menganggapnya aneh. Persis seperti yang terjadi pada kasus saya dengan kenalan saya itu. Tapi anehnya, saya merasa cocok-cocok saja dengan sahabat saya yang sering dianggap aneh itu. Meski bahasanya aneh, tidak tahu mengapa saya bisa mengetahui maknanya. Dan bagi saya, sahabat saya itu tidak aneh.
Nah, kalo begitu apa definisi orang aneh?
Sebernanya definisi orang aneh ini sangat subjektif sekali. Buktinya sahabat saya yang aneh tetap tidak saya anggap aneh. Kenalan saya yang bagi saya aneh juga tetap bisa enjoy dengan sahabat-sahabat terdekatnya. Dalam hati saya bertanya-tanya, bagaimana ya kok mereka bisa memahaminya? Sebaliknya, orang lain juga bertanya. Bagaimana saya kok bisa memahami sahabat saya?
Yah, perkaranya adalah memahami. Mau tidak kita memahami orang lain. Kalau saja saya memahami topik pembicaraan kenalan saya yang loncat-loncat tadi, saya pasti tak menganggapnya aneh. Begitu juga dengan sahabat saya. Karena saya bisa memahami gaya bahasa sahabat saya, saya pun tidak menganggapnya aneh.
Masalahnya, memahami orang lain masih sering menjadi hal sulit. Orang cenderung menuntut dipahami daripada mencoba untuk memahami. Contohnya banyak. Misal kita ada masalah dengan orang lain, kebanyakan orang berkata, “Aku sudah memahami posisinya, tapi dia tidak mau memahami posisiku” demikian juga sebaliknya. Atau jika para pemuda ditanya tentang pasangan idamannya. Mungkin salah satunya adalah yang mau memahami dirinya. Nah lo…
Padahal ini hukum aksi reaksi. Pada dasarnya setiap orang itu berbeda. Saya dan sahabat saya berbeda. Saya dengan kenalan saya pun berbeda. Tetapi ketika ada saling memahami, maka bukan hal yang mustahil untuk mengukir persahabatan itu.
Sahabat saya dengan gaya bahasanya yang rumit, sedangkan saya dengan gaya bahasa lebih sederhana. Ternyata bisa nyambung juga. Saya anggap saja mendapat materi baru dari obrolannya yang setinggi langit itu. Di lain sisi, dia belajar pola pikir saya yang melihat sesuatu dengan cara sederhana. Saya memahami gaya bahasanya. Dia memahami gaya bahasa saya. Maka, berlanjutlah obrolan kami.
Sebaliknya, kasus saya dengan kenalan saya. Saya cenderung membahas sesuatu dengan mendetail, tapi kenalan saya hanya sekedar singkat-singkat saja. Asal tahu jawabannya, ya sudah. Kami tidak nyambung. Karena ketika saya masih mau menjelaskan, dia sudah ganti topik. Hasrat saya untuk menjelaskan pun kandas. Lama-lama saya jengkel juga. Sebaliknya, ketika saya mencoba sedikit menjelaskan, teman saya juga merasa jengkel. Baginya, ngapain sih dijelasin panjang lebar, yang penting udah tau apa jawabanya. Nah kan, saya tidak bisa memahaminya, tidak bisa menuruti keinginannya. Sebaliknya dia pun juga begitu. Tak bisa mengerti saya, dan lebih memilih untuk tidak melanjutkan ngobrol saja.
Yup, memang itulah kuncinya. Saling memahami. Ketika ada sikap saling memahami, meski orang lain tak bisa mengerti, obrolan kami tetap saja mengalir. Ketika kita mencoba memahami orang lain, pasti akan ada sikap memahami dari orang lain.
So, ayo saling memahami. Pahami orang lain, maka orang lain akan memahamimu. Dan tak perlu ada lagi kamus orang aneh dalam hidupmu.
Tuesday, 23 August 2011
Ibu itu menegur laki-laki yang ada di sampingnya, “Baca, Mas?”, kata ibu itu sambil menyodorkan salah satu koran yang sudah beliau baca.
Laki-laki itu menggeleng dan kembali meneruskan keasyikannya bermain ponsel.
Lalu, ibu itu menoleh kepada wanita di sampingnya, “Baca, Mbak?” kata ibu sambil menyodorkan koran yang sama.
Wanita itu meraih koran tersebut dan mulai membaca. Ibu itu pun kembali melanjutkan membaca koran yang lainnya. Mereka berdua asyik membaca. Sampai-sampai sang ibu tidak sadar kalau nomor antriannya sudah dipanggil. Terpaksa beliau menunggu nomor selanjutnya untuk selesai transaksi terlebih dahulu.
Hm, ada yang menarik dari peristiwa itu. Pertama, ketika laki-laki menolak membaca dan lebih memilih bermain dengan hapenya. Dan yang kedua, ketika ibu asyik membaca sampai tak sadar dengan keadaan sekitar.
Yup, harus kita akui, aktivitas membaca memang belum menjadi budaya kita. Lihat saja di ruang tunggu tadi. Mayoritas orang lebih suka menghabiskan waktu dengan gadget yang mereka miliki. Bahkan ketika bacaan disodorkan pada mereka pun, belum tentu mereka menyambut dengan suka cita. Rasanya, kecanggihan gadget lebih membius dibandingkan buku atau bacaan lainnya.
Di lain sisi, ada orang-orang yang begitu cinta dengan membaca. Setiap hari ada saja bahan bacaan yang dia punya. Mulai dari buku, koran, majalah, bahkan bungkus makanan pun bisa jadi tak luput dia baca. Rasanya, membaca sudah menjadi kebutuhan pokoknya sehari-hari. Di kendaraan umum membaca, menunggu antrian membaca, di halte membaca, bahkan di kamar mandi pun membaca.
Yup, bagaikan bumi dan langit saja. Yang satu predator buku, yang satu lagi alergi buku. Hm, kenapa bisa begitu ya? Sepertinya kembali lagi ke faktor budaya. Budaya baca belum begitu kentara di masyarakay kita. Lalu? Tak perlulah kita mempermasalahkan mengapa, tapi lihatlah diri kita sendiri. Sudahkah kita menjadi pecinta baca? Sudahkan budaya baca itu menjadi budaya kita?
Kalau sudah, alhamudlillah. Kalau belum, tak ada salahnya kita mulai sekarang. Cuma masalahnya, tak semua orang mudah untuk membaca. Saya sendiri menyadarinya. Kalau sudah membaca sambil tiduran, tapi lebih sering tidurnya daripada bacanya. So, bagaimana cara agar kita punya kebiasaan membaca? Tanpa rasa bosan, tanpa membuang-buang waktu yang ada.
Pertama, cari genre bacaan yang kita suka. Ini penting untuk membiasakan kita tahan saat membaca. Saya mengalaminya sendiri. Ketika membaca novel petualangan, mau sampai selarut apapun, mata ini tetap bisa bertahan. Hati tetap saja tergerak untuk membuka halaman selanjutnya. Tapi ketika saya harus membaca novel yang temanya kurang saya suka, baru satu-dua halaman saja, saya sudah terlelap dengan suksesnya.
Begitu juga ketika membaca buku untuk bahan kuliah. Ketika topiknya saya suka, saya bisa betah membaca sampai usai, menandai di sana sini, merangkum ini itu. Tapi begitu topiknya bikin jengkel di hati, mau seistimewa apapun waktu yang kita sediakan, tak akan betah dan tak masuk juga ilmunya.
So, mulailah untuk menyenangi bacaan kita. Yup, memang faktor suka itu relatif. Mau dibuat seperti apapun, kalau dasarnya tidak suka bisa jadi tetap tidak suka. Ujung-ujungnya tak terbaca juga topik itu. Ooo, bukan begitu kawan. Meski kita tak suka, kita bisa saja tetap membacanya. Caranya?
Tingkatkan rasa ingin tahu. Ketika kita punya rasa ingin tahu terhadap sesuatu, kita akan mencarinya, membacanya tanpa jemu. Saya akui, saya kurang tertarik dengan bahasan politik atau ekonomi. Tapi pernah saya terbersit rasa ingin tahu. Ujung-ujungnya dalam waktu tertentu, saya pun tahan juga membaca topik itu.
So, kembangkan rasa ingin tahu. Kalau tak muncul juga? Cari teman atau media yang bisa membangkitkan rasa ingin tahumu. Misalkan kita tak suka topik korupsi. Ketika ada teman kita yang mengungkit-ungkit tentang korupsi, lama-lama kita pun akan ingin tahu tentang korupsi itu sendiri. Kalau rasa ingin tahu sudah muncul, bukan tak mungkin kita akan tergila-gila mencari bacaan tentang korupsi.
Nah, begitu kawan. Tak ada lagi alasan untuk tak suka membaca. Tak ada lagi alasan tak tahan untuk membaca. Carilah kawan atau media, kembangkan rasa ingin tahu, dan senangi bacaanmu. Insya Allah kau akan benar-benar menjadi predator buku.
PS: Special untuk temanku yang request tentang car abaca buku, sekaligus mengingatkan diriku sendiri agar tak ketiduran kalau membaca buku.
Monday, 22 August 2011
Seperti biasanya, awal masuk kuliah selalu membawa cerita baru. Mulai dari kangen-kangenan dengan teman, berusaha memompa semangat belajar yang terpendam selama liburan, sampai ngincar-ngincar adik tingkat yang baru saja masuk. Haha, aktivitas ketiga ini merupakan kegemaran saya dan teman saya. Ups, jangan salah. Mengincar di sini bukan berarti mau diapa-apakan lho. Cuma mau dipakai buat belajar saja. Belajar apa???
Belajar untuk bersemangat.
Yup, kita tahu mahasiswa baru memang identik dengan semangat yang meletup-letup. Apalagi ini di FK, bos. Terlihat jelas di wajah mereka rasa senang atau bangga. Wajah-wajah itu lah yang saya cari.
Ceritanya, selepas dhuhur tadi, seperti biasa saya iseng nyeletuk dengan teman saya, “Mana nih anak 2011?”. Teman saya pun menimpali, “Kayaknya ini deh, wajah-wajah yang masih bersinar bahagia.” Saya pun melanjutkan, “nah, kalo ini sih anak 2008. Wajah-wajah tua. Wajah suram yang hopeless ngurus skripsi”. Hehe…
Mahasiswa baru semangat baru, mahasiswa lama semangat lama. Begitu kah? Semoga saja tidak. Karena yang namanya semangat, bagaimanapun harus tetap diperbaharui. Tak ada salahnya mahasiswa lama memiliki semangat baru. Nah, inilah yang saya pelajari dari wajah-wajah mahasiswa baru 2011.
Ketika melihat wajah mereka yang masih bersinar, penuh harapan, dan idealisme, saya merasa ikut tertular semangat mereka. Sikap mereka yang begitu bersemangat secara langsung memberikan warna bagi mahasiswa lama. Mau tak mau kampus yang suram pun ikut lebih berwarna, dan bukan tak mungkin mahasiswa lama akan ikut terwanai pula. Contohnya diri saya sendiri. Saya akui, saya sangat merasa terwarnai dengan kehadiran mereka.
Selain itu, secara tidak langsung wajah-wajah penuh semangat itu mengingatkan kami pada awal masuk dulu. Ketika kami juga berjuang untuk bisa diterima kuliah, kemudian bahagia memulai kuliah untuk pertama kalinya. Setidaknya ini menyadarkan kami yang sudah tergerus rutinitas dan mengikis rasa juang yang meletup-letup itu untuk kembali bangkit dan bersemangat. Kembali mengejar idealisme masing-masing ketika menginjakkan kaki pertama kali di kampus.
Pentingkah itu?
Bagi saya, itu sangat penting. Mengapa? Karena semakin lama berada di kampus, berbaur dengan sistem yang ada, tak jarang banyak idealisme yang berubah. Banyak keinginan masa-masa awal yang terlalu banyak tertoleransi mengingat rutinitas yang padat. Misalkan, di awal begitu banyak orang menginginkan jadi mahasiswa berprestasi, tapi lama-lama keinginan itu terkikis. Banyak yang berkhayal kelak menjadi dokter ini, dokter itu, dokter yang begini, dokter yang begitu, tapi makin lama makin berubah juga.
Nah, dengan belajar dari mereka, setidaknya kita disadarkan untuk mengingat kembali mimpi kita masing-masing. Secara kasarnya begini, “Lihatlah, wajahnya bersinar dengan segudang mimpi yang akan dicapai di kampus ini.” Lalu, tanyakan pada diri sendiri, “Bukankah dirimu dulu juga berwajah begitu? Penuh suka cita berjuang meraih mimpi? Apakah mimpi itu sekarang masih ada?”
Nah, dengan begitu mau tak mau kita akan kembali mengorek mimpi kita. Kembali mengatur rencana untuk mewujudkan mimpi kita. Kembali mengawali tahun ajaran baru dengan semangat yang tak kalah baru.
Bukankah itu mengasyikkan? Menjadi mahasiswa lama, tapi semangat baru. Itukah kamu?