Follow Us @soratemplates

Tuesday, 30 September 2014

Komitmen

17:26 1 Comments

Apa yang kau tahu tentang komitmen?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komitmen adalah suatu perjanjian (keterikatan) terhadap sesuatu atau kontrak. Dalam sebuah hubungan atau interaksi antar perseorangan, tak jarang orang meminta komitmen satu sama lain. Sesuai definisi tadi, boleh jadi di sini mereka saling membuat kontrak. Bisa jadi pula mereka sekedar diharapkan untuk saling terikat.

Berbicara tentang komitmen seringkali yang terbayang adalah interaksi seorang laki-laki dan perempuan. Sepasang lelaki dan perempuan seringkali bermain-main dengan komitmen. Perempuan berharap laki-laki terikat padanya. Sebaliknya, lelaki juga berharap agar perempuan terikat pula.

Masalahnya, ikatan apa yang dimaksud di sini? Dalam istilah pramuka, dikenal berbagai macam simpul. Ada simpul mati, ada pula simpul hidup. Begitukah juga dengan hubungan laki-laki dan perempuan? Ada yang tersimpul dan terikat hingga mati dan ada pula simpul sekenanya dengan ikatan longgar yang sewaktu-waktu bisa dilepas sesuka hati.

Terlepas dari itu, perkara membuat simpul juga bukan persoalan yang mudah. Terkadang sudah mencoba diikat kuat, tapi tetap ada yang meleset. Ada pula yang agar tidak meleset, lantas diikat sedemikian rupa hingga justru menjadi terkesan rumit. Begitu pula dengan komitmen. Pelik, dan dirasa cukup sulit.

Maka, wajar jika ada orang yang berkata, "Karena komitmen itu susah, jangan sia-siakan dia yang datang dengan membawa komitmen. Pertimbangkan, dan jangan langsung ditolak. Setidaknya dia berani datang padamu dengan komitmen, dibandingkan mereka yang sekedar sambil lalu tanpa membawa apa-apa padamu."

Namun lantas orang lain menimpali, "Tapi ini juga bukan lomba lari. Bukan karena dia datang lebih dulu dengan komitmen lantas dipikirkan dan mereka yang datang belakangan tak perlu dipertimbangkan."

Perkaranya ada di komitmen itu sendiri. Kontrak akan terjadi jika dua pihak saling sepakat. Bukan perkara waktu, melainkan siapa yang mau datang membawa MoU dan siapa yang mau menandatangani kontrak.

Setiap penawaran memang tidak boleh diremehkan. Tapi setiap penawaran juga tak lantas diiyakan dengan dalih mumpung ada penawaran. Hati-hati karena setiap penawaran pasti sesuatu yang menggiurkan. Tak ada iklan yang tak menarik di dunia ini. Boleh jadi sekedar mengiyakan setiap penawaran yang datang justru menjadi bukti suatu bentuk keserakahan. Boleh jadi alasan yang penting segera membuat ikatan dari penawaran yang diajukan justru hanya akan menciptakan simpul yang asal-asalan.

Simpul hanya akan kuat ketika dua buah ujung tali bersinergi untuk saling mengikat. Begitu pula dengan komitmen. Butuh dua kendali yang membuatnya tetap terikat. Namun layaknya tali yang juga bisa bermata dua justru membunuh dengan jeratannya, begitu pula dengan komitmen yang terasa terlalu mengikat hingga membuat kita terjerat pula.

Layaknya simpul pramuka yang punya manfaat sesuai dengan bentuk yang tepat, semoga begitu pula dengan komitmen yang akan membawa manfaat karena dibentuk dengan tepat. Aamiin...

Monday, 29 September 2014

Should We?

22:30 2 Comments

Satu bulan lagi koas saya selesai. Satu bulan lagi saya sudah tak bisa berlindung dengan dalih, "Kan masih koas". Satu bulan lagi saya berproses menghapus kata 'muda' dari titel dokter muda saya. Dan tiba-tiba saya ketakutan.

Saya ketakutan apa yang akan saya lakukan setelah ini. Bukan karena akan menjadi pengangguran, melainkan membayangkan tanggung jawab yang akan kami pegang. Saya melihat dokter-dokter di sekitar saya, dan saya bertanya "Haruskah kami begitu juga nantinya?"

Saat ini saya sedang menemani teman yang akan ujian stase anak. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 dan pasien terakhir belum selesai diperiksa. Dokter yang memeriksa sudah berumur, sudah nenek-nenek yang menurut kami, "Ya Allah, apa beliau tidak lelah hingga selarut ini?"

Saya teringat seminggu yang lalu saat menemani ibu periksa jantung ke profesor saya. Beliau sudah hampir pensiun, jalan pun sudah tertatih-tatih. Tapi hingga jam 21.00, rumahnya masih terbuka untuk menerima pasien. "Haruskah begitu hingga renta nanti?"

Saya ingat saat saya harus ujian malam di salah satu rumah sakit swasta. Dokter saya praktik di sana hingga jam 22.00 juga. Padahal esok harus kembali ke moewardi lagi hingga siang hari. Selepas magrib sudah kembali ke RS swasta ini lagi. Entah jika beliau buka praktik pagi atau sore di rumah. Hingga beliau hanya baru akan terhenti ketika tubuhnya sakit. "Begitukah hingga Allah harus memberikan sakit untuk membuatnya istirahat?"

Belum lagi para residen yang masih sekolah untuk mendapat gelar spesialisnya. Harus sudah di rumah sakit jam 6.00 pagi. Belum jika dokter bedah yang harus menyelesaikan operasi hingga malam dan lanjut menyiapkan operasi untuk esok hari, dan jam 6.00 harus sudah datang lagi. "Oh my god, itukah rutinitas yang akan kami jalani nanti".

Seorang teman lantas berkomentar, "Kita boleh kok untuk mengakhiri jalan ini. Boleh kok untuk tidak meneruskan proses ini." Tapi kami lantas menggeleng. Tidak! Sudah sejauh ini, sudah tinggal satu bulan lagi. Ini mimpi kami, ini cita-cita kami.

Maka kami mungkin hanya butuh tekad layaknya di film 5cm. Yang kami perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.

Mampukah kami? Insya Allah. Jika Allah memang menjadikan itu sebagai jalan kami, pastilah akhirnya akan benar-benar kami jalani. Semoga...

Monday, 22 September 2014

Berdiam Sejenak

11:49 0 Comments

Aku duduk di sudut ruangan pagi ini. Tak ada aktivitas, tak ada kepentingan. Ah, salah. Bukankah duduk mematung juga sebuah aktivitas? Andai aku bisa meminjam jubah tak terlihat Hary Potter, mungkin lengkap sudah ketidakberadaanku kali ini. Ya, aku sedang menjalani hobiku, meniadakan diri sendiri dan membuat orang lain benar-benar ada. Sebuah kesenangan aneh yang diam-diam sering kulakukan di tengah kesendirian.  

Seorang teman mengajariku dulu, "Cobalah sekali waktu kamu diam dan memposisikan diri sebagai orang lain. Kau akan banyak belajar dan merasakan dirimu dan orang lain."  

Aku mengangguk. Tentu saja. Bukankah kita akan lebih memahami orang lain ketika kita memposisikan diri sebagai orang lain itu. Ternyata bukan itu maksudnya. Bukan untuk memahami, tetapi sekedar merasakan kehidupan yang berbeda dari hidupmu sendiri.  

Maka itulah yang aku lakukan, murni dengan dalih iseng dalam kesendirian.  

Aku mengamati bapak parkir yang berdiri di tepi jalan. Sesekali dia duduk dan tengok kanan kiri. Beberapa residen lalu lalang, masuk ke gang tikus. Hm, mungkin mereka baru sempat sarapan. Ada teman-teman koas yang baru datang. Sebagian tergesa, sebagian berjalan gontai. Hei hei, ini masih pagi kawan. Tiba-tiba terdengar suara tukang parkir, dengan deru mesin mobil yang ia atur. Seorang pasien turun perlahan dari sebuah sepeda motor. Terlalu perlahan. Oh, kakinya luka. Seorang staff melintas. Ada yang menyapa, menunduk, menghormat. Ada yang acuh, mungkin tidak kenal atau tak pernah berurusan. Di seberang sana teman koas terkantuk-kantuk, "Ah, malas. Pulang aja lah," katanya sambil beranjak. Ponselku bergetar, "Aku memutuskan: ya". Aku tersenyum. Kupandang lagi sekeliling, pekerja bangunan masih berlalu-lalang. Pasien masih berdatangan. Tukang parkir masih mengatur-atur.  

Aku tersenyum.

Dunia terus berputar, sekalipun kamu berdiam. Akan terus bergerak, sekalipun kamu berhenti sejenak. Begitu adanya, sesuai perannya. Peran bapak parkir, pekerja bangunan, dokter, pasien, bahkan peran burung berkicau yang menari di langit pagi ini.  

Aku beranjak. Kuambil peranku. Sudah saatnya kembali meramaikan dunia.

Saturday, 13 September 2014

Di Tanganmu

15:15 0 Comments
Seorang gadis menghabiskan waktu dengan membaca buku ditemani secangkir kopi dan alunan musik klasik di sebuah kafe. Seorang lelaki menepuk pundaknya dan mengambil duduk tepat di depannya.

"Hai, apa kabar? Bagaimana hidupmu? Bagaimana mimpi-mimpimu?" tanyanya.

Gadis itu membetulkan posisi duduknya, melanjutkan membaca.

"Bagaimana rencana studimu? Kau jadi melanjutkan S-2? Sudah mendapat beasiswa? Atau justru sudah diterima?" kejarnya.

Gadis itu masih tetap membaca.

"Atau kau mau mulai bekerja? Bagaimana dengan rencana kariermu? Sudah mulai merintis usaha seperti yang kau rencanakan dulu? Apa bisnismu sekarang?" tanyanya lagi.

Gadis itu meraih cangkir kopinya, meminumnya sebentar, tanpa memalingkan matanya dari barisan huruf di bukunya.

"Hei, ada apa denganmu? Aku tak melihat binar di matamu. Kau berbeda! Jangan-jangan kau belum merencanakan hidupmu? Di mana kau yang selalu bersemangat menceritakan mimpi dan rencana masa depanmu?" lelaki itu mengguncang bahu sang gadis.

Gadis itu menepis tangan lelaki di bahunya. 

"Sudah, diamlah! Aku ini perempuan. Masa depanku ada di tangan kaummu, lelaki."

Gadis itu kembali membaca bukunya.


Thursday, 4 September 2014

Smile :)

22:31 0 Comments
Bagaimana perasaanmu hari ini? Jika Anda bertanya pada saya tadi pagi, mungkin saya akan menjawab, "Ah, malas, ga enak badan, skip saja lah hari ini". Tapi, coba tanyakan di petang tadi, maka saya akan menjawab, "Happy...! Alhamdulillah, hari ini menyenangkan!". 

Ada apa gerangan? Tidak ada apa-apa sebenarnya. Saya hanya sedang memaknai tentang konsep bahagia. Ada yang bilang, "Bukan karena bahagia maka kamu tersenyum, tapi karena tersenyum maka kamu bahagia". Hari ini saya merasakan betul makna di balik kalimat itu.

Tadi pagi saya berangkat ke rumah sakit dengan semangat seadanya saja. Yah, sekedar menjalani hari, berharap rutinitas hari ini berakhir dengan segera. Mungkin kalau saya berkaca, wajah saya akan terlihat tertekuk di mana-mana. 

Tapi, refleks otot wajah saya berubah.Tepatnya ketika memasuki bangsal pagi itu dan mulut ini berkata, "Pagi ibu, saya dari bagian jantung, mau periksa tensi ya. Pagi ini ada keluhan?" Mulai berceritalah pasien-pasien itu. Entah tentang nyerinya, entah tentang sesaknya, sembari saya berkutat dengan manset tensimeter di pergelangan tangan mereka. Saya? Tersenyum.

Lalu saya melangkah ke poliklinik, menemui pasien-pasien yang sudah duduk manis di ruang tunggu. Ah, banyaknya, mungkin saya akan menggerutu begitu. Tapi, lagi-lagi ketika mulut berkata, "Silakan duduk pak/bu, baru pertama datang?" atau "Mau operasi ya pak/bu?" atau ketika pertanyaan berlanjut, "Apa yang dirasakan pak/bu?". Lagi-lagi saya tersenyum.

Jam sudah lewat pukul 14.00. Teman koas bahkan sudah kabur dan mengajak saya pulang saja. Tapi pasien di luar kamar periksa masih banyak. Residen masih memeriksa pasien satu demi satu. Kalau mau, saya bisa saja pulang. Dan saya hampir saja menggerutu karena berpikir, "Duh residennya lama sekali, mau pulang jam berapa ini". Tapi, saya justru melangkah masuk ke ruang periksa residen dan justru mendiskusikan pasien. Beliau mengajari saya ini itu. Ah, Alhamdulillah dapat ilmu. Pun ketika keluarga pasien yang saya periksa sebelumnya berkata, "Belum pulang bu dokter?" dan saya menjawab, "Belum, bu. Menunggu dokternya sekalian." Lagi-lagi cuma bisa dengan tersenyum.

Ketika pulang, waktu menunjukkan lebih satu jam dari jam kerja. Seharusnya saya segera pulang karena ada janji jaga klinik salah satu organisasi yang saya ikuti. Kalau dipikir-pikir, sudah sore begini pasti malas sekali harus berangkat lagi dan menjaga klinik. Betapa enaknya sampai di rumah langsung berbaring dan melepas lelah. Tapi saya teringat bagaimana beberapa tahun yang lalu saya kecewa ketika menghubungi koas dan sibuk tidak bisa menjaga klinik. Maka, saya tekadkan untuk berangkat, demi menjaga semangat adik-adik tingkat.

Dan lagi-lagi itulah yang terjadi pada saya. Ketika pasien bercerita, "Saya sudah sendirian bu dokter, sakit-sakitan begini," atau, "Suami saya kecelakaan dan jadi begitu, dok. Obatnya habis," atau "Saya cocok berobat di sini dok, mau minta obat ini saja". Lagi-lagi saya tersenyum.

Dalam hati saya berpikir, ah dokter itu sungguh manusia bermuka dua. Bagaimana teraduk-aduknya hatinya, tetap saja dia bermuka topeng dengan memasang senyum di depan pasiennya. Munafikkah? Tidak, menurut saya. Bagi saya hari ini, justru senyum saya yang dipaksa keadaan itulah yang membuat hati saya benar-benar bahagia.

Mungkin benar bahwa dokter itu adalah artis, ya pekerja seni. Seorang senior pernah berkata ketika saya dan teman-teman menjadi pengurus harian OSIS SMA dulu. "Pengurus inti OSIS itu harus bisa jadi artis dan bermain peran. Kalian boleh pusing memikirkan program kerja, tapi ketika bertemu anak buah dan mendengar keluhan mereka, posisikan diri untuk menjadi ayah dan ibu yang mengayomi. Ketika kalian bertemu teman non-pengurus OSIS, tertawalah dan bermainlah seolah OSIS tak ada masalah. Begitu seterusnya." Saya rasa, peran dokter tak jauh berbeda.

Mengapa saya tersenyum? Entahlah. Mungkin saya bersyukur karena kondisi saya jauh lebih baik daripada pasien-pasien saya. Mereka mengeluh pada saya. Artinya, posisi saya jelas lebih beruntung dibandingkan mereka. Atau, mungkin hanya sekedar sopan santun semata sebagai seseorang penyaji jasa. Entah apapun itu, yang pasti saya merasakan bahwa karena tersenyum maka saya bahagia, dan belum tentu sebaliknya yaitu karena bahagialah maka saya baru tersenyum.

Sungguh, saya berterima kasih sekali pada pasien-pasien yang saya temui hari ini. Terima kasih karena telah membuat saya bahagia. Tentu saja saya tidak bermaksud bahagia di atas penderitaan mereka. Tapi, mereka begitu banyak memberikan hikmah untuk hati ini. Terima kasih. Dan yang bisa saya lakukan hanyalah mendoakan mereka agar Allah SWT segera memberikan kesehatan pada mereka. Aamiin...

Saya jadi teringat pada seorang sahabat lama saya, sahabat OSIS saya yang selalu memaksa saya untuk tersenyum. Ketika tekanan terasa berat di mana-mana, dia akan selalu memaksa, "Keep smiling!". Ketika air mata rasanya ingin menetes, dia akan menggenggam erat tangan saya sambil tersenyum dan berkata, "Keep smiling".

Ya, keep smiling. Tetaplah tersenyum karena justru dengan tersenyum maka kau akan bahagia.




Monday, 1 September 2014

Sudah Biasa

05:21 0 Comments
Saya punya teman dekat, sebut saja namanya Budi. Kami beda kelompok koas, hanya sesekali saja bertemu di stase tertentu. Suatu ketika saya menjadi seniornya. Ketika suasana koas pada saat itu sangat ribut, dia sebagai koas junior terlihat begitu banyak perkerjaan, sedangkan saya sebagai senior kebetulan sudah menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Maka saya menghampirinya.

Saya mengambil beberapa jatah pekerjaannya dan dia sontak berkata, "Eh, mau dibawa ke mana?" Tahu dia bertanya begitu, saya pun menjawab dengan nada sewot, "Mau aku kerjain. Mau ga dibantuin? Mau cepet pulang ga?" Saya pun langsung ngloyor pergi tanpa menunggu komentarnya. Teman kelompok saya yang mendengar itu langsung berkata, "Aduh Mbak Avi, galak amat sih sama Budi. Kasihan kan". Tahu ada yang membela, Budi tersenyum menang. Saya mengomentari dengan ringan, "Sama Budi aja mah udah biasa. Biarin".

Beberapa menit kemudian kami para koas diajak makan siang. Kebetulan kami koas senior banyak yang puasa, sedangkan koas junior sedang tidak puasa. Mereka tidak enak hati karena makan padahal senior tidak. Maka saya pun berkata, "Ya udah sana makan, biar kerjaannya dilanjutin senior. Seniornya baik kan," kataku sambil tertawa. Tiba-tiba Budi menyahut setengah menggerutu, "Apaan ketawa-ketawa. Baik apanya. Itu sih karena senior puasa, kalau ga juga tetap bakal makan." Saya cuma manyun mendengar Budi ngomel sendiri. Giliran teman Budi yang berkomentar, "Kamu kok galak banget sih sama Mbak Avi." Kini saya yang tersenyum karena dibela. Tapi Budi pun menimpali, "Halah, sama Avi, udah biasa".

Hm, saya hanya iseng mau berkontemplasi di sini. Saya dan Budi adalah seorang teman yang sudah cukup mengenal. Mungkinkah karena merasa sudah mengenal lantas kami saling menggampangkan satu sama lain? Saya merasa biasa saja ketika sewot pada Budi, pun Budi juga biasa saja ketika mengomel pada saya. Sebaliknya saya juga biasa saja jika Budi mengomeli saya dan mungkin Budi juga sudah biasa pula ketika saya sewot padanya. Hanya saja, ini berlaku bagi kami, bagaimana menurut orang lain?

Layaknya teman sekelompok saya maupun teman sekelompok Budi, mereka menganggap kami terlalu galak satu sama lain, walaupun kami pribadi tidak menganggapnya demikian. Lantas saya berpikir, begitukah pandangan orang di dunia ini terhadap sikap seseorang yang dilihatnya? Khususnya ketika pandangan itu menjadi berbeda hanya karena faktor biasa dan belum terbiasa.

Contoh simpel lain begini. Ketika bertemu dengan orang tua di luar sana terlebih yang belum begitu kenal, mungkin seseorang akan begitu hormat dan menggunakan bahasa jawa halus. Tapi, beda halnya dengan orang tua sendiri di rumah. Mungkin karena sudah terbiasa lantas menganggap komunikasi selayaknya normal saja tanpa perlu 'mundhuk-mundhuk' dengan bahasa krama. Begitu juga dengan sahabat sendiri. Kita bisa bebas bersikap tanpa peduli image tertentu sedangkan dengan orang baru kita terkesan menjaga image. Begitukah?

Saya menganggapnya mungkin karena orang yang sudah terbiasa diharapkan sudah mengenal dan memahami kita. Barangkali orang tua akan maklum ketika anaknya tidak 'mundhuk-mundhuk'. Atau mungkin sahabat terdekat kita akan sangat paham ketika kita lepas kontrol dan menumpahkan padanya. Tapi, bagaimana dengan orang lain di luar zona kita?

Oke, kita memang tidak harus memperhatikan semua penilaian orang lain pada kita. Cuma, akan menjadi cukup miris ketika orang menganggap sikap ini sebagai sikap yang sekedar jaga image semata. Oh, tenyata si A itu ga hormat sama orang tuanya. Ah, ternyata si B kalau lepas kontrol memalukan juga. Hm, ternyata si C galak juga, dan seterusnya yang ternyata berbeda dengan image pada umumnya.

Bukan perkara imagenya menurut saya, melainkan saya anggap sebagai sebuah pengingat. Oh, ternyata manusia juga harus menjaga sikap. Bagaimana kita seharusnya tidak membeda-bedakan perilaku hanya karena menggampangkan posisi seseorang. Sekalipun tidak ada masalah karena mereka orang terdekat kita, bukankah menjaga sikap untuk menjadi lebih baik juga tidak ada salahnya?

Yah, ini sekedar iseng saja. Toh bagaimana sikapmu, itu terserah padamu...
CMIIW... :)

Tuesday, 26 August 2014

Mungkin Kamu Lelah

04:59 0 Comments
Seorang teman menemukanku teronggok tak berdaya di sudut musholla kampus siang tadi. Dia yang semula sekedar lewat lantas terpekik tak menyangka mendapatiku dalam posisi begitu. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir. Maka keluarlah ceritaku, dan dia menanggapi, "Mungkin kamu lelah. Aku sedih ngliat kamu kacau begini, padahal biasanya hidupmu selalu tertata rapi."

Lelah. Bukan sekali ini saja aku menuliskan tentang lelah di sini. Ada banyak tema lelah yang sudah aku keluarkan dari otakku sebelumnya. Lagi-lagi semua dengan sudut pandang berbeda. Semula di artikel lelah? aku mempertanyakan makna syukur bagi orang yang merasa lelah. Lalu di artikel lelah marah aku mempertanyakan tentang manajemen hati betapa lelah harus dikeluarkan dengan keikhlasan agar tidak merusak hati. Dan kali ini aku mempertanyakan lagi tentang keadaan kala lelah ini.

Teman yang menegurku di musholla itu semula sudah menegurku di kamar koas. Kami bercakap-cakap sebentar dan dia berkomentar, "Hei, jaga hati. Kenapa kamu marah-marah sama aku? Aku ga salah apa-apa kok kena semprot?" Asli, aku tidak bermaksud sama sekali untuk marah-marah. Nyatanya, temanku menganggapku begitu.

Aku pernah sedih dan menangis karena lelah. Bukan, bukan karena terlalu lelah hingga kesal dan menangis, tapi aku menangis kenapa aku harus mengalami kelelahan fisik yang mempengaruhi kelelahan hati. Di tulisan sebelumnya aku sudah menulis tentang makna ikhlas agar lelah fisik tidak merembet menjadi lelah hati. Sayangnya, tidak melulu aku bisa seperti itu dan pada akhirnya hati pun ikut lelah dan aku menangisi hal itu.

Saat itu aku lelah dan dalam bayanganku aku ingin segera pulang untuk beristirahat. Aku ingin tidur dulu untuk membayar hutang tidur jaga malamku. Pun aku ingin mendinginkan hati dulu setelah dicerca tekanan ini itu. Bayanganku rumah adalah tempat yang indah. Tidur, dan sirna sudah lelah fisik dan hati itu. Nyatanya, tidak bisa demikian. Di rumah aku dituntut menjalankan peranku sebagai anggota rumah. Ada keluarga yang menunggu yang berharap aku melakukan ini itu. Lelah? Entahlah, semula aku paham bahwa semua orang punya kelelahannya masing-masing. Maka, tak peduli dengan lelahku, aku seharusnya tetap melakukan pekerjaanku itu. Dan itulah yang terjadi, lelah, marah, yang akhirnya berujung dengan air mata yang menetes. Bukan apa-apa. Itu hanyalah air mata penyelasan, kenapa pula aku harus melibatkan amarah ketika lelah. Dan semua tinggal sebuah penyesalan.

Beberapa teman yang tahu kondisiku saat itu berkomentar bahwa mereka pernah mengalami keadaan itu pula. Bayangan rumah yang tenang menjadi awut-awutan karena kita sendiri yang uring-uringan. Sebenarnya kami sudah tahu juga bahwa urusan kerja (koas) biarlah urusan di rumah sakit, dan urusan rumah tetap urusan rumah. Aku juga pernah menuliskan begitu sebelumnya tentang jangan bawa-bawa urusan pekerjaan dalam rumah tangga. Nyatanya kami belum cukup mahir untuk itu, dan kami masih terbawa emosi ketika terjadi intrik yang seharusnya bisa ditanggapi biasa-biasa saja dengan keluarga.

Kami menyesal. Sungguh kami sedih ketika harus marah saat lelah. Lagi-lagi setan yang menguasai, dan pada akhirnya setan akan tertawa sedangkan kami hanya menangis. Sudah terlanjur marah, sudah terlanjur lelah, sudah terlanjur ada noda dalam interaksi dengan orang lain.

Seorang teman akhirnya berpendapat, "Memang harus banyak-banyak istigfar. Usahakan dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, bibir tidak pernah berhenti untuk beristigfar. Mohon ampun atas semua kesalahan di rumah sakit. Mohon ampun untuk hati yang terlanjur panas. Mohon ampun agar sesampai di rumah semua telah sirna dan hati menjadi tenang."

Ya, barangkali memang begitu. Perjalanan pulang haruslah menjadi ajang introspeksi, bukan sekedar ajang pengharapan kenikmatan istirahat yang sudah di angan-angan. Pun diingat pula sepertinya bahwa manusia cuma bisa berharap yang belum tentu semua terlaksana. Aku boleh saja berharap segera merebahkan badan begitu sampai di rumah, nyatanya belum tentu keadaan di rumah akan benar-benar mendukung untuk melakukan demikian.

Maka istigfar saja. Ketika fisik mulai terasa lelah, mohon ampun saja sebelum hati terlanjur merasakan lelah pula. Lebih baik mohon ampun di awal daripada mohon ampun di akhir dengan air mata penyesalan. Semoga kita masih tetap ikhlas menjalani rutinitas hingga tak perlu merasa lelah. Semoga jikalau akhirnya lelah sudah mendera fisik tak sampai merembet hingga lelah hati. Semoga... Aamiin...



Monday, 25 August 2014

Menulis, Mengganggu

01:24 0 Comments
Menulis adalah pekerjaan yang menyenangkan. Tapi, bagi sebagian orang, menulis juga bisa dianggap sebagai suatu aktivitas yang memberatkan. Banyak yang mengeluh terbengkalai ini itu karena harus menulis. Lantas tiba-tiba terbersit pertanyaan, apakah menulis itu pekerjaan yang mengganggu?

Seorang teman yang ditanya tentang progres menulisnya berkata, "Maaf, aku sedang sibuk menggantikan peran sebagai seorang ibu." Lain lagi teman berkata, "Aku tidak menulis, aku mau fokus skripsi dulu." Begitu juga beberapa alasan serupa yang mengesankan bahwa menulis adalah kegiatan menyita waktu dan mungkin akan mengganggu rutinitas lainnya.

Sebaliknya, ada yang berkomentar pada orang yang konsisten menulis, "Kok bisa masih sempat menulis?" Atau mereka bertanya-tanya, "Ga terganggu aktivitasnya dengan menulis?" Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya yang mengesankan keraguan mengapa harus repot-repot menulis di tengah rutinitas lainnya.

Bagi sebagian orang, menulis adalah caranya untuk bersenang-senang. Maka, ketika waktu begitu padat, bukan tidak mungkin dia justru menulis untuk membuat dirinya tetap senang. Ini bukan perkara sempat atau tidak sempat untuk menulis, atau tentang mengganggu waktu lainnya atau tidak, tetapi ini tentang pemuasan kebutuhan untuk menulis yang mungkin justru akan terus disempatkan agar aktivitas lain tidak terganggu karena otak yang keburu mendidih kepanasan.

Barangkali pertanyaan ini serupa dengan pertanyaan membaca itu memanfaatkan waktu atau justru membuang waktu? Seseorang yang sedang memiliki banyak pekerjaan memilih menggunakan waktunya untuk membaca terlebih dahulu. Lantas orang lain berkata, "Kenapa malah membuang-buang waktu dengan membaca, segera kerjakan tugasmu". Padahal di mata orang itu bisa saja dia berpikir, "Lebih baik aku memanfaatkan waktu dengan membaca, daripada justru aku membuang waktu karena belum menemukan jawaban dari tugas-tugasku."

Seorang teman pernah menanggapi pertanyaan itu. Baginya, kalau bacaan yang dia baca itu baik, berarti dia memanfaatkan waktu. Tapi jika bacaan yang dia baca tidak ada gunanya, berarti dia membuang-buang waktu. Jika dikembalikan ke masalah semula terkait menulis, akankah berarti jika tulisan itu berguna maka dia tidak mengganggu dan jika tulisan itu tak bermutu maka ia hanyalah sebagai pengganggu? 

Padahal ada orang di luar sana yang beranggapan tak ada bacaan yang tak berguna dan tak ada tulisan yang tak bermutu. Sekalipun itu bacaan buruk, tinggal pintar-pintar bagaimana si pembaca mampu menangkap hikmahnya. Ambil baiknya, buang buruknya, jadikan pembelajaran. Maka bacaan itu tetap menjadi bacaan yang berguna. Berlaku pula bagi suatu tulisan. Tak ada istilah tulisan baik atau buruk karena semua dinilai menurut selera pembaca. Tulisan yang dianggap sampah bahkan ternyata mengandung nilai yang bisa terbaca oleh mereka yang pandai mengungakapnya.

Lalu? Apakah itu artinya membaca tetaplah berguna dan menulis tak seharusnya mengganggu?

Mungkin value dari sebuah aktivitas yang kita lakukan hanyalah diri kita yang merasakan. Orang mungkin tak habis pikir melihat orang lain yang tengah malam menulis tidak penting di blog. Bukankah lebih baik dia istirahat? Orang mungkin tak habis pikir pula melihat orang lain yang membaca buku pengembangan diri padahal ada setumpuk diktat kuliah yang belum dikuasai. Bukankah dia lebih baik segera menyelesaikan buku-buku kuliahnya? Tapi, siapa kita dan siapa mereka? Apa hak kita melarang orang lain mendapatkan nilai dari aktivitas baca dan tulisnya?

Jikalau kita terganggu karena orang lain yang menganggap baca tulis kita adalah kegiatan yang tak bermutu, biarkan saja. Atau, bagi Anda yang masih merasa bahwa baca tulis hanyalah sambilan yang cukup mengganggu, mungkin perlu dicari lagi value-nya. Karena semua aktivitas kita akan kembali berarti ketika kita mampu mengambil nilainya. Insya Allah.


Saturday, 2 August 2014

Harta Tahta Wanita

17:15 0 Comments

Ada sebuah anggapan di masyarakat bahwa manusia sering terjebak pada tiga nafsu dunia. Nafsu tersebut adalah tentang harta, tahta, dan wanita. Hal ini tentu saja berlaku untuk pria, sedangkan bagi kaum wanita tentu akan beralih menjadi harta, tahta, dan pria. Intinya sama saja bahwa keinginan seseorang berkutat pada kekayaan, posisi, dan lawan jenis.

Ketika seseorang mentas dan berlepas dari kehidupan orang tuanya selepas menikah, sangat wajar jika faktor ekonomi menjadi prioritas utama. Bagaimana seorang suami mampu menafkahi istrinya, pun bagaimana seorang istri mampu mengelola nafkah suami untuk kebutuhan sehari-harinya. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan di sektor ekonomi ini semakin bertambah. Lahirlah anak, muncullah keinginan-keinginan yang pada akhirnya semua berujung pada ada tidaknya uang. Maka mungkin benar adanya jika nafsu pertama yang membuat manusia tergila-gila pada dunia adalah nafsu harta.

Ketika hidup sudah mulai mapan, kebutuhan ini itu sudah tidak sempoyongan, manusia lagi-lagi mencari tantangan. Apa lagi sekarang? Harta sudah ada, saatnya aku membuktikan bahwa aku bisa. Barangkali begitu pemikirannya. Maka kebutuhan akan aktualisasi diri pun muncul. Ada yang mewujudkannya dengah terjun ke politik mencalonkan diri sebagai anggota legislatif misalnya atau dengan makin menyelam ke dunia bisnis untuk mengguritakan ladang bisnisnya. Bukan semata-mata untuk uang karena keuangan bukan lagi menjadi suatu permasalahan, melainkan karena manusia butuh pengakuan. Itulah mungkin yang membuat tahta sebagai nafsu dunia selanjutnya.

Ketika pengakuan sudah di tangan, lagi-lagi manusia tidak merasa terpuaskan. Tantangan demi tantangan menggelitik ingin ditaklukkan. Harta sudah ada, kuasa juga sudah punya, untuk apa lagi sekarang. Dengan harta dan kekuasaannya bukan tidak mungkin manusia menjadi makhluk mempesona untuk memikat lawan jenisnya. Pejabat-pejabat punya pria atau wanita idaman lain, sepertinya bukan lagi sekedar kisah sinetron di layar kaca. Satu demi satu lawan jenis dijerat. Seringnya masa ini muncul di usia separuh baya, ketika hidup susah mengejar harta dan tahta sudah terlewat. Maka muncullah istilah puber kedua, ketika lagi-lagi tertarik pada lawan jenis karena sudah memiliki segalanya. Lepas dari satu wanita boleh jadi berganti ke wanita berikutnya. Begitu seterusnya demi memberinya tantangan hidup untuk menaklukkan dunia, yaitu nafsu wanita.

Pertanyaan yang kini muncul adalah hingga kapan keinginan ini berakhir? Keping-keping uang tetap ditumpuk, tingkatan-tingkatan posisi terus didaki, satu demi satu lawan jenis terus dijajaki. Mungkinkah barangkali hanya ajal yang akan menghentikan? Tapi jika memang hanya ajal yang mengakhiri, apakah lantas semua manusia akan melalui fase ini? Wallahu'alam. Na`udzubillahimindzalik.

Mungkin memang benar tidak seharusnya dunia disandarkan di hati. Cukuplah ia di tangan untuk digenggam dan mudah dilepaskan hingga kita tak perlu mengalami rasanya gila harta, tahta, dan wanita. Semoga Allah SWT tidak menjadikan kita cinta dunia hingga lupa negeri kekal di akhirat sana. Aamiin...

Friday, 25 July 2014

Nyinyir

05:13 2 Comments
Saya hanya ingin bercerita, lagi-lagi sebuah curahan hati yang mungkin tak ada guna untuk Anda. Walaupun saya tahu tulislah sesuatu yang berguna atau diam. Yang saya sendiri sadar menuliskan tentang nyinyir jangan-jangan justru saya sendiri yang nyinyir.

Perkara apa? Perkara pemilu, teman-teman. Basi mungkin, sudah banyak yang cuap-cuap barangkali, dan bosan sepertinya. Semula saya tak tertarik ikut menuliskan euforia tentang pemilu sederhana tapi luar biasa hebohnya di Indonesia. Tapi saya benar-benar sedang ingin menye-menye, saya sedang sakit hati, dan saya sedang melankoli ingin menangis hanya karena sebuah peristiwa bernama pemilu.

Sudah sejak pemilu 9 April 2014 saya merasakan itu. Teman-teman di salah satu grup ramai sekali membicarakan ini. Terkadang saya menyimak, tak jarang saya muak. Kampanye terselubung lah, kode-kode ini itulah, dan lain sebagainya. Hingga puncak di malam dan hari pemilu, saya protes ke teman-teman di grup itu. Jangan lebay, ini masa tenang, ini masa pencoblosan. Ah, mungkin saat itu saya yang lebay.

Selepas hari pemilu itu, seorang teman menghubungi saya dan bertanya, "Ada apa denganmu, Vi? Tumben sekali kamu sensi dan kelihatan tidak suka di grup tadi." Bahkan sikap saya yang tak biasanya itu juga dibahas oleh beberapa teman yang intinya heran ada apa dengan saya.

Waktu itu saya bilang ke teman saya kalau saya lelah. Saya lelah dianggap dan dipandang miring. Padahal saya bukan kader partai manapun, bukan pula simpatisan partai apapun. Saya lelah karena tiap partai mendewa-dewakan partainya dan menganggap partai lain dengan sebelah mata. Saya lelah mendengar obrolan yang saling hujat satu partai dengan partai lainnya hanya karena mereka simpatisan partai tertentu. Saya lelah ketika akhirnya caleg partai tertentu terlihat cela sedikit saja, lantas partai lain menyerang luar biasa. Dan saya lelah melihat simpatisan partai yang mati-matian membela calegnya dan menutup cela itu seolah mereka tanpa dosa. Saya lelah disanjung-sanjung dan akhirnya nantinya dihina-hina hanya karena menutup mata.

Sekalipun teman saya yang kader partai itu membela diri, saya hanya mendengarkan argumennya saja. Sayangnya hati saya sudah terlanjur sakit dan terlanjur trauma masalah hujat menghujat perkara partai ini saja. Saya lebih memilih diam dan mungkin tak akan mengambil hati lain kali hingga kelepasan beragumen di grup yang ternyata sangat kentara bahwa saya tidak suka.

Sedihnya, rasa sakit hati semakin menjadi-jadi di pemilu presiden 9 Juli 2014 kemarin. Sedih luar biasa karena keadaan itu semakin parah. Jika dulu orang hanya sibuk mendewakan partainya layaknya Tuhan, kini mereka semakin menjadi Tuhan dengan memvonis dosa capres lainnya. Saya sedih karena mata mereka semakin buta. Asal sudah pokoknya A, tak peduli lagi B itu bagaimana. Tak jarang saya beristigfar setiap membaca diskusi di grup, pun tak jarang saya ingin menitikkan air mata melihat mereka yang begitu fanatik membela capresnya. Allah, mereka bukan malaikat tanpa dosa. Jikalau dia manusia, tentu saja dia punya khilaf dan cela.

Saya pikir semua itu akan berakhir ketika presiden diumumkan. Nyatanya tidak. Hujat menghujat tetap ada hingga saya akhirnya menuliskan blog ini. Grup masih ramai saling nyinyir, meragukan capres yang menang, menghujat, berdoa macam-macam, saling tuding. Yang membuat miris hati adalah, semula mereka baik-baik saja. Semuanya adalah saudara. Sama-sama muslim, sama-sama menjaga. Tapi tiba-tiba justru saling membuka aib. Hei, bukankah aib seseorang itu harus ditutup? Bukankah jika kita mengumbar aib orang lain, suatu saat kita akan dibuka pula aibnya? Bukankah sesama muslim harus saling menjaga bahaya dari lisannya. Ah, lisan. Sungguh engkau mata pedang yang bisa sangat menyakitkan. Tak ingatkah mereka tentang bahaya lisan yang sepertinya dulu sering mereka dengung-dengungkan?

Cukup. Ingin saya berteriak lagi, tapi saya tahu diri kalau argumen saya di grup hanya minoritas yang akhirnya membuat teman-teman saya heran dan pada akhirnya saya yang nantinya akan diinterogasi lagi. Ini bukan pemilu pertama, apakah hidup mati kita akan dipengaruhi oleh hasil pemilu ini? Ya, tentu saja arah Indonesia akan bergantung pada presidennya. Tapi, kita? Bukankah ada pemilu atau tidak, kita tetap harus melanjutkan mengisi kemerdekaan sesuai peran yang sudah kita pilih sebelumnya. Lalu kenapa masih sibuk saling mencela dan tak fokus di bidang kita?

Ah, sudahlah. Percuma juga jika ada yang berteriak. Mungkin benar komentar seorang teman, "Orang yang paling susah dinasihati adalah orang yang sedang jatuh cinta dan orang yang fanatik dengan capresnya." Yah, apa mau dikata. Fanatik tetaplah fanatik, jatuh cinta tetaplah jatuh cinta.

Andai saja manusia mau bertindak sewajarnya, mungkin tak akan ada yang heboh pula. Bukankah dalam jatuh cinta seharusnya juga sewajarnya saja? Bukankah dalam kekaguman hendaknya seperlunya pula? Saya hanya takut, siapa yang mencintai dengan teramat sangat, dia juga memiliki kesempatan untuk membenci dengan teramat sangat. Semoga saja tidak. Semoga cinta itu masih menyelimuti dunia seisinya. Semoga kedamaian itu akan menyinari seluruh jagad raya, khususnya untukmu Negeriku, Indonesia.





Thursday, 24 July 2014

Dapat Apa?

20:24 2 Comments
"Kamu dapet apa di stase ini? Apa yang bisa kamu pelajari?" tanya seorang residen pada saya saat tadi menunggu operasi.

Saya pun mulai menjawab ini itu, satu demi satu. Residen itu pun menimpali, "Jangan dikira hanya melihat pasien begini kamu tidak belajar. Allah SWT itu punya ayat kauliyah dan ayat kauniyah. Di sinilah ayat kauniyah Allah SWT itu banyak tersembunyi. Jangan dikira 10 hari terakhir Ramadhanmu sia-sia karena banyak habis dengan pasien. Justru dengan banyak belajar dari pasien lah kamu merasa dekat sama Allah SWT," Saya pun manggut-manggut tanda mengerti.

Jujur saja, sebagai koas saya memang sering merasa capek. Terlepas dari masalah ikhlas, aktivitas dan rutinitas yang begitu saja memang mungkin cepat membuat lelah. Sayangnya, lelah itu akan menjadi bertambah-tambah ketika kita sama sekali tidak bisa menangkap hikmah.

Kebetulan saja saya menemukan salah satu firman Allah SWT.
Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunya telinga (tetapi) tidak digunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Q.S. Al-A'raf: 179).
Rasanya, ayat itu tepat sekali dengan keadaan kami para koas. Kalau kami terlalu saklek dengan semua teori, jangan-jangan kami tidak benar-benar menggunakan hati, mata, dan telinga. Padahal, ada banyak ayat kauniyah yang Allah titipkan pada keadaan di depan kami.

Contoh sederhana adalah ketika pasien mengeluh kedinginan dan kita tahu bahwa thermoregulator di otaknya terganggu. Jika hanya saklek maka kita cuma akan edukasi untuk menyelimuti. Coba seandainya kita memahami kondisi penyakit pasien itu lalu bersyukur betapa Allah SWT memberikan pengaturan suhu yang luar biasa di otak kita. Andai tidak ada, betapa kita akan mudah kedinginan dan kepanasan.

Begitu juga contoh-contoh lainnya. Ketika manusia bisa mati hanya karena tersedak. Ketika manusia mati karena lidahnya tergigit. Ketika hidup dan mati hanyalah sebuah garis yang tak bisa kita prediksi. Bukankah Allah menitipkan ayat-ayatnya untuk hati, mata, dan telinga kita?

Hanya saja, apakah kita pandai untuk menangkap hikmahnya? Jika pandai, mungkin kita akan melalui hari dengan penuh kesyukuran. Tak akan ada kelelahan, tak akan ada penat. Semua ikhlas. Tapi bagaimana jika tidak? Hati mati, mata buta, telinga tuli. Seperti ayat di atas, tak ubahnya kita hanyalah manusia lengah. Dan parahnya, manusia lengah jauh lebih sesat dibandingkan para hewan ternak. Ada yang suka disamakan dengan hewan? Tentu tidak.

Maka, benar sepertinya pertanyaan residen pada saya pagi tadi. "Kamu dapat apa di stase ini?" Jangan-jangan saya lengah dan merasa tidak mendapat apa-apa hanya karena salah saya sendiri yang tidak membuka hati, mata, dan telinga. Naudzubillahimindzalik.





Maafkan Aku

19:42 2 Comments
Suatu ketika saat sedang sangat melankolis, saya membuka catatan-catatan saya terdahulu. Tanpa sengaja, saya menemukan sebuah catatan tentang maaf beberapa tahun yang lalu.


Bagiku, kata maaf sangatlah berharga. Aku tidak ingin permasalahan ini nantinya akan menyulitkanku di akhirat. Untuk itu, aku minta maaf padamu. Setidaknya ucapan permintaan maaf ini memperingan beban di pundakku. Aku sangat mengharapkan pemberian maaf darimu. Kalaupun aku tidak mendapatkan hal itu, setidaknya gugur satu kewajibanku untuk minta maaf padamu.
Dan aku selalu memaafkanmu atas perbuatan yang mungkin kau lakukan atau tidak sengaja kau lakukan. Meskipun ucapan maaf itu tidak akan keluar darimu. Aku akan berusaha untuk memaafkan dan mengikhlaskan semua itu. Setidaknya, gugur lagi satu kewajibanku untuk memaafkanmu.
Pertengkaran, perselisihan, kesalahpahaman. Seringkali kita menjumpainya dalam kehidupan kita. Boleh jadi timbul amarah di hati kita yang berbuah luka, dan bukan tak mungkin pula kita menorehkan sakit yang berujung luka pula di hati saudara kita. Ada yang bilang, luka di hati itu seperti paku. Dia menancap di kayu dan menimbulkan bekas lubang. Begitu juga amarah dari orang lain. Seringkali menimbulkan sakit hati yang tak kunjung hilang.

Tapi, bukan berarti kita bisa membiarkan paku dan lubang itu terus bersemayam di dalam lubuk hati kita. Di sinilah peran maaf itu bermain. Menurut saya, maaf adalah suatu mekanisme timbal balik. Maksudnya, suatu kesalahan akan selesai jika ada yang meminta maaf dan sebagai timbal balik, ada orang lain yang akan memberi maaf pula.

Dalam urusan dosa, kita hanya diminta untuk bertaubat dan mohon ampun pada-Nya. Sesimpel itu. Kenapa? Karena Allah maha Pemaaf. Dalam keadaan apapun, Allah akan memaafkan hamba-Nya yang memohon ampun pada-Nya. Habis sudah perkara, tinggal bagaimana kita mau sering-sering meminta maaf pada-Nya.

Beda halnya dengan manusia. Ketika kita berbuat salah (terlebih jika akhirnya menyeret pada dosa), kita tak cuma cukup memohon ampun pada Allah tetapi juga memohon maaf kepada orang yang bersangkutan. Karena manusia bukan Sang Maha Pemaaf, boleh jadi urusan maaf-memaafkan ini tidak semudah yang dibayangkan.

Meminta maaf menjadi sulit jika diri kita masih diliputi gengsi. Barangkali diri kita merasa berada di pihak yang benar. Mungkin pula kita terlalu tinggi hati untuk mengakui kesalahan diri kita. Atau kita terlalu gila hormat hingga merasa orang lain-lah yang seharusnya meminta maaf duluan pada kita.

Maka saya tuliskan di penggalan catatan saya di atas, sebuah kewajiban dari diri kitalah untuk meminta maaf. Paku dan lubang tak akan benar-benar hilang jika tidak ada yang mencabut paku itu. Kita lah yang harus mencabut paku yang ada di hati orang lain. Itulah tugas kita. Dan menjadi gugurlah kewajiban kita itu jika kata maaf sudah terlontar dari mulut kita.

Tapi, bagaimana dengan lubang yang masih tersisa? Di sinilah peran kedua dibutuhkan. Lubang akan sirna jika pemilik hati segera menutupnya. Artinya, luka di dalam diri seseorang akan musnah ketika kita sendiri sebagai pemilik hati mau menghilangkannya. Bagaimana caranya? Dengan memaafkannya.

Perkara memaafkan ini juga bukan urusan gampang. Kadang di mulut sudah mengatakan memaafkan tapi di hati belum demikian. Rasa sakit hati masih ada. Barangkali karena disimpan lama justru menjadi sebuah dendam. Dan jika diguyur sedikit minyak amarah saja, sudah terbakar gosong seluruh hati kita. Jadi benar-benar urusan diri kita sendiri apakah kita akan memaafkan atau tidak karena tergantung kita juga mau terus sakit hati atau tidak. 

Sekalipun orang yang berbuat salah pada kita tidak meminta maaf, apakah kita akan merasa nyaman hidup dengan dengan paku menancap di hati? Maka, itulah yang saya tulis di catatan saya di atas: meskipun ucapan maaf tidak keluar darimu, aku akan memaafkanmu. Bukan apa-apa, saya hanya tidak mau hidup dengan terus-menerus membawa paku. Kalau memang bukan dia sendiri yang mencabut paku itu, biarlah saya yang mencabutnya dan saya pula yang menutup bekas lubangnya.

Simpel seharusnya. Perkara maaf dan memaafkan kembali lagi pada diri kita sendiri (pun Allah SWT yang semoga mengampuni). Jika memang mekanisme ini berjalan terus, bukankah tak akan ada lagi yang namanya sakit hati? Wallahua'lam.


Monday, 7 July 2014

Kebaikanku, Begitukah di Matamu?

22:58 0 Comments
Ramadhan #9

Hari ini saya berbuka bersama dengan sahabat-sahabat saya. Saat di jalan dan posisi kami tenang-tenang saja, tiba-tiba ada sebuah motor yang menyerobot jalan dan mepet sekali dengan mobil yang kami tumpangi. Sontak teman saya berteriak, "Wah, hati-hati mbak. Tau cewek juga yang nyetir sama-sama pengertian dong."
Salah satu teman saya menimpali, "Eh, jangan gitu dong, aku juga sering naik motor nggeloyor mepet-mepet gitu lho."
Teman saya pun balik menanggapi, "Ah iya, sudah berapa lama aku tidak kamu bonceng ya. Kamu kalau naik motor juga suka mepet-mepet deh. Kalo ga mepet trotoar ya mepet ke kanan."
Teman saya yang diprotes itu menjawab, "Ya kan aku mau hati-hati, minggir gitu."
Teman saya balik menjawab, "Ya tapi kakiku kena trotoar kalau terlalu mepet."
Dan kami pun tertawa.

Saya belajar dari sepenggal kisah kami itu. Pertama, sesuatu yang kita lakukan dengan maksud baik, ternyata belum tentu baik di mata orang lain. Seperti teman saya yang berniat jalan hati-hati di pinggir ternyata justru meresahkan kawan saya karena kakinya terkena trotoar.

Kedua, hidup itu saling mempengaruhi. Kita sudah berbuat baik, tapi bisa saja kita buruk karena orang lain. Seperti tadi, mobil kami yang sudah berjalan dengan tenang, tiba-tiba diserobot oleh motor yang berjalan sempoyongan. Sering pula misal ketika hujan. Ketika kita sudah berhati-hati menghindari genangan air, tenyata tetap saja tersiram air dari kendaraan lain yang melaju lebih kencang.

Kalau itu ruang publik, barangkali agak susah untuk menghindarinya. Kita bukan polisi yang menyemprit mobil yang melaju kencang dan membuat kita sempoyongan. Atau ketika di mall misalnya. Kita tak bisa menegur semua orang yang membuka aurat demi membuat pandangan kita tetap terjaga. Sulit rasanya.

Lalu bagaimana?

Mungkin ada baiknya niat baik itu disampaikan. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman. Coba jika teman saya memberi tahu kalau dia hobi mepet karena bermaksud untuk hati-hati, mungkin teman saya yang lain akan lebih memahami. Untung saja kami sudah saling mengenal dan mengerti, jadi hal-hal kecil begini tidak terlalu dimasukkan hati. Tapi, bagaimana dengan orang asing yang tidak saling mengetahui?

Ah, andai saja setiap orang mau mempertimbangkan hak dan kewajibannya. Bukan cuma hak asasinya sendiri untuk bebas ngebut ke sana kemari, tetapi hak orang lain juga untuk bisa menikmati jalan bersama-sama. Andai saja setiap pengguna ruang publik mau memikirkan hak orang lain di samping hak asasinya, barangkali tak akan ada kekecewaan karena niat baik diri sendiri yang terbentur oleh keadaan sekitarnya. Barangkali....



Sunday, 6 July 2014

Mereka Mendengar

22:05 0 Comments
Ramadhan #8

Sebulan yang lalu saya sedang menjalani stase anak. Di stase ini saya mendapat jatah satu minggu jaga di bangsal HCU Neonatus. Bayi-bayi baru lahir yang butuh perawatan khusus masuk ke bangsal ini. Karena jaga, otomatis saya berinteraksi dengan bayi-bayi itu setiap harinya.

Salah satu bayi yang saat itu dirawat bernama bayi Ny.M. Mereka memang belum diberi nama karena usianya baru dalam hitungan hari. Jadi menyebutnya pun dengan nama ibu mereka. Saat saya di stase obsgyn, Ny.M ini termasuk dalam pasien yang saya rawat karena ketuban pecah dini dua bulan sebelum masa kelahiran. Otomatis Ny.M ini mondok cukup lama. Dan karena saya bertugas follow up setiap pagi, mau tidak mau sering berinteraksi juga dengan Ny.M. Ketika saya sudah pindah ke stase anak, ternyata saya dipertemukan dengan bayi Ny.M ini.

Bayi Ny.M ini rewel luar biasa. Dia termasuk bayi yang sering menangis dibandingkan bayi yang lainnya. Kalau sedang diperiksa, hampir tidak bisa diam. Otomatis, waktu pemeriksaan pun menjadi lebih lama. Karena saya merasa 'kenal' dengan Ny.M, saya jadi memiliki ketertarikan tersendiri pada bayi Ny.M ini. Karena kondisinya cukup buruk, dia termasuk bayi yang harus diperiksa setiap jam. Otamatis setiap jam saya akan menyambanginya bergantian dengan teman saya, dan saat itulah saya berinteraksi dengannya.

Saat sepi dan harus memeriksa dia sendiri, saya curhat padanya, "Ayo, kamu diem, lah. Itu temen-temenmu tidur semua." Atau saat dia harus diperiksa ini itu setiap jam, saya berkomentar, "Tuh kan, kakimu ditusuk lagi kan. Makanya cepetan sehat biar ga diperiksa gini lagi." Atau ketika dia rewel luar biasa dan saya tidak bisa menstabilkan kakinya, saya pernah berkata, "Ssst, ibumu dulu tu sakit-sakitan lho. Masak kamu mau sakit juga. Ndak boleh nakal. Nanti kalau nakal ga sembuh-sembuh kamu sakit-sakitan terus kayak ibumu lho". Dan berbagai kata-kata lainnya yang sekedar iseng saya ucapkan daripada saya cuma hening memeriksa sendirian.

Suatu ketika saat saya sedang memeriksa bayi lain di pagi hari, saya mendengar ibu bidan yang sedang mengajari adik siswa cara mengganti popok. Ibu bidan itu berkata, "Kalau sedang merawat bayi, sambil diajak ngobrol. Jangan cuma diganti popok saja, ditinggal. Dikasih susu saja sambil didiamkan. Meskipun masih bayi, mereka juga bisa mendengar."

Saya yang berada di box bayi tidak jauh dari mereka berdua terdiam. Duh, berarti bayi Ny.M (dan bayi-bayi lainnya) juga mendengar dong kalau suka ngobrol dengan mereka.

Saya jadi teringat tentang teguran Allah SWT pada Rasulullah SAW di surat Abasa. Saat itu Rasulullah SAW memalingkan wajahnya dari seorang yang buta. Kalau dinalar, orang buta pasti tidak akan tahu kalau Rasulullah SAW memalingkan wajahnya, tapi ternyata Allah SWT menegur beliau.

Barangkali begitu juga dengan bayi-bayi itu. Sekalipun mereka belum bisa bicara, belum memahami apa-apa, tetapi mereka mendengar. Dan bisa jadi mereka merasakan apa yang kita bicarakan.

Hm, tiba-tiba saya merasa bersalah pada bayi Ny.M, khususnya karena kadang 'mengancam' (walaupun dengan maksud bercanda) ketika dia rewel. Agaknya setiap ucapan memang harus dijaga. Sekalipun itu sekedar bercanda kepada orang bahkan bayi yang belum memahaminya.

Astagfirullahal'adzim....




Saturday, 5 July 2014

Sesama Dokter

21:34 0 Comments
Ramadhan #7

Apa profesimu? Apa pula profesi pasanganmu? Apakah profesi kalian sama ataukah justru berbeda? Saya sedang tergelitik dengan masalah profesi terkait sebuah hubungan lelaki perempuan.

Seorang teman yang menjalin cinta dengan sesama teman dokter muda baru-baru ini memutus ikatannya. Apa pasal? Gara-gara orang tua si pria yang merupakan seorang dokter tidak rela anaknya berpacaran dengan perempuan yang bukan anak dokter. Ada lagi teman saya seorang koas juga yang putus dengan pacarnya dengan alasan, "Aku takut kalau suamiku bukan dokter", atau begitu juga dengan teman koas saya yang berganti-ganti gandengan asalkan tetap seorang dokter. Terlepas dari masalah pacaran dan hubungan mereka, saya geleng-geleng kepala dengan alasan hubungan mereka itu sendiri.

Apakah seorang dokter akan lebih mulia jika memiliki pasangan seorang dokter pula atau berasal dari keluarga dokter juga? Saya menghela nafas untuk ini. Sebegitu picikkah orang-orang hingga melupakan syarat agama di atas kekayaan, nasab, dan rupa?

Ustadz pernah berkata, bersyukurlah jika memiliki pasangan sesama dokter, setidaknya mereka pernah merasakan suka duka hidup seorang dokter. Mereka akan maklum jika lebaran tidak bisa datang karena jaga. Mereka akan maklum ketika pagi-pagi harus sudah berangkat untuk memfollow up pasien. Mereka akan sangat maklum ketika lelah pulang tetap harus melayani pasien di rumah. Tapi ustadz juga berkata, bukan berarti pasangan bukan dokter tidak bisa disyukuri. 

Memang diakui banyak sekali pasangan dokter di rumah sakit. Residen anak pasangannya residen obsgyn. Dokter kulit pasangannya dokter penyakit dalam. Begitu terus hingga rasanya terlalu banyak dinasti dokter di dalam rumah sakit. Tapi, tidak jarang pula saya menemui dokter yang bukan berasal dari keluarga dokter dan atau tidak memiliki pasangan seorang dokter.

Saya pernah bertanya pada seorang residen obsgyn, "Istrinya dokter juga, Dok?", beliau menggeleng, "Bukan, istri saya notaris. Saya ga mau istri saya dokter juga, ga ada yang ngurus anak." Lain lagi dengan residen neuro, "Suami saya bukan dokter, dek. Saya ga bisa membayangkan hidup saya cuma di sekitar situ-situ saja. Masalah yang dibahas seputar penyakit dan rumah sakit saja. Bosan, dek."

Apakah mereka bahagia? Setidaknya begitu yang saya lihat dari kacamata saya. Beliau berdua sebagai contoh dari beberapa dokter lainnya tetap saja bahagia tanpa perlu mendewa-dewakan dinasti dokter di keluarganya.

Ah, mungkin itu pilihan hidup seseorang. Dan semua itu terjadi tak lepas dari takdir Illahi. Mungkin teman-teman saya tadi memang berjodoh dengan sesama dokter hingga mereka putus demi mencari dokter yang juga berasal dari keluarga dokter. Wallahua'lam, toh jodoh tak akan tertukar, jodoh tak akan keliru.



Friday, 4 July 2014

Bapak...

11:03 2 Comments
Ramadhan #6

Saya baru saja menyelesaikan membaca sebuah buku. Judulnya Ayah, karya Irfan Hamka, yang mengisahkan tentang ayahnya, Buya Hamka. Di bagian-bagian akhir ketika membaca buku itu, tanpa saya sadari air mata menggenang di pelupuk mata saya.

Karena masih ingin membaca, selepas membaca buku Ayah, saya lanjutkan dengan buku komik 33 Pesan Nabi Jilid 3. Tak disangka, bagian pertama dari komik itu juga mengisahkan tentang ayahnya. Penulis mengisahkan bagaimana si anak malu karena ayahnya memiliki vespa yang berisik tidak karuan, sedangkan sang Ayah tetap ikhlas menerima, mengajarkan budi pekerti, memberikan cinta kasih. 

Air mata jatuh begitu saja dari kedua mata saya. Bukan cuma menetes haru, tapi saya menangis sesenggukan. Saya teringat bapak saya.

Saya ingat bapak saya yang selalu mengirimkan SMS tahajud setiap malam, pada hampir seluruh nomor di ponselnya, termasuk saya. Sekedar SMS berisi hadits atau ayat dan ajakan untuk tahajud. SMS yang hampir tidak pernah saya balas, karena bagi saya itu sekedar ucapan. Dan saya ingat bagaimana ketika bapak pulang dan berkata, "Kok ga pernah balas SMS tho, Kak? Sudah lupa kalau punya bapak atau gimana?"

Saya ingat bagaimana kalau bapak pulang berarti akan ada sedikit kerepotan terkait transportasi. Satu motor sudah dipakai bapak di Jakarta. Hanya ada satu motor di rumah yang saya pakai, yang artinya akan jadi rebutan bapak dan saya. Kadang-kadang saja jika mobil ibu menganggur dan tidak ada urusan baru bapak bisa pergi dengan ibu.
Saya ingat bagaimana ketika mobilitas saya tinggi dan saya repot sekali, ibu akhirnya bilang, "Ya sudah tho, Pak. Biar Avi tetap pakai motor". Lantas bapak saya hanya mengalah dan memakai transportasi umum atau naik sepeda. Baru akhir-akhir ini saja ketika jadwal harian saya sudah pasti lantas bapak tetap memakai motor dan mengantar jemput saya setiap hari. Kalaupun tidak bisa, itu pun bapak meminta maaf dengan sangat karena saya harus menunggu jemputan lama atau memilih pulang naik transportasi umum saja.


Ah, bapak. Sekalipun hampir tak pernah saya memberikan perhatian secara kasat mata, sungguh saya mencintainya.

Bapak yang tadi pagi SMS membangunkan sahur dan menyanyikan lagu Rhoma Irama. Bahkan saya sendiri tidak tahu itu lagu apa. Yang karena saya tidak tahu lantas bapak ganti lagu, dan tetap saja saya tidak tahu lagunya.

Bapak yang ketika saya sedang resah selalu bisa membaca dan selalu bertanya, "Kamu kenapa, Kak?" walaupun tetap saja saya juga tidak akan langsung cerita. Dan beliau akan menyanyikan lagu 'ayo ngguyu' atau 'tombo ati'.

Bapak yang tahu dan siap sedia kalau ketika jam masuk sudah mendekat, padahal tugas belum diprint, belum lagi kalau tiba-tiba tinta habis dan macet. Saya akan uring-uringan sambil buru-buru mandi dan begitu selesai mandi sudah ada tugas yang tercetak rapi.

Bapak yang setiap pulang dari manapun pasti mengetuk pintu kamar dan berkata, "Kak, ini lho bapak bawa pisang goreng kesukaanmu" pun makanan lainnya. Yang mungkin karena saya masih asyik mengerjakan sesuatu, makanan itu masih saja tergeletak di meja belajar saya. Hingga bapak masuk kamar lagi dan berkata, "Kok belum dimaem?" dan saya pun buru-buru memakannya.

Bapak yang suatu ketika menelepon dan menceritakan masalahnya lalu berkata, "Bapak telepon bukan sebagai bapak yang telepon anaknya, tapi orang yang minta konsultasi pada ahlinya. Jadi kamu harus objektif dan ga perlu pekewuh memberi saran."

Ah, bapak. Masih banyak kisah yang membuat saya menyadari bahwa saya mencintai bapak saya dan saya tahu bapak juga sangat mencintai saya.

Maka saya tak habis pikir jika ada yang berkata bagaimana saya harus mempertimbangkan bapak ibu dalam hidup saya. Tentu saja sampai kapanpun saya akan menghormati beliau berdua. Sekalipun kelak saya menjadi istri dan bakti pertama saya haruslah pada suami, tak akan mungkin saya tidak mencintai bapak dan ibu saya.

Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma kama robbayani soghiro.
Salam takzim untukmu, Bapak...




Thursday, 3 July 2014

Tentang Rasa

12:01 2 Comments
Ramadhan #5

Dalam sebuah percakapan panjang dengan seorang teman, tiba-tiba dia berkata, "Aku tahu perasaanmu, Vi." 
Saya yang saat itu dalam posisi netral lantas menjawab, "Bagaimana bisa tahu, aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku."
Dia kembali menjawab, "Karena kadang seseorang lebih bisa merasakan perasaan orang lain dibandingkan perasaan dirinya sendiri."

Saya sering kesulitan memaknai rasa. Ah, bukan sulit. Lebih tepatnya saya terlalu cuek dan tak ambil pusing dengan mereka yang bermain-main dengan rasa. Datar, begitu saja. Bagi seorang teman, kondisi saya ini menyedihkan.

Sahabat saya pernah bertanya, "Mbak, kamu ga merasa sakit hati?"
Saya menggeleng dan menjawab, "Ga sama sekali. Ga ada rasa sama sekali."
Dan sahabat saya justru berkata, "Aku pingin nangis karena menurutku sebenarnya hatimu itu sangat sakit sampai-sampai tidak bisa merasakan sakit."

Sebaliknya suatu ketika sahabat saya bertanya, "Mbak, kamu bahagia?"
Dengan mantap saya menjawab, "Ya, tentu saja aku bahagia."
Dan dia justru menghela nafas, "Ya sudah, yang penting kamu benar-benar bahagia."

Dalam kacamata sahabat saya, sepertinya ada yang salah di dalam diri saya dalam memaknai rasa. Seharusnya sedih, tapi biasa saja. Seharusnya marah dan sakit hati, tapi ga meluap juga. Seharusnya bisa lebih bahagia, tapi sudah cukup dengan kebahagiaan ini saja. Menyedihkan begitu katanya. Padahal dalam ilmu psikiatri disebutkan bahwa mengungkapkan sedih, senang, marah, dan lain sebagainya itu penting untuk kesehatan jiwa.

Tapi saya berpikir, urusan rasa di hati ini urusan Illahi. Dia yang maha membolak-balikkan hati. Sekalipun konteksnya adalah tentang keimanan, tapi Dia juga yang membolak-balikkan hati seorang hamba dari sedih, susah, marah, senang, dan sebagainya. Kalo hari ini sedih, besok juga bisa jadi senang, dan seterusnya.

Ada yang beranggapan, jangan terlalu senang dan jangan terlalu sedih. Orang yang terlalu senang bisa jadi esok akan terlalu sedih. Dalam hal ini saya lebih sepakat dengan pendapat ini. Namun, mungkin sahabat saya memilih sebaliknya. Bisa jadi dia termasuk orang yang memilih selagi senang, ayo bersenang-senang. Kalaupun sedih, ya dipikir nanti belakangan.

Entahlah. Tentang bagaimana memaknai rasa itu, saya kadang masih tidak mengerti. Apakah emang harus terdefinisi atau biarkan mengalir saja? Asal diri ini tetap enjoy menjalani, apakah tetap menjadi masalah? Lagi-lagi entahlah.



*to my best friend: trust me, I enjoy my life... :)






Wednesday, 2 July 2014

You're My Friend

11:08 3 Comments
Ramadhan #4

Teman, apa arti teman bagi Anda? Satu demi satu pasti mahir mendefinisikannya. Dia bisa jadi orang yang sering menghabiskan waktu bersama. Dia orang yang selalu ada. Dia tempat menumpahkan suka duka, dan lain sebagainya. Bahkan mungkin teman sekedar sesederhana asal saling mengenal saja. Layaknya teman di social media yang sekedar add atau follow dan belum pernah tahu wujudnya.

Dengan luasnya definisi itu, semua orang tentunya punya banyak teman. Saya punya banyak teman, Anda, dan siapapun di dunia ini. Sayangnya, masih saja ada orang di dunia ini yang merasa dia tidak punya teman sama sekali. Kenapa?

Barangkali lingkaran pertemanan dibuatnya menjadi berlapis-lapis. Ada yang sekedar kenalan, ada yang masuk jadi teman sehari-hari, ada pula teman akrab, atau lebih lagi menjadi sahabat. Terlalu berlapis-lapisnya ikatan pertemanan ini bisa jadi membuat diri ini merasa tidak memiliki seorang teman. Padahal seorang kenalan bisa saja lantas menjadi seorang sahabat dalam sekejap. Begitu pula dengan lapisan-lapisan pertemanan lainnya.

Barangkali pula pertemanan dibuatnya menjadi berbatas waktu. Teman waktu SD, teman SMP, teman SMA, kuliah, kerja, dan seterusnya. Hingga merasa bahwa orang-orang saat ini yang menjadi temannya adalah orang yang kebetulan sedang berada di zona waktu yang sama dari fase hidupnya. Padahal bukankah seorang teman SD bisa dihubungi saat ini dan menjadi teman masa kini pula. Begitu pula untuk zona-zona waktu lainnya.

Maka, harusnya tak ada istilah tidak punya teman sama sekali. Barangkali karena kita terlalu menutup diri untuk membuat semua orang menjadi orang terdekat. Barangkali karena kita terlalu angkuh melupakan masa lalu dan hanya sibuk berkutat dengan masa kini.

Tak ada mantan teman, tak ada istilah hanya punya satu kawan. Cobalah membuka diri, maka akan ada banyak rekan-rekan yang kau dapati.



*untuk temanku yang merasa sendiri, bagaimanapun aku dan yang lain adalah temanmu





Tuesday, 1 July 2014

Dunia Oh Dunia

02:15 0 Comments
Ramadhan #3

Di sebuah kesempatan seorang teman menyapa. Saat menanyakan kabar seorang teman lainnya, dia bertanya, "Apa kabar dirinya? Masih sibuk dengan urusan duniawinya?" Saya yang ditanya bungkam. Pertanyaan itu bukan tentang diri saya, tetapi justru menyindir saya habis-habisan. Apakah saya juga masih terlalu sibuk dengan urusan duniawi?

Barangkali cara melihat kesibukan adalah dengan mengkalkulasi aktivitas kita dalam 24 jam. Orang dikatakan sibuk jika dalam sehari dia lebih banyak melakukan aktivitas dibandingkan waktu luang. Tentu saja waktu luang juga diisi dengan berbagai aktivitas, namun di sini konteksnya berbeda. Aktivitas saat waktu luang dianggap sebagai aktivitas tambahan saja, yang bisa jadi dihilangkan dan tidak terlalu mempengaruhi jalannya kehidupan. Tentu berbeda dengan aktivitas utama yang memang harus dilakukan pada hari itu juga.

Nah, coba saja dilihat. Jika kesibukan itu dikaitkan dengan urusan dunia, berarti dalam 24 jam lebih banyak waktu yang kita habiskan untuk urusan dunia dibandingkan urusan akhirat. Andai dikalkulasi, rasanya hal itu sangat mungkin terjadi. Bayangkan, berapa jam kita bekerja, makan, mandi, tidur, perjalanan ke tempat sekolah atau kerja, beres-beres rumah, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan aktivitas akhirat. Apakah hanya sholat? Yang mungkin cuma 5-10 menit sebanyak 5 kali. Tanpa sholat sunnah, tanpa mengaji, tidak sampai 1 jam dalam sehari waktu kita dipakai untuk urusan ukhrowi. Begitukah?

Jika seperti contoh di atas, kesannya memang sangat tidak berimbang. Tapi mau bagaimana lagi? Bukankah bekerja, makan, tidur, mandi, dan aktivitas lainnya memang menyita waktu lebih banyak? Bagaimana bisa aktivitas itu dihilangkan?

Hm, bukan dihilangkan tentunya, tapi bagaimana agar aktivitas itu bukan sekedar aktivitas duniawi semata. Bagaimana jika dalam aktivitas itu dihadirkan hati yang senantiasa berdoa? Bukankah aktivitas itu akan dinilai ibadah juga? Begitu pula ketika aktivitas itu dihiasi dengan hati yang tawadhu, tentu bukan mengejar dunia semata.

Ambil contoh saja tentang tidur. Ketika itu menjadi urusan dunia, maka orang akan terlelap begitu saja. Barangkali tidur bisa menjadi aktivitas yang mengingatkan dengan akhirat jika diawali dengan berwudhu, berdoa, bermuhasabah, dan sunnah-sunnah tidur lainnya. Sekalipun aktivitasnya tetap sama tentang tidur, tetapi karena hati dihadirkan maka akan terasa nuansa ukhrowi dalam aktivitas kita.

Salah satu indikator pula ketika terlalu sibuk dengan dunia adalah apa yang kita rasakan ketika bangun tidur. Pernah suatu ketika di pagi hari saya bangun dan merasa sangat resah. Berceritalah saya kepada teman-teman. Lantas seorang sahabat menimpali, "Orang yang resah ketika bangun tidur jangan-jangan karena terlalu banyak memikirkan dunia". Tertohok, dan saya akui pada saat memang benar adanya.

Tentu kita tidak ingin terbangun di pagi hari dengan kondisi resah bukan? Tentu kita ingin menjalani hari dengan lebih nyaman, kan? So, mari kita perbanyak perbandingan urusan ukhrowi dalam 24 jam kita. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang meletakkan dunia di hati hingga sangat mempengaruhi. Aamiin....





Monday, 30 June 2014

The Real Me

23:00 2 Comments
Ramadhan#2

Saya teringat catatan di Ramadhan dua tahun yang lalu. Tepatnya catatan terakhir dari serial 30 Hari Mencari Cinta. Sebagai akhir pencarian cinta, di situ saya menuliskan pertanyaan “who am I?”. Sudah dua tahun berselang dan lagi-lagi pertanyaan itu kembali membayang.

Orang bisa saja menjawab pertanyaan siapa saya dengan menyebutkan namanya, profesinya, keluarganya, dan lain sebagainya. Bisa juga orang akan menyebutkan tentang watak-wataknya, kelebihannya, atau kekurangannya. Sedikit banyak, apa yang akan orang lontarkan untuk menjawab pertanyaan itu sebanding dengan seberapa dia mengenal dirinya sendiri.

Ketika mengikuti organisasi dulu, ada sebuah game  unik yang berjudul ‘Aku di Matamu’. Permainan ini sebenarnya adalah sebuah cara untuk mengenal siapa diri kita sebenarnya. Lewat sebuah kertas, setiap orang menuliskan hal positif, negatif, dan saran untuk kita. Masing-masing saling mengisi dan kertas terus berputar hingga akhirnya kertas itu kembali ke tangan kita sendiri.

Ada yang mengatakan bahwa orang lain justru lebih mengerti bagaimana watak seseorang daripada dirinya sendiri. Maka itulah yang disampaikan oleh kertas itu. Kita akan mengenal diri kita sendiri setelah membaca bagaimana penilaian teman-teman terhadap kita.

Jujur saja ketika membaca kertas itu, ada beberapa kata sifat yang saya bahkan tak menyangka bahwa itu melekat di diri saya. Ada beberapa faktor yang mendasarinya. Bisa jadi karena kita masih terselimuti oleh pencitraan tertentu atau karena orang lain yang kebetulan menuliskan itu tidak cukup mengenal baik siapa diri kita sebenarnya. Tapi di lain sisi, bisa jadi justru itulah karakter kita yang sebenarnya yang tak pernah kita sadari sebelumnya.

Siapakah diri kita juga bisa dilihat dari siapakah teman-teman dekat kita. Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa berteman dengan penjual minyak wangi akan terkena wanginya dan berteman dengan pandai besi akan terkena percikan apinya. Begitu juga dengan kita. Seperti apakah diri kita akan terlihat dari orang-orang yang dekat dengan kita. Bukan berarti kita menjadi pilih-pilih teman. Tapi, memutuskan siapa yang menjadi teman karib hingga mempengaruhi rutinitas sehari-hari tentu akan menjadi penilaian tersendiri.

Semua penilaian itu hanyalah cara agar kita lebih mengenal siapa diri kita sebenarnya. Sedemikian repotkah? Sebegitu perlukah? Tentu saja. Karena bagaimana kita mau dikenal baik dan diperlakukan dengan baik oleh orang lain jika kita tidak mengenal siapa diri kita sendiri. Bahkan, dengan cara mengenal diri sendiri itulah maka kita akan mengenal Tuhan kita.

So, selamat menyelami diri sendiri. Selamat mengenali diri pribadi.

Sunday, 29 June 2014

Persiapan

10:08 2 Comments
Ramadhan #1

Ini hari pertama Ramadhan, dan pagi hariku dimulai dengan obrolan panjang yang membicarakan persiapan. Tentang apa? Banyak hal.

Sejatinya hidup hanyalah berisi dengan segala macam persiapan. Saat bangun tidur tadi, aku melakukan persiapan untuk sahur. Ibu melakukan persiapan untuk ke pasar. Hari ini aku harus melakukan persiapan ujian, dan seterusnya hingga akhirnya kita seharusnya mempersiapkan titik terakhir yaitu kematian.

Pertanyaannya adalah, apa yang akan kita persiapkan?

Ketika kita tidak pernah memikirkan persiapan itu dengan matang dan hanya menjalani kehidupan mengalir bagai air, mungkin pertanyaan persiapan menjadi tanda tanya besar yang butuh jeda waktu untuk menjawab. Persis seperti tadi pagi. Ketika obrolan itu berakhir, aku hanya terpaku dengan beribu pertanyaan. Mana yang harus aku persiapkan dulu? A, B, C, D, atau E? Ah, kenapa belum ada yang beres semua?

Persis seperti akan mempersiapkan ujian. Buku 1 belum selesai, buku 2 belum kepegang, buku 3 apalagi. Mentok. Begitukah juga untuk persiapan kematian? Sholat belum khusyu, ilmu belum cukup, ngaji masih semampunya, sedekah masih seadanya.

Kalau begitu terus, kapan siapnya?

Siap tidak siap, ketika waktu akan menghampiri maka mau tidak mau harus dinyatakan siap. Sekalipun ada banyak buku di lemari yang belum dijamahi, kalau jam masuk ujian sudah tiba, pasti akan ditinggal juga semua buku-bukunya. Kalau ajal sudah menjemput,sekalipun dalam proses menggenapkan tabungan haji, ujung-ujungnya akan ditinggal pula tabungannya.

Jadi?

Persiapan seharusnya bukan dilihat dari waktu yang akan dijalani. Bukan ketika akan ujian maka mulai persiapan. Bukan ketika akan mati lalu menyiapkan diri. Ketika seorang pelajar memiliki tugas belajar, maka seharusnya sudah dia lakukan jauh-jauh hari. Ketika seorang hamba diberi kehidupan di dunia, maka sudah selayaknya dia menyempurnakan wudhu, sholat, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah lainnya. 

Kembali lagi, kita bukanlah pemilik waktu. Maka tidak selayaknya kita bermain-main dengan waktu. Karena bisa jadi persiapan mati kita sepuluh tahun lagi ternyata diakselerasi menjadi satu hari lagi. Jika begitu, mau bilang apa? 

Maka, dibuat aturan umum saja. Persiapkan, persiapkan, dan persiapkan. Apapun. Tak peduli kapan waktu akan mengeksekusi, kita hanya butuh terus mempersiapkan diri.



NB:
Ramadhan #1 (Ditulis rutin insya Allah selama Ramadhan)
Dalam proses persiapan untuk menjemput masa depan.