Follow Us @soratemplates

Saturday, 26 October 2013

Empati

23:00 0 Comments

Kemarin saat sedang jaga, seorang residen menunjukkan handphonenya kepada saya dan teman saya, “Baca SMS ini dek”. Kurang lebih isi SMS-nya begini, “Dok, saya A, anak dari Bapak B. Bapak sudah meninggal dok, setelah dirawat dokter sejak 1,5 bulan yang lalu”. Tak berapa lama kemudian ada SMS masuk lagi, “Sebelum meninggal bapak berpesan untuk mengucapkan terima kasih banyak pada dokter.”

Bermula dari SMS itulah, residen itupun bertukar kisah dan memberikan petuah.

“Dulu saya punya pasien dek. Dia banting tulang untuk membiayai tiga adiknya. Sayangnya setelah menikah, adik kedua dan ketiga tidak peduli lagi padanya. Selama dirawat di RS, dia sendirian. Barulah selang beberapa lama dia dirawat adik keempat yang kerja di Jakarta. Bahkan karena hanya ada adik keempat ini yang bisa menjaga pasien, dia sampai-sampai diancam PHK.”

Lalu residen itu bercerita lagi, “Kamu tahu dek pasien yang kemarin kita periksa, dia juga kasihan sekali. Suaminya bercerita kalau dia sudah tidak punya apa-apa lagi karena uangnya habis untuk berobat ini itu. Bahkan suaminya itu ga pernah makan sehari-hari karena tidak ada uang. Kami (residen) yang biasanya sukarela membelikan nasi bungkus setiap pagi, setidaknya biar suaminya bisa makan.”

Lantas residen itu pun berkata, “Jadi dokter harus memiliki empati dek. Kenali pasien dan keluarganya. Sekedar empati saja, tidak perlu sampai simpati. Kamu tahu rahasia suksesnya dr.A? Dia menyediakan satu no HP yang siap sedia dihubungi oleh pasien dan keluarganya. Kamu tahu kenapa dr.B pasiennya banyak? Dia kenal dan hafal dengan keluarga pasien dan tidak segan menyapa dan menanyakan keadannya. Empati dek, salah satu kunci sukses seorang dokter.”

Ya, saya mengakuinya. Saya kenal dr.A, bahkan nenek saya menjadi pasien dokter itu. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana cara dr.A memperlakukan pasiennya. Nenek saya yang sudah sepuh dan cenderung ‘rewel’ gonta-ganti dokter, nyatanya luluh dan cocok karena perlakuan dr.A yang menunjukkan empatinya. Sebagai pasien (dalam hal ini keluarga pasien), saya pun mengakui bahwa saya suka jika diberi empati oleh sang dokter.

Dari sisi koas, saya pun mengakuinya. Pernah suatu ketika saya mendapati mbak-mbak muda yang terkena HIV. Barangkali karena dia masih seumuran atau malah lebih muda dari saya lantas dia enjoy bercerita selagi saya mengecek tensi dan lain sebagainya. Dari situlah muncul rasa empati, hingga akhirnya saya pindah stase dan kebetulan mengunjungi bangsal kamar itu, pasien itu menyapa saya, “Mbak, kok ga pernah meriksa saya lagi? Saya udah ga demam lho, mbak.”

Asli, saat itu saya melongo. Maklum, itu awal sekali saya masuk koas dan mungkin pertama kalinya saya ‘dekat’ dengan pasien dan keluarganya. Dan rasanya ternyata menyenangkan. Beberapa teman dekat saya yang kadang saling bertukar cerita tentang pasien pun juga mengakui bahwa empati itu menyenangkan.

Ya, empati, bagaimana kita bisa mendalami perasaan orang lain tanpa kita perlu terlarut di dalamnya. Seorang dokter jelas harus memiliki empati karena setiap keluhan pasien adalah apa yang dirasakan pasien. Belum tentu dokter merasakan nyeri kepala seperti pasien. Belum tentu dokter terkendala dana seperti keluarga pasien. Jika dokter tidak memiliki empati, dia hanya akan berpikir ‘ah, yang penting aku udah ngasih obat, terserah kamu mau bayar gimana, terserah nanti keluhanmu berkurang atau tidak’. Hm, tentu berbeda dengan dokter yang memiliki empati, yang mencoba melihat akar permasalahan dari sudut pandang orang lain terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa menentukan sikap yang tepat.

Memang empati itu gampang-gampang susah dan itulah mengapa ada orang yang sukses karena memiliki modal lebih berupa empati. Tapi sekalipun susah, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Bahkan empati bukan masalah sekedar bisa atau tidak bisa, melainkan harus bisa. Mengapa? Karena dokter berhadapan dengan pasien yang seorang manusia dengan perasaan pula, bukan sekedar robot yang bisa diberi perlakuan sekenanya saja.



Monday, 7 October 2013

Pato

09:52 0 Comments
Ada sebuah istilah di dunia perkoasan yang sudah tidak asing lagi. Istilah yang saya maksud adalah pato, atau kepanjangannya adalah patologis (berpenyakit). Seorang teman yang saat itu masih polos berkata, "Aku mau belajar, aku takut dicap pato". Oh, tidak. Pato bukanlah seorang koas yang bodoh tidak tau apa-apa, tetapi pato adalah orang yang menyebalkan dan merugikan orang lain.

Kalau dilihat dari definisi di atas, pato itu tidak ada standar khusus. Orang bisa sebal pada siapa saja, orang juga bisa saja merasa dirugikan oleh siapa saja. Cuma, teman saya pernah berkata, "Kalau yang itu namanya pato relatif. Meskipun tidak ada standarnya, jika semua orang mengatakan orang itu pato, berarti dia memang sudah pato universal". Beberapa kriteria pato yang diakui secara banyak orang pula adalah ketika orang itu seenaknya sendiri dan merugikan orang lain.

Sebagai sesama koas, orang punya tanggung jawab yang sama, tugas yang sama, dan tuntutan yang sama. Artinya, ketika lelah, seorang koas akan merasakan lelah yang sama. Jika dalam kondisi lelah itu ternyata ada koas yang tidak mau lelah (dalam hal ini seenaknya sendiri) lantas berakibat merugikan orang lain, di sinilah kepatoan itu muncul.

Sebagai koas yang pato, kemungkinan besar dia tidak menyadari. Lha wong dia itu berpenyakit, wong dia mau enak sendiri, mana mau dia peduli sedang merugikan orang lain atau tidak. Yang penting dia bisa istirahat, yang penting dia tidak repot, atau yang penting nilainya paling bagus. Menyebalkan? Iya. Tapi, mau apa?

Kata seorang residen, "Kalau kamu punya teman pato dan kamu marah, kamu rugi tiga hal. Yang pertama, kamu tambah capek karena marah. Kedua, orang pato itu punya temen banyak. Yang ketiga, pekerjaan tetap ga selesai".

Sebenarnya jika kita berada di pihak yang bukan pato, semua tergantung pada diri kita sendiri. Apakah kita mau sebal dan apakah kita mau dirugikan atau dianggap dirugikan oleh orang lain. Bisa jadi kita mencoba ikhlas yang akhirnya kita tidak punya penyakit hati untuk uring-uringan dengan teman kita sendiri. Bisa juga karena kita ikhlas lantas kita tak masalah dan tetap bahagia ketika akhirnya mengerjakan tanggung jawab itu sendiri. Prinsipnya ikhlas, maka tak akan ada kerugian yang merasa kita alami.

Cuma, sampai kapan? Bagi yang nonpato, jelas ikhlas sampai mati. Bagi yang pato? Hm, kembali ke masalah sebelumnya, karena orang itu pato maka ia tak sadar bahwa dia sudah pato dan merugikan orang lain. Bahkan saya sendiri pun tidak tahu apakah saya ini juga pato atau tidak.

So? Tak peduli predikat apa yang kita miliki, maukah seandainya semua orang melihat semua sisi? 

Bagaimana jika semua orang belajar ikhlas dengan tanggung jawab dan tuntutannya? Artinya tidak akan ada orang yang seenaknya sendiri karena dia ikhlas ketika tau bahwa tugas koas memang demikian adanya. Dengan tau porsi masing-masing, maka tak akan ada yang benar-benar terdzalimi atau merasa didzalimi.

Bagaimana juga seandainya semua orang mau saling membantu dan tidak merugikan orang lain? Bukankah orang yang baik adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain? Bukankah sebaik-baik orang adalah yang tidak mendapat kejelekan dari diri kita? Betapa bahayanya jika ternyata kita menyakiti hati orang lain tanpa kita sadari. Sudah kita tak sadar, tak tahu jika seharusnya perlu minta maaf, dan ujung-ujungnya terakumulasi hingga ke akhirat nanti. Kenikmatan diri sendiri yang sudah diperjuangkan di dunia ujung-ujungnya tersedot juga karena perbuatan dzalim yang tak sudi dimaafkan.

Andai semua orang belajar ikhlas dan mau saling memberi manfaat, alangkah indah kehidupan koas pada khususnya dan kehidupan umat manusia pada umumnya. Barangkali...





Monday, 23 September 2013

Wanita

22:20 0 Comments
Majunya suatu bangsa tergantung wanita. Utuhnya rumah tangga tergantung wanita. Hebatnya seorang anak tergantung wanita. Wanita, demikian besarkah perannya?

Dulu saya sempat menuliskan sedikit tentang kehebatan cinta wanita di artikel Cinta Segunung dan Seujung Kuku. Di artikel itu saya menunjukkan bahwa cinta wanita begitu tegar dan tak peduli bagaimana cinta pria yang mungkin bisa hilang. Saya mengagungkan kehebatan wanita yang kukuh menjaga keutuhan rumah tangga di situ. Tapi kini sebaliknya.

Sebuah bangsa akan hancur karena wanita. Rumah tangga akan bubar karena wanita. Seorang anak akan bobrok karena wanita. Jika wanita bisa memberi dampak besar pada kebaikan, bukankah berarti dia akan memberi dampak besar pula pada kehancuran?

Kalau dipikir-pikir seharusnya tidak semenakutkan itu dampaknya. Bukankah wanita ada di bawah 'wewenang' pria dalam hal ini suaminya? Maka, di sinilah masalahnya.

Wanita memang terkesan hebat karena dia terlihat tegar menjawab permasalahan keluarga. Tapi wanita terkadang lupa dan sok hebat sehingga lalai pada kodratnya. Ketika ia merasa mampu menyelesaikan masalah sendiri lantas ia meremehkan suami. Ia lupa bahwa ia hanyalah pendamping keluarga, bukan pemimpin keluarga.

Oke, ini era kesetaraan gender, silakan protes dengan gugatan sudah selayaknya wanita juga turut tampil menjadi problem solver. Tapi lagi-lagi seorang wanita tak boleh lupa dengan kodratnya. Segala kerusakan terjadi karena manusia lalai, termasuk juga seorang wanita. Sekeren-kerennya wanita, dia hanyalah satu tulang rusuk bengkok. Yang namanya bengkok jelas banyak luputnya. Pun sebatas satu ruas tulang rusuk jelas tak ada apa-apanya dibanding raga lainnya.

Maka, jangan takabur ketika seorang wanita justru terlihat sukses. Bagaimanapun dia tetap harus berada di 'bawah', minimal di bawah suaminya. Barangkali benar kata seorang teman bahwa wanita harus memilih suami yang lebih di atasnya, bukan lelaki yang terlihat lemah di bawah pengaruhnya. Bukan demi gengsi atau apa, tapi semata-mata untuk menjaga arogansi wanita yang banyak hawa nafsu demi agar bisa tetap menurut di bawah komando suaminya.

Kalaupun di masa depan akhirnya sang istri justu semakin berpengaruh besar, barangkali tak ada salahnya jika harus menurunkan egonya sendiri. Bukan untuk membunuh aktualisasi diri, tapi untuk menjaga apakah dirinya yang melambung tinggi sebanding dengan fondasi rumah tangganya yang semakin mengakar kuat? Jika jawabnya ya, silakan saja. Tetapi jika tidak, silakan pikir sendiri.

Barangkali hati juga sudah terlanjur mati hingga yang ada justru menuntut suami yang tak mau mengerti pengembangan diri. Dan ketika dengan suami sudah memandang sebelah mata, bukan tak mungkin mata yang sebelah lagi akan memandang ke dunia luar lainnya. Maka wajar saja jika wanita dengan ego tinggi itulah wanita-wanita penghancur rumah tangga.

Bukan berarti wanita tak boleh punya mimpi dan mengejar egonya. Hanya saja seorang wanita begitu pula posisinya sebagai istri maupun hamba hendaknya memahami kodratnya. Bahwa ia harus menaati perintah Illahi, dan bahwa ia harus mengerti salah satu perintah itu adalah menaati dan menghormati suami.

Wallahua'lam.


Monday, 16 September 2013

Ga Sopan, Cewek Kok ....

23:01 0 Comments

Dalam hidup ini orang sering sekali berkomentar dalam hal apapun. Terkadang komentar itu menyakitkan, tapi tidak jarang pula komentar itu justru masukan yang membangun. Salah satu komentar yang kadang kala terdengar adalah tentang perilaku kita sehari-hari, misalnya sikap duduk.


Sebagai koas, kami seringkali harus mencari dokter kemana-mana. Seandainya dokter itu sudah ditemukan di mana keberadaannya, belum tentu kami bisa langsung menemui beliau. Akhirnya mau tak mau kami menunggu. Yang melelahkan adalah ketika wilayah tempat menunggu tersebut tidak ada kursi sama sekali. Maka, akhirnya pernah suatu ketika saya dengan beberapa teman perempuan memutuskan bersimpuh di koridor rumah sakit. Lalu lewatlah residen dan berkomentar, "Bangun dek, koas kok jongkok, ga sopan dilihat pasien. Cewek-cewek lagi." Maka, bangkitlah kami.

Di lain kesempatan saat kami menganggur di poli. Pasien tidak ada, semua koas berkumpul di poli tersebut, sedangkan jumlah kursi terbatas. Akhirnya, saya dan seorang teman perempuan memutuskan duduk bersila di lantai di bagian sudut belakang poli agar tidak terlihat. Lalu bangkitlah seorang teman koas laki-laki, "Sini duduk di kursi, ga sopan cewek duduk di lantai."

Begitu juga tadi siang ketika mengunjungi puskesmas. Saat poli kosong, kami duduk-duduk di dalam. Ada tiga kursi di sana dan sudah terisi oleh dua ibu bidan dan seorang teman koas. Saya sadar diri, tidak ada tempat sembunyi di situ. Tempatnya pun tidak memungkinkan untuk duduk atau bersimpuh di lantai, sedangkan jika harus terus berdiri jelas akan melelahkan. Satu-satunya tempat yang memungkinkan adalah bed periksa. Biasanya ketika poli kosong, tempat tidur pasien menjadi salah satu tempat duduk para koas. Maka, saya pun memutuskan duduk di bagian sudut tempat tidur poli. Belum sempurna benar saya memposisikan diri untuk duduk, teman koas laki-laki yang duduk di kursi langsung berdiri, "Duduk kursi aja. Ga pantes cewek duduk penekan (memanjat)"

Ziiink... 

Sebagai perempuan yang ditegur sebenarnya saya mengucapkan terima kasih sekali. Terlebih setelah itu saya mendapat tempat duduk yang lebih 'layak'. Tetapi ada rasa menggelitik juga di hati. Apakah seorang perempuan harus selalu terlihat manis termasuk saat duduk? Padahal ketika kami duduk di lantai, teman-teman koas laki-laki yang lain juga duduk di lantai meskipun di sudut yang berbeda. Demikian juga ketika akhirnya saya duduk di kursi, maka teman saya juga akan duduk di tempat tidur.

Entah apakah ada kepatutan sendiri untuk sikap seorang perempuan dan laki-laki. Padahal menurut saya kalau sama-sama dengan alasan kesopanan, tentunya berlaku secara umum. Jika sama-sama tidak sopan karena duduk di lantai, seharusnya berlaku pula bagi laki-laki. Jika tidak enak harus naik ke tempat tidur yang cukup tinggi untuk duduk, seharusnya demikian pula untuk laki-laki.

Barangkali asas yang dipakai bukan atas dasar kesopanan semata, tetapi justru alasan laki-laki yang seakan dituntut untuk mengalah kepada perempuan. Saya sendiri tidak paham apakah teman-teman lelaki saya merasa demikian sehingga mereka mengutamakan kami untuk duduk layak di kursi. Padahal urusan gender seharusnya tidak menjadi alasan.

Terlepas dari alasan itu, yang penting adalah bagaimana agar kita bisa bersikap sopan. Yah, kepatutan dan kepantasan kita bertingkah laku memang menjadi kunci. Barangkali kita menganggap suatu hal tidak masalah, tapi orang lain sudah merasa risih dengan keadaan tersebut. Kalau memang sikap perempuan harus sedemikian tertatanya demi tidak membuat para pria itu merasa risih, yah apa boleh buat lakukan saja. Toh dengan begitu kita akan menjadi makhluk yang jauh lebih sopan. Tidak ada salahnya untuk bersikap sopan kan?



Sunday, 15 September 2013

No Idol

22:44 0 Comments

Cinta dan benci memiliki kadar yang sama. Jika kamu mencintai seseorang dengan teramat sangat, bisa jadi kau akan membencinya dengan kadar yang sama. Begitu juga sebaliknya.

Rasa cinta atau suka salah satunya muncul ketika seseorang memiliki idola. Terlepas dari definisi bahasa inggris 'idol' yang berarti Tuhan, seseorang sering menganggap idolanya itu serba baik. Tentu saja, jika dia banyak cacat atau cela, rasanya mungkin tidak pantas untuk dijadikan idola. Gampangnya begini. Kita mungkin suka penulis A yang struktur kalimatnya indah, lantas kita mengidolakannya. Ketika ada penulis B yang struktur kalimatnya kacau, maka kita menganggapnya memiliki cela dan lantas kita tidak mengidolakannya.

Masalahnya, seperti kalimat pembuka dalam tulisan ini, kadar cinta dan benci terhadap sesuatu itu cenderung sama. Ketika kita menyukai sesuatu karena kelebihannya, maka kita mungkin mengidolakan atas dasar kelebihan itu. Tetapi andai suatu ketika kita melihat kekurangan dari hal itu, bisa jadi kita tidak terima dan lantas berubah 180 derajat membencinya. Artinya, semakin kita cinta, besar kemungkinan makin dalam juga kita akan membencinya.

Semua itu terjadi karena orang mencoba-coba untuk berekspektasi. Orang berekspektasi bahwa idolanya adalah manusia hebat tanpa cela yang pantas untuk dipuja. Parahnya, barangkali seseorang yang mengidolakan itu bisa sampai tingkat mengkultuskan yang seakan-akan tergila-gila dan terkena waham bahwa idolanya 100% sempurna. Mereka lupa bahwa idolanya tetap saja manusia biasa yang pasti punya cela, hanya saja mungkin tidak mereka ketahui. Bahkan seorang Rasulullah SAW pun yang ma'sum tetap saja tidak boleh dikultuskan dan harus tetap diingat bahwa beliau hanyalah hamba Allah SWT semata.

Dan itulah yang terjadi ketika makhluk yang dikira sempurna itu lantas terbuka celanya. Binar-binar mata yang memandang terpesona seolah-olah runtuh seketika. Maka jatuhlah para pengagum itu dalam lubang kebencian. Boleh jadi dia akan mengutuk idolanya dengan sebutan bermuka dua, pintar bersandiwara, ternyata ga ada apa-apanya, dan lain sebagainya.

Padahal perkaranya hanya itu. Kita sendiri yang terlalu suka mengambil risiko untuk berekspektasi.

Maka, mungkin benar jika ada saran yang mengatakan jangan pernah berekspektasi apapun. Jangan overestimate, tetapi jangan pula underestimate. Ukurlah sesuatu dengan sewajarnya saja. Tak perlu berharap yang muluk-muluk agar tidak kecewa dan sakit hati ketika harapan itu tidak terwujud. Sebaliknya, jangan pernah pula mencela atau membenci sesuatu dengan demikian hebatnya karena siapa tahu dari sesuatu itu ada yang bisa kita kagumi dan kita ambil pelajarannya.

Ya, yang sedang-sedang saja.



Saturday, 14 September 2013

Kesempatan vs Kepastian

11:16 4 Comments

Ada obrolan menarik yang saya alami pagi tadi dengan seorang teman laki-laki saya. Awalnya kami membicarakan tentang masa depan profesi seorang dokter. Pada akhirnya kami justru membicarakan sudut pandang laki-laki dan sudut pandang perempuan dalam hal pernikahan.

Teman saya bercerita, perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal pernikahan ada dalam pola pikirnya. Seorang laki-laki ingin agar dia diberi kesempatan, sedangkan seorang perempuan berharap agar dia diberi kepastian.

Perempuan berpikir, "Nikahi aku. Tenang saja, aku rela jika harus hidup susah denganmu. Rejeki itu di tangan Illahi, pasti setelah nikah akan ada jalan-Nya sendiri". 

Tetapi tidak demikian dengan laki-laki. Dia berpikir, "Tunggu dulu. Beri aku kesempatan. Sekalipun kamu mau hidup susah, tapi aku ingin membuatmu bahagia".

Jika ada perkataan laki-laki dan perempuan seperi itu, barangkali akan ada yang berkomentar, "Udah, putusin aja! Sampai kapan kamu mau menunggu?". Tapi saya tidak sedang membahas itu, saya sedang membahas tentang pemikiran laki-laki dan perempuan.

Sedikit banyak mindset itu tercipta karena budaya. Seorang laki-laki harus bisa menafkahi istrinya, maka ia merasa lebih galau memikirkan pekerjaan dan mengharapkan ada perempuan yang mau memberinya kesempatan. Sebaliknya, seorang perempuan seakan diberikan budaya untuk patuh pada suaminya, dalam arti dia tidak peduli bagaimana nanti dia akan hidup setelahnya karena dia cukup bergantung pada suami yang harus dipatuhinya. Maka perempuan akan lebih galau menanti siapa yang akan memberinya kepastian dan bukan mengkhawatirkan bagaimana pekerjaanku nanti.

Toh seorang laki-laki juga percaya bahwa rejeki juga berasal dari Illahi, bahwa nanti akan datang sendiri. Seorang laki-laki juga tahu bahwa perempuan bisa saja dibawa lari karena ada sesauatu yang pasti dan telah terjadi. Seorang perempuan juga tahu bahwa semua hal itu ada kesempatannya. Dia tahu bahwa dia harus memberi kesempatan siapapun untuk mengejar riski-Nya, dan dia pun juga pasti ingin hidup bahagia.

Lalu bagaimana? Tenang saja, pasti akan ada lock and key-nya. Akan ada seorang pria yang merasa sudah mendapatkan kesempatan dan akan ada seorang wanita yang merasa mendapatkan kepastian. Kun fayakun, jadilah mereka. Jika belum, barangkali memang laki-laki itu masih harus mencari kesempatan (entah dari manapun), dan perempuan itu masih harus mencari kepastian (entah dari siapapun).

Who knows?


Harta dan Keluarga

10:50 2 Comments


Jika kamu sudah berkarier nanti, mana yang kamu pilih antara harta dan keluarga? Ada yang memilih harta dengan alasan toh harta yang didapat akan diberikan pada keluarga. Tapi ada juga yang lebih memilih keluarga dengan alasan justru keluarga itulah hartanya.

Inilah yang terjadi di dunia sekitar saya. Tidak sedikit saya menjumpai dokter-dokter yang terpaksa harus berpisah dari keluarganya. Tapi di lain sisi tidak sedikit juga saya mendapati beberapa dokter yang mengatur aktivitas kariernya demi tetap bisa bersama keluarga.


Saya pernah menonton film tentang ini, tapi saya lupa judulnya. Di film itu diceritakan seorang pria demikian terobsesi dengan kariernya. Awalnya semua baik-baik saja. Semua keluarga menyemangati dirinya agar kariernya terus menanjak. Status keluarga tersebut pun meningkat dan mereka menjadi keluarga terpandang. Tapi, tunggu beberapa tahun kemudian.

Bisnisnya memang semakin menggurita, tapi istri pria itu akhirnya selingkuh. Entah karena tidak ada perhatian atau apa. Kedua anaknya juga tidak ada yang mengurus. Barangkali istilahnya adalah menjadi anak salah pergaulan. Hingga di akhir cerita akhirnya pria itu hampir meninggal dalam posisi masih memikirkan pekerjaannya.

Di akhir film itu sebelum si pria menghembuskan nafas terakhirnya, dia berpesan pada anak laki-lakinya, "Jangan hanya mengejar karier, utamakan keluarga!"

Jika melihat dari kacamata negeri akhirat, keduanya sama-sama penting sekaligus tidak penting. Dikatakan tidak penting karena mereka semua hanyalah pelengkap di dunia. Harta tak akan dibawa mati. Keluarga juga tak akan sudi ikut kita mati. Tapi, mereka juga tetap penting.

Jika kita punya harta, kita bisa lebih banyak sedekah. Tapi sebenarnya tak peduli berapapun banyaknya harta itu, kita akan tetap bersedekah. Maka, bukan seharusnya menghabiskan waktu demi mendapatkan tambahan income semata.

Jika kita mendekatkan diri pada keluarga, kita juga akan mendapat keberkahan silaturahim. Andai dia anak, maka orang tua akan mendapat kiriman doa ketika sudah mati karena sang anak paham dia harus berbakti pada orang tuanya yang telah menyayanginya.

Proporsional, barangkali itu kuncinya. Kebutuhan finansial terpenuhi tetapi kebutuhan orang-orang terdekat dari keluarga juga tercukupi. Apakah bisa? Barangkali. Asalkan ada pengertian dari semuanya untuk saling mengingatkan setiap perannya insya Allah semua juga akan berjalan dengan seimbang. Mudah-mudahan.


Thursday, 22 August 2013

Senyum Sapa

23:46 2 Comments


Kemarin, ketika saya selesai menjawab konsulan dari semua bangsal, tidak sengaja saya melihat sosok yang sangat saya kenal sedang duduk antri di poli geriatri. Beliau adalah guru agama saya sejak kelas satu sampai kelas tiga SMP. Entah karena dorongan apa, reflex saja saya langsung menghentikan langkah dan menghampiri beliau.

“ Pak M, saya Avi, murid bapak waktu SMP dulu.”

Ekspresi beliau campur aduk. Antara kaget, ramah, dan lupa-lupa ingat. Yah, maklum saja, saya lulus SMP sudah 8 tahun yang lalu, dan selepas saya lulus, beliau juga pensiun. Praktis tidak pernah ada pertemuan sama sekali. Sebagai guru agama, murid beliau juga banyak. Wajar saja jika beliau lupa dengan saya. Namun, sekalipun beliau tidak langsung mengingat saya, tetap saja ada perasaan senang di hati saya karena betemu dengan beliau.

Saya jadi teringat pengalaman saya dengan guru-guru yang lain.

Lebaran tahun lalu saat sedang hectic mengurus skripsi, saya mengirimkan SMS ucapan selamat idul fitri dan memohon maaf kepada pembimbing dan penguji skripsi saya. Salah satu penguji skripsi yang juga merangkap staff di Moewardi membalas SMS saya, “Alhamdulillah dik, kami senang sekali masih diingat. Blablabla..” Sekalipun kata-kata selanjutnya adalah ucapan idul fitri standar, tapi ada kalimat di awal yang menunjukkan bahwa beliau senang karena saya sebagi murid mau mengingat beliau.

Yup, saya memang tidak berprofesi sebagai guru, tapi mungkin dari contoh yang saya temui di atas saya bisa menggambarkan bagaimana perasaan seorang guru. Ada rasa bahagia ketika dia dihargai oleh murid-muridnya dan salah satu bentuk penghargaan adalah dengan mengingatnya dan menyapa bila kebetulan bertemu.

Bahkan bukan berprofesi sebagai sorang guru pun, bukankah kita senang jika diingat dan disapa? Misal di sebuah acara lantas kita disapa oleh seorang kenalan yang sudah lama tak bertemu. Bukankah menyenangkan karena seakan terjalin lagi sebuah silaturahim baru? Mungkin rasa senang itu muncul karena manfaat silaturahim itu sendiri. Kita akan tersenyum, dan senyum itulah yang membuat kita bahagia. Ketika kita bahagia maka panjanglah umur kita. Ketika kita bahagia, makin melimpahlah rizki kita. Yup, karena itulah berkah silaturahim, memanjangkan umur dan menambah rizqi.

Percaya atau tidak, itu terbukti pada diri saya. Sebelum menyapa guru saya itu, saya merasa lelah setelah mengitari semua bangsal. Tapi selepas berinteraksi dengan beliau dan saling tersenyum, lelah itu seakan terbang bersama hadirnya senyuman. Begitu pula dengan rizqi, hanya dengan interaksi yang mungkin tak ada lima menit, ada sebuah doa dari beliau semoga saya sukses menjadi dokter. Simple sekali.


Hanya dengan sapaan dapat membuat kita bahagia. Hanya dengan sapaan membuat kita mendapat rizqi lewat doa. Hanya dengan sapaan pula kita membuat orang lain merasa lebih dihargai peran dan keberadaannya. So, tak ada salahnya menyapa dan menebar senyuman. Bukankah senyum adalah ibadah? :)


Monday, 12 August 2013

Lelah Marah

08:28 0 Comments
Pada dasarnya semua orang itu baik, tetapi ketika nafsu amarah menyelimuti, maka sirnalah semua.

Di catatan Petuah Dokter Muda beberapa seri yang lalu, saya pernah menulis bahwa banyak koas yang mengeluh dirinya merasa lelah. Di situ saya menulis dari sudut pandang bahwa kelelahan koas (khususnya zaman sekarang) sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan koas zaman dulu. Saya memakai sudut pandang syukur dalam catatan itu. Kali ini berbeda.

Saya akui koas itu melelahkan. Ralat, semua pekerjaan itu melelahkan. Staf, residen, perawat, semua juga merasakan kelelahan itu. Sekarang bukan perkara mengatasi masalah hati berupa keluh kesah, ternyata ada masalah baru yang sangat rawan. Lelahnya fisik akan menyeret pada lelahnya hati.
Saya mengalaminya dan saya menyadarinya.

Ada seorang residen yang menurut saya baik hati sekali. Dia selalu ramah pada pasien, mau membimbing koas, dan bekerja sama dengan baik dengan para perawat. Suatu ketika entah beliau selepas jaga malam atau bagaimana, raut wajahnya berubah. Teman residennya yang seharusnya baik-baik saja ternyata kena semprot juga. Andai saya tidak mengenal residen itu sebelumnya, saya mungkin akan menilai bahwa residen ini ‘menakutkan’.

Begitu juga teman saya. Ada seorang teman yang dia baik-baik saja, selalu ikhlas menjalankan tugas-tugas yang memang harus dia kerjakan, tetapi pada akhirnya jebol juga. Penyebabnya sama, lelah secara fisik sehingga psikis menjadi lebih mudah sensitive.

Itu pula yang terjadi pada saya. Beberapa stase berat yang saya lalui seringkali secara tak sadar mempengaruhi hati. Pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Istirahat seharian seakan-akan belum bisa membayar kelelahan. Keterlaluan mungkin, tapi ternyata begitu juga yang terjadi pada sebagian besar teman-teman saya. Ketika terjadi singgungan sedikit, keluarlah emosi yang terlanjur mengendap bersama kelelahan.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir sedih juga jika hal itu terjadi. Sering mendengar istilah “urusan kantor selesaikan di kantor, urusan rumah selesaikan di rumah”. Tak jauh beda berarti urusan rumah sakit seharusnya cukup diselesaikan di rumah sakit dan urusan rumah diselesaikan di rumah. Nyatanya, kedua urusan itu bertemu dengan sendirinya dan memberi dampak yang tidak enak di dua kondisi yang berbeda.

Padahal itu semata-mata karena lelah fisik saja. Yang ketika kelelahan fisik itu sirna, maka sirna pula semua kelelahan psikis yang mendera. Mungkin benar petuah dari seorang dokter, “Carilah teman yang mau memahami, yang mau mengerti kondisi kita, yang mau menyediakan tong sampah bagi kita”. Ketika kita lelah, dia tidak akan complain. Dia menyediakan hatinya yang lebih besar untuk menerima kita, bahkan menyiapkan tempat sampah sewaktu-waktu kita membuang sebagian atau seluruh kepenatan yang ada.

Memang benar butuh lingkungan yang memahami sehingga lelah fisik dan psikis tidak menjadi-jadi. Karena lelah fisik yang tidak terobati berarti semakin menambah lelah hati. Sebaliknya, lelah hati yang tidak segera teratasi juga akan berdampak menambah kelelahan fisik.

Tapi terlepas dari lingkungan sebagai faktor eksternal, introspeksi diri dari sisi internal pun sepertinya tidak kalah pentingnya. Mungkin saja niat perlu diperbaharui lagi. Barangkali orientasi perlu diubah lagi. Siapa tahu kelelahan fisik terjadi karena kurang ikhlas menjalani, dan karena kurang ikhlas wajar saja jika hati terbawa emosi. Karena bukan lillahi ta’ala, berarti ada setan-setan yang ikut menyertai. Dan bukannya memang sudah tugas setan untuk membuat ‘sakit hati’?

A’udzubillahiminasysyaithonirrajim….


Thursday, 2 May 2013

Lembut

21:34 0 Comments

Ketika mengikuti program jaga malam di suatu sore, seorang pasien bercerita, “Koasnya ganti ya mbak? Biasanya kemarin yang jaga Mbak X. Kalau meriksa lembut banget”. Saya pun menjawab, “Iya pak, jadwal jaganya ganti-ganti”. Bapak itu melanjutkan, “Oh, gitu ya mbak. Itu koasnya baik, mbak. Kalau cara meriksanya lembut gitu kan pasien jadi senang ya mbak”. Saya tersenyum dan mengiyakan.

Di lain waktu, seorang pasien yang baru saja masuk IGD berkata, “Dok, periksanya pelan-pelan ya. Nyuntiknya pelan-pelan. Saya trauma, dok. Di klinik sebelumnya sudah dicoblos di mana-mana. Kasar”. Kami yang ada di IGD saat itu hanya mengiyakan.

Ketika mendengar komentar beberapa pasien tersebut, saya teringat dengan petuah Wadir Pelayanan RSDM saat pradik dulu. Beliau berkata, “66% pasien pindah karena bertemu dengan orang yang tidak menyenangkan”. Tanpa data akurat 66% itu saja, secara logika kita bisa menerimanya.

Ini layaknya hukum aksi dan reaksi. Ketika seorang diperlakukan secara kasar, orang itu seringnya akan membalas dengan kasar pula. Bahkan bisa jadi justru membalas dengan yang jauh lebih kasar. Mungkin, pasien tidak akan kooperatif, menolak tindakan ini itu, atau bahkan meninggalkan tempat layanan dan pulang.

Sebaliknya, jika pasien merasa diperlakukan dengan lembut, tentu dia akan membalas dengan baik pula. Sekalipun mungkin tidak dengan sesuatu yang lebih baik, setidaknya sikap kooperatif pasien akan cukup membantu kita.

Yup, tak ada satu pun manusia di bumi ini yang ingin diperlakukan dengan kasar. Semua pasti ingin mendapatkan perlakuan yang lembut, penuh dengan kasih sayang. Jika kita juga ingin mendapat perlakuan yang baik, mengapa tidak kita dulu yang mulai untuk berbuat baik?




Tidur…

19:55 0 Comments

“Semalam tidak bisa tidur, dok…”

Kalimat itu sering sekali saya dengar ketika memeriksa pasien di pagi hari. Tidak tua, tidak muda, keluhan ini melanda kebanyakan pasien. Penyebabnya pun bermacam-macam. Ada yang karena kedinginan, kepanasan, keluhan dari penyakitnya sendiri, atau hanya karena terganggu ‘keberisikan’ pasien di sebelahnya. Nada keluhannya juga berbeda-beda, ada yang sedikit ‘kesal’, ada pula yang sangat frustasi. Keluhan dengan nada frustasi di suatu pagi itulah yang menyentil saya hingga menulis catatan ini.

Kalau di rumah, ketika saya atau adik saya tidak juga tidur hingga larut malam, biasanya bapak akan bertanya, “Kok tidak tidur?”. Sekalipun sangat jarang, bukan tidak pernah kami menjawab dengan alasan, “Tidak bisa tidur, Pak”. Kalau muncul jawaban begini, bapak akan berkelakar, “Tidur aja kok ‘nggak bisa’, mbok ya belajar biar ‘bisa’ tidur”.

Kenyataannya, belajar agar bisa tidur itu ternyata tak semudah yang dibayangkan.

Bagi saya yang hobi tidur, mungkin menempelkan kepala di bantal saja sudah bisa membawa ke alam mimpi. Sayangnya, bagi orang lain mungkin butuh perjuangan tersendiri untuk menikmati nyamannya terlelap dengan kepala di bantal. Lucunya, kedua kondisi ini memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.

Bagi orang yang gampang terlelap, dia sering kali menyalahkan keadaan. Misal, dia mengeluh karena ketiduran padahal tugas-tugas masih menumpuk. Dia seharusnya mengikuti kegiatan ini itu, tetapi terhambat karena mengantuk atau bahkan jatuh tertidur. Yang dia pikirkan hanyalah rasa mengantuk yang sangat mengganggu dirinya. Lantas dia berpikir betapa enaknya orang yang bisa tidur sedikit.

Sebaliknya, orang yang sulit tidur juga tak jarang mengeluhkan keadaanya. Misalnya seperti yang disampaikan oleh beberapa pasien yang sudah saya ceritakan di atas. Pasien itu mungkin juga beranggapan, alangkah nikmatnya jika bisa tidur dengan nyaman.

Barangkali, inilah contoh rumput tetangga terlihat lebih hijau daripada rumput sendiri. Diri kita yang gampang mengantuk, merasa iri dengan mereka yang tidur sedikit. Sebaliknya, mereka yang sulit tidur juga iri dengan kita yang bisa merasakan nikmatnya tidur panjang. Kenikmatan orang lain terasa lebih indah. Padahal mungkin kita sendiri juga diberikan kenikmatan itu, tapi kurang menyadari.

Dan di keesokan harinya, pasien itu berkata, “Alhamdulillah dok, tadi malam saya sudah bisa tidur”.

Hm…, hanya dari tidur saja sudah diuji rasa kesyukuran kita. Sungguh, nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?


Magic Words

19:24 0 Comments

Apa yang dimaksud dengan magic words? Tentu bukan simsalabim abrakadabra, atau lebih-lebih kun fayakun. Ada yang bilang kata ajaib itu adalah maaf, tolong, dan terima kasih. Di Moewardi, ada sedikit yang berbeda dengan tiga kata ajaib itu.

Pertama, sapa. Ketika bertemu dengan pasien, maka seorang dokter harus mau menyapa pasien tersebut. Coba bayangkan ketika dokter datang lalu langsung sok aksi main tindakan, tanpa menyapa, tanpa permisi. Tentu sangat terkesan tidak sopan. Sapaan yang diberikan kepada pasien secara tidak sadar membuat kita memulai hubungan yang baik dengan pasien. Orang yang menyapa akan terkesan lebih ramah, dan jika orang itu ramah maka orang yang diajak berinteraksi pun akan lebih senang. Ketika orang lebih senang, bisa jadi orang tersebut akan lebih kooperatif untuk diajak berinteraksi.

Sapaan juga menjadi bentuk apresiasi kita kepada orang lain. Ketika kita menyapa orang lain, artinya kita menganggap orang itu ada. Kita tidak bersikap acuh dan tak peduli dengan keberadaan orang tersebut. Maka, dengan dimulai dari sapaan itulah kita diharapkan dapat lebih memanusiakan manusia.

Kedua, maaf. Ada yang bilang jangan terlalu mengumbar kata maaf jika kita tak salah. Tapi, kata maaf dalam konteks ini berbeda. Maaf di sini memiliki arti bahwa kita meminta izin kepada pasien. Misal, seorang dokter akan mengecek tekanan darah pasien. Maka, dia akan lebih baik jika mengatakan, “Maaf bu, bisa diulurkan tangannya untuk diperiksa tekanan darahnya?”. Makna tersirat pertama, jelas kita memohon izin pada pasien. Makna berikutnya, boleh jadi kita memang melakukan ‘kesalahan’ kepada pasien, missal pasien merasa sakit karena kita harus menyuntik dan sebagainya. Artinya, memang tidak ada salahnya jika ketika meminta maaf sejak semula.

Yang terakhir adalah kata terima kasih. Ucapan terima kasih lagi-lagi sebagi bentuk penghargaan kita kepada orang lain. Barangkali pasien itu memang tidak memberi kita barang atau sesuatu yang berharga sekalipun. Tapi, sekedar pemberian izin bagi kita untuk melakukan tindakan ataupun pemeriksaan bukankah juga suatu pemberian yang berharga? Jadi, tak ada salahnya jika mengucapkan terima kasih dengan apapun yang telah mereka berikan.

Yup, dengan tiga kata ajaib itu, mungkin memang akan ada keajaiban yang terjadi. Pasien akan lebih rela untuk diperiksa, kita pun lebih nyaman untuk melakukan tindakan. Tiga kata yang mudah, tapi sangat bisa mengubah. Jika bisa membuat keajaiban itu, mengapa tidak?



Monday, 22 April 2013

Tak Ada Ketiak

21:24 0 Comments

Di catatan yang sudah lalu saya menceritakan bahwa seorang dokter dituntut untuk pintar dan tahu segalanya. Ketika pasien tanya, dia harus paham. Di note itu saya menuliskan bahwa seorang dokter muda masih bisa berlindung di bawah ketiak residen dan residen mungkin masih bisa berlindung di bawah ketiak dokter staff. Lalu bagaimana dengan dokter staff yang sudah senior? Mau berlindung di ketiak siapa lagi?

Tadi pagi akhirnya saya menemukan jawabannya.

Tak ada ketiak siapapun di dunia kedokteran. Kami dituntut untuk bisa hidup mandiri. Sekedar berlindung boleh saja, tapi tetap harus mau maju perang juga. Apapun yang diujikan, dokter harus bisa menghadapi.

Seorang dokter tadi memberi tahu kepada kami, “Dua belas tahun saya belajar ilmu penyakit dalam, tetap saja ada ilmu yang belum saya ketahui. Apalagi dengan ilmu-ilmu spesialiasasi lain yang sudah tidak sempat untuk diikuti. Ilmu terus berkembang. Lalu bagaimana?”

Akhirnya, dokter itu berkata, “Buatlah PR untuk dirimu sendiri.” Ketika tidak tahu tentang sesuatu, langsung cari. Begitu juga ketika ada kasus pasien yang terkesan baru. Hadapi semampunya, catat, lalu balas dendam untuk dipelajari. Sekalipun residen atau dokter akan membantu menangani dan membuat kita aman, tapi puaskan rasa ingin tahu itu dengan terus belajar. Begitu pasien datang lagi maka kau akan merasa menang karena telah menaklukkan kasus pasien tersebut.

Lebih lanjut dokter itu berkata, “Selagi PR itu menggebu-nggebu dituliskan, segera cari. Mumpung mood sedang terbakar karena merasa tertantang untuk bisa menaklukkan. Jika menunggu, bisa jadi mood itu lenyap hingga akhirnya hanya akan menjadi tumpukan pertanyaan tak terjawab”

Dari cerita beliau di atas, saya disadarkan satu hal. Sampai kapanpun manusia memang tidak akan bisa seratus persen pintar. Bukan berarti karena manusia bodoh, tetapi karena ada beberapa penyebab. Salah satunya adalah karena ilmu yang sedemikian luasnya. Mencari ilmu tak akan pernah ada habisnya. Bahkan ilmu-ilmu yang diketahui manusia di dunia tak ada lebihnya dari satu tetes air di samudra.

Ilmu manusia sebanyak apapun tetap saja masih ada ilmu Allah yang menuntut untuk dicari. Maka, tak boleh ada kata lelah mencari ilmu. Tak boleh ada istilah berlindung di bawah ketiak siapapun demi bergantung karena malas menggali ilmu.



Ambil Suara

05:13 0 Comments

“Pilihlah intonasi terbaikmu, lalu pertahankan itu”

Pesan di atas saya dapatkan ketika menjalani pradik koas tiga minggu yang lalu. Apakah kita akan menyanyi? Tidak. Kita hanya diminta memilih nada dasar, intonasi, tempo, dan lain-lain sebagai modal seorang pemberi layanan jasa.

Sebagai makhluk sosial, tentu kita pernah menggunakan tenaga pemberi layanan jasa. Dari pemberi layanan jasa tersebut ada beberapa jasa yang memiliki ciri khas intonasi suara. Sebut saya pegawai bank atau operator telekomunikasi. Setiap kita menemui mereka, pasti intonasi suaranya sama. Tak peduli yang ditemui adalah orang muda, orang tua, atau anak-anak, mereka dipaksa ‘ramah’ dan menuruti pakem intonasi yang telah mereka pilih.

Demikian pula yang dipesankan kepada kami. Sebagai seorang dokter yang juga pemberi layanan jasa, kami juga diminta untuk mempunya standar intonasi suara. Tak peduli nanti yang dihadapi siapa dan dalam keadaan apa, intonasi suara keramahan itulah yang kita gunakan. Mungkin perkara ini terkesan remeh dan tidak penting, tapi hanya lewat suara yang ramah saja kadangkala bisa membuat pasien menjadi lebih nyaman.

Disadari atau tidak, manusia cenderung memiliki intonasi suaranya masing-masing. Ada yang suka berbicara dengan nada tinggi layaknya orang marah-marah. Padahal itu memang sudah kebiasaan. Ada pula yang suka berbicara pelan dan perlahan-lahan layaknya orang minder dan ketakutan. Padahal dia tidak merasa takut sama sekali. Begitu seterusnya.

Intonasi suara memang sering dikaitkan dengan emosi seseorang. Ketika orang itu senang, nada bicaranya pun cenderung lebih riang. Ketika orang marah, intonasinya menjadi lebih kasar. Ketika sedih, rasa duka itu juga seakan terpancar dari suaranya. Namun sebagai pelayan jasa, tetap saja yang diharapkan adalah intonasi stabil yang tidak membeda-bedakan dan tak terpengaruh mood sendiri.

Lalu bagaimana agar intonasi suara kita tidak berubah-ubah? Barangkali kita bisa belajar dari penyiar radio. Seorang penyiar radio yang mengandalkan audio tanpa visual jelas hanya menjual suaranya. Ketika dia larut terbawa emosi dan suaranya tak stabil, artinya tak laku juga barang dagangannya. Maka, apapun kondisi jiwa itu tetap harus disembunyikan. Salah satu cara menyembunyikan perasaan adalah dengan tersenyum.

Mungkin memang ada istilah senyum palsu. Namun bukan perkara murni atau tidaknya senyum itu yang kita bicarakan. Kita sedang mencoba mempertahankan intonasi suara dari senyum yang disunggingkan. Coba saja. Kata seorang teman penyiar, ketika kita berbicara sambil tersenyum maka nada suara kita akan menjadi lebih enak.

Barangkali memang harus demikian. Apakah kita pernah melihat teller bank yang melayani sambil menangis? Tentu tidak. Mereka selalu tersenyum, dan nada bicara mereka pun selalu stabil.

Maka, tersenyumlah dan milikilah intonasi suara terindah.



Sunday, 21 April 2013

Cuci Tangan

03:36 0 Comments

Satu hal yang sangat diwanti-wanti oleh bagian pendidikan kepada kami para koas adalah jangan lupa cuci tangan. Tentu saja ini bukan sekedar ucapan perhatian untuk cuci tangan sebelum makan atau sebelum beranjak tidur, melainkan ini adalah anjuran sebagai standar higinitas.

Ada lima waktu standar cuci tangan, antara lain adalah sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Prinsip cuci tangan ini adalah untuk melindungi diri. Sebelum kontak dengan pasien artinya dokter melindungi pasien dari kemungkinan kontak penyakit yang dibawa oleh dokter. Sebaliknya, cuci tangan setelah kontak dengan pasien memberi harapan agar dokter melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan tertular penyakit dari pasien. Dari sudut pandang dokter, prinsip cuci tangan ini memberi makna agar tindakan diawali dan diakhiri dengan bersih, serta tidak memberi maupun mendapat kerugian.

Kalau dipikir-pikir, konsep bermula dan berakhir dengan bersih itu memang seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Anggaplah ini adalah sebuah arena kehidupan manusia. Seorang manusia terlahir dalam keadaan bersih. Ketika meninggal pun ia dalam keadaan bersih. Dari segi fisik, memang demikian adanya. Mayat dimandikan, dikafani, suci. Bersih layaknya bayi. Namun tentunya yang diharapkan tidak sekedar bersih secara fisik. Alangkah indahnya jika hati pun kembali bersih.

Sayangnya, manusia bukanlah makhluk maksum yang terbebas dari kesalahan. Selalu ada khilaf dan dosa yang melekat di hati. Lalu, apakah lantas didiamkan saja karena fitrohnya hati akan kembali terkotori? Tentu saja tidak. Prinsipnya hampir sama dengan cuci tangan tadi.

Dokter yang cuci tangan pasti akan kontak dengan pasien lagi, pasti ada kemungkinan terjadi transmisi penyakit lagi. Apakah dokter lantas diam saja? Tidak. Lagi dan lagi, dokter akan kembali cuci tangan. Begitu seterusnya.

Demikian pula dalam arena kehidupan. Sekalipun kita memang tempatnya salah dan dosa, bukan tidak mungkin kita untuk selalu melakukan cuci tangan dalam bentuk minta ampun kepada Yang Maha Kuasa. Layaknya tim rumah sakit yang mewajibkan dokter untuk cuci tangan sebagai syarat higinitas, demikian pula Allah SWT yang selalu meminta hamba-Nya untuk bertaubat dan mohon ampun demi kesucian jiwanya.

Apakah lantas benar-benar suci? Wallaha’lam. Cuci tangan pun belum tentu membunuh 100% kuman. Mungkin masih ada bakter-bakteri resisten yang tak bisa hilang. Tapi, bukankah sudah cukup mengurangi? Demikian pula dengan hati. Barangkali memang ada noda membandel yang masih membuat hati pekat, tapi dengan istigfar bukankah lebih mengurangi?

Semua bertujuan untuk safety. Jika cuci tangan adalah safety untuk dokter sendiri, demikian juga istigfar bagi manusia sebagai safety untuk hidup kekal di akhirat nanti. Astagfirullah…




Saturday, 20 April 2013

Percaya Kamu?

01:04 0 Comments

Tadi siang saya berdiskusi dengan seorang teman setelah menonton sebuah film. Pesan dari film itu mengatakan, “Jangan percaya kepada siapapun karena dunia terlalu keras untuk bisa menaruh kepercayaan kepada seseorang”. Sedikit banyak pesan ini juga berlaku di rumah sakit.

Kami diajarkan untuk tidak pernah percaya kepada siapapun, bahkan pada senior sekalipun. Dalam arti begini. Ketika kami diberi informasi suatu keadaan dari seorang pasien, kami tidak boleh langsung menerimanya. Kami harus mengecaknya sendiri, memastikan bahwa keadaan itu memang benar-benar terjadi.

Barangkali konsep ini seharusnya berlaku dalam semua hal. Contohnya ketika menerima ilmu atau informasi dalam hal apapun. Misal kita mendapat mendapat ilmu dari seorang ustadz, kita boleh-boleh saja untuk tidak percaya. Bukan berarti tidak percaya dalam arti mengingkari ilmunya, melainkan tidak percaya dengan dasar agar terus belajar lagi dan menemukan kebenaran yang sejati. Bukankah jika teralu percaya justru ibarat kerbau yang dicocok hidungnya? Miriplah kiranya seperti taklid buta. Padahal jelas-jelas taklid buta itu tidak diperkenankan.

Namun tidak semua hal memang bisa disetting dengan dalih tidak percaya. Dalam hal iman kita tetap harus percaya. Buktinya bisa secara kauniyah dan juga qauliyah. Demikian juga dalam pemeriksaan pasien. Ada batas-batas tertentu yang kita harus mengimaninya. Pun dalam teori-teori ilmu dunia lainnya. Mungkin kita tak bisa memahami bagaimana Edison menemukan teorinya, bagaimana Einsten menemukan rumus-rumusnya. Karena kita tidak tahu atau belum tahu, dalam kadar tertentu mau tak mau kita ‘terpaksa’ untuk menerima mentah-mentah teori itu.

Asas ketidakpercayaan bersahabat erat dengan prinsip kepo. Bukan bermaksud skeptis, hanya saja manusia memang harus terus belajar. Bukankah kepuasan dari mencari tahu jauh lebih menarik daripada sekedar menjadi teko yang hanya menampung ilmu?




Thursday, 18 April 2013

Dek Koas…!!!

01:00 0 Comments

Ada sebuah kisah lucu buatan kakak-kakak tingkat 2006. Ketika mereka lulus beberapa bulan yang lalu, mereka membuat sebuah video berjudul Catatan Akhir Koas. Video itu menceritakan sekelumit kisah warna-warni semasa koas. Salah satu scene dari video itu adalah panggilan sayang dari para civitas rumah sakit, “Dek koas”. Meskipun panggilan sayang, tentu saja panggilan ini tidak diucapkan dengan nada merayu. Seratus delapan puluh derajat daripada itu, panggilan itu justru diteriakkan. Bahkan dalam video itu dibuat sangat hiperbol dengan menggema dan menggaung hingga pelosok sudut rumah sakit.

Yah, namanya juga koas, singkatan dari co assistance, alias asistennya asisten. Maka saya bilang di catatan pertama saya, kami adalah kasta terendah di civitas rumah sakit. Seorang dokter mengilustrasikan kami adalah keset alias alas kaki. Yang namanya alas kaki pastilah diinjak-injak. Siapa yang menginjak? Bisa jadi yang menginjak adalah sepatu, yang dalam hal ini adalah para residen, atau yang menginjak adalah kaki itu sendiri yang diibaratkan sebagai dokter konsulen alias dokter spesialis. Meskipun miris, waktu itu kakak tingkat berkata, “Setidaknya alas kaki lebih baik daripada tanah di bawahnya, yaitu para preklinik”.

Percaya atau tidak percaya, kenyataan ini sepertinya akan lebih baik jika dihadapi dengan lapang dada. Tentu tidak semua civitas rumah sakit bersikap seperti itu. Layakny panggung sandiwara, ada peran antagonis dan ada pula peran protagonist.

Salah satu peran antagonis yang akhirnya berdamai dengan saya pernah berkata, “Saya bersikap seperti ini bukan karena mau membunuh kamu, tapi biar kamu kuat. Masak mau jadi dokter lembek?”

Lalu seorang perang protagonist juga berkata, “Saya sih percaya saja, siapa yang membantu orang lain pasti suatu saat akan dibantu. Kalau sekarang saya memudahkan kamu, saya berharap saya suatu saat juga dimudahkan sama Yang Di Atas”.

Pilihan mau menjadi peran antagonis atau protagonist, itu terserah mereka. Yang jelas sejak awal pak direktur sudah berpesan, “Kalian tidak sendiri. Jalin kerja sama dengan civitas yang lain mulai dari pegawai, perawat, residen, dokter, konsulen, atau koas lain.”

Yup, kerja sama. Ini bukan rumah sakit milik satu orang. Jadi mau tak mau memang harus kerja sama. Sebagai asistennya asisten, koas memang harus membantu. Sekalipun ada makna yang perlu ditinjau ulang tentang konsep membantu, suka atau tidak suka peran koas harus dijalankan.

Layaknya peran pembantu yang harus siap dalam keadaan apapun dalam pertunjukan, koas pun harus siap dalam kondisi apapun untuk berkerja sama dengan semua orang. Entah peran antagonis atau protagonist yang dihadapai di depan, the show must go on!


Tuesday, 16 April 2013

Kau Tak Kan Ku Tolak

22:10 2 Comments

Apabila datang kepadamu seorang laki-laki untuk meminang yang engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila tidak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad).

Mungkin agak kurang tepat jika saya menyitir hadits di atas. Inti yang ingin saya angkat sebenarnya hanyalah untuk mengambil bahwa adanya keharusan untuk menerima dan pantangan untuk menolak laki-laki yang diridhai agama dan akhlaknya. Mengapa? Karena tak ada alasan yang lebih baik daripada agama, karena justru akan terjadi kemadharatan jika menolak kebaikan suatu agama.

Sedikit serupa, itu pulalah yang didengung-dengungkan oleh manajemen Moewardi. “Jika datang kepadamu seorang pasien, maka rawatlah dia. Bila tidak kau lakukan, akan terjadi fitnah di masyarakat dan timbul kerusakan bagi Moewardi”

Bukan hal asing lagi di masyarakat kalau terdengar kabar rumah sakit tertentu menolak pasien. Hal-hal yang bersifat individual ini bisa menjadi isu yang tersebar dan memberikan citra buruk bagi pelayanan rumah sakit itu sendiri. Masyarakat hanya tahu, betapa kejam rumah sakit itu yang tidak mau menerima pasien yang membutuhkan. Padahal boleh jadi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kasus pertama, rumah sakit itu benar-benar penuh. Salah satu masalah klasik dari rumah sakit milik pemerintah adalah rumah sakit itu selalu penuh. Kenapa? Karena masyarakat berbondong-bondong datang ke sana untuk mendapat keringanan atau klaim asuransi. Jika diasumsikan banyak orang datang ke rumah sakit pemerintah, tentu rumah sakit akan semakin penuh. Daftar antrian layanan akan semakin panjang. Maka wajar kiranya orang yang berduit lantas mampir ke rumah sakit swasta dan mendapat penanganan lebih segera karena daftar antrian jauh lebih sedikit.
Kasus kedua, rumah sakit daerah merujuk pada rumah sakit pemerintah lainnya yang lebih canggih. 

Permasalahan yang muncul terletak pada komunikasi. Pasien yang kurang bisa menangkap boleh jadi menganggap bahwa rumah sakit pertama menolak dirinya dan melempar ke rumah sakit rujukan. Jika terjadi sesuatu dalam perjalanan menuju rumah sakit rujukan, bukan tidak mungkin jika pasien itu mengeluhkan rumah sakit pertama yang tidak memberikan tindakan. Masalah akan bertambah lagi seperti kasus pertama bahwa rumah sakit rujukan otomatis menjadi rumah sakit yang dituju lebih banyak pasien dan memiliki daftar antrian panjang.

Sayangnya, masyarakat tidak mau tahu itu. Yang namanya pasien pastilah hanya menginginkan dirinya dirawat dengan cepat, tepat, dan tentunya selamat. Mungkin tidak terpikir sama sekali bagaimana mekanisme manajemen yang terjadi. Tapi bagaimanapun juga yang namanya prinsip harus dijunjung tinggi. Haram hukumnya menolak pasien. Sekali menolak pasien, maka akan timbul satu kerusakan. Entah itu sakit hati pada diri pasien, ketidakpuasan, dan lain sebagainya yang bisa merata dan menyebar ke masyarakat lainnya.

Maka, benar adanya bahwa dilarang menolak pasien yang datang kepada kita. Demi kebaikan bersama, demi menjaga tak ada kerusakan selanjutnya.




Monday, 15 April 2013

Kepo

20:09 1 Comments

Ada yang tahu apa itu kepo? Kata teman-teman saya yang gaul, kepo maksudnya adalah selalu mencari tahu akan sesuatu hal. Biasanya pencarian info itu dicari sendiri dan dengan diam-diam. Kurang lebih begitu yang saya tahu.

Orang yang kepo memang orang yang ingin tahu tentang sesuatu. Rasa ingin tahunya itu sedemikian besar, sampai-sampai dia rela buang-buang waktu untuk puas mencari info yang dia dapatkan. Seandainya ada satu orang yang memberi tahu sesuatu, dia tidak sepenuhnya langsung percaya. Ia akan merasa puas ketika terus berusaha mencari sendiri dan menemukan fakta baru dari hasil pencariannya.

Orang bilang jangan pernah kepo. Mengapa? Karena kepo itu melelahkan dan menyakitkan. Tapi, ternyata seorang dokter dituntut untuk selalu kepo.

Seorang dokter pernah berkata, “Jangan langsung percaya dengan data dari mulut pasien.”

Ya, dokter tidak boleh langsung percaya. Dia harus rela untuk kepo. Andai pasien mengeluhkan A, dokter harus menanyakan pada keluarganya apakah benar pasien itu menderita A. Seorang dokter juga tidak boleh puas dengan data keluhan A saja. Dia harus tetap kepo, terus menanyakan hingga barangkali akan muncul keluhan B, C, D, dan seterusnya.

Seandainya daftar keluhan itu sudah ditangan, lagi-lagi dokter tidak boleh langsung percaya. Dia harus tetap kepo dan baru boleh merasa puas ketika sudah menemukan bukti. Maka ia pun melanjutkan aktivitas keponya dengan pemeriksaan fisik plus ditambah pemeriksaan penunjang bila perlu. Hingga ia akan puas dan tersenyum sendiri ketika mendapatkan data yang mungkin tidak pernah terlontar dari mulut pasien.

Itulah asyiknya kepo. Ketika kita mampu mendapatkan info lebih dan menunjang penilaian kita. Maka tidak aneh jika ada orang suka buka-buka dan cari info tentang orang lain atau sesuatu.

Coba saja jika semangat kepo ini diterapkan dalam banyak hal. Tidak hanya konsep dokter – pasien di atas, misalkan saja kepo ketika belajar atau saat kuliah. Andai seseorang punya sifat kepo yang sedemikian besar, pasti ia tak akan puas sampai menemukan jawaban atau info yang dia butuhkan. Jika ini benar-benar terjadi, sungguh betapa banyak ilmu yang akan dia dapatkan.

Sayangnya, semua orang memang tidak tertarik untuk kepo. Karena itu tadi, kepo itu kadang menyakitkan dan melelahkan. Buang-buang waktu dan mungkin tidak ketemu. Makanya, wajar juga jika hanya sedikit orang benar-benar paham ilmu dengan kekepoannya.

Terlepas dari itu semua, kepolah sesuai situasi dan kondisi. Jika itu kepo baik, pasti tak akan rugi. Insya Allah.



Harus Pintar

09:33 0 Comments

Kemarin, saya melakukan refleksi dengan teman-teman saya. Kami mengingat-ingat ilmu apa saja yang sudah kami dapatkan selama belajar di preklinik, saat hanya duduk manis di dalam ruang kelas menerima kucuran ilmu dari para dosen. Bisa dikatakan ilmu itu sering hanya numpang lewat. Lewat selama beberapa hari, mengendap sebentar, dikeluarkan saat ujian, lantas menghilang, tertumpuk dengan materi ilmu baru.

Rasanya menyedihkan. Ilmu dari semester satu mungkin tak sekuat ilmu ketika semester tujuh. Apakah ada yang salah?

Mekanisme lupa dan mengingat yang baru sebenarnya adalah mekanisme yang normal dan sangat wajar. Hanya saja, tidak semua orang menerima faktor lupa yang kita miliki. Misal, ada seorang pasien datang dan bertanya, “dok, penyakit ini maksudnya gimana ya?” lantas dokter tersebut hanya diam dan dalam hati berkata, “duh, saya lupa”.

Saat preklinik dulu orang-orang masih sering memaklumi, “Ya maklum lah, masih kuliah. Mungkin belum dapat materi itu”. Ketika koas, pemakluman itu sedikit berkurang, tetapi setidaknya kita masih bisa berlindung di bawah ketiak residen atau dokter dan berkata, “Nanti dikonsulkan dengan dokter saja”. Tapi, jika sudah menjadi dokter kelak, rasanya tak ada lagi tameng untuk kita. Mau tak mau kita harus menjawabnya. Bahkan bisa jadi kitalah yang dijadikan tameng selanjutnya dan harus melindungi orang lain di bawah ketiak kita.

Lalu bagaimana jika lupa? Padahal orang lain terus menuntut dan menuntut. Masyarakat menganggap bahwa dokter tahu segalanya. Ya, segalanya. Dan jika dokter tidak tahu, cap bodohlah yang melekat. Jika cap bodoh terlanjur melekat, pergilah pasien-pasien itu.

Seorang kakak tingkat pernah berkata, “Kuncinya adalah ulang-ulang, ulang-ulang, ulang-ulang.” Persis ketika seseorang akan menghafal Al-Qur’an. Proses menghafalnya mungkin mudah saja, tetapi proses membuat hafalan itu mengendap dan tak kan terlupalah tantangannya. Maka perlu muroja’ah.

Pak Dekan sendiri pernah berkata, “Jadilah orang yang paling pintar. Jika tidak pintar, jadilah orang yang paling rajin. Saya tidak pintar, maka saya harus rajin. Kalau teman saya membaca buku satu kali, saya harus membaca buku itu mungkin sampai sepuluh kali.” Hm…, barangkali memang harus begitu. Menyadari jika kemampuan sedikit di bawah, lantas memberikan usaha lebih agar bisa tetap berdiri sama tinggi.

Prinsipnya tetap sama. Ulang-ulang, ulang-ulang, ulang-ulang. Maka, tak ada kata berhenti untuk belajar. Tak ada alasan untuk tidak tahu. Tak ada toleransi untuk dokter bodoh. Karena di depan mata sana ada pasien yang menunggu, ada pasien yang bertanya dan benar-benar butuh jawaban darimu.

Bisa? Insya Allah bisa…



Saturday, 13 April 2013

Lelah?

01:37 0 Comments

Beberapa teman yang sudah masuk stase koas mulai bercerita satu demi satu. Ada yang bersyukur bisa merebahkan badan di tempat tidur. Ada yang lega karena bisa mengistirahatkan kakinya. Ada pula yang tersenyum lebar karena bisa kembali mengisi perutnya. Semua komentar mereka mengisyaratkan satu hal, mereka lelah.

Ya, koas itu lelah. Begitu katanya. Tapi, pak dekan kembali mengingatkan, “Yang namanya koas memang harus lelah. Berlelah-lelah dahulu, bersenang-senang kemudian.”

Mungkin terkesan menyebalkan kata-kata itu, tapi anggapan menyebalkan itu muncul karena kita hanya melihat satu sisi saja.

Lantas seorang dokter berkata, “Saya nggak habis pikir kalau koas zaman sekarang itu banyak mengeluh. Kalian masih bisa tidur waktu jaga malam, sekalipun hanya setengah jam. Kalian ga perlu menangkap status pasien yang dibuang di depan muka kalian. Kalian tidak perlu meringis kesakitan karena dilempar spidol di jidat kalian. Lalu, kenapa kalian masih saja mengeluh?”

Kata-kata dokter itu menohok. Seorang teman saya juga pernah berkata ketika saya sempat mengeluh di suatu keadaan. Dia menyindir, “Buat apa kamu sholat setiap hari kalau masih saja mengeluh?”

Ya, benar. Sholat adalah bukti syukur. Seharusnya ketika seseorang sudah sholat, dia sudah pintar untuk bersyukur. Tapi tetap saja leher manusia itu terlalu kaku. Teman yang lain berkata, “Di atas langit memang masih ada langit. Tapi jangan lupa kalau di bawah juga ada bumi.” Dia mengajak kami untuk berpikir, bisa saja seseorang iri (dan jadi tidak bersyukur) karena melihat orang lain terasa lebih enak. Sayangnya, dia lupa kalau di bawahnya ada orang yang lebih tidak beruntung.

Ya, ada orang yang mungkin ingin jadi dokter tapi tidak diterima di fakultas kedokteran. Ada orang yang bahkan untuk membayar biaya SPP SD saja masih harus berjuang mati-matian. Itulah, karena leher manusia terlalu kaku sehingga tak mau menatap ke bawah.

Merasa lelah tentu boleh saja. Wajar, bahkan rasa lelah itu juga peringatan dari Allah agar kita tidak mendzalimi diri kita sendiri. Tapi, kelelahan yang jadi keluhan itu yang menjadi masalah. Apapun yang terjadi, minimalkan untuk mengajak lisan. Urusan perasaan (lelah, sedih, marah, ataua apapun itu) adalah perkara hati. Tak perlu mengajak lidah yang sering justru memperparah.


Friday, 12 April 2013

Boleh Minta Nomor HP?

06:15 0 Comments

Ada seorang dokter yang bercerita. Pernah suatu ketika seorang perawat menghubunginya. Perawat itu bertanya, “Dok, ada pasien ingin tahu no HP dokter. Boleh?”

Dokter itu mengernyitkan dahinya. Bukan karena terganggu karena diminta no HP-nya, tapi terganggu dengan pertanyaan perawat itu. Singkat cerita, dokter itu berkata, “Catat ya, kalau ada pasien yang minta no HP saya, serahkan saja tanpa perlu bertanya lagi”

Lalu dokter itu pun berkata pada kami, para dokter muda, “Jangan pernah pelit kalau dimintai no HP”.
Beliau adalah dr.Jusup, wakil direktur bagian pelayanan RSUD Dr. Moewardi. Menurut beliau, memberikan no HP kepada pasien itu banyak keuntungannya dan beliau tidak habis pikir jika ada dokter yang pelit dengan no HP-nya.

Pertama, pasien yang meminta no HP itu cenderung berpotensi untuk menjadi pasien setia. Mereka butuh kehadiran sang dokter, maka mereka meminta no HP-nya. Beberapa dokter yang anti memberi no HP memiliki pakem bahwa pasien harus menemui dia. Tapi, dr.Jusup berpikiran bahwa HP sebagai komunikasi bisa menjadi pengikat. Misal, ada pasien yang rumahnya jauh. Boleh jadi pasien itu mengontak sang dokter lebih dahulu, barulah berkesempatan untuk bertatap muka dan diperiksa oleh dokter.

Yang kedua, memberikan no HP kepada pasien juga bisa menjadi salah satu sarana follow up kesehatan. Bahkan dalam konsep dokter keluarga yang saat ini sedang digalakkan di Indonesia, seorang dokter hendaknya memiliki komunikasi intens dengan pasiennya. Ketika pasien sakit, mereka tak segan menghubungi dokter. Ketika pasien sudah diberi obat, dokter tak lupa pula untuk menanyakan kesehatan pasien beberapa hari setelahnya. Jika konsep dokter keluarga ini benar-benar dijalankan, artinya no HP dokter murni harus menjadi makanan umum para pasien.

Bagi kami dokter muda, memberikan no HP dapat menjadi faktor pelayanan tambahan. Tak jarang ada pasien yang bertanya secara pribadi dengan dokternya. Ketika banyak ditanya, mau tak mau semakin banyak pula materi yang harus dipelajari. Semakin banyak yang dipelajari, bukankah kita makin untung sendiri?

Barangkali ada yang khawatir juga jika asal memberikan no HP. Kekhawatiran pertama, takutnya no HP yang diberikan itu bukan sebagai pelayanan tapi justru sebagai ajang untuk menerima complain sebanyak-banyaknya. Jika dilihat dari sudut pandang ini, pasti tidak enak. Tapi coba jika complain ini dipandang sebagai sebuah masukan, lantas dokter bisa sekaligus mengklarifikasi lewat HP pula, bukankah bisa jadi pasien juga puas dengan pelayanan kita?

Kekhawatiran selanjutnya yaitu no HP yang tersebar itu bisa jadi justru mengganggu. Misal sedang sibuk dan asyik dengan keluarga, tiba-tiba ada panggilan atau SMS pertanyaan. Boleh saja seorang dokter menganggap waktu keluarga adalah murni dengan keluarga, tapi ada juga yang berpikiran bahwa dokter bekerja 24 jam dan harus siap sewaktu-waktu ada panggilan.

Perkara mau memberi no HP atau tidak, pasti ada untung ruginya tersendiri. Yang jelas, no HP tidak untuk disalahgunakan. Bukankah prinsip ambil manfaat dan tinggalkan madharat tetap harus dijunjung tinggi?


Wednesday, 10 April 2013

Sempurna

23:16 0 Comments

Manusia itu tidak sempurna, tapi dokter harus sempurna.

Mendengar kalimat di atas ketika di rumah sakit kemarin membuat saya bergidik. Quote itu sedikit mengusik saya.

Kita pasti tahu bahwa manusia itu tidak sempurna. Meskipun Allah menciptakan manusia sebagai makhluk dengan penciptaan sebaik-baiknya, tetap saja manusia tidak akan mencapai label sempurna tanpa cela. Barangkali ada kecacatan fisik yang dia punya. Barangkali ada kekurangan mental atau intelektual pada dirinya. Mungkin juga ada sifat-sifat yang membuatnya terlihat sama sekali tidak sempurna. Agaknya quote ini sudah banyak yang tahu dan bisa jadi hampir semua setuju

Tapi, dokter harus sempurna? Saya sedikit tidak terima. Kalau manusia saja secara aklamasi dibolehkan untuk tidak sempurna, mengapa dokter tidak?

Kita sedikit bermain-main dengan diagram venn di sini, atau permainan negasi di matematika dan bahasa Indonesia dulu. Kalimat pertama, dokter adalah manusia. Kalimat kedua, manusia tidak sempurna. Bukankah seharusnya jika digabungkan maka dokter tidak sempurnya? Jika dokter harus sempurna, sedangkan manusia boleh tidak sempurnya, memangnya dokter itu bukan manusia?

Dokter adalah manusia, bukan robot. Jika dokter adalah robot, tentu dia akan bisa menjalankan semua prosedur sesuai dengan settingannya. Kemungkinan kesalahan bisa saja lebih kecil, asalkan pengaturannya pun sudah benar.  

Tapi, dokter bukanlah robot. Dokter punya hati yang bisa merasakan. Dokter punya akal untuk berpikir dan mempertimbangkan. Sayangnya dokter yang punya hati dan punya akal adalah sesosok manusia yang katanya adalah gudang salah dan alpa. Lantas, jika memang tempatnya salah, bagaimana akan sempurna?

Mungkin kalimat quote di atas bukan semata-mata menuntut kesempurnaan dari seorang dokter. Jika dilihat dari sudut pandang lain, kalimat tersebut justru bisa jadi bermaksud untuk mengajak dokter agar berusaha semaksimal mungkin mendekati kesempurnaan. Seperti yang sudah dibahas di note sebelumnya, seorang dokter diminta menjamin keselamatan pasien dan dituntut untuk memberi manfaat dan bukan madharat. Maka, wajar kiranya jika kalimat itu sedikit mendesak para dokter agar mau berusaha lebih demi mendekati label sempurna.

Apakah itu suatu beban dan terkesan muluk-muluk? Rasanya tidak juga. Asalkan nawaitunya mengabdi dan motivasinya berkah, insya Allah mau dituntut seperti apapun akan ada kekuatan pertolongan Allah yang menyertai. Karena Allah maha sempurna, boleh jadi label mendekati sempurna itu melekat pada diri kita karena Allah membersamai kita. Insya Allah. Aamiin…



Tuesday, 9 April 2013

Bebas Moral Hazard, Bebas Fraud

23:59 0 Comments

Oke, petuah dari Pak Direktur yang terakhir adalah tentang bebas dari hal-hal buruk. Kedua sifat buruk tersebut adalah Moral Hazard dan Fraud. Moral hazard dapat diartikan sebagai sifat atau pembawaan yang menyebabkan kerugian di bandingkan risiko rata-rata, sedangkan Fraud diartikan sebagai kecurangan terhadap hukum.

Bisa saja kita sudah paham tentang filosofi-filosofi sebelumnya, mulai dari konsep manfaat dan madharat, serta hukum tertinggi. Namun, semuanya kembali kepada diri kita sendiri. Apakah kita termasuk orang yang akan menjalankan dengan baik, atau kita berusaha menjalankannya tapi sayangnya tidak bisa benar-benar baik?

Di sinilah moral hazard bermain. Mungkin kita sudah berniat untuk membantu dengan sungguh-sungguh. Kita berusaha memberikan manfaat dan seminimal mungkin mencegah adanya madharat, sayangnya kita tersandung oleh moral hazard. Pembawaan kita yang ceroboh bisa jadi menyebabkan kita ceroboh pula ketika menyuntikkan obat. Sifat kita yang pelupa boleh jadi menyebabkan kita lupa pula memberikan edukasi cara meminum obat kepada pasien. Begitu seterusnya.

Sepele memang, tetapi sifat-sifat sepele itu bisa jadi memberikan madharat yang tidak kita duga. Sesuatu yang sebenarnya tidak akan berisiko tetapi karena jatuh di tangan kita yang memeliki pembawaan tertentu, akibatnya justru jadi sangat berisiko.

Demikian juga dengan Fraud. Boleh jadi kita paham dengan konsep hukum tertinggi adalah keselamatan pasien, tapi sayangnya kita punya karakter Fraud yang suka melakukan kecurangan terhadap hukum. Aturan penanganan yang harusnya sesuai prosedur A, tetapi karena sulit lantas kita ubah sedikit menjadi aturan B. Pasien yang seharusnya baik-baik saja dan tertangani sesuai prosedur justru menjadi kenapa-kenapa karena kita member toleransi tersendiri pada hukum yang sudah ada patokannya.

Lagi-lagi toleransi hukum itu mungkin dianggap sepele. Contoh umumnya saja misal seseorang melanggar lampu merah. Sepele mungkin. Kita menganggap, “ah, ga papa hanya lewat sedikit saja”, tapi siapa yang tahu kalau dari arah berlawanan ada kendaraan yang memang sudah jatahnya untuk melaju. Bisa jadi terjadi kecelakaan. Perkaranya cuma satu. Kita ceroboh dan membuat toleransi sendiri dari hukum yang berlaku.

Moral hazard memang sebuah karakter dan pembawaan, tapi karakter bisa diubah jika memang diupayakan. Hukum yang ada memang sudah pakemnya untuk ditaati, bukan untuk dicurangi demi kepentingan sendiri. Bebas dari sifat buruk dan semua kecurangan hukum? Insya Allah…


Monday, 8 April 2013

Hukum Tertinggi

23:15 0 Comments

Dalam dunia kedokteran, terdapat sebuah hukum tertinggi. Agroti salus lex suprema. Keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi, demikian artinya. Begitulah prinsip ketiga yang disampaikan oleh Direktur RSUD Dr.Moewardi kepada kami.

Lihat, hukum tertinggi kami adalah keselamatan pasien. Apakah ini legal? Apakah ini lebai?

Oke, mungkin ada yang beanggapan bahwa hukum ini hanyalah hukum ilegal dalam arti sekedar hukum buatan manusia. Bukankah hukum tertinggi tetap peradilan-Nya? Ya, tentu saja. Tapi, coba bayangkan keadaan ini. Ketika kita menjadi dokter, maka kita diberi tanggung jawab akan kesehatan dan keselamatan pasien. Jika kita mengobati dan memberikan perawatan dengan baik, selamat dan sehatlah pasien itu.

Ingat, pasien adalah amanah kita. Bukankah segala yang menjadi amanah akan dipertanggungjawabkan kelak? Jika kita aman dengan amanah ini di dunia karena pasien selamat dan sehat, bukankah Insya Allah akan aman pula dengan pertanggungjawaban di akhirat kelak? Jadi, tidak sepenuhnya salah juga jika disebut hukum tertinggi adalah keselamatan pasien. Karena dengan keselamatan pasien itulah, hukum tertinggi dari Allah kelak akan menyelamatkan kita saat pertanggungjawaban di akhirat.

Tak perlu jauh-jauh hingga ke negeri akhirat, di dunia pun keselamatan pasien memang menjadi hukum yang tertinggi. Anggaplah kita memberikan pelayanan kepada pasien. Jika pasien sehat dan selamat, tentu mereka akan merasa senang. Coba bayangkan jika pasien justru semakin parah karena kita melakukan malpraktik, tentu kita pun tidak dalam posisi aman. Artinya, keselamatan pasien memang kunci dari ‘nasib’ seorang dokter. Jika pasien selamat, dokter juga selamat. Jika pasien tidak selamat dengan catatan karena kesalahan dokter, tidak selamat pulalah nasib sang dokter. Maka, benar pula kiranya jika dikatakan bahwa kesalamatan pasien merupakan hukum tertinggi.

Tentu saja konsep ini tidak hanya berlaku pada profesi dokter saja. Konsep totalitas dan tanggung jawab dalam menjalankan amanah berlaku dalam semua hal. Seorang pilot tentu memiliki hukum tertinggi berupa keselamatan penumpang. Seorang koki barangkali memiliki hukum tertinggi berupa hidangan yang halal dan thayib. Demikian juga degan segala aktivitas lainnya.

Apapun itu aktivitasnya, hukum tertinggi itu memang benar-benar berlaku. Adanya hukum ini bukan berarti menambah hukum baru dari hukum yang telah diatur Sang Pencipta, melainkan hukum ini sekedar subhukum tertinggi sebelum berhadapan dengan hukum tertinggi sesungguhnya di akhirat nanti.